Narendra duduk bersila di dekat pintu kamar, tangannya memegang tasbih dari lehernya yang selalu digunakan sebagai kalung. Tangannya menarik satu per satu butir tasbih dengan khusyuk. Suaranya perlahan memenuhi ruangan, melantunkan doa-doa perlindungan yang dia hafal sejak kecil. Di sisi lain, Alya duduk bersandar pada tembok dengan wajah tegang, mencoba mengingat doa-doa yang diajar ibunya saat kecil."Ya Allah, lindungi kami dari kejahatan yang tidak terlihat ini," bisik Narendra pelan, penuh keyakinan.Alya menatapnya. "Narendra, ini benar-benar suara Paman Suhadi tadi, kan? Tapi kenapa ... kenapa terdengar begitu, ya? Kayak bukan manusia."Narendra menggeleng, pandangannya tetap lurus ke pintu. "Aku nggak yakin, Alya. Bisa saja itu Paman, tapi bisa juga itu bukan Paman. Kita nggak tahu apa yang sedang terjadi."Dari luar kamar, suara ketukan keras kembali terdengar, kali ini diiringi suara geraman berat seperti dari binatang buas. Alya langsung menggenggam erat selimut yang menut
"Sudahlah ...." Ayah Alya ikut bergabung, memandang muda-mudi itu dengan kening berkerut. “Kalian salah lihat mungkin? Paman Suhadi ini baru saja keluar dari mobil bareng kami. Paman juga masih lelah, jadi jangan ditanya-tanya dulu.”Narendra menggeleng, suaranya lebih tegas. “Tapi ini seperti nggak masuk akal, Om. Tidak mungkin banget. Kami melihatnya dengan mata kepala sendiri. Ada sosok yang mirip dengan Paman Suhadi di rumah tadi malam, bahkan suara dan caranya bicara sangat mirip.”Wajah Tina mendadak berubah serius. “Nak, jangan bercanda soal begituan. Kamu tahu kan rumah ini—” Netranya melirik sekilas ke arah Narendra, urung membuka gamblang di hadapan orang lain.Alya merasa dadanya sesak, tapi ia tetap mencoba menjelaskan. “Bu, aku serius! Kalau itu bukan Paman Suhadi, lalu siapa yang ada di rumah tadi malam? Apa yang kami lihat?”Paman Suhadi akhirnya kembali angkat bicara. “Alya, Naren, mungkin kalian hanya salah paham. Mungkin juga ... ada yang ingin menunjukkan sesuatu pa
"Kita jangan ngobrol di sini, deh. Takut ada yang denger nanti malah bikin salah paham," bisik Narendra.Alya dan Narendra melangkah pelan menuju pintu samping rumah, yang langsung mengarah ke kebun belakang. Udara pagi yang dingin menusuk kulit mereka, tapi ketegangan yang menyelimuti terasa lebih menggigit. Kedua sahabat itu masih terngiang dengan kejadian aneh semalam dan perubahan sikap Paman Suhadi serta Bibi Nayu.“Aku yakin, Naren, pasti ada sesuatu di rumah ini,” ujar Alya sambil melangkah hati-hati. “Semua ini nggak masuk akal, dari sosok yang kita lihat semalam sampai sikap Bibi Nayu yang kamu lihat berubah jadi nenek-nenek.”Narendra tak menjawab, netranya fokus menatap ke arah kebun, mengamati sekitar dengan saksama. “Kamu lihat itu, Alya?” Ia menunjuk jejak tanah berlumpur yang tampak segar, menuju semak-semak di ujung kebun. “Jejak kaki ini ... nggak mungkin berasal dari orang yang baru masuk dari depan.”Alya mendekat, berjongkok untuk memperhatikan jejak tersebut. “In
