"Usia saya 25 tahun lebih 2 bulan, Pak Bos.
"Sudah menikah?"
"Belum, Pak Bos."
"Kalau pacar atau calon?"
"Pacar... sebenarnya punya, Pak Bos...," ada keraguan yang tersirat dari suara dan raut wajah Mirdas.
"Kalau sudah punya pacar atau calon, lamar dan nikahilah. Apa yang kautunggu? Biar ada yang mengurusmu. Jangan terus membujang jika sudah mampu secara mental dan fisik," nasihat Zoelva.
"Iya sih, Pak Bos. Saya memang sudah setahun yang lalu memikirkan soal itu. Tapi saya masih ragu, apakah..., maaf, saya nanti mampu memenuhi kebutuhan rumah
Setelah pembicaraan dengan Latifah itu, Zoelva pun segera menghubungi Mirdas dan memberitahukan tentang hal itu. "Mirdas masih ingat dengan Ustadzah Latifah?" "Tentu, Pak Bos, saya masih ingat. Kenapa dengan beliau, Pak Bos?" "Nah, yang punya lokasi yang mau dijual itu adalah sepupunya beliau. Kaudatanglah ke tempat beliau, dia akan menunjukkan lokasi itu padamu. Tadi aku sudah memberitahukannya jika kau akan menemui dia. Soal harga yang ditawarkan aku sudah cocok. Terserah kalian nanti penawarannya, itu rejeki kalian.Hanya saja, strategis apa tidak tempatnya, kamu yang putuskan." "Oh, siap, Pak Bos. Sekarang pun saya akan meluncur ke sana," sahut Mirdas. "Bagus. Lebih cepat lebih baik,&rdq
Dan benar, tak berapa lama kemudian, pemilik ruko sudah datang dan memberi salam. "Maaf ni, Pak, mengganggu kesibukannya?" ucap Zoelva, berbasa-basi, ketika pemilik ruko sudah duduk di sofa. “Kenalkan, nama saya Zoelva.” "Oh, gak apa-apa, Pak Zoelva. Saya Pak Yahya,” sahut pemilik ruko sembari menyalami Zoelva. “Saya ingin melihat melihat dulu tempatnya, Pak Yahya?” "Oh, boleh, Pak " Karena Latifah turut serta, dia pun harus menutup dulu tokonya. Mereka berempat meluncur ke lokasi. Sengaja Zoelva bukakan pintu depan mobil buat Latifah, agar duduk sampingnya. 
Dan apakah Zoelva pun pernah terlibat skandal hati atau pun terkena jeratan asmara di dunia maya? Jawabnya: tidak! Kalau tertipu pernah. Iya, tertipu oleh seorang wanita yang relatif muda dan mengaku berstatus janda, padahal ternyata masih bersuami. Tapi untungnya ia belum sempat terjerat jauh oleh rayuan yang penuh kepalsuan. Dia blokir sang penggoda itu. Setelah itu ia menjadi kapok untuk memiliki hubungan yang spesial dengan perempuan yang dikenalnya di dunia maya. "Hm, begitu ya, Akhi?" "Iya dong, cantik," sahut Zoleva, sabar. "Tapi begini, misalnya, saya punya teman spesial di dumay, ya itu wajar-wajar saja, Mbak, karena saya kan seorang lajang, tak ada yang akan keberatan, marah, atau pun cemburu dengan kedekatan itu. Saya masihlah seorang laki-laki normal. Namun demikian, kan sama sekali tak ada pengaruhnya dengan hubungan kita se
Saat menjawab salamnya, suara Latifah terdengar agak parau. Kedua mata indahnya pun kulihat lembab, sayu, dan tak berbinar seperti biasanya, yang menandakan bahwa dia baru saja menangis cukup lama. Wajahnya yang biasanya segar merona bak kembang labu di malam hari, saat itu terlihat muram dan layu. "Ada apa dengan kamu, Mbak?" tanya Zoelva dengan suara rendah dan perasaan was-was. " Apa dia menyakiti Mbak lagi?" Latifah menggeleng-geleng pelan. "Semua akan segera berakhir, Akhi. Dia...," Latifah tak mampu melanjutkan kata-katanya. Ia menutup wajahnya dengan ujung hijab hitamnya. Tak ada suara tangisan yang keluar, hanya kepalanya yang bergerak-gerak,menandakan dia sedang sesenggukan. 
