Mbah Karso duduk bersila di depan peti, tangannya menggenggam segenggam bunga setaman yang ia taburkan di atas tutup peti. Lalu, ia mulai melantunkan mantra dalam bahasa Jawa kuno, suaranya pelan, tapi mengalun seperti gelombang yang menembus udara.Narendra memperhatikan dengan saksama, mencoba memahami setiap kata yang keluar dari mulut Mbah Karso. Namun, sebagian besar terdengar asing. Beberapa kalimat seperti terucap dari zaman yang sudah lama terkubur: “Ojo nganti suwe, ojo nganti gawe petaka. Sira sing ndhelik ing peti iki, bali marang papanmu. Kowe dudu panguwasa ing jagad iki.”Mantra itu terasa menggetarkan, seolah memanggil sesuatu dari dimensi lain. Hawa di dalam kamar semakin berat, dan Narendra merasa sulit bernapas. Tiba-tiba, peti itu bergetar sendiri, menimbulkan suara gemeretak kayu yang membuat jantung Narendra berdetak lebih cepat.“Mbah, apa yang terjadi?” tanya Narendra panik, melangkah mundur sedikit.“Peti ini tidak mau melepaskan isinya begitu saja,” jawab Mba
Mbah Karso tampak tidak terganggu. Ia malah semakin menajamkan pegangannya pada kitab itu dan melanjutkan mantranya. Namun, getaran itu semakin kuat, membuat beberapa murid terlihat mulai gelisah."Mbah, apa ini normal?" tanya salah satu murid yang berdiri di sebelah kanan Mbah Karso."Tetap tenang," jawab Mbah Karso sambil melanjutkan doanya. "Kita harus menyelesaikan ini."Akhirnya, setelah hampir setengah jam memantrai kitab itu, Mbah Karso memberi aba-aba. "Siapkan api!"Narendra memperhatikan salah satu murid menuangkan cairan minyak tanah ke dalam tong tempat kitab itu akan dibakar. Semua orang terlihat tegang.Mbah Karso mengangkat kitab itu tinggi-tinggi, lalu dengan hati-hati menempatkannya di dalam tong. "Mulai bakar ...!"Salah seorang murid menyalakan korek dan melemparkannya ke dalam tong. Api segera menyala besar, menjilat-jilat ke arah kitab yang berada di tengahnya. Namun, yang terjadi selanjutnya membuat semua orang terkejut.Api itu seolah menolak menyentuh kitab te
Langit berwarna jingga mulai bergeser menuju gelap, dan suasana di halaman belakang rumah Alya semakin tegang. Mbah Karso tampak semakin serius, peluh mengalir di dahinya, tapi ia tetap duduk tegap. Hawa di sekitar terasa semakin berat, seperti ada sesuatu yang menekan seluruh tubuh mereka.“Kita harus menyelesaikan ini sebelum tengah malam,” ujar Mbah Karso dengan suara parau, tatapannya menyapu orang-orang yang duduk melingkar. “Nanti malam bulan purnama, dan entitas gaib akan mendapatkan kekuatan penuh. Kalau kita tidak menyelesaikan ini sebelum itu, kita semua akan dalam bahaya besar.”Narendra yang duduk di dekat lingkaran menggigit bibirnya. Kata-kata Mbah Karso menambah tekanan yang sudah ia rasakan. Ia memandangi tong besar di tengah lingkaran yang berisi kitab terkutuk itu, masih utuh meskipun sudah dicoba dibakar.“Mbah, apa kita bisa mengatasi ini tepat waktu?” tanya Narendra dengan nada ragu.“Kalau kalian tetap fokus dan tidak ada yang keluar dari lingkaran ini, kita bis
