Malam itu, udara begitu dingin, menusuk sampai ke tulang. Bau kembang tujuh rupa memenuhi ruangan kecil tempat Alya duduk dengan tubuh gemetar. Di sudut ruangan, Mbah Karso tengah berjongkok, memegang kendi berisi air kembang.
Wajahnya serius, matanya tertuju pada nyala lampu minyak yang redup, sementara Tina berdiri di belakang Alya, menggenggam erat bahu anaknya.“Alya, jangan takut, ya, Nduk,” bisik Tina, meski suaranya bergetar. “Ini semua untuk kebaikanmu.”Alya hanya mengangguk kecil. Tubuhnya masih lemah setelah kejadian mengerikan sebelumnya, tapi tatapan penuh kasih ibunya memberinya sedikit keberanian.Mbah Karso berdiri perlahan, membawa kendi itu ke hadapan Alya. “Nduk, air ini sudah Mbah doakan. Mulai sekarang, semuanya tergantung pada keberanianmu sendiri. Kamu harus yakin dan percaya. Mengerti?”“Mbah, apa benar ini akan berhasil? Aku nggak mau lagi lihat mereka. Aku nggak kuat.” Alya berbisik pelan, suaranya hampir tak teMbah Karso tidak menjawab. Ia terus melantunkan doa, dan tak lama kemudian, Tina bergeser mundur dengan wajah tegang. “Astaga ... Mbah, itu ada di belakangmu!” seru Tina dengan suara bergetar, menunjuk ke arah sesuatu yang Alya tidak bisa lihat.“Apa? Ada apa, Bu?” tanya Alya, panik. Ia mencoba mencari tahu apa yang terjadi, tapi pandangannya hanya kosong. Tidak ada yang aneh di hadapannya.“Dia ada di sana ... dekat pintu!” bisik Tina sambil menutupi mulutnya. Matanya tidak lepas dari sosok tak kasatmata yang hanya bisa ia lihat. “Mbah, kenapa dia mendekat?”“Tenang, Tina,” ujar Mbah Karso tanpa menoleh. Suaranya tetap tenang, meski wajahnya mulai berkeringat. “Alya tidak bisa melihatnya, kan?”Alya menggeleng cepat. “Aku nggak lihat apa-apa, Mbah. Aku juga nggak dengar suara apa-apa.”Mbah Karso mengangguk dengan mantap. Ia membalikkan badan, menatap ke arah pintu yang kosong di mata Alya.“Kau sudah selesai di sini. Pergilah,” ucapnya pelan, penuh wibawa.Ruangan mendadak menjadi
Malam itu, udara di dalam kamar Alya terasa berat. Meskipun lampu menyala, bayangan-bayangan di sudut ruangan seolah hidup, bergerak dengan irama yang tidak kasatmata. Alya mencoba memejamkan mata, tetapi suara samar dari arah jendela membuatnya tersentak.Tok ... tok ... tok ....Bunyi itu tidak terlalu keras, tetapi cukup untuk membuat jantung Alya berdetak kencang. Ia menggenggam kalung jimatnya lebih erat, mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua baik-baik saja."Itu paling cuma suara angin," gumamnya pelan, seolah berusaha menghibur dirinya sendiri.Namun, ketika suara itu kembali terdengar, kali ini lebih keras, Alya langsung duduk tegak. Pandangannya terpaku pada jendela yang masih tertutup rapat.Ponsel di sampingnya bergetar, membuat tubuhnya tersentak. Nama Narendra muncul di layar, sekejap kemudian ia segera mengangkatnya.“Naren, tolong bilang aku cuma paranoid,” katanya, suaranya bergetar.“Ada apa lagi, Alya? Kenapa suaramu seperti itu?” tanya Narendra dengan panik.“Ada s
Alya menatap layar ponselnya dengan mata yang mulai memerah. Gambar halaman dari buku tua itu terpampang jelas, aksara Jawa kuno yang sebagian sudah tak terbaca, tapi sisanya terlihat seperti mantra atau petunjuk ritual. Ia membaca baris-baris itu dengan seksama, mencoba menguraikan maknanya, meskipun pikirannya masih diselimuti rasa takut. “Ritual inti,” gumamnya pelan. Kata-kata itu menggema di benaknya, membawa perasaannya berkecamuk. Jika ritual sebelumnya tidak berhasil, mungkin ini adalah jalannya. Namun, apakah ia siap untuk melangkah lebih jauh? Apakah ia berani menghadapi konsekuensi yang mungkin lebih buruk? Ia teringat Mbah Karso yang berulang kali mengingatkan bahwa tidak semua ritual bisa dilakukan sembarangan. “Jangan mencoba sendiri. Kuatkan imanmu, Nduk, bukan egomu.” begitu pesan terakhirnya. Namun, sekarang, ia merasa tak punya pilihan lain. Angin dari celah jendela kembali berembus, menyapu rambutnya dan membuat kertas-kertas di meja bergetar pelan. Seo