Seperti janjinya pada Latifah, seminggu kemudian Zoelva datang ke Demak. Ia masih menginap di hotel yang dulu tempatnya menginap. Semalam ia dan Latifah bercengkerama lewat video call, seperti biasanya. Silih berganti keduanya bercerita tentang pengalaman hidupnya masing-masing. Latifah meminta Zoelva untuk menceritakan tentang kehidupan dan pengalaman hidupnya. Jadi sekarang Zoelva tidak lagi dijadikan sebagai pendengar yang baik dan setia untuk kisah-kisah hidupnya. Di akhir-akhir obrolan, tak lupa sang bidadari memberi Zoelva 'hadiah' berupa lantunan ayat suci Al-Quran dengan suaranya yang indah, seperti biasanya. Setelah itu dia pamit untuk istirahat karena kepalanya terasa sakit. Zoelva pun ikut rehat. Keesokan harinya, sejak pukul 10.00 WIB Zoelva sudah berada di cabang rukonya yang akan segera dibuk
Malam itu Zoelva dan Latifah tidak mengobrol hingga larut malam seperti biasanya, karena besok pagi mereka harus bangun dalam keadaan kondisi bugar. Lagi pula rasa penat akibat kegiatan seharian membuat kami sepakat untuk rehat lebih cepat dari biasanya. Keesokan paginya, seperti yang sudah mereka sepakati, pukul 09.00 WIB keduanya sudah OTW. Latifah menunggu Zoelva di trotoar di depan ruko yang sudah Zoelva beli. Dari situ keduanya langsung menuju Museum Mesjid Agung Demak. Sekitar dua jam mereka berkeliling dalam ruangan museum tersebut, setelah itu mereka menuju arah selatan. Zoelva mampir di sebuah rumah restoran yang khusus menyiapkan menuseafood, menikmati makan siang, sekalipun saat itu baru menunjukkan pukul sebelas siang. Karena kebetulan juga ia memang belum sempat sarapan di hotel. Tadi sebelum berangkat
Zoelva menatap wajah Latifah. Di situ tak tampak kesedihan yang berarti, apalagi cairan bening yang menggenangi sepasang bola matanya yang indah. Dia tampak begitu tegar. "Lantas hak asuhnya Syifa gimana, Mbak?” "Dia sudah menyerahkan sepenuhnya kepada saya, Akhi. Faktor itu juga yang membuat saya tak lagi terlalu bersedih, karena buah hati saya tetap bersama saya." "Ya, syukurlah kalau begitu. Akhi percaya Mbak Ifah mampu mendidik dan membesarkan mereka dengan baik." "Insha Allah, Akhi.." Sebulan kemudian Zoelva diberitahu oleh Latifah, bahwa ia telah menerima surat vonis cerai dari Pengadilan Agama. Hal itu dika
Latifah pun lagi-lagi menyembunyikan tawanya di balik bagian hijabnya. "Iya, Akhi, saya tahu. Saya cuma bercanda, kok," ucapnya "Iya, saya akan mengajak mungkin dua teman saya, Akhi." "Sip! Dua teman lebih bagus!" "Lalu kami ke Jogja naik kereta atau bis, Akhi?" "Bagusnya naik kereta karena aman, nyaman, dan cepat. Siapa tau Syifa menginginkannya. Untuk pulang lagi ke Demak, sama saya saja, pakai mobil," saran Zoelva. "Oh iya, benar, Akhi. Syifa memang pernah menanyakan enaknya naik kereta kepada saya," sahut Latifah. "Nah, itu!" ujar Zoelva. "Dia pasti sangat senang sekali, tentunya."&nb
Lama Zoelva duduk merenung sembari menutup kedua matanya dengan kedua tangannya, sebelum mengucapkan lagi selamat tinggal kepada Latifah dengan menjamah kayu nisannya. Saat keluar dari komplek makam, dan hendak menuju kendaraannya, Zoelva sempat melihat sosok seorang wanita yang berpakaian baju muslimah berwana hitam hingga ke hijabnya. Jaraknya sekitar dua puluhan meter. Firasat Zoelva mengatakan, bahwa wanita itu memperhatikannya sejak tadi. Saat ia menoleh ke arahnya, dengan cepat wanita itu memalingkan wajah ke arah lain.Mungkin hanya peziarah juga, pikir Zoelva pula, kemudian melanjutkan langkah ke kendaraannya. Tujuan Zoelva selanjutnya adalah menuju Pantai Morosari Sayung. Ia ingin bernostalgia di tempat itu. Di pantai berhutanmangroveyang dulu pernah ia kunjungi bersama
