Untuk pertama kalinya seumur hidupku, akhirnya aku merasakan juga dimarahi oleh Daddy. Marah yang benar - benar marah. Dia merepet tentang aku yang tidak boleh pesimis, tak boleh putus harapan harus percaya bahwa aku akan sembuh dan segala macam lainnya. Dia memberiku alasan untuk sembuh dari a hingga z dan mehakinkanku bahwa aku akan segera sembuh.
Meskipun aku sempat murung, sedikit takut dan kembali menangis saat dia mengomel, tapi dalam hati, Aku senang sekali. Amat sangat. Meskipun aku masih mempertahankan raut wajahku yang murung, bahkan sesekali masih sesunggukan sisa menangis tadi, di dalam hati aku sedang menari bersuka cita. Rasanya kali ini aku benar - benar punya Ayah. Ayah sungguhan, bukan cuma sosok yang hanya ku panggil Daddy. Ini adalah sosok yang benar - benar membuatku ada di dunia ini.
Selama ini, aku memang merasa, meskipun hubungan kami kian dekat, tapi masih ada jarak yang tersisa antara aku dan Daddy. Bahkan setelah penculikan itu, entah
"Kenapa Putra Mahkota menculikku?" Segera setelah kalimat tanya tersebut terlontar, wajah Daddy yang awalnya rileks berubah tegang seketika. Perubahannya terlihat amat jelas sehingga tidak mungkin aku tak menyadarinya. Ada apa? Kenapa reaksinya seperti itu? Apa kali ini pertanyaanku terlalu sudah untuk dijawab? Walaupun hampir mustahil memang jika seorang Putra Mahkota menginginkan sesuatu dariku. Aku yang hanya seorang Mira Kirana. Aku punya apa memangnya yang dia tidak punya? Aku tidak punya apa - apa. Keluarga? Aku bahkan baru tau aku punya keluarga komplit setelah sembilan belas tahun berlalu. Itupun setelah Mama meninggal, jadi setelah yakin aku adalah seorang anak tanpa Ayah, sekarang aku adalah seorang piatu. Anak tanpa Ibu. Harta? Tahta? Ya Ampun, membayangkan saja sudah terasa menggelikan.
Keadaanku membaik dengan cepat. Tidak terlalu cepat, tapi dengan semua keterbatasan yang aku punya secara tiba - tiba saat ini, menurutku itu sebuah prestasi. Yang lambat itu adalah kembalinya kebebasanku. Sejak insiden penculikan yang ternyata sudah berlalu hampir sebulan, aku sekarang bahkan tidak diijinkan untuk melakukan latihan rutinku di luar pagar mansion. Awalnya masih boleh, di malam hari dengan penjagaan yang ketat. Aku sampai risih sendiri karena harus berlari dengan tak hanya satu, tapi kadang sampai tiga bodyguard yang mengawal. Tapi sekarang keluar gerbang bahkan tidak diijinkan lagi. Aku juga tidak diperbolehkan bertemu dengan Sonia, padahal rumahnya bahkan tak terlalu jauh dari mansion. Dia sudah pulang dari Cebu, dan saat dia datang ke mansion, dia tidak diperbolehkan bertemu denganku! Dan yang paling parah, akses yang kumiliki ke dunia luar semuanya diminta kembali. I have no phone no internet, nothing. Selain pengawal tambahan yang ditempatkan Daddy di rum
Sudah lewat waktu makan malam. Sedari tadi Brigitte dan beberapa pengawal lainnya yang ada di rumah sibuk berusaha untuk ‘membangunkanku’. Yap, mereka mengira aku sedang tertidur. Nyatanya, aku sama sekali tak tidur. Aku mendengar mereka yang mondar mandir di depan pintu kamarku yang sengaja kukunci dari dalam.Aku hanya sedang duduk di atas ranjangku memeluk lulut, dengan semua lampu kamar terpadam, dengan gorden dan jendela terbuka. Sedang memandang nyalang pada pepohonan dan langit luar yang mulai menggelap karena senja sudah lama pergi.Ingatanku masih memutar apa yang kudengar tadi siang. Kalau Daddy adalah pewaris kerajaan yang sah, lalu aku…? Ya Tuhan, dari mana semua mata rentai ini tersambung. Kenapa jadi sampai sejaun ini? Tapi seandainya itu tidak benar, tentu saja tidak akan disiarkan di saluran berita nasional kan? Iya, kan? Kala
