Lima orang bertampang sangar ini langsung menghadang. Mata mereka tampak jelalatan begitu melihat wanita berkerudung alias Ayu Citra.
"Setiap tamu yang datang wajib bayar upeti!""Tapi untuk kalian, cukup gadis itu saja sebagai upetinya, hahaha!"Gelak tawa menyambut ucapan salah seorang dari mereka.Koswara dan Sena berusaha tetap tenang. Mereka mengukur tingkatan kekuatan lima orang tersebut. Wajah keduanya tampak lega setelah bisa memperhitungkan seandainya terjadi pertarungan.Ayu Citra menatap sejenak kepada suaminya. Lalu si cantik berkerudung ini melangkah mendekati lima orang sangar."Baiklah, aku siap jadi upeti," katanya, membuat lima anak buah juragan Bana ini melongo. Mereka kegirangan bagaikan tertimpa durian runtuh."Kalian duluan saja!" kata Ayu Citra kemudian kepada Kameswara dan dua prajurit.Ketika mereka bertiga hendak melangkah memasuki desa, dua orang langsung menghadang."Enak sajaSi cantik berkerudung bertubuh indah ini maju beberapa langkah mendekati juragan Bana.Juragan Bana terkekeh. "Aku tidak ingin melukai tubuhmu yang molek itu, kau pantasnya menemaniku di atas dipan, hahaha...!""Kau boleh meminta sepuasnya kalau bisa mengalahkanku!" balas Ayu Citra seraya langsung memainkan pedang Bunga Emas yang menebarkan keharuman di udara.Inilah jurus Tarian Pedang Kematian yang didapat dari Nyai Sukarti, gurunya sebelum mondok di pesantren. Kemudian jurus ini diperdalam lagi selama di pesantren.Sesuai namanya, gerakan jurus ini seperti sedang menari. Lembut, tapi kuat dan mematikan.Justru gerakan tarian ini bisa mengecoh lawan apalagi dilakukan wanita dengan segala keindahan tubuhnya.Juragan Bana melangkah mundur sambil memainkan parangnya menghalau serangan pedang Bunga Emas.Selain tak bisa konsentrasi karena gerakan Ayu Citra, aroma harum yang pekat terasa menusuk hidung dan membuat kepala pu
Kereta kuda mewah yang membawa Kameswara dan Ayu Citra sudah jauh meninggalkan desa terpencil itu. Warga desa disuruh mengangkat Ki Kuwu baru beserta perangkatnya.Ketika melewati hutan kecil mereka melihat ada sebuah kereta kuda yang sama besar dan mewahnya tengah berhenti di pinggir jalan.Dari belakang kelihatannya memang seperti sedang berhenti atau beristirahat, tapi begitu setelah berada di sebelahnya, Kameswara dan yang lainnya terkejut melihat pemandangan mengerikan.Di tempat kusir terkulai dua orang berseragam prajurit yang sama dengan Sena dan Koswara. Tubuh mereka bersimbah darah. Ada beberapa anak panah menancap di badannya."Kau kenal mereka?" tanya Koswara.Sena hanya menggeleng sebelum meloncat turun memeriksa keadaan kedua prajurit yang merupakan rekannya walau tidak kenal namanya.Koswara juga turun langsung memeriksa ke bagian dalam saung."Biadab!" maki Koswara setelah melihat ke dalam. Sena langsung
Setelan berhasil berdiri, Sena melihat ke arah datangnya serangan. Rupanya senapati sendiri yang turun tangan. Rupanya keramahan beberapa saat lalu hanya pura-pura saja.Sementara di atas kereta, Koswara juga sudah berjibaku melawan prajurit berkuda.Tidak mau tinggal diam, Kameswara dan Ayu Citra juga sudah terlibat. Karena penyerangnya menggunakan kuda, maka mereka juga tidak turun dari keretanya.Di tempat kusir, Koswara menggunakan dua senjata sekaligus. Selain pedang di tangan kiri, juga tombak di tangan kanan.Tombak ini sudah tersedia di tempat khusus yang bisa langsung ditarik apabila diperlukan.Koswara menghadapi lawan di kanan dan kiri. Karena prajurit berkuda ini memiliki kepandaian lebih. Mereka kadang bisa sambil berdiri di atas punggung kuda.Bukan hanya dua orang yang dia lawan, tapi lebih. Seperti Sena, dia juga bukan prajurit sembarangan sehingga mampu meladeni lawan yang banyak.Sementara Kameswara dan