Narendra menggenggam erat tangan Alya, menariknya ke sudut gudang yang tampak lebih gelap dari bagian lainnya. Mereka berdua berjongkok, mencoba menahan napas di tengah suasana yang terasa begitu mencekam.“Ya Tuhan, Naren ... apa yang barusan kita lihat itu?” bisik Alya dengan suara yang nyaris tak terdengar, matanya masih menatap ke arah sosok yang kini menghilang di balik kegelapan.Narendra menjawab dengan nada serak, “Aku nggak tahu, Alya. Tapi apa pun itu, kita harus keluar dari sini.”“Tapi gimana caranya? Pintu gudangnya ketutup. Dan ... dan tadi itu, astaga, apa itu manusia atau bukan?” Suara Alya mulai meninggi, menandakan panik yang semakin tak bisa ia kendalikan.Narendra segera menyentuh pundaknya, mencoba menenangkan meskipun ia sendiri merasa gemetar. “Hei, dengar, kita nggak boleh kehilangan akal sekarang. Aku akan cari cara keluar. Kalau kita terus di sini, aku nggak yakin kita akan selamat.”Alya menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis yang mulai menggenang. Ia me
Setelah berhasil keluar dari gudang dengan perasaan campur aduk antara lega dan takut, Alya dan Narendra kembali ke dalam rumah. Matahari sudah naik, tetapi sinarnya yang hangat terasa sia-sia. Aura mencekam masih menyelimuti rumah itu, seolah kejadian di gudang tadi belum sepenuhnya berakhir.Alya menarik napas panjang, menguatkan dirinya. “Kamu pasti capek, Naren. Duduk dulu, aku ambilkan minum.”Narendra mengangguk, membiarkan tubuhnya tenggelam di sofa ruang tamu. “Iya, terima kasih, Alya. Tapi kita harus bicara tentang apa yang baru saja terjadi. Ini nggak bisa dianggap remeh.”Namun, sebelum Alya sempat melangkah ke dapur, suara langkah berat terdengar dari arah tangga. Pak Bowo muncul dengan sorot mata tajam, wajahnya menunjukkan ketidaksukaan begitu melihat Narendra.“Alya, kenapa dia masih di sini?” suara Pak Bowo terdengar datar, tetapi jelas penuh tekanan.“Om—” Narendra hendak menyapa sopan, tetapi Pak Bowo mengangkat tangannya, menghentikannya.“Pagi-pagi begini sudah no
Malam tiba, tetapi tak ada kelegaan di hati Alya. Ia terus memeluk lututnya, meringkuk di atas ranjang, matanya sembab setelah seharian menangis. Sunyi menyelimuti kamarnya, hanya sesekali terdengar suara derik jangkrik dari luar.Di tengah keheningan itu, hawa dingin tiba-tiba merambat masuk melalui celah jendela. Alya mengangkat kepala, mengernyit. Ia yakin tadi sudah menutup jendela rapat-rapat. Namun, kini tirai berayun perlahan, seolah ada angin yang masuk tanpa diundang.“Aneh,” gumam Alya pelan, suaranya serak.Saat ia hendak turun dari ranjang untuk memeriksa, sebuah suara lirih terdengar dari sudut kamar."Alya ...," suara itu parau, menyerupai bisikan yang mendirikan bulu kuduk.Alya terpaku, tubuhnya gemetar. Ia menoleh perlahan ke arah suara itu, tetapi tidak ada siapa pun. “Siapa itu?!” serunya, mencoba tegar meskipun suaranya terdengar bergetar.Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang semakin mencekam. Namun, saat Alya kembali menoleh ke arah jendela, ia melihatnya.So
"Pak Bowo! Ibu Tina! Ada apa ini?!" teriak salah satu tetangga, mencoba membuka pintu.Namun, pintu terkunci rapat, dan di dalam rumah, suasana semakin kacau. Suara tawa Alya yang menggema membuat beberapa tetangga mundur, wajah mereka pucat."Kang Suhadi mana?!" salah satu tetangga bertanya panik.Seorang pria tua yang baru tiba, Suhadi, tampak berlari tergesa-gesa ke arah rumah sambil membawa lampu minyak. "Saya sudah panggil Mbah Karso! Beliau dalam perjalanan bersama anak buah saya."Sementara itu, di dalam kamar, Alya mulai memanjat dinding dengan cara yang tidak masuk akal, tangannya mencengkeram tembok seperti seekor laba-laba. Ia bergerak ke sudut atap kamar, menatap kedua orang tuanya dari atas."Kalian takut, ya?" bisiknya, suaranya seperti berlapis. "Sebentar lagi, kalian akan tahu apa itu ketakutan yang sesungguhnya!"Tiba-tiba, Alya menjatuhkan dirinya dari atas, langsung menyerang Pak Bowo. Ia menjerit histeris, mencakar dan memukul tanpa ampun. Tina berteriak, mencoba m
