Terima kasih buat yang sudah membaca sampai bab ini
Rio Mundur****Alya masih mematung di tempatnya, mata sayunya menatapku dengan tatapan yang --- entah.Akan tetapi, sekilas aku menangkap kerinduan di sana. Jika benar, untukku kah rindu itu?"Alya, masuklah."Aku membuka pintu mobil dan memintanya untuk masuk. Rasanya tidak nyaman jika tetap berada di sana sambil menerima pandangan penuh selidik dari orang-orang yang kebetulan melewati kami.Perlahan Alya meletakkan bobot tubuhnya dan berusaha memasang sabuk pengaman."Biar aku bantu," kataku cepat sambil meraih sabuk pengaman di sebelahnya.Darahku berdesir kala wajahku berdekatan dengannya, aku bahkan sampai menahan napas beberapa saat sambil menekan sesuatu yang bergejolak di hati. Terlebih ketika aroma lembut yang menyentuh indera penciumanku, untuk beberapa detik, aku benar-benar merasa seperti terhipnotis. Hingga aku merasakan tangan Alya perlahan mendorong tubuhku untuk menjauh darinya."Su--sudah selesai," kataku gugup sambil menarik tubuhku menjauh darinya.Aku melempar pan
Dia Pantas Untukmu ****"Dasar brengsek kamu!! Itu sama saja kamu meremehkan dirimu sendiri, karena mundur begitu saja." Aku membalas pesan Rio dengan penuh emosi.Bisa-bisanya dia mengatakan hal itu padaku."Ha ha ha ha ...."Sialan! Bahkan Rio hanya membalas pesanku sambil tertawa."Bro, kamu tahu apa yang paling kubenci dari dirimu? Karena kamu brengsek! Aku berpikir, dengan menikahi Alya, aku bisa memberimu pelajaran tentang bagaimana sakitnya ditinggalkan serta bagaimana caranya menghargai perasaan orang lain. Namun aku harus berpikir ulang untuk melakukan itu. Kamu tahu kenapa? Karena aku tidak ingin melihat Alya bersedih, aku tidak mampu menatap wajah murungnya saat dia berada di sampingku. Andai aku bersikukuh untuk meneruskan hubunganku dengan Alya, aku hanya akan bersanding dengan raganya yang kosong, sementara hati dan pikirannya untuk orang lain. Aku tidak ingin itu terjadi nanti."Kuremas ponsel setelah selesai membaca pesan Rio yang panjang lebar. Aku tidak menyangka ji
Tentang Sania***Kumasukkan kembali surat tersebut dalam amplop dan bergegas keluar kamar.Sementara jariku dengan lincah mencari kontak Sania yang sempat kublokir beberapa waktu yang lalu untuk menghubunginya. Tidak ada respon, bahkan, sepertinya nomornya juga sudah tidak aktif lagi.Ke mana aku harus mencari Sania? Haruskah aku mendatanginya ke rumah orang tuanya? Sepertinya aku memang harus mencarinya ke sana. Karena itulah satu-satunya tempat yang kutahu, tempat di mana dia akan pulang.Aku masih ingat dengan jelas rumah megah itu, tempat keluarga besar Sania tinggal. Dan hari ini, aku kembali berdiri di depan gerbang yang menjulang tinggi. Rumahnya tampak sepi, tidak kulihat penjaga yang selalu berada di post depan rumahnya. Kucoba untuk mengintip dari celah pagar, tetap tidak terlihat siapa-siapa di dalam sana."Bapak mau mencari siapa?" Seorang pria berseragam putih dan celana biru menghampiri. Dia adalah satpam perumahan. "Saya temannya Sania dan ingin bertemu dengannya," j