Tina duduk terdiam di ruang tunggu rumah sakit, air matanya masih membasahi pipinya. Setiap detik terasa berat, seperti ada yang menahan napas di dadanya. Tangannya gemetar saat ia memegang ponsel, mencoba untuk menenangkan dirinya. Dengan suara tercekat, ia menekan nomor kakaknya, Suhadi, yang saat itu sedang di rumah mengambil pakaian ganti.“Halo, Dek Tina? Ada apa?” suara Suhadi terdengar, sedikit terengah-engah, seakan mendengar ketegangan di suara adiknya."Tina, ada apa? Kenapa kamu nangis?" Suhadi bertanya, mulai khawatir dengan nada suaranya yang tak biasa.Tina menghela napas berat, lalu dalam suara pecah, ia berusaha menjelaskan."Kang ... A-alya—" Tina hampir tak bisa melanjutkan kalimatnya, suara tangisannya semakin keras. Ia merasa tercekik oleh kecemasan yang meluap. "Alya kritis! Dia tadi sempat kejang-kejang, Mas Bowo dan aku lagi salat, tiba-tiba dokter masuk dan bilang code blue. Aku nggak tahu harus gimana!"Suhadi yang mendengar kata-kata itu terdiam beberapa det
Suhadi tiba di rumah sakit dalam keadaan tergesa-gesa. Begitu masuk, ia langsung menuju ruang perawatan Alya, di mana Bowo dan Tina tampak menunggu di luar dengan wajah cemas. Mata mereka tampak merah karena menangis, meski demikian mereka berusaha menunjukkan keteguhan."Kang Suhadi!" Tina langsung menghampiri kakaknya dengan langkah cepat. "Bagaimana? Apa yang Mbah Karso bilang?" tanya Tina dengan cemas, matanya menatap penuh harap. Saat di perjalanan tadi, kakaknya memang sudah menelepon dan menceritakan kalau Mbah Karso tengah melakukan pembersihan. Sehingga kini Tina langsung bertanya lebih lanjut karena penjelasan di telepon tadi terlalu singkat.Suhadi menatap Tina, berusaha menenangkan diri. "Mbah Karso sudah tahu. Dia bilang Alya terperangkap di dunia jin. Ada makhluk besar yang mengikat jiwanya di sana, dan kita harus cepat melaksanakan ritual untuk membebaskannya."Bowo yang sedang duduk di samping Tina, mendengar penjelasan Suhadi, langsung berdiri dan melangkah maju. "
Waktu semakin larut, Mbah Karso merasa waktu semakin mendesak. "Semua harus dilakukan tepat waktu," gumamnya dengan serius.Namun, masih ada satu hal yang menghantui pikiran Mbah Karso. "Alya harus sadar. Dia adalah satu-satunya yang bisa melarung kitab itu. Tanpa dia ... kita akan kehilangan segalanya."Satu per satu, murid-murid Mbah Karso mencoba untuk membantu, tetapi mereka tahu bahwa tanpa kehadiran Alya, mereka hanyalah pihak yang ikut serta dalam proses ini tanpa bisa mengubah hasil akhirnya.Sementara di rumah sakit, meskipun langit malam tampak cerah, ketegangan di dalam rumah sakit semakin terasa. Suhadi, Bowo, dan Tina tak bisa berpaling dari kamar perawatan Alya. Sesekali, mereka mendengarkan monitor yang masih menunjukkan detak jantung Alya yang stabil, tapi dalam hatinya mereka terus bertanya—apa yang sebenarnya sedang terjadi pada Alya?"Mbah Karso bilang, kita harus menunggu sampai Alya sadar," Suhadi mengatakannya dengan suara yang bergetar."Apakah ... apakah ada
Malam itu begitu mencekam, Narendra pulang ke rumah dengan langkah berat, tapi penuh tekad. Angin dingin menusuk kulitnya, seolah menandakan bahwa dunia gaib sedang tidak bersahabat. Ia tahu, apa yang akan dihadapinya malam ini tidak hanya soal keberanian, tapi juga keimanan. Langkah kakinya terdengar menggema di lantai rumah yang sunyi, hanya diiringi detak jam dinding yang terdengar monoton.Narendra masuk ke sebuah kamar khusus di lantai dua rumahnya, kamar yang biasanya digunakkan ayahnya untuk bersemedi. Dinding-dindingnya penuh dengan simbol doa perlindungan, dan sebuah meja kecil di tengah ruangan menampung dupa, air zamzam, serta kitab doa. Ia menyalakan dupa, membiarkan aroma cendana memenuhi udara, menciptakan atmosfer yang lebih khusyuk."Ya Allah, kuatkanlah aku. Hanya kepada-Mu aku berserah," gumam Narendra sebelum ia duduk bersila di tengah ruangan. Ia menarik napas panjang, menenangkan debar jantungnya yang sedikit gelisah.Narendra mulai merapalkan doa-doa pelindung