Kereta kuda terus berjalan sedang. Hari sebentar lagi senja, artinya mereka harus mencari tempat istirahat malam ini. Sena dan Koswara tidak ingin lagi 'ngendong' di rumah pejabat.Mereka berjaga-jaga khawatir seperti seorang wado kemarin. Siapa tahu berencana ingin melenyapkan Kameswara juga.Akhirnya mereka mencari sebuah penginapan saja. Kebetulan sudah memasuki kota raja bawahan lagi."Paman, aku baru ingat sekarang," kata Kameswara. "Bisakah Paman menggambarkan keadaan istana Pakuan?""Baik, Tuan!"Sambil mengendalikan kuda, dua prajurit tangguh ini menerangkan tentang istana Pakuan yang sekarang menjadi pusat pemerintahan kerajaan Sunda-Galuh setelah Raden Pamanah Rasa dinobatkan jadi maharaja."Ada lima keraton yang berjajar dari utara ke selatan, menghadap ke alun-alun yang berada di sebelah utara. Namanya Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati," Koswara memulai cerita."Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipa
Kameswara lupa kalau dirinya belum mengusap bahu kanan, tapi kakek gemuk ini bisa melihatnya. Seketika langsung sadar ada pepatah di atas langit masih ada langit."Kau heran, kan, aku bisa melihat dirimu padahal orang lain tidak!" ejek si kakek."Tidak juga!""Bagaimana, kau sudah melihat kemampuanku, apa masih bersikeras?""Kenapa memaksa, apa kau tidak memikirkan Maharaja akan curiga kalau aku tidak datang. Karena beliau tahu aku tidak akan mangkir. Maka beliau akan mengusut semuanya!"Si kakek tertawa lantang. "Huh, anak ingusan rencana kami sangat rapi. Anak bau kencur sepertimu tidak akan mampu memikirkannya!""Kalau begitu aku juga memaksa maju terus pantang mundur!""Maju berarti mati!"Si kakek hanya menggerakkan bahu sedikit. Tahu-tahu udara yang semakin gelap dipenuhi energi sangat besar bagaikan gunung yang menindih Kameswara.Kameswara yang sudah mengerahkan kekuatannya ternyata masih kurang
Si kakek gemuk jatuh berlutut, tapi wajahnya masih menengadah memandang Kameswara."Sejak menyanggupi membunuhmu dan menerima bayaran harga diriku sudah hilang, tapi sejak melihat kau bangkit dan membalikkan keadaan, jiwa kependekaranku kembali lagi,"Si kakek menarik napas agak kesulitan layaknya seorang lanjut usia biasa yang sudah kehilangan tenaga."Jiwa pendekar akan bahagia jika mendapatkan kekalahan dari suatu pertarungan. Mati dengan terhormat karena mendapatkan lawan yang tangguh,"Si kakek kini duduk melipat lutut karena sudah tak kuat lagi menopang tubuhnya.Sementara Kameswara melihat si kakek ini berubah menjadi bijak. Sepertinya kakek gemuk ini ingin mengatakan kata-kata terakhirnya."Terkadang pendekar yang sesungguhnya tidak mencari kemenangan dalam setiap pertarungan, tapi kekalahan,""Aku tidak mengerti apa itu jiwa pendekar, mati terhormat atau mencari kekalahan," ujar Kameswara. "Sebab aku jadi pendek
