“Mampir ke rumah emak dulu ya, Las,” ajak Tarno dalam perjalanan pulang.
“Hah? Ngapain, Mas?” Lastri terlihat kaget saat Tarno mengajaknya mampir ke rumah.
“Kita bicara sama emak mengenai rencana pernikahan kita.”
“Tapi Aku nggak bawa apa-apa sekarang.”
“Nggak usah bawa apa-apa. Bawa diri saja sudah cukup buat emak.”
“Ish, tetep saja nggak sopan, Mas. Nanti kalau ada toko buah mampir dulu.”
“Oke.” Tarno memilih mengalah untuk menghentikan perdebatan mereka.
Lastri tersenyum sambil melempar pandangan keluar jendela. Hatinya menghangat karena saat-saat yang dinantikannya akhirnya akan tiba. Sebentar lagi ia akan menjadi seorang istri dan seorang ibu bagi dua putri kecil Tarno.
Saat melihat kios buah, Tarno menghentikan mobilnya sesuai permintaan Lastri. Lastri segera turun dari mobil dan mulai memilih buah yang akan dibelinya sebagai buah tangan u
“Sah!” teriak para saksi dan penghulu setelah mendengar kalimat ijab kabul yang dilafalkan oleh Tarno dengan lancar meskipun hatinya berdebar-debar. Diikuti ucapan hamdalah oleh orang-orang yang ikut menyaksikan prosesi ijab kabul tersebut.Setelah berlatih dan menghafalkan kalimat ijab kabul semalaman kemarin, ia akhirnya bisa mengucapkannya dengan lancar tanpa kesalahan yang fatal. Mendengar teriakan sah, hatinya menjadi lega karena tidak perlu mengulang lagi kalimat ijab kabul untuk kedua kalinya.Dengan mas kawin seperangkat alat salat ditambah sepasang cincin yang dipilih sendiri oleh Lastri, Tarno kini sudah resmi menjadi suami sah Lastri. Baik secara agama maupun negara, karena ia langsung menandatangani buku nikah setelah mengucapkan ijab kabul. Saat ditanya mas kawin apa lagi yang diinginkannya, Lastri hanya menggeleng dan mengatakan bahwa ia sudah puas dengan cincin yang dipilihnya sendiri kemarin.Tarno menceritakan hal tersebut pada emak.
Lastri terbangun beberapa menit sebelum azan subuh berkumandang. Rasa lelah yang mendera tubuhnya membuat tidurnya sangat pulas sehingga ia tidak terbangun sama sekali malam itu. Bahkan saat Tarno mulai merebahkan tubuhnya di sebelahnya, ia tidak merasakannya sama sekali. Padahal biasanya ia sangat sensitif dengan suara-suara atau pun gerakan-gerakan pelan di sekitarnya dan mudah terbangun dari tidurnya saat merasakan hal tersebut. Namun entah kenapa ia benar-benar tidak terbangun sama sekali semalam.Melihat Tarno yang masih tertidur pulas, ia bergerak dengan sangat pelan agar tidak mengganggu tidurnya. Dipandanginya wajah lelaki yang kini sudah menjadi suaminya dengan saksama. Ia tersenyum tipis saat mendengar nafas berat yang keluar dari hidungnya seiring dengan gerakan dadanya yang teratur. Wajahnya terlihat damai dan tenang.Setelah puas memandangi Tarno, Lastri segera beranjak dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi dengan pelan. Kandung kemihnya sudah penu
Setelah acara resepsi pernikahan selesai, Tarno dan Lastri istirahat selama dua hari sebelum memulai aktivitas kembali di toko. Selama itu pula mereka bekerja sama membersihkan rumah dari sisa-sisa acara kemarin.Hampir semua tamu yang diundang Lastri datang ke acara resepsi, kecuali Bambang. Bahkan teman sekolahnya yang rumahnya cukup jauh juga menyempatkan datang untuk mengucapkan selamat padanya. Lastri merasa sangat senang karena bisa bertemu dengan teman-temannya yang sudah cukup lama tidak ditemuinya.Lelaki yang sudah menantang Lastri untuk membuktikan ucapannya itu tidak terlihat batang hidungnya. Lastri sempat menduga kalau Bambang masih marah padanya karena itu ia tidak menghadiri resepsi pernikahannya. Meskipun merasa penasaran, tapi hal itu tidak mengurangi kebahagiaan Lastri karena masih banyak tamu lainnya yang menghargai undangannya dengan menghadirinya.Selama seminggu lebih menjadi suami Lastri, Tarno sudah mulai terbiasa dan bisa beradaptasi de
