"Tapi ijin dulu kepada istriku!" sahut Sutajaya.
Kecuali tiga orang, yang lainnya terkejut. Tidak menyangka kalau Sutajaya sudah beristri."Apa, kau mau menjadikan putriku istri kedua!" hardik Grendaseba. Dari sikapnya seperti sudah menerima keadaan dirinya."Aku mau!"Pernyataan Wandansari juga mengejutkan semua orang kecuali Kameswara.Mendengar hal ini, diam-diam Wirasoma seperti menyesali sesuatu. Ya, kenapa dulu dia tidak mengambil Sriwuni jadi istri keduanya?Namun, sudah terlambat. Nyai Pancaksuji bilang Sriwuni sudah dinikahi seorang pejabat."Kameswara, bagaimana caranya aku mengatur dua istri?" tanya Sutajaya sambil berbisik.Kameswara tertawa membuat semua orang memandangnya. "Aku tidak tahu, karena aku belum pernah!" jawab Kameswara."Siapa istri pertamamu dan di mana kalian tinggal?" tanya Grendaseba."Namanya Sariti, dia santri di pesantren Quro. Aku dan dia tinggal di sana, karen"Duduklah di sini, Nyai!" Suara lembut Kameswara memanggil istri barunya. Tatapannya juga lembut memancarkan rasa kasih sayang yang dalam.Ayu Citra tampak malu-malu, padahal cara berpakaiannya saja sudah berani memperlihatkan bagian indahnya. Meski temaram, tapi rona pipi si gadis masih tampak jelas."Aku... gugup, Akang!""Kemarilah mendekat agar Nyai bisa merasakan degupan jantungku yang cepat. Aku juga gugup!""Bukankah Akang sudah pernah--""Aku seperti baru pertama kali lagi. Sepertinya aku lupa lagi!" Kameswara memotong lalu terkekeh."Ah, Akang, tidak mungkin lupa begitu saja!" kilah Ayu Citra."Nyai seperti yang pertama lagi!""Tentu saja buat aku mah, Akang yang pertama!"Kameswara menggenggam tangan Ayu Citra. Lembut bukan main. Rasanya paling lembut di antara wanita yang sudah disentuhnya.Tubuh Ayu Citra tertarik pelan, lalu tenggelam dalam pelukan sang suami. Dadanya semakin berge
Gentasora dan Prabasari terpontang-panting menghindari kejaran prajurit Sumedang Larang. Padahal prajurit itu sudah tidak ada yang mengejar lagi, mereka fokus pada tawanan yang diboyong ke kota raja.Sebenarnya tidak sulit bagi Gentasora untuk melawan prajurit itu dengan ilmunya yang sudah tinggi, tapi dia membawa Prabasari yang menjadi beban.Gadis ini hanya sedikit memiliki kepandaian silat. Dia lebih menebarkan pesona kecantikannya yang merupakan turunan wanita negeri seberang.Selain itu juga seandainya tidak membawa gadis yang merupakan putrinya itu, mungkin dia akan menggunakan ilmu meringankan tubuh."Kakiku sakit, Paman!" keluh Prabasari. Meski tubuhnya bermandikan keringat, tapi kecantikannya seolah tidak pudar."Di sebelah sana ada gua kecil, kita sembunyi di sana!"Gentasora tidak menghentikan langkahnya, sedangkan Prabasari menyeret kakinya yang sudah kelelahan dan pegal-pegal.Tak lama mereka menemukan gua y
Ketika senja tiba kereta kuda mampir ke satu rumah besar dan mewah. Sepertinya ini rumah pejabat atau bangsawan.Dua penjaga di depan pagar pintu masuk langsung membuka gerbang begitu tahu yang datang adalah dua prajurit itu.Sepertinya prajurit itu memiliki pangkat yang lumayan sehingga orang langsung mengenali.Kemudian kereta kuda masuk dibawa ke samping rumah yang halamannya luas ini."Tuan, kita bermalam di sini. Ini adalah rumah seorang 'wado' beliau akan menerima kita dengan baik!""Baik, Paman!"Ketika memasuki rumah, mereka disambut dengan ramah oleh beberapa pembantu dan juga tuan rumah, seorang lelaki setengah baya yang perawakannya gemuk, perutnya terlihat buncit.Karena hari sebentar lagi gelap, Kameswara beserta istri dan kedua prajurit itu diperkenankan untuk membersihkan diri.Setelah hari gelap sang tuan rumah menjamu mereka dengan makan bersama. Berbagai masakan dan buah-buahan terhidang lengka
