Mirdas lantas menceritakan seluruh info dan hasil temuannya tentang Latifah. Zoelva pun mendengarkannya dengan seksama. Dan apa yang diceritakan oleh Mirdas tak jauh berbeda dengan yang Latifah sendiri ceritakan padanya. Artinya, apa yang wanita itu pernah ceritakan kepadanya tidaklah mengada-ada, tetapi memang menurut fakta yang sesungguhnya seperti bagaimana yang ia alami. Kecuali hal-hal yang memang belum pernah diceritakan oleh Latifah kepadanya, seperti misalnya tentang kondisi kehidupan Latifah dalam hal membesarkan kedua anaknya selama pisah tinggal dengan suaminya, sejak setahun yang lalu.
Menurut Mirdas, Latifah tinggal di sebuah rumah dengan tipe sederhana dengan status kredit di sebuah komplek perumahan. Di situ ia membuka toko sembako kecil-kecilan. Suaminya sudah amat jarang datang menjenguknya dan kedua anaknya bahkan sejak sebelum suaminya itu mendapat musibah d
Dan pada hari itu juga Zoelva mentransfer uang yang dijanjikannya ke rekeningnya Latifah. Jumlahnya cukuplah untuk memperbesar dagangannya, Zoelva kira. Latifah langsung meneleponku untuk mengucapkan terima kasih. "Tapi ini banyak sekali, Akhi. Mengapa Akhi ikhlas membantu saya, padahal kita belum lama saling kenal?" "Apa mengulurkan bantuan kepada sesama itu harus mengenal dulu, Mbak Ifah?" Latifah bukannya menjawab pertanyaan Zoelva, malah terisak. Zoelva pun memilih untuk pamit dan mengucapkan salam. Tepat di bulan ke empat usia pertemanan dan kontaknya dengan Latifah di dunia maya, Zoelva mencoba tidak mengaktifkan nomor WA-nya selama satu minggu. Otomatis ia dengan Latifah tidak bisa saling ko
Aku kira Latifah akan tersinggung dengan ucapanku itu. Dia malah menanggapinya dengan tersenyum dan berkata, "Saya juga kan tidak muda-muda amat lagi kan, Akhi? Saya juga sudah seorang ibu-ibu, hehehe. Lagi pula saya sudah paham karakter cowok-cowok ganteng didumay, makanya saya tak pernah berminat untuk menjadikan mereka sebagai teman curhat. Tak sedikit di antara mereka yang tidak tulus dalam pertemanan dengan saya. Saya ngeri mendengar cerita dari teman-teman saya yang pernah tertipu dan dikecewakan oleh jenis brondong ganteng yang dikenalnya di dumay. Sementara sejak semula Akhi orang yang baik. Dan nyatanya benar-benar baik." Spontak Zoelva merogoh saku celana dan kantong bajunya sembari bekata, “Receh, mana receh?” Latifah tertawa melihat tingkahnya. “Iih, saya tuh berkata y
"Cinta kan tak selalu bisa diraih melalui rayuan, Mbak cantik?! Dulu pada mantan saya, saya langsung mengungkapkan cinta, dan kebetulan juga pada dasarnya juga suka sama saya. Maka jadilah. Setelah saya merasa sudah sangat cocok dengan dia, saya bermaksud melamar dia. Tapi dia selalu ada saja alasan yang dia berikan untuk menghalangi keinginan saya. Ternyata...selama ini saya dibohongi. Di kotanya dia sesungguhnya telah memiliki kekasih, bahkan tunangan. Saya akhirnya sadar, bukan dia yang menghianati saya, tetapi dia yang menghianati kekasihnya itu.” Zoelva lantas tertawa dan menggeleng-geleng. Menertawakan keperihan hatinya. Menertawakan pengalamannya yang sama sekali tak lucu. "Hm, miris juga ya, Akhi? Mangnya yang mantan terakhir itu pacar Akhi yang keberapa? Maksud Mbak, sebelum dengan dia Akhi pernah punya pacar?” 