Lastri mengajari Tarno dengan sabar dan telaten tentang pengoperasian dan manajemen toko hampir setiap hari. Meskipun terkadang Tarno kesulitan memahaminya, tapi ia tidak pernah menyerah dan terus menjelaskannya dengan cara sesederhana mungkin agar mudah dipahami oleh suaminya.Seperti hari ini, Lastri mengajarkan cara untuk menghitung stok barang di gudang. Lalu membandingkannya dengan jumlah yang tertera di laporan komputer. Apakah jumlahnya sama atau ada selisih.Tarno terlihat kesulitan saat diminta Lastri untuk mengerjakannya sendirian setelah Lastri mengajarkan caranya terlebih dulu. Wajahnya terlihat kebingungan dan ia bolak-balik bertanya pada Lastri untuk menanyakan hal yang masih membuatnya bingung.Lastri dengan sabar menjawabnya dan menjelaskannya dengan pelan-pelan agar Tarno paham dan tidak bingung lagi.“Ah ... Aku menyerah, Dek.” Tarno terlihat kesal sambil membanting pelan pulpen yang dibawanya ke atas meja.“Isti
Seperti yang dikatakan Lastri dalam waktu sebulan, Tarno sudah mulai terbiasa membantu istrinya mengerjakan pengoperasian toko. Meskipun belum seandal Lastri, tapi kemampuannya sudah jauh melesat dibanding saat diajari pertama kali.Kini Lastri hanya tinggal mengoreksi semua hasil pekerjaan Tarno. Kadang ada satu dua hal kekeliruan yang masih perlu diperbaiki oleh Lastri karena kurang teliti. Namun bukan kesalahan yang besar dan masih bisa diperbaiki.Hubungan Lastri dengan anak-anak juga semakin akrab. Setiap dua minggu sekali Tarno dan Lastri akan mengajak Dila dan Dinda jalan-jalan. Biasanya mereka akan pergi ke tempat yang diinginkan oleh anak-anak.Pada minggu yang lainnya Tarno akan mengajak Lastri menginap di rumah emak. Atau terkadang emak yang akan diajak untuk menginap di rumah Lastri saat malam minggu. Lalu keesokan harinya mereka akan mengajak emak jalan-jalan ke sebuah tempat dengan mengajak Ratih, Samsul dan Dio.Semenjak menikah dengan Tarn
Dila menyentuh kalung di lehernya sambil mendesah pelan. Wajahnya terlihat cemas dan gusar, tidak seperti biasanya.Tarno yang menyadari kerisauan Dila, langsung bertanya padanya.“Ada apa Dil? Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” tanya Tarno sambil memandang Dila dari kaca depan.“Eh, tidak papa, Yah.” Dila menjawab pelan sambil melempar pandangan keluar jendela.Gadis kecil itu mencoba mengalihkan perhatiannya dengan memandang kesibukan di pinggir jalan. Meskipun pikirannya tetap terfokus pada pesan ibunya tadi sebelum ia berangkat dengan ayahnya.“Ingat Dil, pokoknya Kamu harus tetap bersikap tenang dan jangan pernah menunjukkan rasa gugup sama sekali. Kamu harus yakin dan percaya diri agar mereka tidak bisa membantah perkataanmu nanti,” pesan Susanti pada Dila sebelum berangkat tadi.Dila menarik nafas panjang dan terus meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja jika ia mengikuti dan mel