Tina duduk di kursi tunggu, menggenggam tangan Suhadi erat-erat sambil terus menangis. Bowo berdiri dengan gelisah, mondar-mandir di koridor tanpa henti. Setiap suara langkah perawat yang melintas membuatnya berharap pintu ruang gawat darurat akan terbuka dan dokter memberi kabar baik.Namun, waktu terus berlalu, dan tidak ada seorang pun yang keluar."Mbah Karso bilang apa tadi, Kang?" tanya Tina dengan suara serak, memecah keheningan.Suhadi menghela napas berat. "Beliau bilang ini belum selesai. Mahluk-mahluk itu hanya pergi sementara, tapi akar masalahnya masih ada. Kita harus mencari cara untuk memutuskan kutukan ini sepenuhnya."Bowo berhenti berjalan, menoleh dengan tatapan penuh kekhawatiran. "Kutukan? Apa maksudnya, Kang?""Kalian tahu sendiri kalau Alya ... dia terhubung dengan sesuatu dari masa lalu. Ada kaitannya dengan keluarga kita, atau ... mungkin dengan tempat itu."Mendengar kata tempat itu, wajah Bowo berubah tegang. Ia tahu apa yang dimaksud Suhadi. Rumah tua kelu
Cahaya matahari pagi menembus tirai jendela, menyinari rumah besar itu dengan hangat. Namun, suasana lantai dua terasa tegang. Tina, yang tengah merapikan barang-barangnya untuk pergi ke kos-kosan Alya, tiba-tiba merasa ada yang janggal.“Kenapa Nayu belum turun juga, ya?” gumamnya sambil melirik jam dinding. Jarum pendeknya sudah menunjuk angka sembilan. Biasanya, Nayu selalu muncul lebih pagi, entah untuk menyiapkan sarapan atau sekadar berkeliling.Tina menghentikan kegiatannya. Pikirannya terusik. Ia mencoba menepis kekhawatiran itu, tetapi firasatnya kian menguat. Akhirnya, dengan langkah pelan tapi pasti, ia memutuskan untuk naik ke lantai tiga.Tangga yang berderit di bawah pijakannya semakin menambah rasa was-was. Lantai tiga, yang biasanya jarang ia kunjungi, terasa begitu sunyi. Setibanya di depan kamar Nayu, Tina mengetuk pintu dengan hati-hati.“Nayu? Kamu di dalam?” panggilnya, berusaha terdengar tenang.Tak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, kali ini lebih keras. “Nayu! Ban
Rumah besar bergaya kolonial itu berdiri kokoh di tengah pekarangan yang sunyi. Malam telah larut, namun keheningan di lantai tiga terasa tidak biasa. Dinding-dinding tua berlapis cat yang mulai pudar memantulkan bayangan samar dari cahaya lilin yang berkerlip tak menentu. Udara di sana begitu pekat, seolah ada sesuatu yang mengintai, menunggu dalam bayangan gelap untuk menerkam.Di salah satu kamar di lantai itu, Nayu duduk bersila di lantai. Ruangan itu dipenuhi dengan benda-benda ritual, lilin hitam berjajar rapi di atas meja, sebuah cawan perak yang penuh cairan berbau menyengat, dan segumpal rambut kusut yang ia letakkan di atas kain merah. Matanya yang tajam menatap lekat rambut itu, tangannya mulai bergerak dengan pelan dan penuh tekad. Ia mulai merapal mantra, suaranya lirih, tapi penuh intensitas, seperti berbisik kepada kekuatan yang tidak kasat mata.“Aku tidak akan membiarkan mereka mengganggu rencanaku,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Namun, malam itu berbeda.