"Assalamualaikum, Mbak Ifah." Zoelva langsung menyapa ketika wajah cantik Latifah muncul di layar handphonenya. “Walaikum salam, Akhi. Akhi sudah sampai Demak?" "Iya nih, Mbak Ifah, ini sudah berada di kamar hotel. Malah sudah mandi juga. Dik Ifah ke mari kira-kira jam berapa ntar?" "Insya Allah, jam sembilan saya sudah tiba di hotel, Akhi." "Ok, saya tunggu ya, Mbk ? Malam itu mereka mengobrol hingga menjelang subuh. Setelah sholat subuh, Zoelva lalu turun ke bawah lobi hotel untuk menanyakan mobil yan
Latifah menoleh kepada Zoelva. "Sama Mas Arief saya belum pernah ke sini, Akhi, baik sebelum menikah maupun setelah menikah," ucapnya. Arief adalah nama suaminya. "Terakhir kali saya ke sini bersama teman-teman, yaitu saat masih di pesantren. Tapi dulu belum sebagus ini, Akhi. Jadi lebih pada acara ziarah makam ulama." "Oh begitu? Hm, tempat ini benar-benar indah dan berkesan, Mbak." "Iya, benar, Akhi. Lebih tepatnya, romantis." Datar saja Latifah mengucapkan kata itu, tanpa terlihat memberi kesan "romantis" pada Zoelva. Mata keduanya kemudian sama-sama menatap kosong ke hamparan lautan. Burung-burung bangau putih yang beterbangan dan bertengger di pucuk-pucuk mangrove tak mengusik perhatian keduanya.
Selanjutnya keduanya menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan keliling di Kota Demak, makan-makan, sebelum memasuki sebuah mall yang paling megah di kota ini untuk belanja-belanja. Zoelva ingin membelikan sesuatu barang untuk menjadi kenangan-kenangan dengan Latifah. Sebenarnya sang bidadari menolak, tetapi ia yang kepengen membelikannya sesuatu barang itu. "Masak saya datang jauh ke kota ini tak membelikan Mbak Ifah apa pun buat kenang-kenangan?" ucap Zoelva. Latifah akhirnya mau untuk dibelikan sebuah barang yang tak perlu diceritakan di sini jenis barangnya. Dia sangat senang sekali. Tak lupa Zoelva pun membelikan Mbak Syarifah buat kenangan-kenangan, yang juga tak perlu diceritakan di sini jenis barangnya. Kata Latifah, saudaranya itu pasti senang menerima
"Usia saya 25 tahun lebih 2 bulan, Pak Bos. "Sudah menikah?" "Belum, Pak Bos." "Kalau pacar atau calon?" "Pacar... sebenarnya punya, Pak Bos...," ada keraguan yang tersirat dari suara dan raut wajah Mirdas. "Kalau sudah punya pacar atau calon, lamar dan nikahilah. Apa yang kautunggu? Biar ada yang mengurusmu. Jangan terus membujang jika sudah mampu secara mental dan fisik," nasihat Zoelva. "Iya sih, Pak Bos. Saya memang sudah setahun yang lalu memikirkan soal itu. Tapi saya masih ragu, apakah..., maaf, saya nanti mampu memenuhi kebutuhan rumah
Setelah pembicaraan dengan Latifah itu, Zoelva pun segera menghubungi Mirdas dan memberitahukan tentang hal itu. "Mirdas masih ingat dengan Ustadzah Latifah?" "Tentu, Pak Bos, saya masih ingat. Kenapa dengan beliau, Pak Bos?" "Nah, yang punya lokasi yang mau dijual itu adalah sepupunya beliau. Kaudatanglah ke tempat beliau, dia akan menunjukkan lokasi itu padamu. Tadi aku sudah memberitahukannya jika kau akan menemui dia. Soal harga yang ditawarkan aku sudah cocok. Terserah kalian nanti penawarannya, itu rejeki kalian.Hanya saja, strategis apa tidak tempatnya, kamu yang putuskan." "Oh, siap, Pak Bos. Sekarang pun saya akan meluncur ke sana," sahut Mirdas. "Bagus. Lebih cepat lebih baik,&rdq
