Beberapa saat kemudian, di luar ruang rawat Alya, Tina dan Bowo berdiri dengan wajah tegang, menunggu kabar dari dokter. Kedua orang tua itu belum sempat beristirahat dengan benar sejak Alya dirawat, tetapi mereka menolak meninggalkan rumah sakit.Pintu ruang rawat terbuka, dan dokter Maya melangkah keluar. "Pak Bowo, Bu Tina, anak Anda sudah sadar," katanya dengan senyum hangat.Tina langsung terisak, menutup mulutnya dengan tangan. "Benarkah, Dok? Alya sadar?"Dokter Maya mengangguk. "Iya, Bu. Kondisinya perlahan membaik. Anda boleh masuk sekarang, tapi tolong jangan terlalu banyak diajak bicara. Dia masih sangat lemah."Tina dan Bowo bergegas masuk ke ruang rawat dengan langkah cepat. Begitu melihat Alya yang terbaring dengan mata setengah terbuka, Tina tidak mampu menahan tangisnya lagi."Alya ...." Tina mendekati tempat tidur putrinya, memegang tangan Alya yang terasa hangat untuk pertama kalinya dalam beberapa hari.Alya membuka matanya perlahan, wajahnya tampak bingung. "Ibu ..
Tiga hari kemudian, suasana rumah sakit pagi itu terasa lebih hangat dibandingkan sebelumnya. Alya tampak lebih segar, Dokter telah memberikan izin baginya untuk pulang setelah memastikan kondisinya stabil. Di koridor rumah sakit, Tina terlihat sibuk membantu Alya mengenakan jaket tebal sementara Bowo memeriksa barang-barang yang akan dibawa pulang."Alya, hati-hati ya. Jangan terlalu cepat bergerak," Tina mengingatkan dengan nada lembut dan penuh perhatian."Iya, Bu. Aku juga nggak mau buru-buru," jawab Alya sambil tersenyum tipis.Bowo, yang biasanya kaku, kali ini mengangguk dengan nada sedikit lebih lunak. "Kita langsung pulang. Tidak usah mampir ke mana-mana."Alya mengangguk pelan. Meski tubuhnya masih terasa lemah, ia tidak bisa menahan rasa rindu terhadap rumahnya—tempat yang meskipun penuh kenangan kelam, tetap menjadi tempat di mana ia tumbuh.Di depan rumah peninggalan mendiang Kakek Suroto, suasana cukup ramai. Paman Suhadi berdiri di depan pintu dengan senyum hangat. Pri
Suasana malam itu kembali mencekam setelah Nayu berbisik lirih di depan cermin, seolah mengutarakan kata-kata yang bukan berasal dari dirinya sendiri. Cermin besar di kamarnya memantulkan bayangannya, tapi ada sesuatu yang aneh, refleksinya tampak tersenyum lebih lebar dari wajah aslinya.Nayu berhenti menyisir rambutnya, pandangannya terfokus pada cermin. “Apa yang kamu mau?” tanya bayangan mengerikan di dalam cermin itu, suaranya berat dan serak.Suasana kamar tiba-tiba menjadi dingin, membuat bulu kuduknya meremang. Namun, alih-alih merasa takut, Nayu justru menyeringai.“Alya harus pergi,” desisnya lagi, seperti berbicara pada sesuatu di balik pantulan kaca. "Dia mengganggu semuanya."Sementara itu, di lantai dua, Alya mencoba memejamkan mata di kamarnya. Meski sudah berbicara dengan Paman Suhadi dan merasa lebih tenang, hatinya masih diliputi kegelisahan. Ingatan akan tatapan dingin Bibi Nayu terus menghantuinya. Bahkan dalam diam, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres.Terdeng
