Kita tinggalkan dulu peristiwa di dalam kamar yang menimpa Wandansari.
Matahari baru saja tenggelam di langit barat. Suasana perlahan tertutup gelap. Sesuai rencana yang disepakati. Setelah hari gelap pasukan golongan putih mulai menyerang.Secara bersamaan dari empat arah mulai keluar dari persembunyian, tapi tetap tidak mengeluarkan suara. Mereka hanya bergerombol biasa memasuki desa.Pasukan Kala Geni yang masih menyebar di setiap pelosok desa langsung terkejut melihat pemandangan yang tidak disangka-sangka."Gawat, ada musuh menyerang!"Pasukan Kala Geni yang baru saja masuk ke rumah penduduk hendak istirahat karena besok mau berangkat menyerang, harus bergegas keluar lagi."Sialan, dari mana mereka datang?""Benar, kenapa mereka tiba-tiba saja menyerang!""Pasti mata-mata mereka sudah menyusup ke sini sebelumnya!""Kurang ajar, kita harus berperang sebelum menyerang besok!"Para pendekar yPasukan Kala Geni mulai ketar ketir. Meski cuma dua orang yang terlihat menonjol dari golongan putih, mereka tetap merasa terancam.Belum lagi gempuran prajurit Sumedang Larang, di tempat ini jumlah mereka kalah banyak. Beruntung datang bantuan walau sedikit-sedikit.Di tempat Citrawati, dia juga menghadapi lawan yang tangguh. Sudah pasti yang lebih tangguh dari yang lainnya merupakan pemimpin kelompok.Murid Nyai Padmasari ini sudah mengeluarkan senjata sepasang Pedang Bayangan yang tergenggam di kedua tangannya.Senjata yang proses keluarnya mirip dengan Kujang Bayangan. Sama-sama bayangan, bentuknya juga bayangan, tapi nyata.Nyata dalam hal menyentuh dan melukai lawan. Senjata yang praktis karena tidak membutuhkan tempat seperti warangka yang harus dilintangkan di punggung atau menggantung di pinggang.Lawan Citrawati juga menggunakan pedang senjata khas pasukan Kala Geni, tapi pedang yang digunakan lelaki yang dua kali lebih
Akan tetapi Wirasoma juga yang pertama membuat hatinya terbuka tentang perasaan cinta.Pemuda itu cinta pertamanya. Orang bilang, perempuan akan bahagia apabila bisa hidup bersama dengan lelaki cinta pertamanya.Maka seharusnya dia juga bahagia. Setelah membuka hati kembali untuk Wirasoma, akhirnya dia merasakan kasih sayang suaminya itu sungguh tulus.Wush! Wutt! Srett!Sosok Citrawati melesat berputar sambil memainkan sepasang pedang, mendesak tiga orang di depannya. Tidak peduli lima lawan lainnya yang mengejar dari belakang.Tiga orang di depan kerepotan. Citrawati bagai burung rajawali yang menukik cepat hendak mencengkeram mangsanya.Sring! Crass! Crass! Crass!Tiga pedang yang digenggam lawannya terbabat putus setengah oleh sabetan salah satu pedang Citrawati.Parahnya lagi, ujung pedang si gadis tembus menggores luka di kulit ketiga orang tersebut.Tiga lawan di depan segera mengambil jarak untu
Sutajaya saling dorong dengan sepasang cakra lawan. Dengan posisi jungkir balik dan mengerahkan tenaga dalam Harimau Dewa ke sepasang cakarnya.Dua energi saling dorong. Sutajaya yang mendorong ke bawah agak kesulitan karena posisinya sedang melayang. Tidak ada sesuatu untuk jejakkan kedua kakinya.Sementara si pemilik cakra sudah berada di bawah senjata tersebut, mendorongkan tangannya ke atas agar sepasang cakranya menembus ke atas."Celaka, kalau begini terus tenagaku semakin berkurang!" batin Sutajaya sambil memikirkan cara mengatasi serangan ini.Energi yang keluar dari cakra mendorong kuat. Selain itu hawanya yang panas seakan menyayat kulit. Untungnya hawa sakti pelindung Sutajaya cukup kuat.Hanya saja Pendekar Cakar Sakti kekurangan daya dorong karena keadaannya.Di bawah si pemilik cakra tambahkan kekuatan. Lewat udara dia alirkan tenaga dalam dan kendalikan sepasang cakra. Senjata itu semakin cepat putarannya.