Lama Zoelva duduk merenung sembari menutup kedua matanya dengan kedua tangannya, sebelum mengucapkan lagi selamat tinggal kepada Latifah dengan menjamah kayu nisannya. Saat keluar dari komplek makam, dan hendak menuju kendaraannya, Zoelva sempat melihat sosok seorang wanita yang berpakaian baju muslimah berwana hitam hingga ke hijabnya. Jaraknya sekitar dua puluhan meter. Firasat Zoelva mengatakan, bahwa wanita itu memperhatikannya sejak tadi. Saat ia menoleh ke arahnya, dengan cepat wanita itu memalingkan wajah ke arah lain.Mungkin hanya peziarah juga, pikir Zoelva pula, kemudian melanjutkan langkah ke kendaraannya. Tujuan Zoelva selanjutnya adalah menuju Pantai Morosari Sayung. Ia ingin bernostalgia di tempat itu. Di pantai berhutanmangroveyang dulu pernah ia kunjungi bersama
Hingga sampai pada suatu hari--seminggu setelah kamividcallterakhir--, saat ia menengok kembali linimasa akunFacebook-nya Sang Bidadari, di situ terpampang sederetan ucapan dari teman-temanFacebook-nya. Ucapan yang tak mungkin ia bisa mempercayainya. Sampai-sampai ia mengira, bahwa ia sedang mengalami sebuah mimpi yang paling buruk. Namun, ketika ia menggigit bibirnya kuat-kuat, ia merasakan sakitnya yang sangat.Oh, saya tidak sedang bermimpi,jerit Zoelva dalam hati. Deretan ucapan belasungkawa di linimasa itu benar nyata adanya. Itu tak mungkin mereka sedang bercanda. Yeah, Latifah, sudah tiada! Sang bidadari itu telah kembali ke ‘khayangan’. Ia telah melupakan segala dukanya. Tak terasa air mata Zoelva mengalir keluar, tanpa mampu ia tahan. Ada hunjaman kep
Dua hari kemudian mereka pulang ke Jambi. Ia disambut oleh keluarga besarnya seperti orang yang baru turun haji di zaman dulu. Sentuhan tangan mereka menjadi obat pemulih sendiri baginya. Zaenab juga datang dari Seulak, dan menginap di rumah orang tuanya Zoelva. Ia ikut merawatnya menurut pengetahuannya. Karena ia bukan dokter umum, melainkan dokter gigi. Dan alhamdulillah, berkat sentuhan semuanya, dalam waktu beberapa minggu saja kondisi Zoelva sudah berangsur-angsur pulih. Allah telah mengembalikan semua kenikmatan indrawinya yang sempat dicabutNya. Terimakasih ya Rabb, ya Allah. Bahkan ia sudah mulai kuat untuk menyalurkan hobi lamanya, yaitu memancing. Sungai-sungai yang ketika ia masih SMP dan SMA dulu, ia jajaki kembali. Dan...ohya, kerinduan Zoelva kepada Latifah pun bisa terobati. Saat ia kembalion-lineatau mem-vidcall
Zoelva pun membalas pertanyaan Latifah dengan argumen yang masuk akal, "Mbak, ada berbagai cara yang bisa ditempuh oleh seorang laki-laki untuk mendapatkan cintanya seorang wanita pujaan hatinya, termasuk bila perlu adalah dengan cara membohonginya secara halus, mungkin. Tetapi kami menggunakan jurus berbohong hanya agar kalian mau menerima cinta kami, dan itu pun sebagai jalan terakhir. Tapi itu sama sekali bukan ingin berniat jahat. Justru demi cinta!” Tak ada tanggapan dari sang bidadari di seberang. Zoelva pun melanjutkan: “Mbak Ifah kan masih ingat dengan kisah legendaJaka Tarubyang pernah kita bahas di awal-awal kita ber-video call? Tentu Mbak Ifah pun sudah akrab dengan legenda masyhur dari Tanah Jawa itu.JakaTarubadalah seorang pemuda yang sangat baik dan memiliki cinta yang sejati. Namun
“Oh, gara-gara itu masalahnya?” balas Zoelva. Dia cemburu rupanya? Zoelva jadi tertawa dalam hati oleh sikap sang bidadari. Tertawa dan mungkin sedikit bangga dan tersanjung karena dicemburui oleh wanita secantik itu. Tapi kemudian dia lanjut menulis, "Lantas masalahnya apa, Mbak? Kenapa Mbak Ifah mesti cemburu? Bukankah hubungan antara kita hanya sebatas sahabat?" "Saya bukan cemburu, hanya kesal saja karenaAkhimembohongi saya. KatanyaAkhinggakpunya WIL di dunia maya. Nyatanya…?" "Bukan cemburu?" kejar Zoelva, "Kalau bukan cemburu lantas artinya apa?" "Saya marah saja. KarenaAkhiternyata berbohong pada saya," tulisnya. &