Beberapa saat kemudian, di luar ruang rawat Alya, Tina dan Bowo berdiri dengan wajah tegang, menunggu kabar dari dokter. Kedua orang tua itu belum sempat beristirahat dengan benar sejak Alya dirawat, tetapi mereka menolak meninggalkan rumah sakit.Pintu ruang rawat terbuka, dan dokter Maya melangkah keluar. "Pak Bowo, Bu Tina, anak Anda sudah sadar," katanya dengan senyum hangat.Tina langsung terisak, menutup mulutnya dengan tangan. "Benarkah, Dok? Alya sadar?"Dokter Maya mengangguk. "Iya, Bu. Kondisinya perlahan membaik. Anda boleh masuk sekarang, tapi tolong jangan terlalu banyak diajak bicara. Dia masih sangat lemah."Tina dan Bowo bergegas masuk ke ruang rawat dengan langkah cepat. Begitu melihat Alya yang terbaring dengan mata setengah terbuka, Tina tidak mampu menahan tangisnya lagi."Alya ...." Tina mendekati tempat tidur putrinya, memegang tangan Alya yang terasa hangat untuk pertama kalinya dalam beberapa hari.Alya membuka matanya perlahan, wajahnya tampak bingung. "Ibu ..
Cahaya matahari pagi menembus tirai jendela, menyinari rumah besar itu dengan hangat. Namun, suasana lantai dua terasa tegang. Tina, yang tengah merapikan barang-barangnya untuk pergi ke kos-kosan Alya, tiba-tiba merasa ada yang janggal.“Kenapa Nayu belum turun juga, ya?” gumamnya sambil melirik jam dinding. Jarum pendeknya sudah menunjuk angka sembilan. Biasanya, Nayu selalu muncul lebih pagi, entah untuk menyiapkan sarapan atau sekadar berkeliling.Tina menghentikan kegiatannya. Pikirannya terusik. Ia mencoba menepis kekhawatiran itu, tetapi firasatnya kian menguat. Akhirnya, dengan langkah pelan tapi pasti, ia memutuskan untuk naik ke lantai tiga.Tangga yang berderit di bawah pijakannya semakin menambah rasa was-was. Lantai tiga, yang biasanya jarang ia kunjungi, terasa begitu sunyi. Setibanya di depan kamar Nayu, Tina mengetuk pintu dengan hati-hati.“Nayu? Kamu di dalam?” panggilnya, berusaha terdengar tenang.Tak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, kali ini lebih keras. “Nayu! Ban
Rumah besar bergaya kolonial itu berdiri kokoh di tengah pekarangan yang sunyi. Malam telah larut, namun keheningan di lantai tiga terasa tidak biasa. Dinding-dinding tua berlapis cat yang mulai pudar memantulkan bayangan samar dari cahaya lilin yang berkerlip tak menentu. Udara di sana begitu pekat, seolah ada sesuatu yang mengintai, menunggu dalam bayangan gelap untuk menerkam.Di salah satu kamar di lantai itu, Nayu duduk bersila di lantai. Ruangan itu dipenuhi dengan benda-benda ritual, lilin hitam berjajar rapi di atas meja, sebuah cawan perak yang penuh cairan berbau menyengat, dan segumpal rambut kusut yang ia letakkan di atas kain merah. Matanya yang tajam menatap lekat rambut itu, tangannya mulai bergerak dengan pelan dan penuh tekad. Ia mulai merapal mantra, suaranya lirih, tapi penuh intensitas, seperti berbisik kepada kekuatan yang tidak kasat mata.“Aku tidak akan membiarkan mereka mengganggu rencanaku,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Namun, malam itu berbeda.