Langkah kaki yang misterius itu membuat ruangan terasa membeku seketika. Alya menggenggam lengan Narendra dengan erat, napasnya tertahan. Narendra menoleh ke belakang dengan cepat, tetapi tak ada apa-apa di sana. Hanya kesunyian yang menyelimuti mereka, seolah langkah tadi adalah ilusi belaka. “Kita nggak bisa terus begini,” ujar Narendra sambil menarik napas panjang. “Aku nggak akan biarin kamu sendirian di rumah ini malam ini. Aku nginep aja di kamar tamu, biar kalau ada apa-apa, aku bisa langsung bantu.” Alya mengerutkan kening, menimbang tawaran itu. Di satu sisi, ia merasa ragu membiarkan Narendra menginap, takut memancing gosip dan membuat ayahnya kembali marah. Namun, di sisi lain, ketakutan yang mencekam sejak tadi lebih dominan. Ia tahu ia tak akan bisa tidur nyenyak tanpa merasa ada orang lain di dekatnya. Apalagi orang tuanya juga entah pulang jam berapa. “Kamar tamu ada di lantai satu, kan?” Nare
Narendra menggenggam ponselnya erat, pandangan masih terpaku ke halaman belakang. Kali ini, ia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar keanehan. "Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi," gumamnya pelan, lalu tanpa ragu ia mengambil jaket yang tergantung di kursi. Langkah kakinya mantap saat menyusuri lorong menuju pintu belakang, tapi tetap penuh kewaspadaan. Ia tahu ada kemungkinan besar orang yang ia lihat adalah Paman Suhadi seperti yang Alya katakan, tapi nalurinya tidak bisa mengabaikan keganjilan situasi ini. Saat Narendra sampai di pintu belakang, ia mendapati pintu itu tidak terkunci, sangat mustahil rumah sebesar ini pintunya dibiarkan tidak terkunci rapat. Hal ini membuat darahnya berdesir. Dengan gerakan perlahan, ia membuka pintu dan melangkah keluar. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, seperti membawa peringatan tersendiri. Namun, suara langkah di belakangnya membuatnya langsu
Malam itu, suasana di rumah kakek Suroto masih diselimuti kesedihan. Hujan turun perlahan, dan suara tetesan air yang mengalir dari atap terasa semakin mencekam di tengah keheningan. Alya, gadis cantik pemilik rambut panjang nan legam itu berdiri di depan pintu kamar sang kakek, matanya berkaca-kaca. “Kakek, kenapa kau pergi begitu cepat?” gumamnya, terisak pelan. Kamar itu terasa sepi dan dingin, menimbulkan rasa rindu yang menggelora di dalam hati Alya. Ia melangkah masuk, menyusuri ruangan yang kini sepi. Perabotan lama masih teratur, seolah kakek Suroto baru saja pergi keluar sebentar. Alya mengingat betapa hangatnya pelukan kakeknya saat mereka bercerita tentang masa lalu. Kini, semua itu hanya tinggal kenangan. Dengan hati-hati, Alya membuka lemari untuk mencari selimut baru, aroma obat dan embun malam mengisi udara. Selimut tua yang biasa digunakan untuk menutupi tubuh kakeknya masih basah oleh air bekas pemandian jenazah. “Aku harus menemukan yang bersih,” gu