Sepasang suami istri menyambut mereka. Kata Zaenab, mereka adalah Pangah Mat Yasid dan Bingah Hawsah. Mereka duduk berbincang-bincang di luar bangunan sejenis gazebo yang khusus untuk menerima tamu. Mungkin memang sudah direncanakan sebelumnya, tak lama mereka sampai, suami istri itu menjamu mereka makan dengan berbagai lauk pauk dari bahan daging yang olah secara istimewa. Ada yang dipanggang dan ada yang dimasak kuah. “Bang Zoel makan kambingkah?” tanya Zaenab. “Nggak, Dik Zaenab, kalau dagingnya makan?” Jawaban Zoelva itu tak urung membuat sang dokter muda itu langsung menutup mulutnya dengan tisu. “Saya itu jenis omnivora kok, Dik. Asal halal saja,”
Namun demikian, Zoelva menyadari, bahwa Zaenab sekali-sekali suka mencuri pandang ke arahnya. Tetapi entah mengapa, pada pandangan pertama itu ia belum merasakan ketertarikan sedikit pun terhadap wanita itu. Justru yang muncul saat itu adalah wajah Latifah. Bahkan saat itu hatinya masih sempat bertanya-tanya, sedang apa Latifah saat ini? Karena selama ia berada di Sumatra, ia belum sekalipun menatap lagi wajah cantik dan lembutnya di layar hapenya. Ia hanya mengabarkan padanya saat aku akan ke Jambi karena ayahnya sakit, itu saja. Semoga Latifah memahami situasi dan kondisiku saat ini, pikirnya pula. “Kapan Nak Zoel akan kembali ke Jawa?”tiba-tiba Paknga Rasyid bertanya dan agak mengagetkan Zoelva. “Insha Allah dalam satu dua hari lagi, Paknga.” “Kenapa cepat sekali pulangnya ke Jawa, Nak Zoe
Tentu Zoelva pun ikut merasa senang berada di desa kelahiran ayahnya itu. Karena di samping bisa menikmati suasana alam pedesaan Sumatra yang alami dan permai, aku juga bisa sempat mengenal keluarga besarku dari garis ayahku. Aku disambut dan diterima oleh keluarga besarku dengan baik dan ramah. Karena didasari oleh ikatan nasab, kami pun cepat akrab satu sama lain. Kebetulan juga ayahku merupakan salah satu tokoh dalam keluarga itu. Sentuhan tangan keluarganya dan mungkin akibat pengaruh suasana yang demikian akrab yang mempengaruhi suasana kebatinannya, menjadi obat pemulih sendiri bagi ayahnya Zoelva. Tak sampai satu Minggu berada di desanya kondisi ayahnya berangsur-angsur pulih seperti sedia kala. Allah telah mengembalikan semua kenikmatan indrawi ayahnya yang sempat dicabutNya. Pada malam keempat Zoelva berada di desa kelahiran ayahnya, saat ia, ayah, dan ibunya d
“Insha Allah, Akhi, besok akan saya sampaikan. Besok kegiatan apa saja di Demak.” “Oh, mungkin saya akan mampir untuk melihat persiapan pembukaan cabang utama, setelah itu saya akan lanjut ke dua cabangnya di dua mall. Sorenya saya baru balik ke Jogja, esok hari ke Jakarta.” “Lantas acara pembukaan cabangnya kapan, Akhi?” “Rencananya ya seminggu lagi. Tapi kayaknya Akhi tak bisa hadir dalam cara itu karena saya harus berkeliling dulu ke cabang-cabang bengkel di Bandung dan Sukabumi. Kira-kira Mbak Ifah bisanggakmembantu saya memesan makanan untuk kenduri sederhana? Dananya akan saya transfer beberapa hari lagi. Mbak Ifah atur saja sama Mirdas dan Haikal. Sudah saya bicarakan juga dengan mereka soal ini. Kalau bisa, libatkan juga A