Pagi ini, ia dan Narendra kembali ke rumah Pak Ustaz Harun—pamannya Narendra, seorang tokoh agama yang menjadi tumpuan mereka dalam melawan kutukan keluarga.Di perjalanan, Narendra mengemudikan mobil dengan tenang. Sementara itu, Alya duduk diam di kursi penumpang, menggenggam gelang perak yang terasa berat, seolah ada energi gelap yang mengalir darinya. Di pangkuannya, ada kotak kayu kuno berukir motif Jawa yang ia temukan di kamar mendiang kakeknya. “Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Narendra, memecah keheningan.Alya mengangkat bahunya. “Entahlah. Aku merasa lega, tapi sekaligus takut. Kalau ini nggak berhasil—”“Jangan berpikir begitu. Kita sudah sejauh ini. Aku yakin, Allah nggak akan membiarkan kita berjuang tanpa hasil.” Narendra mencoba menguatkan.Alya menatap kotak kayu di pangkuannya. “Kamu yakin semuanya akan selesai setelah ini?”Narendra mengangguk. “Itulah kenapa kita harus membakarnya. Semua benda yang jadi media kutukan harus dihancurkan total. Pak Ustaz juga
“Ya Allah .…” Tina berdoa sambil menangis. “Kalau memang ini jalan yang harus kuambil, aku mohon … aku mohon, jangan biarkan Alya tahu. Jangan biarkan dia merasa bersalah. Dia nggak salah, semua ini karena dosa kami, dosa keluarga ini. Jangan hukum Alya, hukum aku saja.”Ia terisak lagi, kali ini lebih keras. Tangan kanannya menutupi wajahnya, tubuhnya gemetar hebat.Tangannya perlahan beralih ke dada, merasakan detak jantungnya yang semakin tak beraturan. Ia tahu efek ritual itu mungkin akan mulai terasa dalam beberapa hari ke depan. Bisa jadi tubuhnya akan melemah, bisa jadi ia akan sakit parah, atau bahkan meninggal.Tina tak berani menyelesaikan pikirannya. Namun, ia sudah siap. Ia tidak punya pilihan lain.Mobil yang ia kendarai kembali melaju perlahan, memasuki jalanan yang semakin sepi. Di tengah tangisannya, ia teringat lagi saat Alya memeluknya beberapa hari lalu. “Aku tahu kamu nggak akan berhenti, Nayu. Kamu mungkin akan cari cara lain kalau kamu tahu aku sudah menukar ram
Malam hari.Tina memasuki rumah besar tiga lantai yang telah lama menjadi tempat tinggal keluarganya. Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Suara angin berdesir di sela-sela pohon mangga di halaman, seolah-olah menyampaikan peringatan akan sesuatu yang kelam. Kini ia sudah berdiri di depan pintu rumah, menyapa pembantu rumah tangga yang tengah membereskan meja ruang tamu. "Nayu di mana?" tanyanya singkat, mencoba terdengar santai meski hatinya terus berdebar."Bu Nayu tadi bilang mau keluar sebentar, Bu. Katanya beli sesuatu," jawab pembantu itu sambil melipat kain lap.Mata Tina sedikit membelalak, tapi ia segera menenangkan diri. "Oh, ya sudah. Kalau begitu, saya mau naik ke lantai tiga sebentar. Ada yang ketinggalan."Pembantu itu hanya mengangguk, tak mencurigai apa-apa.Tina melangkah ke tangga, kali ini berhati-hati agar langkahnya tak menimbulkan suara berlebihan. Tangga kayu itu sesekali berderit pelan, membuatnya berhenti sejenak untuk memastikan tak ada orang yang me