"Alya! Apa yang terjadi? Kenapa kamu teriak-teriak tengah malam begini?" tanya sang ibu sambil menghampiri putrinya dengan tatapan panik. Alya menoleh cepat, matanya mencari-cari ke sekeliling ruangan, berharap menemukan jejak bayangan yang tadi membuatnya ketakutan. Namun, kamar itu kini kembali tenang dan kosong, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. “Enggak, Bu. Tadi … sepertinya aku cuma capek,” katanya, berusaha terdengar meyakinkan, meski masih merasa napasnya belum sepenuhnya stabil. Melihat Alya celingak-celinguk, Tina semakin penasaran. "Capek sampai teriak begitu? Alya, ada apa sebenarnya? Kamu kenapa, Nak?” Alya menghela napas dan mencoba mengalihkan perhatian ibunya. "Aku … kaget, Bu. Tiba-tiba lihat kotak kayu tua peninggalan kakek di lemari. Enggak tahu kenapa kotak itu jatuh sendiri.” Mata Tina mengamati Alya, lalu dia menghela napas kasar. Ia tak terlalu peduli dengan kotak penemuan putrinya, mengira memang benda biasa peninggalan ayahnya. "Alya, malam su
Setelah pemakaman Anto, seluruh keluarga kembali ke rumah besar Kakek Suroto. Rumah itu kini terasa semakin kelam, seolah menyimpan kesedihan yang mendalam. Hunian tua berlantai tiga itu dihuni oleh tiga keluarga, Paman Suhadi yang tinggal di lantai pertama, Tina di lantai dua, dan Bibi Nayu di lantai paling atas. Langit mulai gelap, senja menyiratkan cahaya oranye dari arah barat. Alya berjalan di lorong, hendak menuju dapur untuk mengambil air minum, tanpa sengaja melihat sosok ibunya yang tampak sibuk meletakkan lilin-lilin kecil dan bunga melati di beberapa sudut rumah. “Bu, lagi ngapain, sih?” Alya melangkah mendekat dengan wajah penuh tanda tanya. Tina menoleh, sedikit terkejut mendengar suara putrinya. Ia tersenyum kecil, tetapi raut wajahnya tampak tegang. “Ini, cuma … menghormati leluhur kita, Nak. Bunga dan lilin ini sebagai bentuk perlindungan." Alya mengerutkan dahi, merasa ada yang janggal. “Loh, tapi kita 'kan sudah mendoakan mereka. Untuk apa repot-repot
Narendra menggenggam ponselnya erat, pandangan masih terpaku ke halaman belakang. Kali ini, ia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar keanehan. "Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi," gumamnya pelan, lalu tanpa ragu ia mengambil jaket yang tergantung di kursi. Langkah kakinya mantap saat menyusuri lorong menuju pintu belakang, tapi tetap penuh kewaspadaan. Ia tahu ada kemungkinan besar orang yang ia lihat adalah Paman Suhadi seperti yang Alya katakan, tapi nalurinya tidak bisa mengabaikan keganjilan situasi ini. Saat Narendra sampai di pintu belakang, ia mendapati pintu itu tidak terkunci, sangat mustahil rumah sebesar ini pintunya dibiarkan tidak terkunci rapat. Hal ini membuat darahnya berdesir. Dengan gerakan perlahan, ia membuka pintu dan melangkah keluar. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, seperti membawa peringatan tersendiri. Namun, suara langkah di belakangnya membuatnya langsu
Langkah kaki yang misterius itu membuat ruangan terasa membeku seketika. Alya menggenggam lengan Narendra dengan erat, napasnya tertahan. Narendra menoleh ke belakang dengan cepat, tetapi tak ada apa-apa di sana. Hanya kesunyian yang menyelimuti mereka, seolah langkah tadi adalah ilusi belaka. “Kita nggak bisa terus begini,” ujar Narendra sambil menarik napas panjang. “Aku nggak akan biarin kamu sendirian di rumah ini malam ini. Aku nginep aja di kamar tamu, biar kalau ada apa-apa, aku bisa langsung bantu.” Alya mengerutkan kening, menimbang tawaran itu. Di satu sisi, ia merasa ragu membiarkan Narendra menginap, takut memancing gosip dan membuat ayahnya kembali marah. Namun, di sisi lain, ketakutan yang mencekam sejak tadi lebih dominan. Ia tahu ia tak akan bisa tidur nyenyak tanpa merasa ada orang lain di dekatnya. Apalagi orang tuanya juga entah pulang jam berapa. “Kamar tamu ada di lantai satu, kan?” Nare