Saat Suhadi dan Mbah Karso tiba di rumah besar, suasana terasa hening. Alya sedang duduk di ruang keluarga bersama Tina, membaca buku sambil menikmati teh hangat. Namun, suasana langsung berubah saat melihat Mbah Karso masuk."Mbah Karso?" Alya bangkit dari kursinya, terkejut dan bingung. "Kenapa tiba-tiba ke sini?"Mbah Karso tersenyum tipis, tapi matanya memancarkan ketegangan. "Alya, Nak, Mbah datang karena ada yang harus kita selesaikan. Kita perlu bicara."Tina menatap Mbah Karso dengan heran. "Ada apa, Mbah? Kenapa kelihatan serius sekali?"Mbah Karso memandang Tina, lalu Alya, seolah mencoba memilih kata yang tepat. "Mbah nggak akan berlama-lama. Alya, kamu harus ikut saya ke sungai besar. Kita harus melarung kitab ritual kuno yang pernah disimpan di rumah ini."Alya tampak bingung. "Tapi, Mbah ... kitab itu bukannya sudah disobek-sobek kata Ibu? Apa itu belum cukup?"Mbah Karso menggeleng pelan. "Tidak, Nak. Aura jahat dari kitab itu tetap ada, meski sudah disobek. Kalau tidak
Alya memeluk tubuhnya sendiri, berusaha meredam gemetar yang mulai merayapi. "Jadi selama ini, Bibi Nayu tahu bahwa ritual itu adalah sumber dari semua kutukan di keluarga ini?"Mbah Karso menatap Alya lekat-lekat, seolah ingin memastikan gadis itu benar-benar memahami beratnya situasi ini. "Iya, Nak. Dia tahu. Dan dia memutuskan untuk melanjutkannya, karena dia yakin dia bisa mengendalikan akibatnya. Tapi dia salah besar. Kutukan itu bukan sesuatu yang bisa dikendalikan."Suhadi menggeleng dengan penuh frustrasi. "Aku nggak habis pikir, bagaimana dia bisa berpikir seperti itu? Apa dia nggak ingat semua yang sudah terjadi pada keluarga ini?""Karena dia merasa dia berbeda," ujar Mbah Karso dengan nada pahit. "Dia pikir dia lebih pintar, lebih kuat, lebih mampu dari semua orang sebelumnya. Padahal, semakin seseorang merasa bisa mengendalikan kekuatan gelap, semakin dia tenggelam di dalamnya."Tina terdiam, air mata mulai mengalir di pipinya. "Dia adikku, Mbah, bagaimana saya bisa mener
Mobil meluncur dengan tenang melewati jalan yang kini sepi, membawa Mbah Karso dan Suhadi menjauh dari rumah keluarga besar itu. Di dalam rumah, suasana mulai terasa lebih ringan, seolah udara dingin yang menghantui sebelumnya perlahan menguap bersama kitab ritual yang telah dihanyutkan."Alya, ayo naik ke kamar. Kamu pasti capek banget," ucap Tina dengan suara lembut, membimbing putrinya menuju tangga menuju lantai dua.Alya mengangguk lemah, matanya terlihat berat karena kelelahan. "Iya, Bu. Terima kasih."Setelah memastikan Alya berbaring di tempat tidurnya, Tina menyelimuti putrinya dengan penuh kasih. "Istirahat yang cukup, ya, Nak. Semua sudah selesai. Kamu aman sekarang."Alya hanya mengangguk kecil sebelum akhirnya terlelap. Tina menatap wajah putrinya, ada rasa lega sekaligus was-was di hatinya. Ia membelai rambut Alya perlahan sebelum akhirnya meninggalkan kamar, menutup pintu dengan hati-hati agar tidak membangunkannya.Namun, di balik ketenangan yang mulai merayap di rumah
“Nggak ada gunanya sembunyi, Mbak Tina! Dia sudah jadi milik junjunganku! Kau juga tahu ini takdirnya!” suara Nayu menggema, terdengar seperti diucapkan oleh lebih dari satu orang.“Bu, apa maksudnya? Siapa yang dia maksud?” Alya semakin ketakutan, wajahnya basah oleh air mata.Tina menahan napas, mencoba tetap tenang. “Dia tidak tahu apa yang dia katakan, Nak. Itu bukan Bibi Nayu yang sebenarnya.”Namun, dalam hati, Tina sadar betul apa yang terjadi. Nayu sudah melampaui batas. Meski buku panduan ritual telah dilarung, Nayu rupanya masih menyimpan ingatan yang cukup untuk melanjutkan persiapan ritual berbahaya itu.“Ya Tuhan, beri aku kekuatan,” gumam Tina sambil memeluk Alya lebih erat. Ia tahu ia harus segera mencari bantuan. Tapi siapa? Suaminya masih di perusahaan, Suhadi belum kembali dari mengantar Mbah Karso, dan ponselnya tertinggal di ruang santai.Gedebuk keras terdengar di luar, diikuti oleh tawa Nayu yang membuat bulu kuduk meremang. “Kau pikir bisa menghentikanku? Ritua