Alya duduk dengan tubuh menggigil di atas karpet tipis yang membentang di ruang utama rumah sang ustadz. Pandangannya kosong, namun hatinya bergemuruh. Tubuhnya masih terasa panas, meski hawa dingin malam telah menyusup dari celah-celah jendela. Narendra duduk di dekatnya, mengamati Alya dengan cemas. "Alya," suara ustadz itu lembut, memecah keheningan. "Sebelum kita mulai, kamu harus menyucikan dirimu terlebih dahulu. Wudhu dan salat taubat adalah langkah awal untuk membuka hatimu kepada Allah. Setelah itu, kita lanjutkan dengan ruqyah. Apakah kamu siap?" Alya mengangguk perlahan, meski tubuhnya tampak lemah. "Saya siap, Ustadz," suaranya terdengar parau. Narendra segera berdiri, bersiap membantu jika Alya tidak kuat berjalan. Ustadz itu menunjukkan arah kamar mandi. "Narendra, temani dia. Pastikan dia baik-baik saja." Dengan langkah gontai, Alya berjalan menuju kamar mandi, Narendra mengikutinya dengan penuh perhatian. Di dalam kamar mandi, ia memercikkan air wudhu ke wajah
Alya membaca tulisan itu berulang kali, mencoba memahami maksudnya. Tubuhnya terasa semakin berat, seolah tulisan di atas kertas itu membawa beban yang tak kasat mata. Suara Narendra memecah keheningan."Jadi, gelang ini semacam kunci perjanjian, ya?" Narendra mengamati ukiran pada gelang perak itu. "Dan perjanjian itu jelas-jelas kutukan untuk keluargamu."Alya mengangguk pelan, bibirnya gemetar. "Iya, ini pasti ada hubungannya dengan ritual pesugihan. Tapi siapa yang menaruh gelang dan kertas ini di kotak ini? Kalau Kakek, kenapa nggak cerita ke anak-anaknya?"Narendra menggeleng. "Mungkin seseorang dari keluargamu. Tapi yang lebih penting sekarang, kita harus tahu bagaimana mengakhiri ini semua."Alya menunduk, menatap gelang itu dengan campuran rasa takut dan penasaran. "Ren, aku harus mengembalikan gelang ini ke tempat asalnya, kan? Kalau nggak, kutukan ini nggak akan pernah berhenti menghantui keluargaku."Narendra menaruh tangannya di bahu Alya, menenangkan. "Kita cari tahu dul
Keesokan HarinyaUdara dingin pagi itu terasa menusuk tulang ketika Alya dan Narendra tiba di depan rumah besar peninggalan Kakek Suroto. Bangunan itu menjulang angker dengan arsitektur kuno. Langit mendung menambah kesan mencekam pada suasana sekitar. Alya menarik napas panjang, mencoba mengusir keraguan yang menyelimuti hatinya.“Aku masih nggak yakin ini ide bagus, Ren,” bisiknya sambil melirik Narendra yang berdiri di sebelahnya dengan raut wajah serius.“Kita sudah sampai sejauh ini, Alya. Kalau kita nggak ambil kotak itu sekarang, entah apa yang akan terjadi padamu,” jawab Narendra. Ia menggenggam bahu Alya, mencoba memberinya keberanian. “Aku ada di sini, nggak perlu takut.”Alya mengangguk pelan. Dengan langkah hati-hati, ia membuka pintu samping yang biasa digunakan pekerja rumah untuk masuk. Tiga pekerja yang tengah membersihkan dapur langsung menoleh kaget melihat kehadiran Alya. Namun sebelum mereka sempat mengatakan sesuatu, Alya mengangkat tangannya, memberi isyarat aga
Tina tetap berdiri di depan celah pintu kamar Nayu. Pandangannya terpaku pada apa yang dilakukan adiknya di dalam ruangan. Nayu tampak serius, duduk bersila di lantai, dengan lilin-lilin hitam yang berkeliling mengelilinginya. Di tengah ritual itu, mata Tina tertumbuk pada sebuah benda yang membuat hatinya berdesir.Di atas kain merah dengan aksara kuno yang tampak asing, tergeletak segumpal rambut hitam pekat. Di sebelahnya, selembar foto Alya yang sudah kusam. Tangan Tina bergetar, dan ia menahan napas saat mendapati potongan rambut itu sangat mirip dengan milik putrinya."Astaga," Tina berbisik dalam hati. "Itu pasti rambutnya Alya?"Ia menggigit bibir, berusaha untuk tetap tenang. Kakinya terasa seperti tertancap ke lantai, sulit untuk digerakkan. Pandangannya bergantian antara Nayu yang tampak khusyuk melafalkan sesuatu dan benda-benda di depannya.Nayu tampak memejamkan mata, sesekali tangannya mengangkat mangkuk logam di hadapannya, kemudian meletakkannya kembali dengan gerakan