"So what are you saying, Princess?"
Secara garis besar, dengan kalimatnya igu, Richard sudah mengatakan semuanya. Dia tertarik padaku, ya. Tapi apakah dia memiliki perasaan khusus untukku? Dia sendiri pun tak tahu. Dia hanya ingin menikmati waktunya denganku saat ini. Melakukan apa yang ingin dia lakukan bersamaku.
Pikiranku masih kabur dan tak terlalu jernih. Dengan nafas terengah, jantung berdebar kencang dan wajah memanas seperti terbakar bara api. Aku berakhir tak mengatakan apa pun untuk menanggapinya.
Kami masih terus bertatapan, membuat kondisi jantungku semakin tak karuan. Hingga akhirnya akulah yang pertama kali memutuskan kontak mata kami. Banyak sekali hal yang aku rasakan secara bersamaan saat ini. Senang, takut, sedikit kecewa, berharap dan banyak lainnya bercampur menjadi satu sehingga aku sendiri p
"Putusan untuk Madame Louisa dari Pengadilan Parlemen sudah turun, Monsieur." "Apa kata mereka?" Tanyaku. Pengawal tersebut tampak ragu - ragu, dan itu malah membuatku semakin tak sabar. Entah kenapa insting kuat yang sudah kuasah sejak dulu hari ini begitu tumpul. Melihat tatapan mata yang tampak tak fokus dan bergetar itu, kenapa aku tak memikirkan apa pun tentang sesuatu yang buruk sudah terjadi? "Katakan." Kataku lagi dengan nada tak sabar. Dia tampak menolah noleh ke sekitar rumah dan masih saja ragu - ragu. Itu membuat kesabaranku yang sedang tidak dalam kondisi primanya tersodok dan runtuh. Tepat sebelum amarahku meledak, pengawal itu berkata dengan nada menyesal yang sepertinya sungguh - sungguh, “Pardonnez
Kabar mengejutkan yang tiba - tiba itu membuat suasana maison jadi semakin mencekam. Tak ada yang pulang ke rumah. Daddy yang beberapa hari terakhir tak terlihat di rumah, semakin tak ada kabar. Begitupun Corrine dan Tante Milgueta.Aku memang jarang bertukar pesan dengan Daddy saat sedang bekerja. Aku tak terbiasa. Dengan Mama, aku diajarkan untuk mandiri dan membiarkan Mama menyelesaikan pekerjaannya di jam kerja, sehingga menghubungi saat seseorang sedang bekerja, konsep tersebut masih asing bagiku. Apalagi saat ini ponselku sedang disita sehingga aku tak mungkin bisa mengaksesnya.Untuk sekarang, tak adanya alat komunikasi bersamaku seperti ini mungkin adalah hal yang bagus. Jadi aku tak terlalu fokus pada hal - hal buruk yang sedang terjadi hari ini.Sepertinya seluruh karyawan dan pengawal yang ada di ru
Richard'sKabar yang mengejutkan. Amat sangat mengejutkan. Bahkan Brigitte sampai menangis tersedu saat mendengarnya. Mira hanya menangis sebentar, dia bahkan tak mau kupeluk untuk kutenangkan.Aku hanya berdiri di samping ranjangnya melihatnya tersedu. Dan saat dia selesai dengan tangisnya, dia memberikan ponselku dan memintaku untuk pergi dari kamarnya."Tugasmu sudah kau lakukan. Sekarang keluarlah. Aku janji tak akan melakukan sesuatu yang bodoh. Kemarilah lagi untuk menjemput saat makan malam tiba." kalimatnya yang dingin dan tak terjangkau itu yang memberi tahuku betapa hancur hatinya.Dia berusaha amat keras untuk tegar agar tak merepotkan orang - orang. Tapi tugas kami untuk menjaganya, dan bukan sebaliknya. Jadi aku lakukan sebisaku yang kupikir bisa mengh
Akhirnya tiba juga hari ini. Hari yang tak kunantikan, tapi kuharapkan cepat berlalu. Hari di mana aku akan masuk istana dan menjalani pelatihan sebagai seorang putri.Dua minggu terakhir kujalani dengan monoton. Bahkan saking monotonnya, aku seperti sedang menyetel auto pilot. Semuanya berjalan serba otomatis; bangun pagi, mandi, Richard menjemput, sarapan, membaca atau menggambar sampai makan siang, kemudian Richard akan menjemput lagi, dan aku akan makan siang di dapur bersama Richard dan Brigitte. Istirahat siang, dan sorenya aku akan bangun, membereskan tempat tidurku, sebenarnya ini dilarang Brigitte, tapi aku berdalih ini untuk melatih ototku agar tak kaku. Dan karena Brigitte tau seberapa kepala batunya aku, maka dia mengalah dan membiarkannya saja.Daddy, Corrine dan Tante Milguetta? Dua minggu ini mungkin aku hanya pernah melihat mereka tak lebi