Mencari Sania***“Sebaiknya mas Andra segera pergi ke alamat tersebut, saya bisa pulang sendiri,” kata Alya sewaktu-waktu setelah kami sampai di tempat parkir."Jangan berpikir yang aneh-aneh, Alya. Aku akan mengantarmu pulang. Tentang Sania, aku tidak harus menemuinya sekarang.""Mas Andra yakin? Bukankah lebih cepat bertemu dengannya akan lebih baik?" Ucap Alya."Tidak. Aku tidak ingin bertemu dengan Sania sekarang. Lagi pula, aku tidak yakin dia mau bertemu denganku setelah semua yang terjadi di antara kami berdua. Lagi pula, Yuri pasti memberitahunya kalau aku sedang mencari keberadaannya. Dan bisa jadi, dia akan pergi ke suatu tempat tempat karena tidak ingin bertemu denganku."Alya menarik napas dalam, dia menyandarkan punggungnya ke sandaran mobil sambil melipat kedua tangannya di dada. Pandangan matanya lurus ke depan."Kenapa Mas Andra tidak mengkonfirmasi dulu ke rumah sakit tersebut tentang penyakit Sania? Maksudku, cari tahu secara detail, apa sebenarnya penyakit yang sed
Tidak Butuh Maafmu****Alya sedikit menjauh dariku begitu dia mendengar apa yang baru saja dikatakan Sania. Bahkan Alya yang tadi terlihat santai saat turun dari mobil, kini terlihat tegang. Dia terlihat sekali sedang menahan amarah, kedua tangannya terkepal.Melihat hal itu, aku merasa tidak enak hati dengan Alya. Karena akulah yang memintanya bahkan bisa dibilang sedikit memaksa untuk menemaniku ke sini."Sania, jangan seperti itu. Kedatangannya ke sini bermaksud baik, dia turut prihatin atas apa yang menimpamu," ucapku berusaha membuat Sania tenang.“Andra….” Seorang wanita paruh baya muncul dari dalam rumah dan berjalan mendekatiku.“Tante Muti,” ucapanku sambil tangannya bermaksud menyalaminya.Wanita paruh baya itu menyambut uluran tangan meski sedikit enggan."Bicaralah di dalam, jangan di luar seperti ini. Meskipun rumah kami tidak lagi sebagus dan semewah dulu, kami tetap ingin menghargai tamu yang datang," ucap Tante Muti sinis. Entah apa tujuannya berkata seperti itu, mung
Ketahuan ****Sania masih menunggu jawabanku, namun aku tidak ingin memberitahu padanya tentang status hubunganku dengan Alya. Aku tidak ingin emosinya semakin tidak stabil, terlebih di saat dia seperti itu. Entah terbuat dari apa sebenarnya hati dan perasaan wanita, sebaik apapun aku menyimpan rapi suatu perasaan, mereka selalu bisa mengetahuinya, termasuk Sania yang mencium hubungan spesialku dengan Alya."Aku akan membawamu masuk sekalian pamit dengan tante Muti," kataku sambil mendorong pelan kursi rodanya.Sania terlihat kecewa dan protes dengan jawaban yang kuberikan, namun aku harus melakukan itu semua demi kebaikannya. Setidaknya, sampai dia benar-benar siap untuk mengetahui semuanya. Karena, cepat atau lambat, dia juga harus tahu tentang hubunganku dengan Alya."Kenapa terburu-buru sekali Andra?" Tanya tante Muti saat aku pamit dengannya."Seringlah datang ke sini, Sania butuh seseorang yang bisa membuatnya kembali bersemangat untuk hidup," ucap tante Muti lagi ketika belia
Restu----Aku yang masih belum bisa mencerna seutuhnya pembahasan kami malam ini, berusaha tetap tenang meskipun jantung berdegup kencang terlebih ketika bu Ima mulai menyinggung tentang pernikahan, bahkan kurasakan punggungku mulai basah oleh keringat dingin.Aku mengalihkan pandangan mata dari Alya yang masih memandangku dengan tatapan cemas.Kutarik napas dalam sebelum aku mulai berbicara. Aku yakin saat ini Alya pasti merasakan hal yang sama sepertiku, tidak tahu harus berbuat apa.“Maksud Ibu, apa?” tanyaku memecah keheningan.Ibu terlihat menarik napas dalam sebelum beliau menjawab pertanyaanku.“Ibu sudah tahu semuanya, meskipun kalian mencoba menyembunyikan semuanya dari ibu,” ucapnya.“Maksud ibu … apa?!” tanya Alya dengan mata terbelalak, ada keterkejutan dari sorot matanya.Bu Ima tersenyum sambil memandang Alya dengan tatapan teduh.“Kamu itu anak ibu, tanpa bertanya pun, ibu sudah tahu apa yang sedang terjadi padamu. Ibu juga tahu kalau selama ini kamu diam-diam memendam