Hingga sampai pada suatu hari--seminggu setelah kamividcallterakhir--, saat ia menengok kembali linimasa akunFacebook-nya Sang Bidadari, di situ terpampang sederetan ucapan dari teman-temanFacebook-nya. Ucapan yang tak mungkin ia bisa mempercayainya. Sampai-sampai ia mengira, bahwa ia sedang mengalami sebuah mimpi yang paling buruk. Namun, ketika ia menggigit bibirnya kuat-kuat, ia merasakan sakitnya yang sangat.Oh, saya tidak sedang bermimpi,jerit Zoelva dalam hati. Deretan ucapan belasungkawa di linimasa itu benar nyata adanya. Itu tak mungkin mereka sedang bercanda. Yeah, Latifah, sudah tiada! Sang bidadari itu telah kembali ke ‘khayangan’. Ia telah melupakan segala dukanya. Tak terasa air mata Zoelva mengalir keluar, tanpa mampu ia tahan. Ada hunjaman kep
Dua hari kemudian mereka pulang ke Jambi. Ia disambut oleh keluarga besarnya seperti orang yang baru turun haji di zaman dulu. Sentuhan tangan mereka menjadi obat pemulih sendiri baginya. Zaenab juga datang dari Seulak, dan menginap di rumah orang tuanya Zoelva. Ia ikut merawatnya menurut pengetahuannya. Karena ia bukan dokter umum, melainkan dokter gigi. Dan alhamdulillah, berkat sentuhan semuanya, dalam waktu beberapa minggu saja kondisi Zoelva sudah berangsur-angsur pulih. Allah telah mengembalikan semua kenikmatan indrawinya yang sempat dicabutNya. Terimakasih ya Rabb, ya Allah. Bahkan ia sudah mulai kuat untuk menyalurkan hobi lamanya, yaitu memancing. Sungai-sungai yang ketika ia masih SMP dan SMA dulu, ia jajaki kembali. Dan...ohya, kerinduan Zoelva kepada Latifah pun bisa terobati. Saat ia kembalion-lineatau mem-vidcall
Zoelva pun membalas pertanyaan Latifah dengan argumen yang masuk akal, "Mbak, ada berbagai cara yang bisa ditempuh oleh seorang laki-laki untuk mendapatkan cintanya seorang wanita pujaan hatinya, termasuk bila perlu adalah dengan cara membohonginya secara halus, mungkin. Tetapi kami menggunakan jurus berbohong hanya agar kalian mau menerima cinta kami, dan itu pun sebagai jalan terakhir. Tapi itu sama sekali bukan ingin berniat jahat. Justru demi cinta!” Tak ada tanggapan dari sang bidadari di seberang. Zoelva pun melanjutkan: “Mbak Ifah kan masih ingat dengan kisah legendaJaka Tarubyang pernah kita bahas di awal-awal kita ber-video call? Tentu Mbak Ifah pun sudah akrab dengan legenda masyhur dari Tanah Jawa itu.JakaTarubadalah seorang pemuda yang sangat baik dan memiliki cinta yang sejati. Namun
“Oh, gara-gara itu masalahnya?” balas Zoelva. Dia cemburu rupanya? Zoelva jadi tertawa dalam hati oleh sikap sang bidadari. Tertawa dan mungkin sedikit bangga dan tersanjung karena dicemburui oleh wanita secantik itu. Tapi kemudian dia lanjut menulis, "Lantas masalahnya apa, Mbak? Kenapa Mbak Ifah mesti cemburu? Bukankah hubungan antara kita hanya sebatas sahabat?" "Saya bukan cemburu, hanya kesal saja karenaAkhimembohongi saya. KatanyaAkhinggakpunya WIL di dunia maya. Nyatanya…?" "Bukan cemburu?" kejar Zoelva, "Kalau bukan cemburu lantas artinya apa?" "Saya marah saja. KarenaAkhiternyata berbohong pada saya," tulisnya. &