Dua prajurit sudah bersiaga dari serangan gelap. Ratusan paku kecil melesat membelah udara dari arah depan.Namun, ternyata serangan itu bukan ditujukan kepada mereka. Lesatan ratusan paku tersebut menyerang ke arah kereta."Awas, Tuan!" teriak salah satu prajurit."Tenang saja, Paman!" sahut Kameswara dari dalam. Suaranya begitu nyaring mencerminkan bahwa dia tidak ada kecemasan sama sekali.Sett!Ratusan paku itu tiba-tiba berhenti sebelum mencapai sasaran. Beberapa saat melayang lalu berjatuhan. Kameswara menahannya dengan hawa sakti pelindung yang sangat kuat.Dua prajurit memanfaatkan waktu untuk segera memotong pohon roboh ini. Mereka sudah yakin, Kameswara mampu mengatasinya.Lagipula yang jadi sasaran juga Kameswara, tapi mereka tetap bertanggung jawab atas keselamatannya.Beberapa saat kemudian dari enam arah muncul enam orang bertopeng sambil melesat mendekati kereta, masing-masing tangannya melemparka
Lima orang bertampang sangar ini langsung menghadang. Mata mereka tampak jelalatan begitu melihat wanita berkerudung alias Ayu Citra."Setiap tamu yang datang wajib bayar upeti!""Tapi untuk kalian, cukup gadis itu saja sebagai upetinya, hahaha!"Gelak tawa menyambut ucapan salah seorang dari mereka.Koswara dan Sena berusaha tetap tenang. Mereka mengukur tingkatan kekuatan lima orang tersebut. Wajah keduanya tampak lega setelah bisa memperhitungkan seandainya terjadi pertarungan.Ayu Citra menatap sejenak kepada suaminya. Lalu si cantik berkerudung ini melangkah mendekati lima orang sangar."Baiklah, aku siap jadi upeti," katanya, membuat lima anak buah juragan Bana ini melongo. Mereka kegirangan bagaikan tertimpa durian runtuh."Kalian duluan saja!" kata Ayu Citra kemudian kepada Kameswara dan dua prajurit.Ketika mereka bertiga hendak melangkah memasuki desa, dua orang langsung menghadang."Enak saja
Si cantik berkerudung bertubuh indah ini maju beberapa langkah mendekati juragan Bana.Juragan Bana terkekeh. "Aku tidak ingin melukai tubuhmu yang molek itu, kau pantasnya menemaniku di atas dipan, hahaha...!""Kau boleh meminta sepuasnya kalau bisa mengalahkanku!" balas Ayu Citra seraya langsung memainkan pedang Bunga Emas yang menebarkan keharuman di udara.Inilah jurus Tarian Pedang Kematian yang didapat dari Nyai Sukarti, gurunya sebelum mondok di pesantren. Kemudian jurus ini diperdalam lagi selama di pesantren.Sesuai namanya, gerakan jurus ini seperti sedang menari. Lembut, tapi kuat dan mematikan.Justru gerakan tarian ini bisa mengecoh lawan apalagi dilakukan wanita dengan segala keindahan tubuhnya.Juragan Bana melangkah mundur sambil memainkan parangnya menghalau serangan pedang Bunga Emas.Selain tak bisa konsentrasi karena gerakan Ayu Citra, aroma harum yang pekat terasa menusuk hidung dan membuat kepala pu