"Mau cara bagaimana kita gelut?" tanya Ranu Baya sambil mendelik.Kakek ini tersenyum geli, sebabnya Gentasora kesulitan membaca kekuatannya. Sudah sampai tahapan mana si kakek ini dalam kependekaran?"Jangan menyesal nantinya, Ranu Baya!" seru Gentasora."Aku ikut caramu saja, Sora!" Ranu Baya terkekeh lagi.Wajah Gentasora mengkelam menahan amarah. Ranu Baya begitu menganggapnya enteng. Bekas wakil ketua Laskar Siluman Merah ini duduk bersila.Ranu Baya melakukan hal sama. Dia melihat musuhnya sudah mencapai tingkat Batara awal. Rupanya Gentasora akan melakukan pertarungan di alam lain.Keduanya pejamkan mata, mulutnya sama-sama merapalkan mantra. Beberapa saat kemudian tubuh keduanya memancarkan cahaya tipis.Kemudian tubuh mereka bergetar halus. Sesosok bayangan mirip wujud mereka tampak keluar dari dalam tubuh. Inilah ajian 'Ngaraga Sukma'.Ajian tingkat tinggi apabila diterapkan maka sukmanya akan keluar d
Kesempatan ini digunakan Ki Maung Hideung untuk menyerang dadakan pada Grendaseba. Ketua perguruan Jurang Mangu ini terkejut bukan main.Dess! Dess! Dess!Beberapa bagian tubuh dan urat-urat penting Grendaseba terkena cakaran maut Ki Maung Hideung."Kau!"Grendaseba menunjuk, tapi sesaat kemudian badannya bagai bunga yang lalu. Bagai kertas tersiram air. Roboh jatuh terduduk."Kau...curang!" umpat Grendaseba.Ki Maung Hideung tidak menunjukkan ekspresi apapun. Dia melihat tubuh lawannya bergetar keras sejenak lalu ambruk lagi tetap pada posisi duduk.Yang dilakukan Ki Maung Hideung adalah melenyapkan segala ilmu kanuragan sampai pada ilmu dasar silat yang dimiliki Grendaseba.Sekarang ayahnya si gadis jangkung bernama Wandansari itu telah kehilangan semua kekuatannya. Telah kembali menjadi orang biasa yang tak bisa apa-apa.Persis seperti yang dialami Ki Rembong, hanya saja ketua Laskar Siluman Merah il
Amarah Kala Cengkar mulai memuncak. Tubuhnya memancarkan energi buruk sangat pekat memenuhi ruangan.Ki Astagina hanya melapisi diri dengan hawa sakti pelindung, sedangkan Wandansari susah payah mengerahkan hawa sakti agar tidak tertekan energi buruk tersebut.Wandansari mundur sampai ke sudut kamar. Sementara Ki Astagina tetap di tempat demi menyaksikan pertarungan dahsyat.Wakil ketua perguruan Sangga Buana ini tahu, sangat susah mengalahkan Kala Cengkar yang merupakan mahluk siluman. Mahluk yang hidup abadi sampai dunia hancur.Seandainya seluruh tokoh paling sakti di tanah Sunda ini bersatu, belum tentu bisa menundukkan mahluk ini, tapi melihat Kameswara begitu yakin mampu mengatasi Kala Cengkar."Labu itu, pasti dia sudah tahu cara menggunakannya!" gumam Ki Astagina ketika memandang pada benda yang dipegang Kameswara.Kala Cengkar tahu sedang berhadapan dengan siapa. Sosok pemuda yang kata pengikutnya merupakan pendekar muda