Sepasang suami istri menyambut mereka. Kata Zaenab, mereka adalah Pangah Mat Yasid dan Bingah Hawsah. Mereka duduk berbincang-bincang di luar bangunan sejenis gazebo yang khusus untuk menerima tamu. Mungkin memang sudah direncanakan sebelumnya, tak lama mereka sampai, suami istri itu menjamu mereka makan dengan berbagai lauk pauk dari bahan daging yang olah secara istimewa. Ada yang dipanggang dan ada yang dimasak kuah. “Bang Zoel makan kambingkah?” tanya Zaenab. “Nggak, Dik Zaenab, kalau dagingnya makan?” Jawaban Zoelva itu tak urung membuat sang dokter muda itu langsung menutup mulutnya dengan tisu. “Saya itu jenis omnivora kok, Dik. Asal halal saja,”
Namun demikian, Zoelva menyadari, bahwa Zaenab sekali-sekali suka mencuri pandang ke arahnya. Tetapi entah mengapa, pada pandangan pertama itu ia belum merasakan ketertarikan sedikit pun terhadap wanita itu. Justru yang muncul saat itu adalah wajah Latifah. Bahkan saat itu hatinya masih sempat bertanya-tanya, sedang apa Latifah saat ini? Karena selama ia berada di Sumatra, ia belum sekalipun menatap lagi wajah cantik dan lembutnya di layar hapenya. Ia hanya mengabarkan padanya saat aku akan ke Jambi karena ayahnya sakit, itu saja. Semoga Latifah memahami situasi dan kondisiku saat ini, pikirnya pula. “Kapan Nak Zoel akan kembali ke Jawa?”tiba-tiba Paknga Rasyid bertanya dan agak mengagetkan Zoelva. “Insha Allah dalam satu dua hari lagi, Paknga.” “Kenapa cepat sekali pulangnya ke Jawa, Nak Zoe
Tentu Zoelva pun ikut merasa senang berada di desa kelahiran ayahnya itu. Karena di samping bisa menikmati suasana alam pedesaan Sumatra yang alami dan permai, aku juga bisa sempat mengenal keluarga besarku dari garis ayahku. Aku disambut dan diterima oleh keluarga besarku dengan baik dan ramah. Karena didasari oleh ikatan nasab, kami pun cepat akrab satu sama lain. Kebetulan juga ayahku merupakan salah satu tokoh dalam keluarga itu. Sentuhan tangan keluarganya dan mungkin akibat pengaruh suasana yang demikian akrab yang mempengaruhi suasana kebatinannya, menjadi obat pemulih sendiri bagi ayahnya Zoelva. Tak sampai satu Minggu berada di desanya kondisi ayahnya berangsur-angsur pulih seperti sedia kala. Allah telah mengembalikan semua kenikmatan indrawi ayahnya yang sempat dicabutNya. Pada malam keempat Zoelva berada di desa kelahiran ayahnya, saat ia, ayah, dan ibunya d
“Insha Allah, Akhi, besok akan saya sampaikan. Besok kegiatan apa saja di Demak.” “Oh, mungkin saya akan mampir untuk melihat persiapan pembukaan cabang utama, setelah itu saya akan lanjut ke dua cabangnya di dua mall. Sorenya saya baru balik ke Jogja, esok hari ke Jakarta.” “Lantas acara pembukaan cabangnya kapan, Akhi?” “Rencananya ya seminggu lagi. Tapi kayaknya Akhi tak bisa hadir dalam cara itu karena saya harus berkeliling dulu ke cabang-cabang bengkel di Bandung dan Sukabumi. Kira-kira Mbak Ifah bisanggakmembantu saya memesan makanan untuk kenduri sederhana? Dananya akan saya transfer beberapa hari lagi. Mbak Ifah atur saja sama Mirdas dan Haikal. Sudah saya bicarakan juga dengan mereka soal ini. Kalau bisa, libatkan juga A