Pagi ini, ia dan Narendra kembali ke rumah Pak Ustaz Harun—pamannya Narendra, seorang tokoh agama yang menjadi tumpuan mereka dalam melawan kutukan keluarga.Di perjalanan, Narendra mengemudikan mobil dengan tenang. Sementara itu, Alya duduk diam di kursi penumpang, menggenggam gelang perak yang terasa berat, seolah ada energi gelap yang mengalir darinya. Di pangkuannya, ada kotak kayu kuno berukir motif Jawa yang ia temukan di kamar mendiang kakeknya. “Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Narendra, memecah keheningan.Alya mengangkat bahunya. “Entahlah. Aku merasa lega, tapi sekaligus takut. Kalau ini nggak berhasil—”“Jangan berpikir begitu. Kita sudah sejauh ini. Aku yakin, Allah nggak akan membiarkan kita berjuang tanpa hasil.” Narendra mencoba menguatkan.Alya menatap kotak kayu di pangkuannya. “Kamu yakin semuanya akan selesai setelah ini?”Narendra mengangguk. “Itulah kenapa kita harus membakarnya. Semua benda yang jadi media kutukan harus dihancurkan total. Pak Ustaz juga
“Ya Allah .…” Tina berdoa sambil menangis. “Kalau memang ini jalan yang harus kuambil, aku mohon … aku mohon, jangan biarkan Alya tahu. Jangan biarkan dia merasa bersalah. Dia nggak salah, semua ini karena dosa kami, dosa keluarga ini. Jangan hukum Alya, hukum aku saja.”Ia terisak lagi, kali ini lebih keras. Tangan kanannya menutupi wajahnya, tubuhnya gemetar hebat.Tangannya perlahan beralih ke dada, merasakan detak jantungnya yang semakin tak beraturan. Ia tahu efek ritual itu mungkin akan mulai terasa dalam beberapa hari ke depan. Bisa jadi tubuhnya akan melemah, bisa jadi ia akan sakit parah, atau bahkan meninggal.Tina tak berani menyelesaikan pikirannya. Namun, ia sudah siap. Ia tidak punya pilihan lain.Mobil yang ia kendarai kembali melaju perlahan, memasuki jalanan yang semakin sepi. Di tengah tangisannya, ia teringat lagi saat Alya memeluknya beberapa hari lalu. “Aku tahu kamu nggak akan berhenti, Nayu. Kamu mungkin akan cari cara lain kalau kamu tahu aku sudah menukar ram
Malam hari.Tina memasuki rumah besar tiga lantai yang telah lama menjadi tempat tinggal keluarganya. Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Suara angin berdesir di sela-sela pohon mangga di halaman, seolah-olah menyampaikan peringatan akan sesuatu yang kelam. Kini ia sudah berdiri di depan pintu rumah, menyapa pembantu rumah tangga yang tengah membereskan meja ruang tamu. "Nayu di mana?" tanyanya singkat, mencoba terdengar santai meski hatinya terus berdebar."Bu Nayu tadi bilang mau keluar sebentar, Bu. Katanya beli sesuatu," jawab pembantu itu sambil melipat kain lap.Mata Tina sedikit membelalak, tapi ia segera menenangkan diri. "Oh, ya sudah. Kalau begitu, saya mau naik ke lantai tiga sebentar. Ada yang ketinggalan."Pembantu itu hanya mengangguk, tak mencurigai apa-apa.Tina melangkah ke tangga, kali ini berhati-hati agar langkahnya tak menimbulkan suara berlebihan. Tangga kayu itu sesekali berderit pelan, membuatnya berhenti sejenak untuk memastikan tak ada orang yang me