"Sepertinya begitu!" jawab Sena.Memang aneh, ketika melihat ke belakang yang terlihat adalah hutan belantara sementara di depan laut luas bagai samudera."Coba putar balik!" ujar Koswara sambil menarik tali kekang.Ketika kereta sudah berbalik mereka dikejutkan lagi dengan perubahan yang terjadi. Hutan belantara berubah jadi lautan api."Aku yakin ini tidak nyata, tapi tetap saja mengganggu, terutama pikiran," kata Sena.Beberapa saat mereka terdiam seolah menunggu sihir itu hilang dengan sendirinya, tapi sampai kapan? Sampai dunia berakhir?Ini sama saja upaya menghalangi Kameswara agar tidak sampai ke istana jadi berhasil. Menunggu pertolongan, siapa yang akan menolong?Jalan keluar satu-satunya harus dipecahkan mereka sendiri."Tuan punya cara?" tanya Koswara."Aku tidak mengerti dan menguasai hal semacam ini," jawab Kameswara.Sena tampak menghela napas panjang. Tidak ada manusia yang meng
Tujuh hari kemudian kereta kuda yang membawa Kameswara beserta istri sampai juga di kota Pakuan.Selama perjalanan memang tidak ada lagi gangguan yang merintangi, tapi kalau sekedar mengikuti secara diam-diam masih ada.Mereka tidak berani lagi menghalangi Kameswara. Karena berbagai cara sudah digunakan, tapi tidak membawa hasil sama sekali.Kameswara memasuki gerbang kota sebelum tengah hari. Cuaca tampak cerah. Meski hampir tengah hari, udara tetap sejuk karena sebagian tempat berada di kaki gunung.Di sebelah selatan tampak menjulang gunung Salak. Gunung ini terlihat bagaikan tepat berada di belakang lingkungan istana Pakuan."Tuan Sena dan Tuan Koswara sudah pulang?" tanya salah satu penjaga gerbang kota."Ya, akhirnya aku bisa kembali ke Pajajaran," jawab Sena dengan napas lega. Lega karena tidak ada lagi rintangan begitu sampai di kota."Pajajaran?" penjaga gerbang heran mendengarnya."Benar, kota raja di
Kameswara melangkah mendekat ke gubuk. Ayu Citra mengikuti sambil menggandeng tangan sang suami. Sampai setengah tombak di depan gubuk Kameswara berhenti.Dari balik bajunya Kameswara mengambil sesuatu lalu diulurkan ke pintu gubuk yang tidak memiliki daun. Sebuah batang bambu kecil yang dibuat sedemikian rupa.Benda yang mengingatkan Eyang Gading Wulung kepada Raden Pamanah Rasa waktu kecil. Rupanya benda ini masih disimpan. Sekarang dibawa Kameswara sebagai bukti.Satu tangan terjulur dari dalam mengambil benda tersebut."Kau mau apa?" tanya si kakek suaranya lebih pelan sekarang.Namun, Ayu Citra masih berjaga-jaga takutnya tiba-tiba menyentak lagi.Kemudian Kameswara mengeluarkan Labu Penyedot Sukma. Memperlihatkan kepada orang yang belum juga memunculkan dirinya."Saya harus menanam ini ke dasar gunung," jawab Kameswara.Agak lama tidak ada jawaban. Lalu dari dalam gubuk kecil ini keluar satu sosok sang pem
Kemegahan istana Pakuan yang kini banyak orang menyebutnya Pajajaran masih terbayang di pelupuk mata. Siapapun ingin tinggal dan hidup di sana.Namun, ada takdir yang menuntun apakah seseorang bisa menjadi bagian istana tersebut atau tidak?Termasuk sepasang suami istri pendekar muda Kameswara dan Ayu Citra, mereka tidak ditakdirkan hidup di sana. Bukan karena tidak mau atau tidak ada kesempatan.Prabu Siliwangi menawarkan sebuah jabatan untuk Kameswara, tapi pemuda ini menolak dengan halus. Sewaktu di istana Kawali juga sudah pernah ditawari, jawabannya sama.Kameswara mendengarkan nasihat istrinya, makanya dia menolak jabatan tersebut."Aku tidak ingin menjadi gelap mata, Kang. Mungkin sekarang masih bisa tahan godaan, tapi entah nanti. Lihatlah para menteri yang mendapatkan hukuman kemarin,""Kenapa dengan mereka, Nyai?""Setelah diselidiki, ternyata sebagian dari mereka hanya ingin memenuhi tuntutan istrinya yang sem