"Tapi ijin dulu kepada istriku!" sahut Sutajaya.Kecuali tiga orang, yang lainnya terkejut. Tidak menyangka kalau Sutajaya sudah beristri."Apa, kau mau menjadikan putriku istri kedua!" hardik Grendaseba. Dari sikapnya seperti sudah menerima keadaan dirinya."Aku mau!"Pernyataan Wandansari juga mengejutkan semua orang kecuali Kameswara.Mendengar hal ini, diam-diam Wirasoma seperti menyesali sesuatu. Ya, kenapa dulu dia tidak mengambil Sriwuni jadi istri keduanya?Namun, sudah terlambat. Nyai Pancaksuji bilang Sriwuni sudah dinikahi seorang pejabat."Kameswara, bagaimana caranya aku mengatur dua istri?" tanya Sutajaya sambil berbisik.Kameswara tertawa membuat semua orang memandangnya. "Aku tidak tahu, karena aku belum pernah!" jawab Kameswara."Siapa istri pertamamu dan di mana kalian tinggal?" tanya Grendaseba."Namanya Sariti, dia santri di pesantren Quro. Aku dan dia tinggal di sana, karen
"Duduklah di sini, Nyai!" Suara lembut Kameswara memanggil istri barunya. Tatapannya juga lembut memancarkan rasa kasih sayang yang dalam.Ayu Citra tampak malu-malu, padahal cara berpakaiannya saja sudah berani memperlihatkan bagian indahnya. Meski temaram, tapi rona pipi si gadis masih tampak jelas."Aku... gugup, Akang!""Kemarilah mendekat agar Nyai bisa merasakan degupan jantungku yang cepat. Aku juga gugup!""Bukankah Akang sudah pernah--""Aku seperti baru pertama kali lagi. Sepertinya aku lupa lagi!" Kameswara memotong lalu terkekeh."Ah, Akang, tidak mungkin lupa begitu saja!" kilah Ayu Citra."Nyai seperti yang pertama lagi!""Tentu saja buat aku mah, Akang yang pertama!"Kameswara menggenggam tangan Ayu Citra. Lembut bukan main. Rasanya paling lembut di antara wanita yang sudah disentuhnya.Tubuh Ayu Citra tertarik pelan, lalu tenggelam dalam pelukan sang suami. Dadanya semakin berge
Akan tetapi Puspa Arum terus berlari mendekati. Setelah dekat gadis bertubuh mungil ini terpekik."Raka Arya!"Kameswara segera menghambur. Kondisi Arya Soka cukup mengenaskan. Bagian wajah sampai dadanya tampak hangus. Yang paling parah pada bagian dada. Ada bekas telapak tangan di sana."Ajian Tapak Memedi!" seru Nyai Mintarsih mengenali pukulan yang bersarang di tubuh anak laki-lakinya.Segera saja Kameswara membawa tubuh Arya Soka ke tempat yang aman. Kemudian disalurkan hawa saktinya melalui telapak tangan yang ditempelkan di dada.Kameswara terkejut. "Pukulan ini mengandung racun!" serunya."Ajian Tapak Memedi memang mengandung racun ganas!" sahut Nyai Mintarsih.Beberapa jalan darah segera ditotok guna menghentikan penyebaran racun. Racunnya sudah agak menyebar, tapi belum sampai mendekati jantung.Dengan hawa sakti Kameswara mengendalikan racun. Mengumpulkannya di satu tempat yang tidak membahayakan, kar
Karena bujukan Nyai Basingah yang masih rindu kepada Nyai Mintarsih akhirnya rombongan Kameswara menginap di rumah ini.Ada dua kamar di rumah itu. Nyai Basingah mengajak sahabatnya untuk satu kamar bersamanya. Puspa Arum dan dua gadis lain di kamar satunya.Sedangkan Kameswara di ruang depan.Malam begitu cepat datang dan tamu Nyai Basingah juga begitu cepat mengantuk. Entah karena perjalanan yang lelah atau hal lainnya.Kecuali Kameswara.Di saat yang lain sudah berbaring di tempatnya masing-masing, Kameswara diam-diam naik ke atas atap. Dia berdiri di sana sambil memperhatikan ke sekeliling rumah.Bukan apa-apa. Sejak kesaktiannya pulih, kepekaannya juga tajam. Dia merasakan ada beberapa orang yang mengikutinya secara sembunyi-sembunyi.Kalau para penguntit itu tahu identitas mereka yang sebenarnya, berarti ada yang orang membocorkannya. Juga berarti ada orang padepokan yang telah berkhianat.Sementara para p