Lastri dan Tarno berjalan menaiki tangga dalam diam. Suasana tegang menyelimuti sekitar sehingga tidak ada yang berbicara satu pun di antara mereka. Sungguh kontras dengan suasana saat di ruang makan tadi, yang ceria dan penuh kehangatan.Dila berjalan di belakang Tarno dengan perasaan cemas. Ia menunduk sambil meremas ujung kaos untuk menenangkan debaran jantung di dada yang berdetak tidak karuan. Tangannya berkeringat sangat banyak dan terasa dingin saat ini. Ujung-ujung jarinya bahkan sampai memutih karena cengkeraman tangan yang cukup kuat.“Bagaimana ini? Bagaimana kalau ketahuan nanti. Ayah pasti akan sangat marah padaku.” Dila sibuk menenangkan pikirannya yang kacau.“Tidak. Aku tidak boleh gugup. Seperti kata ibu, Aku harus bersikap tenang dan terus mengelak apa yang mereka tuduhkan nanti. Pokoknya Aku harus bisa menyangkalnya,” batin Dila sambil menggigit bibir bawahnya cukup kuat.Dila menarik nafas panjang. Lalu menghemb
Susanti sedang beristirahat di ruang tamu sambil menonton televisi saat mendengar suara mobil dari halaman. Ia langsung mengintip lewat jendela untuk melihat siapa yang datang.Saat melihat mobil sedan hitam yang tampak tidak asing, Susanti tampak kaget dan panik.“Itu kan mobilnya Lastri. Baru jam segini kok sudah datang. Biasanya juga sore. Apakah rencanaku gagal?” batin Lastri dalam hati.Saat melihat Tarno bersama anak-anak bergegas masuk ke rumah, Susanti langsung kembali duduk di ruang tamu. Berpura-pura menonton televisi dengan wajah datar dan menyembunyikan rasa panik dalam hati.“Assalamualaikum,” ucap Dila dan Dinda saat masuk ke dalam rumah.Tidak seperti biasanya yang langsung balik ke rumah setelah mengantar anak-anak, kali ini Tarno mampir terlebih dulu dan masuk ke rumah. Ada hal penting yang ingin dibahasnya dengan Susanti.“Waalaikumsalam,” jawab Susanti dengan memasang wajah berpura
Dokter yang rambutnya sudah memutih sebagian itu tidak langsung menjawab. Ia terdiam cukup lama sambil memandang Lastri dengan tatapan serius. Lalu pandangannya berpindah ke layar monitor, wajahnya tampak mengernyit sesaat lalu tersenyum hangat pada Lastri, “Selamat ya, Bu Lastri, Anda hamil. Saat ini usia janin sudah 10 minggu. Sepertinya bayinya kembar dilihat dari kantung kehamilan yang ada dua ini.”“K-kembar, Dok?” tanya Lastri tidak percaya. Perasaan cemas yang menderanya langsung hilang berubah menjadi rasa senang yang tidak terkira saat mendengar ada dua janin di dalam rahimnya. Ia menatap Tarno yang terlihat kaget juga saat mendengar penjelasan dokter.“Iya, karena masih kecil jadi belum terlihat jelas. Tapi ada dua kantung yang terlihat di sini, jadi kemungkinan besar bayinya kembar. Nah untuk lebih jelasnya nanti USG lagi saat kandungan lebih besar lagi.”Mata Lastri berkaca-kaca mendengar penjelasan Dokter mengenai
“Dek ... Ada apa?” Tarno mengetuk pintu dengan panik setelah mendengar teriakan Lastri dari dalam kamar mandi.Tidak ada jawaban dari Lastri. Merasa panik dan penasaran, Tarno mendekatkan kepala ke pintu. Mencoba mencari tahu apa yang terjadi di dalam kamar mandi. Isak tangis Lastri terdengar lirih dari dalam kamar mandi, membuat Tarno yang berada di luar tambah cemas.“Dek ... Buka pintunya. Kamu kenapa? Apakah ada yang sakit?” Tarno mengetuk pintu semakin keras setelah mendengar tangisan Lastri. Takut terjadi sesuatu pada Lastri di dalam, ia bersiap untuk mendobrak pintu kamar mandi. Saat berancang-ancang untuk mendobrak, daun pintu terbuka perlahan.Lastri keluar dari kamar mandi dengan kepala menunduk. Sementara tangan kirinya sibuk menghapus sisa-sisa air mata di pipi.“Dek, apa yang terjadi? Kamu sakit? Kita ke rumah sakit sekarang ya,” tanya Tarno cemas. Dipandanginya mata Lastri yang sembap sehabis menangis.