Alya menghempaskan tangan bibinya dengan seluruh tenaga yang ia miliki. Napasnya tersengal-sengal, sementara tubuhnya gemetar hebat. "Cukup, Bibi! Aku nggak takut lagi!" Suaranya bergetar, tapi penuh tekad. Ia mundur selangkah, menjaga jarak dari Nayu yang tampak semakin menyeramkan.Nayu menggeram, matanya menyala merah seperti api yang berkobar. "Kau pikir bisa lari dariku? Kau milik junjunganku!" suaranya menggema, terdengar seperti keluar dari banyak mulut sekaligus.Namun, Alih-alih melarikan diri, Alya berdiri tegap. Dengan tangan gemetar, ia mengangkat kedua tangannya dan mulai mengumandangkan doa. Suaranya awalnya kecil, tapi semakin lama semakin lantang, menggema di ruangan gelap itu. Ayat-ayat suci Al-Quran meluncur dari bibirnya, menyelimuti udara yang dingin dengan kehangatan spiritual."Allahu Akbar, Astaghfirullah ... La ilaha illallah ...."Nayu menjerit-jerit histeris, tubuhnya menggeliat seolah terbakar oleh kata-kata suci yang diucapkan keponakannya. Ia menutupi
Cahaya matahari pagi menembus tirai jendela, menyinari rumah besar itu dengan hangat. Namun, suasana lantai dua terasa tegang. Tina, yang tengah merapikan barang-barangnya untuk pergi ke kos-kosan Alya, tiba-tiba merasa ada yang janggal.“Kenapa Nayu belum turun juga, ya?” gumamnya sambil melirik jam dinding. Jarum pendeknya sudah menunjuk angka sembilan. Biasanya, Nayu selalu muncul lebih pagi, entah untuk menyiapkan sarapan atau sekadar berkeliling.Tina menghentikan kegiatannya. Pikirannya terusik. Ia mencoba menepis kekhawatiran itu, tetapi firasatnya kian menguat. Akhirnya, dengan langkah pelan tapi pasti, ia memutuskan untuk naik ke lantai tiga.Tangga yang berderit di bawah pijakannya semakin menambah rasa was-was. Lantai tiga, yang biasanya jarang ia kunjungi, terasa begitu sunyi. Setibanya di depan kamar Nayu, Tina mengetuk pintu dengan hati-hati.“Nayu? Kamu di dalam?” panggilnya, berusaha terdengar tenang.Tak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, kali ini lebih keras. “Nayu! Ban
Rumah besar bergaya kolonial itu berdiri kokoh di tengah pekarangan yang sunyi. Malam telah larut, namun keheningan di lantai tiga terasa tidak biasa. Dinding-dinding tua berlapis cat yang mulai pudar memantulkan bayangan samar dari cahaya lilin yang berkerlip tak menentu. Udara di sana begitu pekat, seolah ada sesuatu yang mengintai, menunggu dalam bayangan gelap untuk menerkam.Di salah satu kamar di lantai itu, Nayu duduk bersila di lantai. Ruangan itu dipenuhi dengan benda-benda ritual, lilin hitam berjajar rapi di atas meja, sebuah cawan perak yang penuh cairan berbau menyengat, dan segumpal rambut kusut yang ia letakkan di atas kain merah. Matanya yang tajam menatap lekat rambut itu, tangannya mulai bergerak dengan pelan dan penuh tekad. Ia mulai merapal mantra, suaranya lirih, tapi penuh intensitas, seperti berbisik kepada kekuatan yang tidak kasat mata.“Aku tidak akan membiarkan mereka mengganggu rencanaku,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Namun, malam itu berbeda.