Belum juga perintah memanah turun, tiba-tiba alun-alun sudah dikepung prajurit khusus. Senapati Raga Kusuma terkejut bukan main. Bagaimana pasukan khusus ini tiba-tiba saja mengepung, apa maksud mereka?Semua yang hadir di sana pun heran kecuali Kameswara dan dua prajurit yang berlutut di sampingnya.Satu sosok gagah tinggi besar dengan pakaian kebesarannya melangkah lebar ke tengah alun-alun menghampiri senapati Raga Kusuma."Senapati utama Yudha Manggala," sebut sang senapati sambil menjura. "Ada apa ini?"Senapati utama Yudha Manggala mendongak dengan wajah angkuh, tapi mengandung wibawa yang begitu tinggi. Semua tahu kedudukan dan kewibawaan sang senapati utama ini."Senapati Raga Kusuma, Menteri Surabraja, Menteri Waragati, Menteri Gunayasa, Menteri Yamaseta dan semua yang terlibat kalian ditangkap!"Suara senapati utama Yudha Manggala menggelegar lalu dituruti belasan prajurit khusus yang langsung meringkus orang-orang yang
Jaya Permana masih penasaran, dia belum juga menemukan Ayu Citra. Kemana wanita berkerudung itu pergi? Dia sudah menyusuri setiap tempat.Yang belum di periksa adalah istana Suradipati, tempat kediaman keluarga raja.Melalui jalan samping yang agak jauh, dia berniat menuju belakang bangunan megah paling belakang ini.Semenjak beristrikan Nyai Subang Larang, di belakang istana ini didirikan bangunan kecil yang disebut surau. Digunakan untuk melakukan ibadah dan belajar mengaji putra-putri Nyai Subang Larang.Saat itu hari baru carangcang tihang, jadi masih agak gelap. Dari surau itu terlihat seseorang keluar. Jaya Permana langsung membelalakkan mata."Sudah kuduga, dia pasti ada di sini!"Sang menteri muda langsung bergerak cepat menghampiri, tidak peduli melanggar aturan. Justru dalam hati dia bertanya-tanya kenapa Ayu Citra bisa masuk ke istana Suradipati?"Ayu Citra, akhirnya kutemukan juga!""Mau apa kau?" Ay
Kameswara memutuskan kembali lagi ke kamarnya dengan maksud menunggu apa yang akan dilakukan orang-orang ini.Kalau dilihat dari segi kependekaran, mereka bukan apa-apa, tapi setiap orang memiliki keahlian masing-masing. Mungkin saja Kameswara unggul dalam ilmu kanuragan, tapi belum tentu dalam hal politik.Namun, keduanya dimiliki maharaja saat ini. Mungkin bagi maharaja ini suatu kewajiban agar mudah dalam menjalankan roda pemerintahan.Setelah dekat ke kamarnya Kameswara usap bahu kanan. Begitu masuk ke dalam dia dikejutkan oleh sesuatu.Apa itu?***Pagi-pagi buta sekitar waktu 'balebat' (subuh), ketika Kameswara sedang khusyuk wiridan mumpung ada kesempatan karena sangat jarang dia melakukannya. Terdengar suara banyak kaki melangkah mendekati kamarnya.Brak!Pintu kamar dibuka secara kasar. Jaya Permana masuk dengan angkuh. Sementara Kameswara tetap acuh sambil menuntaskan bacaannya."Aku kemari he