Sebelum Kalong Merah melancarkan serangan kedua, Kameswara sudah mengeluarkan satu Kujang Bayangan di tangan kanan saja.Wutt! Srang!Begitu cahaya melesat dari tangan Kalong Merah, kujang dikibaskan menangkis cahaya tersebut. Tentu saja kujang itu sudah dilapisi ajian Bantai Jagat.Kilatan cahaya terpental balik menuju si pemiliknya sendiri. Kalong Merah terkesiap, dia tidak siap untuk menghindar.Ajian Dewa Kalong Mengamuk mengenai diri sendiri. Si jubah merah ini seperti tersedak makanan. Mulut terbuka bagaikan hendak menelan sesuatu, tapi susah.Sementara di bagian dalam tubuhnya bergejolak terasa terbakar dari mulai kepala sampai kedua kaki. Panas dan sakitnya tak tergambarkan, bahkan untuk sekadar berteriak pun tidak bisa.Bratt!Tubuh Kalong Merah meledak langsung jadi debu. Semua yang melihat tampak bergidik ngeri. Apalagi suami istri pemilik kedai sampai gemetar.Semuanya termasuk Kameswara juga baru me
Si suami segera masuk ke kedai dia langsung ke halaman depan menyambut tiga orang lelaki bertampang sangar. Salah satunya mengenakan jubah merah yang memiliki kerah tinggi.Wajahnya lonjong, dagu lancip, bibir tebal. Di atasnya ada kumis tipis yang tidak kentara kalau dari jauh. Bentuk alisnya mencuat seperti sepasang tanduk dan kedua matanya sipit.Mungkin ini yang disebut Kalong Merah tadi. Senyum angkuh mengandung kekejian di bibirnya tampak sedikit miring.Dua orang di belakangnya adalah pembantunya. Mereka sama-sama berpakaian serba hitam. Senjata golok tergantung di pinggang masing-masing."Maaf, Tuan. Hari ini baru ada pengunjung mereka saja. Jadi saya belum mempunyai setoran, tapi kalau mau makan saya beri cuma-cuma,""Omong kosong apa ini, hah. Sudah tengah hari masa tidak ada pengunjung dari pagi. Jangan coba macam-macam kau!"Si Kalong Merah mendorong pemilik kedai ke samping hingga hampir terjatuh. Lalu dia melangkah
"Kita lihat saja perkembangannya ke depan," ujar Darpa.Terlihat Singgih ingin mengatakan sesuatu. Tapi tertahan oleh suara angin berkelebat di atas wuwungan.Dua prajurit ini saling pandang seraya sigap segera mengambil senjata masing-masing. Sebilah pedang dan perisai. Lalu segera berlari keluar."Sebelah sana!" seru Darpa berlari di depan menuju tanah yang sedikit lapang di belakang Barak.Singgih menyusul di belakang. Dari gerakannya tampak Darpa lebih cekatan dari temannya. Sampai di suatu tempat, Darpa menghentikan pengejaran lalu mengajak Singgih sembunyi di balik pohon yang batangnya besar."Kenapa?" bisik SinggihDarpa menggerakan kepalanya sebagai isyarat menunjukkan sesuatu ke arah depan.Kira-kira sepuluh tombak ke depan, dalam gelapnya suasana tampak dua sosok yang tengah bertarung adu jurus. Kedua sosok itu kurang jelas karena tersamarkan oleh gelapnya malam."Kau tahu siapa mereka?" tanya Singgih
"Arum, apakah Rahyang Sora dengan Purbasora itu sama?" tanya Kameswara setelah mereka berjalan jauh.Puspa Arum tampak melirik sejenak dengan kening mengkerut."Benar, kenapa dia sepertinya mengumpulkan orang-orang persilatan?" jawab Puspa Arum dengan pertanyaan balik."Entahlah!" Padahal Kameswara sudah menduga-duga apa yang menjadi tujuan sang menantu raja itu.Kemudian Puspa Arum mengaitkan dengan kabar yang selama ini beredar tentang persaingan antara Purbasora yang menantu raja dengan Wiratara yang merupakan putra raja."Apakah sampai sekotor itu?" batin si gadis mungil. Memikirkan intrik dalam kerajaan terlihat begitu rumit. Selalu ada perebutan tahta. Satu sama lainnya merasa paling berhak.Tak lama kemudian mereka sampai di tempat peristirahatan Nyai Mintarsih bersama dua murid wanita lainnya.Akan tetapi baru saja sampai, mereka mendengar suara kehadiran orang lain. Orang banyak."Kalian semua pegang ta