Dila menangis sesenggukan di pelukan Susanti. Menenangkan diri setelah keluar dari kantor polisi. Wajahnya tampak ketakutan dan pucat. Dengan tubuh gemetar, gadis kecil itu berjalan perlahan keluar dari kantor polisi. Andaikan Susanti tidak sigap menangkap, Dila pasti sudah ambruk ke lantai karena masih merasa kaget setelah diinterogasi polisi.Sesuai dengan janji sebelumnya, Lastri mencabut laporan segera setelah selesai berbicara dengan Susanti. Lastri menanyakan semua hal yang selalu menjadi pertanyaan di hatinya pada Susanti. Dengan terbata-bata Susanti menjawab semua pertanyaan yang diajukan Lastri secara jujur. Alasan ia menyuruh Dila untuk mencuri dan awal mula tercetusnya hal tersebut serta hal penting lainnya.Sebelum masuk ke kantor polisi untuk mencabut laporan, Lastri membuat kesepakatan dengan Susanti agar tidak mengulangi perbuatan ini lagi. Meminta uang secara tidak jujur, dengan alasan anak-anak. Padahal uang tersebut digunakan untuk kebutuhan yang lain
Setelah memarkirkan mobil, Tarno segera mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Susanti. Telepon tersambung tapi tidak diangkat. Tarno tidak menyerah dan mencoba mengirim pesan.[Aku sudah sampai ke lokasi yang kamu kirimkan, tapi malah tiba di kantor polisi. Benarkah ini? Kamu tidak keliru kan?]Tarno memastikan sekali lagi lokasi yang dikirimkan Susanti sudah benar. Lama menunggu masih belum ada balasan dari Susanti. Karena bosan ia akhirnya memutuskan turun dari mobil dan berjalan sambil melihat sekitar. Pandangannya terhenti pada sesosok yang sangat dikenalinya.Susanti dan Lastri sedang duduk di kursi di depan kantor polisi tampak membicarakan sesuatu yang serius. Dengan langkah cepat hampir berlari, Tarno mendatangi Lastri dan Susanti.“Sayang, kamu ke mana saja selama ini? Kenapa tidak pernah mengabariku? Apakah kamu tidak tahu betapa khawatirnya aku?” berondong Tarno setelah sampai di dekat Lastri dengan nafas menderu. Ia hampir kehab
Kepergian Lastri yang tidak meninggalkan kabar sama sekali membuat Tarno semakin cemas dan khawatir. Ia takut jika terjadi apa-apa dengan wanita yang sangat dicintainya itu. Ia panik dan gelisah, tidak bisa berpikir dengan jernih sehingga bingung harus melakukan apa. Setiap saat ia terus menerus memandang ponsel, berharap ada kabar dari Lastri.Karena takut jika Lastri akan menelepon atau mengabari sewaktu-waktu, Tarno membawa ponsel itu ke mana pun ia pergi. Bahkan saat ke kamar mandi sekalipun. Begitu pula saat tidur, ponsel itu terus digenggam dengan erat di tangan.Sudah dua hari Lastri pergi meninggalkan rumah. Tarno tampak kusut dan awut-awutan. Bahkan ia memakai sandal yang berbeda saat berangkat ke toko hari ini. Puluhan pesan sudah ia kirimkan, tapi tetap tidak ada balasan dari Lastri. Ia juga tidak menyerah dan terus menerus menghubungi nomor Lastri meskipun tetap tidak diangkat sampai sekarang.“Kok kusut banget, Pak? Ada masalah di rumah?&rdquo