Kereta kuda mewah yang membawa Kameswara dan Ayu Citra sudah jauh meninggalkan desa terpencil itu. Warga desa disuruh mengangkat Ki Kuwu baru beserta perangkatnya.Ketika melewati hutan kecil mereka melihat ada sebuah kereta kuda yang sama besar dan mewahnya tengah berhenti di pinggir jalan.Dari belakang kelihatannya memang seperti sedang berhenti atau beristirahat, tapi begitu setelah berada di sebelahnya, Kameswara dan yang lainnya terkejut melihat pemandangan mengerikan.Di tempat kusir terkulai dua orang berseragam prajurit yang sama dengan Sena dan Koswara. Tubuh mereka bersimbah darah. Ada beberapa anak panah menancap di badannya."Kau kenal mereka?" tanya Koswara.Sena hanya menggeleng sebelum meloncat turun memeriksa keadaan kedua prajurit yang merupakan rekannya walau tidak kenal namanya.Koswara juga turun langsung memeriksa ke bagian dalam saung."Biadab!" maki Koswara setelah melihat ke dalam. Sena langsung
Setelan berhasil berdiri, Sena melihat ke arah datangnya serangan. Rupanya senapati sendiri yang turun tangan. Rupanya keramahan beberapa saat lalu hanya pura-pura saja.Sementara di atas kereta, Koswara juga sudah berjibaku melawan prajurit berkuda.Tidak mau tinggal diam, Kameswara dan Ayu Citra juga sudah terlibat. Karena penyerangnya menggunakan kuda, maka mereka juga tidak turun dari keretanya.Di tempat kusir, Koswara menggunakan dua senjata sekaligus. Selain pedang di tangan kiri, juga tombak di tangan kanan.Tombak ini sudah tersedia di tempat khusus yang bisa langsung ditarik apabila diperlukan.Koswara menghadapi lawan di kanan dan kiri. Karena prajurit berkuda ini memiliki kepandaian lebih. Mereka kadang bisa sambil berdiri di atas punggung kuda.Bukan hanya dua orang yang dia lawan, tapi lebih. Seperti Sena, dia juga bukan prajurit sembarangan sehingga mampu meladeni lawan yang banyak.Sementara Kameswara dan
Akan tetapi Puspa Arum terus berlari mendekati. Setelah dekat gadis bertubuh mungil ini terpekik."Raka Arya!"Kameswara segera menghambur. Kondisi Arya Soka cukup mengenaskan. Bagian wajah sampai dadanya tampak hangus. Yang paling parah pada bagian dada. Ada bekas telapak tangan di sana."Ajian Tapak Memedi!" seru Nyai Mintarsih mengenali pukulan yang bersarang di tubuh anak laki-lakinya.Segera saja Kameswara membawa tubuh Arya Soka ke tempat yang aman. Kemudian disalurkan hawa saktinya melalui telapak tangan yang ditempelkan di dada.Kameswara terkejut. "Pukulan ini mengandung racun!" serunya."Ajian Tapak Memedi memang mengandung racun ganas!" sahut Nyai Mintarsih.Beberapa jalan darah segera ditotok guna menghentikan penyebaran racun. Racunnya sudah agak menyebar, tapi belum sampai mendekati jantung.Dengan hawa sakti Kameswara mengendalikan racun. Mengumpulkannya di satu tempat yang tidak membahayakan, kar
Karena bujukan Nyai Basingah yang masih rindu kepada Nyai Mintarsih akhirnya rombongan Kameswara menginap di rumah ini.Ada dua kamar di rumah itu. Nyai Basingah mengajak sahabatnya untuk satu kamar bersamanya. Puspa Arum dan dua gadis lain di kamar satunya.Sedangkan Kameswara di ruang depan.Malam begitu cepat datang dan tamu Nyai Basingah juga begitu cepat mengantuk. Entah karena perjalanan yang lelah atau hal lainnya.Kecuali Kameswara.Di saat yang lain sudah berbaring di tempatnya masing-masing, Kameswara diam-diam naik ke atas atap. Dia berdiri di sana sambil memperhatikan ke sekeliling rumah.Bukan apa-apa. Sejak kesaktiannya pulih, kepekaannya juga tajam. Dia merasakan ada beberapa orang yang mengikutinya secara sembunyi-sembunyi.Kalau para penguntit itu tahu identitas mereka yang sebenarnya, berarti ada yang orang membocorkannya. Juga berarti ada orang padepokan yang telah berkhianat.Sementara para p