RichardMira akhirnya tertidur. Aku menemaninya sampai nafasnya berubah teraratur menjadi satu - satu. Sudah lewat beberapa saat sejak dia tertidur dan aku masih terus memeluknya. Belum ingin melepasnya.Tubuh mungilnya ringan sekali, sehingga aku nyaris tak merasa jika sedang menahan beban.Sejak aku masuk ke kamar ini, selain kalimat 'kenapa harus aku' nya, dia sama sekali tidak berkata apapun lagi. Hanya menangis tersedu dalam diam hingga kemudian tertidur begini.Khawatir dan bingung. Itu yang kurasakan. Dia kenapa lagi? Apakah sakit? Tapi saat aku akan membawanya ke rumah sakit, dia menggeleng dan malah mendorongku menjauh. Jadi aku mengalah. Mungkin dia memang tidak sakit. Tapi lalu apa?"Dia tidur? Dia belum maka
Richard'sMelihatnya menangis seperti ini membuat dadaku sendiri sesak. Dia sudah tahu. Entah dari mana tapi dia tahu tentang hal yang kami usahakan untuk sembunyikan rapat - rapat ini, tapi akhirnya hari ini dia tau.Bukan karena… kami hanya ingin melindunginya. menyembunyikan lebih lama sampai keadaan benar - benar dalam kuasa kami dan dia sudah lebih stabil dan kuat. Lihat dia sekarang. Rapuh, terlihat kecil saat dia meringkuk di tengah ranjangnya, dengan bahu terguncang keras dan kedua tangan menutup wajahnya. Isakan pilu terdengar menyakitkan keluar dari bibirnya.Kukepalkan tanganku yang berada di atas paha. Berusaha menahan diri agar tak merengkuhnya ke dalam pelukanku. Tuhan tahu aku amat berusaha saat ini.Tapi isakannya yang semakin kencang membuat
Raja yang sebelumnya berkuasa, suami Ratu saat ini yang sudah mangkat bertahun - tahun lamanya, adalah merupakan anak dari keturunan kedua raja terdahulu. Putra mahkota dari raja terdahulu saat itu menolak menjadi raja dan memutuskan keluar dari istana karena tidak diijinkan memilih jalan hidupnya sendiri. Mengakibatkan tahta yang seharusnya dipikulnya jatuh pada pundak adik laki - lakinya.Putra Raja yang tertua, saat itu memiliki seorang kekasih, yang sayangnya gadis tersebut tidak mendapatkan restu dari sang Ibunda Ratu yang berkuasa, karena latar belakang keluarganya. Padahal saat itu si gadis tengah hamil. Si gadis hanya perempuan biasa tanpa gelar bangsawan, dan lagi, sebatang kara tanpa tahu siapa orang tuanya. Sistem hierarki pada masa itu masih amat kolot dan ketat.Karena tidak ingin menggugurkan kandungannya, si gadis yang ternyata adalah teman baik
Jadwal operasiku sudah ditentukan. Seminggu lagi dari sekarang aku akan menjalani pemeriksaan dan jika semuanya oke, mungkin dua atau tiga hari berikutnya aku akan masuk ruang operasi.Awalnya aku tak masalah dengan hal ini. Kapan saja jadwal operasinya, silakan saja. Secara mental, aku siap.Tapi setelah berita ini sampai di telingaku, aku jadi shock dan terguncang. Dokter menganjurkanku untuk tetap melakukan latihan rutin ringan agak kondisiku tetap fit. Tapi aku kembali melemah. Bukan collapse yang mengkhawatirkan seperti sebelumnya, hanya saja rasa kecewa, shock dan tak percaya kini mempengaruhi keadaan tubuhku dan membuat ku jadi lemah.Aku tak ingin makan, tak ingin bergerak, tak ingin bertemu siapapun.Daddy sudah datang padaku dan menjelaskan keadaann