Kameswara memutar badan lalu bangun. Tatapan Ayu Citra begitu memburu ingin lekas tahu jawaban dari sang suami. Dia menduga ada satu hal yang menyakiti Kameswara.Nyatanya Kameswara tidak segera menjawab, dia tidak melihat ke arah istrinya melainkan ke kotak kecil berisi perhiasan yang masih tergeletak di lantai."Kang..." Ayu Citra pegang tangan Kameswara. Hatinya tegang. Dia berharap sentuhan tangannya bisa melunakkan hati sang suami.Wajah Kameswara tidak seceria sebelumnya. Ayu Citra semakin menduga-duga. Kedua matanya pun berkaca-kaca. Dia ingin bertanya apa kesalahannya, tapi takut salah bicara.Bahkan suara helaan napas Kameswara terdengar begitu keras saking karena suasana yang begitu sunyi. Kamar mewah ini jadi terasa hambar."Nyai, apa kau ingin aku jadi pejabat?" tanya Kameswara tanpa melihat ke istrinya. Ini cukup mengejutkan Ayu Citra. Apa yang ada di benak Kameswara sehingga bertanya demikian?"Maksud Akang?" Dugaan
Tujuh hari kemudian kereta kuda yang membawa Kameswara beserta istri sampai juga di kota Pakuan.Selama perjalanan memang tidak ada lagi gangguan yang merintangi, tapi kalau sekedar mengikuti secara diam-diam masih ada.Mereka tidak berani lagi menghalangi Kameswara. Karena berbagai cara sudah digunakan, tapi tidak membawa hasil sama sekali.Kameswara memasuki gerbang kota sebelum tengah hari. Cuaca tampak cerah. Meski hampir tengah hari, udara tetap sejuk karena sebagian tempat berada di kaki gunung.Di sebelah selatan tampak menjulang gunung Salak. Gunung ini terlihat bagaikan tepat berada di belakang lingkungan istana Pakuan."Tuan Sena dan Tuan Koswara sudah pulang?" tanya salah satu penjaga gerbang kota."Ya, akhirnya aku bisa kembali ke Pajajaran," jawab Sena dengan napas lega. Lega karena tidak ada lagi rintangan begitu sampai di kota."Pajajaran?" penjaga gerbang heran mendengarnya."Benar, kota raja di
"Sepertinya begitu!" jawab Sena.Memang aneh, ketika melihat ke belakang yang terlihat adalah hutan belantara sementara di depan laut luas bagai samudera."Coba putar balik!" ujar Koswara sambil menarik tali kekang.Ketika kereta sudah berbalik mereka dikejutkan lagi dengan perubahan yang terjadi. Hutan belantara berubah jadi lautan api."Aku yakin ini tidak nyata, tapi tetap saja mengganggu, terutama pikiran," kata Sena.Beberapa saat mereka terdiam seolah menunggu sihir itu hilang dengan sendirinya, tapi sampai kapan? Sampai dunia berakhir?Ini sama saja upaya menghalangi Kameswara agar tidak sampai ke istana jadi berhasil. Menunggu pertolongan, siapa yang akan menolong?Jalan keluar satu-satunya harus dipecahkan mereka sendiri."Tuan punya cara?" tanya Koswara."Aku tidak mengerti dan menguasai hal semacam ini," jawab Kameswara.Sena tampak menghela napas panjang. Tidak ada manusia yang meng
Si kakek gemuk jatuh berlutut, tapi wajahnya masih menengadah memandang Kameswara."Sejak menyanggupi membunuhmu dan menerima bayaran harga diriku sudah hilang, tapi sejak melihat kau bangkit dan membalikkan keadaan, jiwa kependekaranku kembali lagi,"Si kakek menarik napas agak kesulitan layaknya seorang lanjut usia biasa yang sudah kehilangan tenaga."Jiwa pendekar akan bahagia jika mendapatkan kekalahan dari suatu pertarungan. Mati dengan terhormat karena mendapatkan lawan yang tangguh,"Si kakek kini duduk melipat lutut karena sudah tak kuat lagi menopang tubuhnya.Sementara Kameswara melihat si kakek ini berubah menjadi bijak. Sepertinya kakek gemuk ini ingin mengatakan kata-kata terakhirnya."Terkadang pendekar yang sesungguhnya tidak mencari kemenangan dalam setiap pertarungan, tapi kekalahan,""Aku tidak mengerti apa itu jiwa pendekar, mati terhormat atau mencari kekalahan," ujar Kameswara. "Sebab aku jadi pendek