Sebelum Kalong Merah melancarkan serangan kedua, Kameswara sudah mengeluarkan satu Kujang Bayangan di tangan kanan saja.Wutt! Srang!Begitu cahaya melesat dari tangan Kalong Merah, kujang dikibaskan menangkis cahaya tersebut. Tentu saja kujang itu sudah dilapisi ajian Bantai Jagat.Kilatan cahaya terpental balik menuju si pemiliknya sendiri. Kalong Merah terkesiap, dia tidak siap untuk menghindar.Ajian Dewa Kalong Mengamuk mengenai diri sendiri. Si jubah merah ini seperti tersedak makanan. Mulut terbuka bagaikan hendak menelan sesuatu, tapi susah.Sementara di bagian dalam tubuhnya bergejolak terasa terbakar dari mulai kepala sampai kedua kaki. Panas dan sakitnya tak tergambarkan, bahkan untuk sekadar berteriak pun tidak bisa.Bratt!Tubuh Kalong Merah meledak langsung jadi debu. Semua yang melihat tampak bergidik ngeri. Apalagi suami istri pemilik kedai sampai gemetar.Semuanya termasuk Kameswara juga baru me
Si suami segera masuk ke kedai dia langsung ke halaman depan menyambut tiga orang lelaki bertampang sangar. Salah satunya mengenakan jubah merah yang memiliki kerah tinggi.Wajahnya lonjong, dagu lancip, bibir tebal. Di atasnya ada kumis tipis yang tidak kentara kalau dari jauh. Bentuk alisnya mencuat seperti sepasang tanduk dan kedua matanya sipit.Mungkin ini yang disebut Kalong Merah tadi. Senyum angkuh mengandung kekejian di bibirnya tampak sedikit miring.Dua orang di belakangnya adalah pembantunya. Mereka sama-sama berpakaian serba hitam. Senjata golok tergantung di pinggang masing-masing."Maaf, Tuan. Hari ini baru ada pengunjung mereka saja. Jadi saya belum mempunyai setoran, tapi kalau mau makan saya beri cuma-cuma,""Omong kosong apa ini, hah. Sudah tengah hari masa tidak ada pengunjung dari pagi. Jangan coba macam-macam kau!"Si Kalong Merah mendorong pemilik kedai ke samping hingga hampir terjatuh. Lalu dia melangkah
"Kita lihat saja perkembangannya ke depan," ujar Darpa.Terlihat Singgih ingin mengatakan sesuatu. Tapi tertahan oleh suara angin berkelebat di atas wuwungan.Dua prajurit ini saling pandang seraya sigap segera mengambil senjata masing-masing. Sebilah pedang dan perisai. Lalu segera berlari keluar."Sebelah sana!" seru Darpa berlari di depan menuju tanah yang sedikit lapang di belakang Barak.Singgih menyusul di belakang. Dari gerakannya tampak Darpa lebih cekatan dari temannya. Sampai di suatu tempat, Darpa menghentikan pengejaran lalu mengajak Singgih sembunyi di balik pohon yang batangnya besar."Kenapa?" bisik SinggihDarpa menggerakan kepalanya sebagai isyarat menunjukkan sesuatu ke arah depan.Kira-kira sepuluh tombak ke depan, dalam gelapnya suasana tampak dua sosok yang tengah bertarung adu jurus. Kedua sosok itu kurang jelas karena tersamarkan oleh gelapnya malam."Kau tahu siapa mereka?" tanya Singgih