Richard’s “Why? You hate me. I'm a burden to you.” “I’m not!” Jawabanku keluar tanpa berpikir, agak terlalu cepat untuk meyakinkan seseorang. “Tu penses que je te déteste? Kau mengira aku membencimu? Kenapa?” Aku menjauhkan tubuhnya sepanjang jengkalan lenganku dan menahannya di sana. Dia menundukkan wajahnya, menghindari bertatap mata denganku. Dari tarikan nafasnya dan getaran bahunya, jelas sekali kalau saat ini dia sedang menangis. No, stop crying, Princess. It hurt me too seeing you hurt like this. Dia benar, tentu saja. Aku pernah tidak terlalu menyukainya dan menganggapnya hanya sebagai suatu kewajiban. Bahkan, pada awalnya, Pak Tua sampai harus memohon padaku agar aku mau menjaga anaknya. Lagi. Saat itu aku masih
Kali ke dua aku naik pesawat. Aku gugup, dan terus menerus ke toilet sejak tadi. Ada satu penjaga yang mengawalku sampai aku boarding nanti. Namun aku menolak untuk terus diikuti sampai Indonesia.Di sini aku memang keluarga kerajaan, tapi di sana aku bukan siapa-siapa. Untunglah Daddy mau mengerti hal ini. Aku sedang menunggu panggilan untuk boarding. Dan lagi-lagi, aku teringat akan alasanku pergi."Stop, Mira. Terima saja. Cinta pertamamu tak berjalan lancar. Kau harus melupakannya."Aku menarik satu kali nafas panjang tepat saat panggilan pertama pesawat yang akan membawaku ke Indonesia terdengar. Aku dan beberapa penumpang pesawat lainnya mengantri untuk verifikasi terakhir sebelum masuk pesawat dan masuk dengan tertib.Tak seperti penerbanganku sebelumn
Granny melarangku untuk berpikir pergi dari sini adalah yang terbaik. Bahkan setelah dua hari berlalu. Dia ingin aku kuat, dan dia meyakinkan bahwa semua yang ada di sini keluargaku. Bahwa aku tak sendirian di sini."Kita bisa mengganti pengawalmu jika kau tak ingin bertemu dengan Richard. Tapi aku tak setuju jika kau pergi meninggalkan kami. Semua keributan ini akhirnya berakhir, dan kita bisa hidup dengan tenang bersama, kenapa kau malah memikirkan untuk pergi?"Dari situ aku sadar, Granny benar. Bagi semua orang, ini adalah kemenangan. Hanya aku yang merasa kalah dalam hal ini, dan itu karena Richard. Aku merasa buruk setelah mendengar hal itu."Maaf, aku jadi egois."Granny Louisa menggeleng. "Kau memang tak bisa kembali ke sana, tapi kau bisa berkunjung sebent
Richard'sAku menonton berita di televisi dengan tatapan puas. Phillip, ibunya, JJ, Cedric dan anak buahnya yang terbukti membelot sudah diringkus. Pengadilan kasus mereka memang belum ditetapkan kapan, namun, mereka tak akan lepas dari sanksi sosial kali ini. Dulu, Pak Tua terlalu baik hati untuk mengumumkan perbuatan mereka pada media. Namun sekarang tidak lagi."Makanlah dulu. Kau memang sudah tampak sehat, tapi kau masih perlu banyak waktu dan asupan bagus untuk memulihkan tenagamu."Aku mendongak menatap gadis yang beberapa hari terakhir menemaniku di sini. Dia gesit dan telaten mengurusku. Itu hal yang bagus, bukan? Saat terbaring tak berdaya, ada seseorang yang tulus mengurusmu.Betapa beruntungnya diriku?"Lyn.."