Richard’sSepanjang perjalanan dia diam saja. Banyak menoleh ke luar jendela sambil menyangga dagunya dengan telapak tangannya. Sepertinya ada yang mengganggu pikirannya, tapi dia tak mau membaginya denganku. Rambutnya yang kini pendek sebahu hari ini dia gelung ke belakang dengan rapi, menyisakan beberapa helai yang dibiarkan menjuntai ke depan untuk membingkai wajahnya. Dia memakai kemeja berkerah rimpel yang aku kenali sebagai milik Arlaine. Wanita itu pernah memakainya suatu saat dulu. Sepertinya aku ingat dia berhenti memakainya karena baju itu sudah kekecilan. Arlaine jauh lebih berisi dan lebih tinggi dari Mira. Bukan berisi yang overweight, hanya lebih… berisi. Jika kalian tau maksudku. Sebagai bawahan, dia memakai rok A line selutut dan juga pantyhose yang membungkus kakinya. Cantik dan mungil, seperti boneka Rusia.Aku sedikit senang meli
Richard’sAku melirik Mira sekali lagi saat kami akan memasuki istana. Dia berlaku anggun dan sopan dengan menundukkan kepalanya membalas sapaan hampir semua penjaga. Dia sudah kembali pada dirinya yang biasa.Beberapa saat lalu, wajahnya terlihat pucat, dan seperti kesulitan bernafas, tapi kemudian berubah menjadi semerah tomat. Katakan aku terlalu peka dan besar kepala, tapi, itu semua karena…. aku? Senyuman kecil tersungging di bibirku saat memikirkan hal itu. Bahwa aku bisa membuat Mira merasa seperti itu. Mira memiliki perasaan padaku. Aku tahu itu, dan melihat reaksinya pada saat aku menyentuhnya, dan memintanya untuk bersamaku meskipun tanpa status membuatku yakin bahwa perasaannya bukan hanya sekedar naksir belaka. Dia jatuh cinta padaku. Dan kurangnya pengalaman gadis itu dalam hal ini membuatnya ragu - ragu. Terlebih tawaranku yang tak berperasaan untuk menjalin hubungan tanpa adanya status dengannya, itu semua pasti membuatnya bingung. T
Richard baru menurunkanku setelah kami sampai di depan sebuah kamar. Aku tak tahu bedanya kamar ini dengan kamar - kamar lain, karena di mataku, semua pintunya sama. Seharusnya tadi aku menghitung, ini pintu keberapa sejak aku keluar dari dalam lift. Tapi tadi… ah, aku terlalu berfokus pada kedekatanku dengan Richard tadi sehingga akhirnya aku melewatkan banyak hal.Aku harus mengingatnya nanti saat keluar dari sini, batinku penuh tekada. Karena meskipun lorong ini hangat, tetap saja aku tak mau tidur di lorong beralaskan karpet!Richard menempelkan semacam kartu di kuncinya dan pintu itu pun terbuka. Wah, lebih canggih daripada hotel! Gumamku kagum, tapi tentu saja hanya kubisikkan dalam hati.“Kemarilah, Princess.” Katanya padaku. Pintu kamar tersebut sudah terbuka, tapi dia menahann
Richard’sAku menuntun Mira dengan buru - buru, lebih seperti aku menyeretnya kembali ke kamarnya. Aku sangat marah. Aku ingat aku sudah mengisi daftar apa - apa saja yang boleh dimakan dan tak boleh dimakan Mira, termasuk alergi dan juga dietnya. Semua sudah kurangkum dan kumasukkan ke dalam sistem, yang bisa dikases oleh koki kerajaan, penjaga dan pelayan lain. Ini memungkinkan agar mereka semua bisa mengaksesnya informasi tersebut dan tahu tindakan apa yang harus diambil jika mereka bertugas melayani Mira.Kami sudah hampir mencapai lift saat Mira mencengkeram pergelangan tangaku, membuatku menoleh padanya.“Please slow down,” engahnya dengan nafas satu - satu. Meskipun saat ini di tengah musim dingin, tapi istana tetap hangat. Bintik - bintik kecil keringat menghiasi keningnya.
