Kalau menurutku, Bang Ayas itu tidak aneh. Hanya saja kadang-kadang dia meresahkan. Setelah beberapa menit lalu menyenggol Galih dan seperti hendak menabuh genderang perang, sekarang pria itu juga tidak membawaku pulang. Mobil yang seharusnya lurus, malah berbelok ke kanan. "Kita mau ke mana?" tanyaku sambil memegangi perut yang rasanya kembali nyeri. Padahal tadi sempat hilang. Atau itu karena efek tegang? "Pulang."Singkat, padat, tapi tidak jelas. Pulang ke mana? Mobil yang kami tumpangi sudah ke luar dari jalur yang semestinya, lho! Aku sudah ingin tiba di kos-kosan dan rebahan. Rasanya tidak sanggup kalau harus mampir meski sekedar makan. Dan yang aku tahu, jalur tercepat untuk segera tiba di kos-kosanku ya seperti biasanya, bukan malah belok-belok ke arah … eh ke mana sih, ini? Dengan punggung yang bersandar di kursi, aku menoleh ke arah Bang Ayas yang sedang mengemudi. "Mas …." "Kita pulang ke apartemen, Resva.""Hah?" Aku melotot dan langsung menegakkan tubuh. Bukankah
"Saya akan jelaskan." Bang Ayas bersuara setelah sekian lama kami membisu. Sepeninggal Tante Windi, aku melarangnya mendekat. Aku butuh waktu untuk menata hati yang baru saja diporakporandakan wanita itu. Aku tidak menangisi Bang Ayas. Tidak. Aku cukup tahu diri untuk tidak terlalu berharap pada laki-laki yang sudah mapan dan berasal dari keluarga terpandang. Aku merasa sangat terguncang karena kata-kata Tante Windi yang menusuk, seperti ujung pedang yang dihunjamkan tanpa ampunan. Aku jadi bertanya-tanya, apa benar aku murahan? Apa benar aku mirip perempuan jalang? Apa ini gara-gara celana pendek yang kukenakan? Atau lantaran aku ditemukan berada di apartemen laki-laki? "Resva …." Bang Ayas memanggil lagi. Tanpa menoleh ke arah lelaki yang duduk di stool, aku berkata, "Bang Ayas nggak perlu jelasin apa-apa."Kenyataannya, berat sekali mengucapkan itu. Aku sampai harus menahan napas dan mati-matian mengontrol agar suaraku tidak terdengar bergelombang. "Aku mau pulang." Aku suda
Walaupun aku dendam kesumat sama Bang Ayas karena telah menjebak, tapi setelah tahu bahwa Tante Fatma dari tadi di belakang dan mendengar semua percakapanku dengan Bang Ayas, aku auto kicep. Sekarang, Bang Ayas boleh menang. Tapi, awas saja nanti! Dia pikir aku akan melupakan kejadian ini? Enggak! Gara-gara ada Tante Fatma juga, aku tidak bisa memberontak. Aku akhirnya duduk dengan anteng di sebelah Bang Ayas yang tengah mengemudi. Ini bisa dikategorikan sebagai penculikan nggak, sih? Main bawa-bawa orang tanpa tanya dulu masih ada kelas lagi apa enggak. Untungnya, aku sudah free hari ini karena hanya ada jadwal konsultasi dengan dospem. "Sudah sembuh, Resva?" Aku sedikit terkejut dengan pertanyaan Tante Fatma. Aku menoleh ke belakang. "Kata Ayas, kemarin-kemarin kamu sakit. Sudah mendingan?"Aku melirik laki-laki yang sedang fokus menyetir. Dia seakan-akan tidak mendengar apa yang dikatakan ibunya. "Sudah, Tante." Walaupun akhirnya, aku jadi bertanya-tanya, sedekat apa Bang A
"Ternyata rumor itu beneran ya, Va," kata Tio saat kami secara kebetulan bertemu di tempat fotokopi. Dia sudah berdiri di depan etalase sewaktu aku tiba. Aku tidak menoleh dan sibuk membalas pesan Acha yang menanyakan keberadaanku saat ini. "Rumor apaan?"Biarpun cowok, tapi Tio ini suka bergosip. Dia bisa mengetahui berita-berita teraktual di kampus, bahkan dari anak-anak fakultas lain. Sepertinya rambut kribonya itu sanggup menampung beberapa isu sekaligus. "Yang calon suami lo itu."Kali ini, aku menoleh dan mengernyit. "Calon suami?" Sejak kapan aku punya calon suami? Pacar aja tidak ada. Seluruh penghuni semesta juga tahu kalau aku jomblo. Bahkan aku lupa kapan terakhir punya pacar. Sepertinya … kelas dua belas SMA dan aku terpaksa memutuskannya karena harus fokus mempersiapkan ujian nasional. "Calon suami lo serem. Pantes aja Galih nggak bisa ngelawan waktu digebukin."Aku refleks mendorong bahu pemuda berambut kribo itu. "Mulut lo, ah. Gue mana punya calon suami, sih!"Kala