Alya duduk dengan tubuh menggigil di atas karpet tipis yang membentang di ruang utama rumah sang ustadz. Pandangannya kosong, namun hatinya bergemuruh. Tubuhnya masih terasa panas, meski hawa dingin malam telah menyusup dari celah-celah jendela. Narendra duduk di dekatnya, mengamati Alya dengan cemas. "Alya," suara ustadz itu lembut, memecah keheningan. "Sebelum kita mulai, kamu harus menyucikan dirimu terlebih dahulu. Wudhu dan salat taubat adalah langkah awal untuk membuka hatimu kepada Allah. Setelah itu, kita lanjutkan dengan ruqyah. Apakah kamu siap?" Alya mengangguk perlahan, meski tubuhnya tampak lemah. "Saya siap, Ustadz," suaranya terdengar parau. Narendra segera berdiri, bersiap membantu jika Alya tidak kuat berjalan. Ustadz itu menunjukkan arah kamar mandi. "Narendra, temani dia. Pastikan dia baik-baik saja." Dengan langkah gontai, Alya berjalan menuju kamar mandi, Narendra mengikutinya dengan penuh perhatian. Di dalam kamar mandi, ia memercikkan air wudhu ke wajah
Alya membaca tulisan itu berulang kali, mencoba memahami maksudnya. Tubuhnya terasa semakin berat, seolah tulisan di atas kertas itu membawa beban yang tak kasat mata. Suara Narendra memecah keheningan."Jadi, gelang ini semacam kunci perjanjian, ya?" Narendra mengamati ukiran pada gelang perak itu. "Dan perjanjian itu jelas-jelas kutukan untuk keluargamu."Alya mengangguk pelan, bibirnya gemetar. "Iya, ini pasti ada hubungannya dengan ritual pesugihan. Tapi siapa yang menaruh gelang dan kertas ini di kotak ini? Kalau Kakek, kenapa nggak cerita ke anak-anaknya?"Narendra menggeleng. "Mungkin seseorang dari keluargamu. Tapi yang lebih penting sekarang, kita harus tahu bagaimana mengakhiri ini semua."Alya menunduk, menatap gelang itu dengan campuran rasa takut dan penasaran. "Ren, aku harus mengembalikan gelang ini ke tempat asalnya, kan? Kalau nggak, kutukan ini nggak akan pernah berhenti menghantui keluargaku."Narendra menaruh tangannya di bahu Alya, menenangkan. "Kita cari tahu dul
Keesokan HarinyaUdara dingin pagi itu terasa menusuk tulang ketika Alya dan Narendra tiba di depan rumah besar peninggalan Kakek Suroto. Bangunan itu menjulang angker dengan arsitektur kuno. Langit mendung menambah kesan mencekam pada suasana sekitar. Alya menarik napas panjang, mencoba mengusir keraguan yang menyelimuti hatinya.“Aku masih nggak yakin ini ide bagus, Ren,” bisiknya sambil melirik Narendra yang berdiri di sebelahnya dengan raut wajah serius.“Kita sudah sampai sejauh ini, Alya. Kalau kita nggak ambil kotak itu sekarang, entah apa yang akan terjadi padamu,” jawab Narendra. Ia menggenggam bahu Alya, mencoba memberinya keberanian. “Aku ada di sini, nggak perlu takut.”Alya mengangguk pelan. Dengan langkah hati-hati, ia membuka pintu samping yang biasa digunakan pekerja rumah untuk masuk. Tiga pekerja yang tengah membersihkan dapur langsung menoleh kaget melihat kehadiran Alya. Namun sebelum mereka sempat mengatakan sesuatu, Alya mengangkat tangannya, memberi isyarat aga
Tina tetap berdiri di depan celah pintu kamar Nayu. Pandangannya terpaku pada apa yang dilakukan adiknya di dalam ruangan. Nayu tampak serius, duduk bersila di lantai, dengan lilin-lilin hitam yang berkeliling mengelilinginya. Di tengah ritual itu, mata Tina tertumbuk pada sebuah benda yang membuat hatinya berdesir.Di atas kain merah dengan aksara kuno yang tampak asing, tergeletak segumpal rambut hitam pekat. Di sebelahnya, selembar foto Alya yang sudah kusam. Tangan Tina bergetar, dan ia menahan napas saat mendapati potongan rambut itu sangat mirip dengan milik putrinya."Astaga," Tina berbisik dalam hati. "Itu pasti rambutnya Alya?"Ia menggigit bibir, berusaha untuk tetap tenang. Kakinya terasa seperti tertancap ke lantai, sulit untuk digerakkan. Pandangannya bergantian antara Nayu yang tampak khusyuk melafalkan sesuatu dan benda-benda di depannya.Nayu tampak memejamkan mata, sesekali tangannya mengangkat mangkuk logam di hadapannya, kemudian meletakkannya kembali dengan gerakan