Kali ke dua aku naik pesawat. Aku gugup, dan terus menerus ke toilet sejak tadi. Ada satu penjaga yang mengawalku sampai aku boarding nanti. Namun aku menolak untuk terus diikuti sampai Indonesia.Di sini aku memang keluarga kerajaan, tapi di sana aku bukan siapa-siapa. Untunglah Daddy mau mengerti hal ini. Aku sedang menunggu panggilan untuk boarding. Dan lagi-lagi, aku teringat akan alasanku pergi."Stop, Mira. Terima saja. Cinta pertamamu tak berjalan lancar. Kau harus melupakannya."Aku menarik satu kali nafas panjang tepat saat panggilan pertama pesawat yang akan membawaku ke Indonesia terdengar. Aku dan beberapa penumpang pesawat lainnya mengantri untuk verifikasi terakhir sebelum masuk pesawat dan masuk dengan tertib.Tak seperti penerbanganku sebelumn
Granny melarangku untuk berpikir pergi dari sini adalah yang terbaik. Bahkan setelah dua hari berlalu. Dia ingin aku kuat, dan dia meyakinkan bahwa semua yang ada di sini keluargaku. Bahwa aku tak sendirian di sini."Kita bisa mengganti pengawalmu jika kau tak ingin bertemu dengan Richard. Tapi aku tak setuju jika kau pergi meninggalkan kami. Semua keributan ini akhirnya berakhir, dan kita bisa hidup dengan tenang bersama, kenapa kau malah memikirkan untuk pergi?"Dari situ aku sadar, Granny benar. Bagi semua orang, ini adalah kemenangan. Hanya aku yang merasa kalah dalam hal ini, dan itu karena Richard. Aku merasa buruk setelah mendengar hal itu."Maaf, aku jadi egois."Granny Louisa menggeleng. "Kau memang tak bisa kembali ke sana, tapi kau bisa berkunjung sebent
Richard'sAku menonton berita di televisi dengan tatapan puas. Phillip, ibunya, JJ, Cedric dan anak buahnya yang terbukti membelot sudah diringkus. Pengadilan kasus mereka memang belum ditetapkan kapan, namun, mereka tak akan lepas dari sanksi sosial kali ini. Dulu, Pak Tua terlalu baik hati untuk mengumumkan perbuatan mereka pada media. Namun sekarang tidak lagi."Makanlah dulu. Kau memang sudah tampak sehat, tapi kau masih perlu banyak waktu dan asupan bagus untuk memulihkan tenagamu."Aku mendongak menatap gadis yang beberapa hari terakhir menemaniku di sini. Dia gesit dan telaten mengurusku. Itu hal yang bagus, bukan? Saat terbaring tak berdaya, ada seseorang yang tulus mengurusmu.Betapa beruntungnya diriku?"Lyn.."