"Mohon ampun, Tuan. Ternyata padepokan itu menyimpan pendekar maha sakti," lapor salah satu dari tiga jubah hitam yang berhasil kabur dari Kameswara."Omong kosong!"Yang lain ikut menjelaskan bahwa Kameswara yang disebut pendekar maha sakti tiba-tiba muncul di udara dan melepaskan angin badai yang menghempas semua anggota laskar.Diceritakan juga pertarungan melawan Kameswara yang menggunakan senjata aneh yang sangat mematikan hingga tersisa tiga orang saja.Itu juga kalau tidak segera kabur mungkin mereka sudah menjadi mayat bersama yang lainnya."Bagaimana bentuk senjata itu?"Salah seorang menjelaskan bentuk senjata yang digunakan Kameswara."Kujang!" desis sang pemimpin.Di masa ini kujang hanya di miliki orang-orang tertentu saja. Masyarakat biasa belum banyak yang tahu. Hanya kalangan bangsawan saja yang memiliki sebagai simbol seorang bangsawan.Akan tetapi yang dijelaskan anak buahnya, kujang i
Semua penghuni padepokan Mega Sutra merasakan hawa sakti yang kuat ini. Begitu juga Laskar Dewawarman, tapi pasukan jubah hitam ini tidak mengendurkan serangan.Crash! Srass!Korban berjatuhan lagi. Yang masih bertahan berlumuran darah menahan panas dan perih yang diderita. Termasuk Ki Jagatapa dan sang istri juga sudah banyak terluka.Brukk! Brugh!Wajah sepasang guru tampak memucat ketika melihat jumlah muridnya semakin berkurang.Apakah ini akhir riwayat padepokan Mega Sutra yang sudah berdiri puluhan tahun? Apakah akan mengalami nasib yang sama dengan dua padepokan besar sebelumnya?Hilang dari dunia persilatan tinggal nama. Dua padepokan besar saja bisa musnah, apalagi ini cuma padepokan kecil yang tidak terkenal.Pada saat itu hawa sakti asing semakin kuat. Sebentar kemudian segelombang angin dahsyat berhembus kencang bagaikan badai yang menghantam.Anehnya gelombang angin ini tidak menghantam murid-murid
Ki Jagatapa, Arya Soka dan Rana Surya langsung merangsek ke paling depan semuanya menghunus senjata.Si jubah hitam yang paling depan tampak tersenyum merendahkan. Tangannya melambai memberi isyarat kepada yang lainnya.Tanpa sepatah kata, Laskar Dewawarman yang hanya menurunkan sepuluh orang saja meloncat dari kuda masing-masing dan menyerang murid-murid padepokan Mega Sutra.Tidak seperti saat menyerang padepokan Sagara Kaler yang tidak turun dari kuda. Entah kenapa, mungkin mereka mempunyai perhitungan sendiri sampai harus turun dari kuda.Setiap satu orang berjubah hitam menghadai tiga sampai empat murid. Ada yang hanya murid laki-laki atau perempuan, tapi ada juga yang gabungan keduanya.Ki Jagatapa dan Nyai Mintarsih masing-masing menghadapi satu orang.Trang! Trang! Trang!Pertempuran sengit di pagi hari menghiasi padepokan kecil yang setiap harinya dilalui dengan damai ini. Perkiraan Ki Jagatapa tidak meleset. Be