Atas Nama Persahabatan ----- "Maafkan aku, Sania," kataku lirih.Sania tidak menjawab, sejenak suasana menjadi hening dan terasa begitu kaku. Hal itu membuatku ingin mengakhiri percakapan kami. Namun belum sempat aku berkata, terdengar Sania memanggilku lirih.“Mas … kamu benar-benar ingin membantuku?" Tanya Sania lirih.“Iya Sania, tentu saja aku akan membantumu, seperti yang kukatakan padamu saat itu.” Aku berkata cepat.Kudengar Sania menarik napas dalam, aku bahkan bisa mendengar dengan jelas tarikan napasnya. Apakah dia senang dan bahagia saat ini karena saya bersedia membantunya? Entahlah.Setelah memberikan beberapa kalimat motivasi untuk Sania, saya mengakhiri telepon dan meletakkan kembali ponsel di atas meja. Kusandarkan punggung ke sofa, sementara pikiran mengembara entah ke mana. Hingga lamunanku buyar ketika ponselku kembali berbunyi. Sebuah pesan yang dikirim Alya.“Mas, apakah minggu ini kamu punya waktu? Saya ingin mengajak anak-anak keluar, sudah lama sekali saya ti
All Well, End Well****Alya menatapku, kedua matanya berkaca-kaca, perlahan, air matanya luruh membasahi pipinya."Kamu menangis, Alya?" Tanyaku sambil mengusap air matanya. "Mas ...." ucapannya lirih, memanggilku.Buru-buru aku merengkuhnya ke dalam pelukan. "Kamu hebat, Alya, kamu sudah menunaikan kewajibanmu sebagai istri di malam pertama, kamu sekarang menjadi wanita dan seorang istri seutuhnya," kataku.Alya menenggelamkan kepalanya dalam pelukan, isaknya masih terdengar."Aku sangat bahagia, Mas," ucapnya lirih."Andai aku tahu, kalau menjadi istri itu senikmat ini, seharusnya kita menikah lebih awal," kata Alya lagi.Aku merenggangkan pelukan, mencoba melihat ekspresi Alya, dia tidak lagi menangis, senyum tipis terukir di bibirnya."Alya ... jangan katakan kalau kamu minta lagi?""Aku tidak bilang begitu," ucapnya sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan.Namun ucapan Alya tadi, cukup bagiku untuk kembali membawanya berpacu denganku."Kita lakukan lagi, ayolah, pokoknya
Malam Pertama****Hari ini semua keluarga sudah berkumpul di rumah, aku sendiri, meskipun semalaman tidak bisa tidur karena terlalu gembira dan tidak sabar menunggu hari ini, merasa begitu bersemangat. Tidak merasa ngantuk ataupun lelah.Ibu beberapa kali merapikan baju yang kupakai, sambil sesekali melihat ke luar, kami semua menunggu kedatangan Alya dan keluarganya. Seperti yang telah kami sepakati sebelumnya, kalau kami akan melakukan akad nikah di KUA saja. Dan ternyata, ada beberapa pasangan calon pengantin yang akan melangsungkan pernikahan hari ini. Aku sendiri, mendapatkan nomor urut 3. Tidak apa-apa, aku bahkan bersyukur, dengan begitu, ada waktu untuk belajar mengucapkan ijab kabul."Santai saja, ga perlu tegang begitu. Toh ini bukan pernikahan pertama elu," seloroh Rio yang saat itu memang datang untuk menjadi saksi dalam pernikahan kami."Elo belum ngerasain di posisi gue, coba nanti dah, apakah bakal grogi apa enggak," sungutku.Rio terkekeh, lalu dia kembali berseloroh,