Aku meninggalkan Corrine berdua dengan Abe Villich di balkon rumah sakit agar mereka saling berbicara. Semoga saja keputusanku tak salah. Aku sedikit khawatir karena Corrine terlihat amat pucat dan kaget saat melihat Abe ada di sana. Pria itu pasti mengikuti kami tadi saat keluar untuk berbicara.Aku masih berada di balik pintu balkon selama beberapa saat, hanya untuk memastikan bahwa Corrine baik-baik saja. Sungguh. Aku tak berniat menguping. Aku masih ingat apa yang dilakukan Abe pada Corrine dulu hingga membuat Corrine yang biasanya ceria menjadi amat pendiam dan tertekan."Katakan, Corry. Apa yang mereka katakan tentangmu sehingga kau ikut tanpa perlawanan seperti itu." Suara Abe dingin dan tegas. Bahkan aku yang bukan lawan bicaranya saja berjengit, apalagi Corrine.Aku bisa mendengar suara tangis saat ak
“Tak bisakah kita sedikit lebih cepat?” Aku memajukan tubuhku untuk berbicara pada supir dengan nada tak sabar.“Cherie…”Kurasakan tangan Daddy menggengam tanganku dan meremasnya pelan. Mungkin menegur, atau mungkin juga sekedar menguatkanku karena kejadian-kejadian yang terjadi hari ini. Aku hanya menatapnya dengan tatapan putus asa. Namun aku kembali ke kursiku dan duduk dengan rapi. Mencoba untuk tenang meskipun rasanya sudah tak karuan lagi di dalam diriku.Tiga jam lalu kami dihubungi oleh Corrine yang berbicara dengan sangat cepat dan nyaris tak jelas tentang jangan pulang ke istana dan pergi ke tempat lain karena istana tak aman. Dia tak menjelaskan lebih jauh dan hanya terus mengulang kalimat itu. Kami baru saja sampai di istana, namun kami tak masuk dan langsung melanjutkan k
Richard’sPolisi dan pasukan tambahan datang tepat waktu untuk menyelamatkan kami. Seperti dugaanku, ada beberapa orang dari pasukan Cedric yang membelot dan berkhianat dengan pria itu. Hal itu membuat pasukan yang kubawa menjadi kalang kabut dan kami sempat terpukul mundur karena bingung siapa lawan dan kawan di sini.Untungnya, polisi ada yang membawa senapan paintball sehingga kami bisa menandai siapa saja yang berkhianat dengan peluru cat merah di punggungnya. Ini membantu kami mengidentifikasi siapa yang berada di tim kami dan tim lawan.Corrine sempat di bawa ke ruangan lain oleh Phillip, tapi aku berhasil mengejarnya setelah menumbangkan Cedric dengan mematahkan bahunya.“Sorry, Pal, tapi kau pantas mendapatkannya. Ibi bahkan tak setimpal dengan
Aku terbelalak tak mempercayai mataku. Di depan kami, muncul dua orang yang sama sekali tak kuduga akan kutemui di sini. Mereka yang menjadi dalang penculikan Corrine? Kenapa?!“Cedric? JJ?” Aku mengucap dengan nada tak percaya. “Why?! Kenapa kalian melakukan ini?”“Apakah itu belum jelas, mademoiselle?”JJ menjawab sembari berjalan melenggang mendekat pada Putra Mahkota… bukan. Richard memanggilnya Phillip, karena dia sudah bukan lagi Putra Mahkota. JJ mendekat pada Phillip dan mereka mulai menempelkan tubuh mereka satu sama lain. Pemandangan yang langsung membuatku mual! Rupanya JJ adalah partner sesama jenis Phillip?! Bukankah…“Oh, maafkan, kami terlalu larut dalam dunia kami yang penuh cinta. JJ. Kekasih
Richard’s“Akhirnya kalian datang juga. Aku terkesan.”“Kau…”“Apa maksudnya ini?!”Pertanyaan Mira dan pak Tua saling bersahutan saat melihat pemilik rumah yang dan sandera yang mereka cari sedang duduk sambil bermain catur di ruang baca. Aku menggertakkan gigi dan mengepalkan tinjuku erat. Mencoba menahan amarahku yang meperti mengancam ingin menelanku bulat-bulat.Aku sudah memiliki kecurigaan sejak menemukan lokasi di mana Corrine berada. Tak banyak yang tahu bahwa rumah ini bukan lagi milik Abe Villich. Namun aku dan Cedric adalah sedikit di antara orang-orang yang tahu bahwa sejak Arlaine meninggal. Rumah ini dibeli oleh Abe Villich sebagai hadiah pernikahan untuk Arlaine
Granny Louisa menangis tersedu mendengar cerita tentang Corrine dariku.Pada akhirnya, aku tak punya pilihan untuk tidak mengatakannya. Lagi pula, mengenai hal ini, aku juga butuh berdiskusi tentang beberapa hal. Tentang apa peranku di sini. Aku sama sekali tak tahu apa yang harus kulakukan jika penjahatnya benar-benar tertangkap. Atau bagaimana caranya agar penjahatnya tertangkap dan Corrine kembali pada kami dengan selamat.Betul kata Daddy. Aku tak tahu apa yang seharusnya kulakukan di saat seperti ini. Betul kata Madame Villich, aku hanya boneka di sini yang tak akan bisa menggantikan posisi siapa pun. Aku muncul hanya karena panggung terlalu sepi."Richard sedang mencarinya, Granny. Aku yakin dia pasti akan berusaha dengan seksama dan membawa Corrine pulang dengan selamat."