"Arum, apakah Rahyang Sora dengan Purbasora itu sama?" tanya Kameswara setelah mereka berjalan jauh.Puspa Arum tampak melirik sejenak dengan kening mengkerut."Benar, kenapa dia sepertinya mengumpulkan orang-orang persilatan?" jawab Puspa Arum dengan pertanyaan balik."Entahlah!" Padahal Kameswara sudah menduga-duga apa yang menjadi tujuan sang menantu raja itu.Kemudian Puspa Arum mengaitkan dengan kabar yang selama ini beredar tentang persaingan antara Purbasora yang menantu raja dengan Wiratara yang merupakan putra raja."Apakah sampai sekotor itu?" batin si gadis mungil. Memikirkan intrik dalam kerajaan terlihat begitu rumit. Selalu ada perebutan tahta. Satu sama lainnya merasa paling berhak.Tak lama kemudian mereka sampai di tempat peristirahatan Nyai Mintarsih bersama dua murid wanita lainnya.Akan tetapi baru saja sampai, mereka mendengar suara kehadiran orang lain. Orang banyak."Kalian semua pegang ta
"Mohon ampun, Tuan. Ternyata padepokan itu menyimpan pendekar maha sakti," lapor salah satu dari tiga jubah hitam yang berhasil kabur dari Kameswara."Omong kosong!"Yang lain ikut menjelaskan bahwa Kameswara yang disebut pendekar maha sakti tiba-tiba muncul di udara dan melepaskan angin badai yang menghempas semua anggota laskar.Diceritakan juga pertarungan melawan Kameswara yang menggunakan senjata aneh yang sangat mematikan hingga tersisa tiga orang saja.Itu juga kalau tidak segera kabur mungkin mereka sudah menjadi mayat bersama yang lainnya."Bagaimana bentuk senjata itu?"Salah seorang menjelaskan bentuk senjata yang digunakan Kameswara."Kujang!" desis sang pemimpin.Di masa ini kujang hanya di miliki orang-orang tertentu saja. Masyarakat biasa belum banyak yang tahu. Hanya kalangan bangsawan saja yang memiliki sebagai simbol seorang bangsawan.Akan tetapi yang dijelaskan anak buahnya, kujang i
Semua penghuni padepokan Mega Sutra merasakan hawa sakti yang kuat ini. Begitu juga Laskar Dewawarman, tapi pasukan jubah hitam ini tidak mengendurkan serangan.Crash! Srass!Korban berjatuhan lagi. Yang masih bertahan berlumuran darah menahan panas dan perih yang diderita. Termasuk Ki Jagatapa dan sang istri juga sudah banyak terluka.Brukk! Brugh!Wajah sepasang guru tampak memucat ketika melihat jumlah muridnya semakin berkurang.Apakah ini akhir riwayat padepokan Mega Sutra yang sudah berdiri puluhan tahun? Apakah akan mengalami nasib yang sama dengan dua padepokan besar sebelumnya?Hilang dari dunia persilatan tinggal nama. Dua padepokan besar saja bisa musnah, apalagi ini cuma padepokan kecil yang tidak terkenal.Pada saat itu hawa sakti asing semakin kuat. Sebentar kemudian segelombang angin dahsyat berhembus kencang bagaikan badai yang menghantam.Anehnya gelombang angin ini tidak menghantam murid-murid
Ki Jagatapa, Arya Soka dan Rana Surya langsung merangsek ke paling depan semuanya menghunus senjata.Si jubah hitam yang paling depan tampak tersenyum merendahkan. Tangannya melambai memberi isyarat kepada yang lainnya.Tanpa sepatah kata, Laskar Dewawarman yang hanya menurunkan sepuluh orang saja meloncat dari kuda masing-masing dan menyerang murid-murid padepokan Mega Sutra.Tidak seperti saat menyerang padepokan Sagara Kaler yang tidak turun dari kuda. Entah kenapa, mungkin mereka mempunyai perhitungan sendiri sampai harus turun dari kuda.Setiap satu orang berjubah hitam menghadai tiga sampai empat murid. Ada yang hanya murid laki-laki atau perempuan, tapi ada juga yang gabungan keduanya.Ki Jagatapa dan Nyai Mintarsih masing-masing menghadapi satu orang.Trang! Trang! Trang!Pertempuran sengit di pagi hari menghiasi padepokan kecil yang setiap harinya dilalui dengan damai ini. Perkiraan Ki Jagatapa tidak meleset. Be