Bertemu Mas Ilham****Buru-buru aku mengakhiri panggilan telepon dari ibu dan sebelumnya mengingatkan agar beliau tidak lupa untuk mempersiapkan acara akad nikah nanti.Pelan, mataku mengeja satu persatu huruf yang tertulis di pesan yang dikirim Alya."Ibu dan Mas Ilham setuju." Aku membaca sekali lagi pesan itu, dan kali ini aku berteriak untuk meluapkan rasa bahagiaku."YESS, gue nikah, gue kawin!!"Teriakku sambil mencium ponsel yang kupegang berkali-kali.Dan aku beruntung di rumah tidak ada siapapun, sehingga tidak akan ada orang yang mengira aku telah gila. Meskipun ada yang menganggap ku gila, aku tidak peduli itu.Aku duduk di tepi tempat tidur dengan perasaan yang masih dipenuhi rasa bahagia. Ketika tiba-tiba ponselku kembali berdering dan membuyarkan semua kegembiraanku."Aku ingin berbicara denganmu, datang ke alamat ini." Sebuah pesan yang dikirim oleh Mas Ilham membuatku mengernyit dahi. "Untuk apa Mas Ilham ingin bertemu denganku? Bukankah dia sudah memberikan ijin pa
Memenuhi Wasiat Laila****Pertemuan dengan Nirmala berjalan lancar, bahkan lebih mudah dari yang kubayangkan. Nirmala meyakinkan Alya kalau dirinya tidak akan meninggalkan Mas Ilham hanya karena selalu menunda rencana pernikahan mereka. Nirmala melakukan semua itu, karena ingin membuat Mas Ilham bisa bersikap lebih tegas dan mengerti posisi dirinya.Sebagai seorang wanita, Nirmala merasa statusnya selalu digantung. Meskipun Mas Ilham selalu meyakinkan dirinya untuk selalu setia dan akan segera menikah dengannya begitu Alya menikah, namun hal itu tidak cukup untuk membuat Nirmala sabar menunggu. Mengingat usianya sudah tidak lagi muda, dan tidak ada yang bisa menjamin jika Mas Ilham akan memenuhi semua janjinya. Selain itu, tekanan dari kedua orang tuanya, semakin membuat Nirmala tidak mempunyai banyak pilihan, selain mendesak Mas Ilham untuk segera menikah dengannya. Untuk hal itu, aku bisa memahaminya. Walau bagaimanapun, Nirmala adalah seorang wanita. Dia bahkan sudah menghabiska
Ini Salahku****Nirmala masih mematung di tempat duduknya, dia terlihat sangat terkejut dengan kehadiran Alya di sana, karena aku sedari awal memang tidak mengatakan padanya kalau Alya juga akan datang. Selain itu, sepertinya ucapan Aly lah yang membuatnya terpaku seolah kehilangan kata-kata.Aku tidak tahu, apa yang telah terjadi di antara mereka berdua, namun melihat bagaimana reaksi Nirmala padaku, juga caranya dia berbicara dengan Mas Ilham yang selalu menyalahkan Alya, seperti dia memang kurang menyukai Alya.Alya menarik kedua sudut bibirnya hingga membuat matanya sedikit menyipit, dia tersenyum manis padaku. Seolah ingin mengatakan padaku kalau dirinya baik-baik saja, dan akan menyelesaikan masalahnya dengan Nirmala."Mbak Nirmala apa kabar?"Tanya Alya beberapa saat setelah dia duduk di sebelahku, ketika Nirmala sudah terlihat lebih tenang dan keterkejutannya hilang dari ekspresi wajahnya. Meskipun dia masih terlihat canggung dan tidak nyaman berada di sana, hal itu jelas ter
Menemui Nirmala****Alya sudah terlihat lebih tenang, dia juga sudah tidak lagi menangis. Hal itu membuatku merasa sangat lega, setidaknya, semua berjalan sesuai rencana. Alya menerima lamaran dariku, bahkan dia juga bersedia untuk mempercepat pernikahan kami.Alya memandangku lekat, aku mencoba menantang tatapan matanya hingga pandangan kamu beradu. Kesempatan itu kugunakan untuk bertanya sekali lagi padanya."Aku duda dengan dua orang anak, apakah kamu yakin menerimaku untuk menjadi suamimu?" Tanyaku."Aku, Alya, gadis jutek, manja dan keras kepala, akan menerima Andra Haruki sebagai suami sekaligus ibu sambung bagi kedua anaknya. Akan aku cintai dua anak itu, seperti aku mencintai papanya," jawab Alya.Kedua sudut gadis itu terangkat hingga membentuk senyum yang begitu manis. Senyum yang serta Merta membuat duniaku menjadi berwarna, bahkan jauh lebih berwarna daripada lembayung senja di ufuk barat sana. "Kamu cantik sekali, Alya," pujiku."Aku tahu, Mas Andra sering bilang itu pa