Aku meninggalkan Corrine berdua dengan Abe Villich di balkon rumah sakit agar mereka saling berbicara. Semoga saja keputusanku tak salah. Aku sedikit khawatir karena Corrine terlihat amat pucat dan kaget saat melihat Abe ada di sana. Pria itu pasti mengikuti kami tadi saat keluar untuk berbicara.Aku masih berada di balik pintu balkon selama beberapa saat, hanya untuk memastikan bahwa Corrine baik-baik saja. Sungguh. Aku tak berniat menguping. Aku masih ingat apa yang dilakukan Abe pada Corrine dulu hingga membuat Corrine yang biasanya ceria menjadi amat pendiam dan tertekan."Katakan, Corry. Apa yang mereka katakan tentangmu sehingga kau ikut tanpa perlawanan seperti itu." Suara Abe dingin dan tegas. Bahkan aku yang bukan lawan bicaranya saja berjengit, apalagi Corrine.Aku bisa mendengar suara tangis saat ak
“Tak bisakah kita sedikit lebih cepat?” Aku memajukan tubuhku untuk berbicara pada supir dengan nada tak sabar.“Cherie…”Kurasakan tangan Daddy menggengam tanganku dan meremasnya pelan. Mungkin menegur, atau mungkin juga sekedar menguatkanku karena kejadian-kejadian yang terjadi hari ini. Aku hanya menatapnya dengan tatapan putus asa. Namun aku kembali ke kursiku dan duduk dengan rapi. Mencoba untuk tenang meskipun rasanya sudah tak karuan lagi di dalam diriku.Tiga jam lalu kami dihubungi oleh Corrine yang berbicara dengan sangat cepat dan nyaris tak jelas tentang jangan pulang ke istana dan pergi ke tempat lain karena istana tak aman. Dia tak menjelaskan lebih jauh dan hanya terus mengulang kalimat itu. Kami baru saja sampai di istana, namun kami tak masuk dan langsung melanjutkan k
Richard’sPolisi dan pasukan tambahan datang tepat waktu untuk menyelamatkan kami. Seperti dugaanku, ada beberapa orang dari pasukan Cedric yang membelot dan berkhianat dengan pria itu. Hal itu membuat pasukan yang kubawa menjadi kalang kabut dan kami sempat terpukul mundur karena bingung siapa lawan dan kawan di sini.Untungnya, polisi ada yang membawa senapan paintball sehingga kami bisa menandai siapa saja yang berkhianat dengan peluru cat merah di punggungnya. Ini membantu kami mengidentifikasi siapa yang berada di tim kami dan tim lawan.Corrine sempat di bawa ke ruangan lain oleh Phillip, tapi aku berhasil mengejarnya setelah menumbangkan Cedric dengan mematahkan bahunya.“Sorry, Pal, tapi kau pantas mendapatkannya. Ibi bahkan tak setimpal dengan
Aku terbelalak tak mempercayai mataku. Di depan kami, muncul dua orang yang sama sekali tak kuduga akan kutemui di sini. Mereka yang menjadi dalang penculikan Corrine? Kenapa?!“Cedric? JJ?” Aku mengucap dengan nada tak percaya. “Why?! Kenapa kalian melakukan ini?”“Apakah itu belum jelas, mademoiselle?”JJ menjawab sembari berjalan melenggang mendekat pada Putra Mahkota… bukan. Richard memanggilnya Phillip, karena dia sudah bukan lagi Putra Mahkota. JJ mendekat pada Phillip dan mereka mulai menempelkan tubuh mereka satu sama lain. Pemandangan yang langsung membuatku mual! Rupanya JJ adalah partner sesama jenis Phillip?! Bukankah…“Oh, maafkan, kami terlalu larut dalam dunia kami yang penuh cinta. JJ. Kekasih
Richard’s“Akhirnya kalian datang juga. Aku terkesan.”“Kau…”“Apa maksudnya ini?!”Pertanyaan Mira dan pak Tua saling bersahutan saat melihat pemilik rumah yang dan sandera yang mereka cari sedang duduk sambil bermain catur di ruang baca. Aku menggertakkan gigi dan mengepalkan tinjuku erat. Mencoba menahan amarahku yang meperti mengancam ingin menelanku bulat-bulat.Aku sudah memiliki kecurigaan sejak menemukan lokasi di mana Corrine berada. Tak banyak yang tahu bahwa rumah ini bukan lagi milik Abe Villich. Namun aku dan Cedric adalah sedikit di antara orang-orang yang tahu bahwa sejak Arlaine meninggal. Rumah ini dibeli oleh Abe Villich sebagai hadiah pernikahan untuk Arlaine
Granny Louisa menangis tersedu mendengar cerita tentang Corrine dariku.Pada akhirnya, aku tak punya pilihan untuk tidak mengatakannya. Lagi pula, mengenai hal ini, aku juga butuh berdiskusi tentang beberapa hal. Tentang apa peranku di sini. Aku sama sekali tak tahu apa yang harus kulakukan jika penjahatnya benar-benar tertangkap. Atau bagaimana caranya agar penjahatnya tertangkap dan Corrine kembali pada kami dengan selamat.Betul kata Daddy. Aku tak tahu apa yang seharusnya kulakukan di saat seperti ini. Betul kata Madame Villich, aku hanya boneka di sini yang tak akan bisa menggantikan posisi siapa pun. Aku muncul hanya karena panggung terlalu sepi."Richard sedang mencarinya, Granny. Aku yakin dia pasti akan berusaha dengan seksama dan membawa Corrine pulang dengan selamat."