Sebenarnya banyak hal yang ingin Tarno tanyakan pada Dila mengenai masalah pencurian uang yang telah dilakukannya tersebut. Namun, melihat putri sulungnya masih menangis terus sepanjang perjalanan pulang, hal itu membuat Tarno terpaksa menahan keinginannya tersebut. Ia hanya sempat menanyakan dua hal yang dijawab dengan jawaban kurang jelas dan tidak bisa dipahami karena dijawab sambil menangis.Akhirnya Tarno memutuskan untuk diam dan menunggu Dila menenangkan diri terlebih dulu. Setelah menangis hampir sejam, Dila terlihat mulai tenang dan berhenti menangis. Dari kaca depan, Tarno bisa melihat Dila sibuk melihat pemandangan di luar sambil menyeka sisa air mata yang mengalir di pipi. Sesekali suara isak tangis masih terdengar lirih di telinga Tarno.“Dil,” panggil Tarno pelan tapi masih cukup terdengar.Dila yang sudah berhenti menangis langsung menangis lagi saat mendengar panggilan Tarno. Membuat Tarno urung bertanya lagi. Sampai mereka tiba di de
Sesuai perkataannya di mobil tadi, Lastri memanggil Dila dan Dinda untuk berkumpul di ruang tamu untuk membicarakan sesuatu yang membuat Tarno sangat penasaran dari tadi.Setelah semua berkumpul, Lastri tidak segera memulai pembicaraan dan malah diam sembari memperhatikan Dila dengan tatapan tajam. Membuat gadis kecil itu jadi salah tingkah dan menunduk, tidak berani membalas tatapan Lastri.Sepertinya Dila sudah bisa menebak apa yang akan dibicarakan Lastri. Ia terus menunduk sambil memainkan kedua tangan yang ditaruh di atas paha. Kakinya digoyang-goyangkan untuk mengurangi rasa gelisah dan rasa cemas yang menyerangnya.“Dek, apa yang ingin kamu bicarakan? Katanya ada hal penting yang mau kau tunjukkan padaku. Kenapa harus mengajak anak-anak juga?” bisik Tarno ke telinga Lastri.Ia pikir Lastri tidak serius saat mengatakan akan mengajak anak-anak untuk berbicara. Ternyata dugaannya keliru, Lastri benar-benar serius dengan perkataannya. Membu
Lastri bertekad untuk mencari bukti dan menyelidiki masalah uang yang selalu berkurang setiap kali Dila dan Dinda menginap di rumahnya. Saat anak-anak berkunjung, ia memindah letak penyimpanan uang di tempat yang lain. Ia juga mengamati pergerakan Dila dan Dinda, ke mana pun mereka berdua pergi tak luput dari perhatiannya.Tidak ada yang aneh yang bisa ditemukan. Dila dan Dinda bersikap seperti biasanya. Malah Lastri yang terlihat aneh karena selalu memperhatikan mereka berdua. Dan anehnya saat setor uang ke bank keesokan harinya, uang tetap berkurang.“Lihat, Mas. Uangnya berkurang lima ratus ribu setelah anak-anak menginap kemarin. Padahal minggu sebelumnya tidak.” Lastri memberitahukan masalah itu pada Tarno sekali lagi untuk membuktikan kecurigaannya.“Masa sih, Dek. Kamu salah ngitung mungkin.” Tarno melihat kertas setruk dari bank dan membandingkan dengan catatan kecil yang ditulis Lastri. Selisih lima ratus ribu, sesuai ucapan Last
“Apakah Kamu butuh sesuatu? Atau sudah lapar?” tanya Lastri sambil berjalan mendekat pada Dila.“Eh ... Aku baru saja dari kamar mandi,” jawab Dila dengan gugup. Ia berbalik untuk melihat Lastri yang tengah tersenyum menatapnya.“Aku mau ke kamar dulu,” imbuh Dila lirih.Tidak ingin berlama-lama berdua saja dengan Lastri, Dila segera berjalan menuju kamar yang ditempatinya karena Lastri tidak mengatakan apa pun setelahnya.Lastri hanya mengangguk sambil tersenyum dan membatin dalam hati, “Apakah Dila masih marah padaku? Kenapa dia tidak mau menatap mataku saat berbicara denganku.”“Sepertinya wanita itu tidak melihatku keluar dari kamarnya. Buktinya dia diam saja, tidak mengatakan apa pun tadi. Atau ada sesuatu yang direncanakannya?” pikir Dila sambil berjalan dengan cepat.Ternyata hal yang ditakutkan Dila tidak terjadi. Lastri tidak membahas atau menanyakan apa pun mengenai ia yan