Menikahlah Denganku***"Mas ... kamu ini kenapa, sih?"Alya bertanya, wajahnya terlihat sedikit bingung. Melihat dia yang kebingungan, membuatnya terlihat semakin menggemaskan, terlebih, dengan kedua pipi yang merona merah.Aku mengeluarkan cincin yang kubeli beberapa waktu yang lalu, namun belum sempat memberikan padanya karena menunggu waktu yang tepat, dan sepertinya, waktu itu telah datang untukku memasang cincin itu di jari manisnya."Mas, ini ...."Alya menggantung kalimatnya ketika aku meraih tangannya, serta menyematkan cincin di jari manisnya. "Aku, Andra Haruki, duda dengan dua orang anak. Hari ini memintamu untuk menjadi istriku, maukah kamu menikah denganku?" Tanyaku pada Alya.Mata gadis itu berbinar, wajahnya yang sejak tadi bersemu merah, kini makin merona. Dia memandang tanpa berkedip pada jari manisnya, jari yang baru saja kusematkan cincin di sana. Beberapa kali dia mengerjap, meskipun dia masih belum berkata, namun dari bahasa tubuhnya, bisa kulihat pancaran kebah
Mas Ilham dan Nirmala****Berkali-kali aku menghela napas dalam, kepalaku kembali berdenyut setiap kali aku mengingat kalimat demi kalimat yang diucapkan Wida tadi.Seumur hidup, aku tidak pernah berpikir untuk melakukan apa yang dia sebarkan tersebut. Bahkan, seandainya diberi kesempatan untuk terlahir kembali pun, aku tetap akan memilih untuk dilahirkan menjadi diriku saat ini, sebagai lelaki normal yang mencintai wanita dan mempunyai anak.Kusandarkan punggungku di sandaran kursi dan memejamkan mata. Pengakuan Wida tadi, membuatku berpikir sejenak tentang apa yang dia katakan. Dia bilang kalau dirinya menaruh perasaan terhadap Rio selama ini, namun yang aku tidak mengerti, kenapa dia tidak pernah mengungkapkan isi hatinya atau setidaknya, menunjukkan rasa sukanya terhadap Rio.Jangan-jangan selama ini aku saja yang tidak peka dengan perubahan sikapnya setiap kali bertemu dengan Rio.Lalu ingatanku melayang pada sebuah kejadian beberapa waktu yang lalu.Seperti biasanya, aku selal
Cemburu Yang Membutakan ***"Apakah saya pernah berbuat suatu kesalahan padamu, Wida?"Aku kembali bertanya pada Wida yang masih bersimpuh di lantai, karena sejak tadi, dia hanya menangis sambil mengucapkan kata maaf tanpa menjelaskan apa yang sebenarnya kesalahan yang telah dia lakukan. Meskipun sekilas, aku sudah mempunyai gambaran tersendiri. Wida, sudah cukup lama gadis itu bekerja di perusahaan tempat aku bekerja. Sebelum menjadi sekretarisku, dia dulu bekerja di bagian administrasi. Entah bagaimana ceritanya, sehingga dia mendapatkan posisi sebagai sekertaris. Awalnya aku sering salah memanggil namanya, karena dia memiliki nama yang hampir sama dengan sekretaris sebelumnya, Widi, yang mengundurkan diri setelah melahirkan anak pertamanya, iya, nama mereka hanya beda satu huruf saja, Widi, Wida.Aku berjalan menjauh dari Wida, kubuka sedikit pintu untuk melihat ke luar. Aku tidak ingin keributan di dalam ruang kerjaku ada yang menguping, kemudian menyebarkan berita palsu dan tid