Siapa pun pasti akan jantungan kalau anaknya tiba-tiba pulang tengah malam bersama seorang pria. Ibu sampai menutup pintu lagi saking tidak percayanya bahwa ini adalah aku. Beliau baru kembali membuka pintu setelah aku merengek di teras.Semua ini gara-gara kekonyolan Bang Ayas yang langsung tancap gas ke Semarang tanpa mempertimbanhkan banyak hal. Mungkin dia mengira kalau Jakarta ke sini cukup dua jam. Buktinya, dia ngeyel dan tidak mengindahkan laranganku. "Sampai kapan pun kamu akan tetap overthinking kalau saya belum ketemu Ibu." Begitu ucap Bang Ayas, si keras kepala yang nekat di luar batas. "Ini Ibu tidak sedang mimpi, kan?" Berkali-kali Ibu mengucek mata. Dia sampai memandangi telapak kakiku yang jelas-jelas menapak di teras. Kemudian, tatapannya beralih pada Bang Ayas yang berdiri di sampingku. "Iya, Bu. Ini Resva," sahutku dengan lesu. Energiku sudah habis untuk berdebat dengan Bang Ayas. Selama perjalanan berjam-jam pula, kami tidak mampir ke rest area. Sungguh stamina
"Resva, tolong sampaikan maaf ke ibumu, ya. Tante sama Om akan ke Semarang setelah urusan Ezra selesai."Ini bukan kali pertama Tante Fatma mengirimiku pesan, tapi entah mengapa sekarang jantungku berdetak tak keruan, meletup-letup seperti kembang api yang membuncah di ketinggian. Aku masih menahan senyum, masih belum percaya kalau Bang Ayas ternyata serius akan melamarku. Kemarin waktu di Semarang, dia mati-matian meyakinkan aku yang meragukan dirinya. "Saya berani bersumpah, Resva, kalau kamu bukan pelarian. Saya benar-benar ingin hidup sama kamu."Tidak hanya itu saja, lelaki itu juga meyakinkan Ibu setelah malam sebelumnya ternyata meminta izin untuk menjadi calon suamiku. Mungkin, yang Bang Ayas lakukan kemarin tidak bisa disebut sebagai lamaran karena dia datang tanpa keluarga. Pun tak ada prosesi yang sebagaimana mestinya. Kemarin itu lebih tepat jika dikatakan sebagai pendekatan Bang Ayas kepada Ibu. Dan setelah dipikir-pikir, sepertinya tidak salah kalau aku mempercayainy
Jangan tanya bagaimana rasanya terpergok sama orang yang sudah dikenal lama. Beuh … pakai sandal beda sebelah mah kalah! Ini tuh seperti … ah entahlah! Mau salahin Bang Ezra yang nyelonong masuk, tapi salah Bang Ayas juga kenapa memberi tahu akses masuk apartemennya. "Kan kemarin dia nganter saya. Otomatis dia jadi tau." Bang Ayas ngeles mode on. Rasanya ingin kutimpuk laki-laki itu pakai dispenser! Ya, bagaimana tidak? Walaupun Bang Ezra menerobos masuk, kalau kami sedang duduk anteng kan pasti semua akan baik-baik saja. Aku tidak perlu menanggung malu segunung! Pokoknya semua pangkal permasalahan ada di Bang Ayas. Titik! Katanya sakit, eh tangannya aktif banget ke mana-mana. Untung kemejaku tidak sampai ditanggalkan. Bicara soal kemeja, asli sumpah aku tidak sadar kenapa bisa kecolongan. Mana kutahu kalau diam-diam tangan Bang Ayas bergerilya melepas kancing satu per satu. Gila banget nggak, sih?"Kan kamu juga yang copot kaos saya."Tolong ya, tolong. Ini fitnah kejam. Mana ad
"Percaya sama saya, Resva."Aku tersenyum. Memangnya di dunia ini masih ada orang yang bisa dipercaya? Sepertinya, aku hanya bisa percaya sama Ibu. Bahkan pada diriku sendiri pun aku ragu. Aku masih bisa tersenyum sekarang, tapi hati menangis direjang kenyataan bahwa cintaku bertepuk sebelah tangan. "Ezra suka ngaco kalau ngomong," kata Bang Ayas lagi. Dia berhasil mencegat dan menahanku di teras. "Tolong, Va. Jangan percaya sama Ezra.""Iya," sahutku singkat. Bang Ayas mendekat, hendak meraih tanganku. Namun, aku segera mundur agar bisa menghindar darinya. "Aku percaya sama Bang Ayas." Aku menatapnya lekat-lekat. "Aku percaya kalo Bang Ayas masih mencintai Diandra."Lelaki itu membeliak. Dia mengerjap-ngerjap. Mulutnya sempat terbuka, tapi tak kunjung bersuara. Sepertinya dia kehilangan kata-kata untuk menyangkal ucapanku. Apa yang terucap dari orang yang sedang marah biasanya adalah sebuah kejujuran. Apalagi yang refleks dilontarkan tanpa sempat dipikiran, berarti memang suda