Pagi ini, ia dan Narendra kembali ke rumah Pak Ustaz Harun—pamannya Narendra, seorang tokoh agama yang menjadi tumpuan mereka dalam melawan kutukan keluarga.Di perjalanan, Narendra mengemudikan mobil dengan tenang. Sementara itu, Alya duduk diam di kursi penumpang, menggenggam gelang perak yang terasa berat, seolah ada energi gelap yang mengalir darinya. Di pangkuannya, ada kotak kayu kuno berukir motif Jawa yang ia temukan di kamar mendiang kakeknya. “Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Narendra, memecah keheningan.Alya mengangkat bahunya. “Entahlah. Aku merasa lega, tapi sekaligus takut. Kalau ini nggak berhasil—”“Jangan berpikir begitu. Kita sudah sejauh ini. Aku yakin, Allah nggak akan membiarkan kita berjuang tanpa hasil.” Narendra mencoba menguatkan.Alya menatap kotak kayu di pangkuannya. “Kamu yakin semuanya akan selesai setelah ini?”Narendra mengangguk. “Itulah kenapa kita harus membakarnya. Semua benda yang jadi media kutukan harus dihancurkan total. Pak Ustaz juga
“Ya Allah .…” Tina berdoa sambil menangis. “Kalau memang ini jalan yang harus kuambil, aku mohon … aku mohon, jangan biarkan Alya tahu. Jangan biarkan dia merasa bersalah. Dia nggak salah, semua ini karena dosa kami, dosa keluarga ini. Jangan hukum Alya, hukum aku saja.”Ia terisak lagi, kali ini lebih keras. Tangan kanannya menutupi wajahnya, tubuhnya gemetar hebat.Tangannya perlahan beralih ke dada, merasakan detak jantungnya yang semakin tak beraturan. Ia tahu efek ritual itu mungkin akan mulai terasa dalam beberapa hari ke depan. Bisa jadi tubuhnya akan melemah, bisa jadi ia akan sakit parah, atau bahkan meninggal.Tina tak berani menyelesaikan pikirannya. Namun, ia sudah siap. Ia tidak punya pilihan lain.Mobil yang ia kendarai kembali melaju perlahan, memasuki jalanan yang semakin sepi. Di tengah tangisannya, ia teringat lagi saat Alya memeluknya beberapa hari lalu. “Aku tahu kamu nggak akan berhenti, Nayu. Kamu mungkin akan cari cara lain kalau kamu tahu aku sudah menukar ram
Malam hari.Tina memasuki rumah besar tiga lantai yang telah lama menjadi tempat tinggal keluarganya. Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Suara angin berdesir di sela-sela pohon mangga di halaman, seolah-olah menyampaikan peringatan akan sesuatu yang kelam. Kini ia sudah berdiri di depan pintu rumah, menyapa pembantu rumah tangga yang tengah membereskan meja ruang tamu. "Nayu di mana?" tanyanya singkat, mencoba terdengar santai meski hatinya terus berdebar."Bu Nayu tadi bilang mau keluar sebentar, Bu. Katanya beli sesuatu," jawab pembantu itu sambil melipat kain lap.Mata Tina sedikit membelalak, tapi ia segera menenangkan diri. "Oh, ya sudah. Kalau begitu, saya mau naik ke lantai tiga sebentar. Ada yang ketinggalan."Pembantu itu hanya mengangguk, tak mencurigai apa-apa.Tina melangkah ke tangga, kali ini berhati-hati agar langkahnya tak menimbulkan suara berlebihan. Tangga kayu itu sesekali berderit pelan, membuatnya berhenti sejenak untuk memastikan tak ada orang yang me