Alya menatap layar ponselnya dengan mata yang mulai memerah. Gambar halaman dari buku tua itu terpampang jelas, aksara Jawa kuno yang sebagian sudah tak terbaca, tapi sisanya terlihat seperti mantra atau petunjuk ritual. Ia membaca baris-baris itu dengan seksama, mencoba menguraikan maknanya, meskipun pikirannya masih diselimuti rasa takut. “Ritual inti,” gumamnya pelan. Kata-kata itu menggema di benaknya, membawa perasaannya berkecamuk. Jika ritual sebelumnya tidak berhasil, mungkin ini adalah jalannya. Namun, apakah ia siap untuk melangkah lebih jauh? Apakah ia berani menghadapi konsekuensi yang mungkin lebih buruk? Ia teringat Mbah Karso yang berulang kali mengingatkan bahwa tidak semua ritual bisa dilakukan sembarangan. “Jangan mencoba sendiri. Kuatkan imanmu, Nduk, bukan egomu.” begitu pesan terakhirnya. Namun, sekarang, ia merasa tak punya pilihan lain. Angin dari celah jendela kembali berembus, menyapu rambutnya dan membuat kertas-kertas di meja bergetar pelan. Seo
Malam itu, udara di dalam kamar Alya terasa berat. Meskipun lampu menyala, bayangan-bayangan di sudut ruangan seolah hidup, bergerak dengan irama yang tidak kasatmata. Alya mencoba memejamkan mata, tetapi suara samar dari arah jendela membuatnya tersentak.Tok ... tok ... tok ....Bunyi itu tidak terlalu keras, tetapi cukup untuk membuat jantung Alya berdetak kencang. Ia menggenggam kalung jimatnya lebih erat, mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua baik-baik saja."Itu paling cuma suara angin," gumamnya pelan, seolah berusaha menghibur dirinya sendiri.Namun, ketika suara itu kembali terdengar, kali ini lebih keras, Alya langsung duduk tegak. Pandangannya terpaku pada jendela yang masih tertutup rapat.Ponsel di sampingnya bergetar, membuat tubuhnya tersentak. Nama Narendra muncul di layar, sekejap kemudian ia segera mengangkatnya.“Naren, tolong bilang aku cuma paranoid,” katanya, suaranya bergetar.“Ada apa lagi, Alya? Kenapa suaramu seperti itu?” tanya Narendra dengan panik.“Ada s
Mbah Karso tidak menjawab. Ia terus melantunkan doa, dan tak lama kemudian, Tina bergeser mundur dengan wajah tegang. “Astaga ... Mbah, itu ada di belakangmu!” seru Tina dengan suara bergetar, menunjuk ke arah sesuatu yang Alya tidak bisa lihat.“Apa? Ada apa, Bu?” tanya Alya, panik. Ia mencoba mencari tahu apa yang terjadi, tapi pandangannya hanya kosong. Tidak ada yang aneh di hadapannya.“Dia ada di sana ... dekat pintu!” bisik Tina sambil menutupi mulutnya. Matanya tidak lepas dari sosok tak kasatmata yang hanya bisa ia lihat. “Mbah, kenapa dia mendekat?”“Tenang, Tina,” ujar Mbah Karso tanpa menoleh. Suaranya tetap tenang, meski wajahnya mulai berkeringat. “Alya tidak bisa melihatnya, kan?”Alya menggeleng cepat. “Aku nggak lihat apa-apa, Mbah. Aku juga nggak dengar suara apa-apa.”Mbah Karso mengangguk dengan mantap. Ia membalikkan badan, menatap ke arah pintu yang kosong di mata Alya.“Kau sudah selesai di sini. Pergilah,” ucapnya pelan, penuh wibawa.Ruangan mendadak menjadi