Alya duduk dengan tubuh menggigil di atas karpet tipis yang membentang di ruang utama rumah sang ustadz. Pandangannya kosong, namun hatinya bergemuruh. Tubuhnya masih terasa panas, meski hawa dingin malam telah menyusup dari celah-celah jendela. Narendra duduk di dekatnya, mengamati Alya dengan cemas. "Alya," suara ustadz itu lembut, memecah keheningan. "Sebelum kita mulai, kamu harus menyucikan dirimu terlebih dahulu. Wudhu dan salat taubat adalah langkah awal untuk membuka hatimu kepada Allah. Setelah itu, kita lanjutkan dengan ruqyah. Apakah kamu siap?" Alya mengangguk perlahan, meski tubuhnya tampak lemah. "Saya siap, Ustadz," suaranya terdengar parau. Narendra segera berdiri, bersiap membantu jika Alya tidak kuat berjalan. Ustadz itu menunjukkan arah kamar mandi. "Narendra, temani dia. Pastikan dia baik-baik saja." Dengan langkah gontai, Alya berjalan menuju kamar mandi, Narendra mengikutinya dengan penuh perhatian. Di dalam kamar mandi, ia memercikkan air wudhu ke wajah
Alya membaca tulisan itu berulang kali, mencoba memahami maksudnya. Tubuhnya terasa semakin berat, seolah tulisan di atas kertas itu membawa beban yang tak kasat mata. Suara Narendra memecah keheningan."Jadi, gelang ini semacam kunci perjanjian, ya?" Narendra mengamati ukiran pada gelang perak itu. "Dan perjanjian itu jelas-jelas kutukan untuk keluargamu."Alya mengangguk pelan, bibirnya gemetar. "Iya, ini pasti ada hubungannya dengan ritual pesugihan. Tapi siapa yang menaruh gelang dan kertas ini di kotak ini? Kalau Kakek, kenapa nggak cerita ke anak-anaknya?"Narendra menggeleng. "Mungkin seseorang dari keluargamu. Tapi yang lebih penting sekarang, kita harus tahu bagaimana mengakhiri ini semua."Alya menunduk, menatap gelang itu dengan campuran rasa takut dan penasaran. "Ren, aku harus mengembalikan gelang ini ke tempat asalnya, kan? Kalau nggak, kutukan ini nggak akan pernah berhenti menghantui keluargaku."Narendra menaruh tangannya di bahu Alya, menenangkan. "Kita cari tahu dul
Keesokan HarinyaUdara dingin pagi itu terasa menusuk tulang ketika Alya dan Narendra tiba di depan rumah besar peninggalan Kakek Suroto. Bangunan itu menjulang angker dengan arsitektur kuno. Langit mendung menambah kesan mencekam pada suasana sekitar. Alya menarik napas panjang, mencoba mengusir keraguan yang menyelimuti hatinya.“Aku masih nggak yakin ini ide bagus, Ren,” bisiknya sambil melirik Narendra yang berdiri di sebelahnya dengan raut wajah serius.“Kita sudah sampai sejauh ini, Alya. Kalau kita nggak ambil kotak itu sekarang, entah apa yang akan terjadi padamu,” jawab Narendra. Ia menggenggam bahu Alya, mencoba memberinya keberanian. “Aku ada di sini, nggak perlu takut.”Alya mengangguk pelan. Dengan langkah hati-hati, ia membuka pintu samping yang biasa digunakan pekerja rumah untuk masuk. Tiga pekerja yang tengah membersihkan dapur langsung menoleh kaget melihat kehadiran Alya. Namun sebelum mereka sempat mengatakan sesuatu, Alya mengangkat tangannya, memberi isyarat aga
Tina tetap berdiri di depan celah pintu kamar Nayu. Pandangannya terpaku pada apa yang dilakukan adiknya di dalam ruangan. Nayu tampak serius, duduk bersila di lantai, dengan lilin-lilin hitam yang berkeliling mengelilinginya. Di tengah ritual itu, mata Tina tertumbuk pada sebuah benda yang membuat hatinya berdesir.Di atas kain merah dengan aksara kuno yang tampak asing, tergeletak segumpal rambut hitam pekat. Di sebelahnya, selembar foto Alya yang sudah kusam. Tangan Tina bergetar, dan ia menahan napas saat mendapati potongan rambut itu sangat mirip dengan milik putrinya."Astaga," Tina berbisik dalam hati. "Itu pasti rambutnya Alya?"Ia menggigit bibir, berusaha untuk tetap tenang. Kakinya terasa seperti tertancap ke lantai, sulit untuk digerakkan. Pandangannya bergantian antara Nayu yang tampak khusyuk melafalkan sesuatu dan benda-benda di depannya.Nayu tampak memejamkan mata, sesekali tangannya mengangkat mangkuk logam di hadapannya, kemudian meletakkannya kembali dengan gerakan