Malam itu, udara begitu dingin, menusuk sampai ke tulang. Bau kembang tujuh rupa memenuhi ruangan kecil tempat Alya duduk dengan tubuh gemetar. Di sudut ruangan, Mbah Karso tengah berjongkok, memegang kendi berisi air kembang. Wajahnya serius, matanya tertuju pada nyala lampu minyak yang redup, sementara Tina berdiri di belakang Alya, menggenggam erat bahu anaknya.“Alya, jangan takut, ya, Nduk,” bisik Tina, meski suaranya bergetar. “Ini semua untuk kebaikanmu.”Alya hanya mengangguk kecil. Tubuhnya masih lemah setelah kejadian mengerikan sebelumnya, tapi tatapan penuh kasih ibunya memberinya sedikit keberanian.Mbah Karso berdiri perlahan, membawa kendi itu ke hadapan Alya. “Nduk, air ini sudah Mbah doakan. Mulai sekarang, semuanya tergantung pada keberanianmu sendiri. Kamu harus yakin dan percaya. Mengerti?”“Mbah, apa benar ini akan berhasil? Aku nggak mau lagi lihat mereka. Aku nggak kuat.” Alya berbisik pelan, suaranya hampir tak te
Alya berusaha mengumpulkan sisa keberanian di tengah gemetar tubuhnya. Mata merah yang menyala itu kini seperti menembus langsung ke jiwanya. Bayangan hitam itu mendekat perlahan, setiap langkahnya membuat lantai kayu berderak seperti direnggut oleh kekuatan yang tidak kasat mata.“Pergi dari sini! Ini bukan tempatmu!” seru Mbah Karso, menghentakkan tongkatnya ke lantai. Getarannya terasa sampai ke telapak kaki, tetapi bayangan itu hanya tertawa pelan, suaranya seperti dengungan ribuan lebah yang menggema di ruangan.Tina semakin erat memeluk Alya, tangannya bergetar hebat. "Mbah, dia makin dekat! Apa yang harus kita lakukan?""Alya!" suara Mbah Karso menggema dengan tegas. "Tatap aku! Jangan lihat dia!"Namun, Alya seperti terpaku. Matanya tak bisa lepas dari sosok itu. Ada daya tarik aneh yang memaksanya untuk terus menatap. Bayangan itu mengulurkan tangan panjang, dengan kuku-kuku hitam melengkung tajam. Jari-jari itu bergerak pelan, seolah-olah ingin meraih Alya."Mbah, aku ... a
Dalam gelap, suara langkah kaki menggema, lambat dan semakin mendekat. Alya merasakan hawa dingin menyentuh lehernya, seperti napas seseorang yang tidak terlihat. "Bu, dia ada di sini," bisik Alya dengan suara hampir tak terdengar. Tina tidak menjawab, hanya memeluk putrinya lebih erat. Namun, dari pelukannya, Alya tahu ibunya juga ketakutan. Tubuh Tina terasa kaku, seperti menahan sesuatu yang sangat berat. "Kalian tidak boleh gentar," kata Mbah Karso dengan suara tegas. "Dia hanya bisa masuk jika kalian mengizinkannya." "Aaargh ...!" Alya memekik hebat, merasakan sesuatu menyentuh bahunya, seperti kuku-kuku panjang yang tajam. Mbah Karso menyalakan lampu minyak dengan cepat. Cahaya kembali menerangi ruangan, tapi hanya sebentar. Sosok itu terlihat melayang di sudut, lebih besar dan lebih menyeramkan dari sebelumnya. "Gadis itu milik kami ...." Suara mahluk itu menggema, berat dan serak seperti bisikan kematian. "Tidak, dia bukan milikmu!" Mbah Karso menghentakkan tongka
Alya menatap pintu rumah tua itu dengan ragu. Papan-papan kayunya sudah lapuk, ditumbuhi lumut di beberapa bagian. Di atas pintu, tergantung sebuah hiasan anyaman daun kelapa yang mulai cokelat. Udara sekitar terasa berat, dingin yang menusuk tulang meski tidak ada angin berembus.Tina menggenggam tangan Alya erat, seolah memberikan kekuatan. “Ayo, Nak. Jangan takut,” katanya pelan.Alya menelan ludah, menahan diri agar tidak mundur. “Bu, tempat ini kenapa rasanya seperti ... aneh?” tanyanya ragu.Tina melirik putrinya, wajahnya tegang. “Ini bukan tempat aneh, Nduk. Ini tempat orang pintar yang bisa bantu kita. Sudah, nurut saja. Jangan banyak tanya.”Sebelum Alya bisa membalas, pintu rumah itu tiba-tiba terbuka. Engselnya berderit nyaring, seperti suara seseorang yang menjerit tertahan. Di balik pintu, berdiri seorang pria tua dengan tubuh tegap dan sorot mata tajam. Rambut putihnya tertutup blangkon, dan tubuh ringkih itu dibalut kain batik yang warnanya mulai pudar.“Kalian sudah