Malam itu, gerimis menyambut Mia yang baru saja pulang dari rumah sakit. Seragam susternya sudah kusut, dan rambutnya yang biasanya rapi kini sedikit berantakan. Ia berjalan cepat memasuki rumah kecilnya, melepaskan sepatu tanpa melihat ke arah suaminya yang duduk di sofa dengan tatapan penuh emosi.“Kenapa kau terlambat lagi?” suara Marco menggema, tajam seperti pisau yang siap menikam.Mia menghela napas panjang. Ia tahu pertanyaan itu bukan soal keterlambatannya, melainkan kemarahan Marco atas rencana mereka yang menurutnya berjalan terlalu lambat.“Aku harus lembur,” jawab Mia tanpa emosi, meletakkan tasnya di atas meja kecil.“Lembur? Atau kau terlalu sibuk menjaga si bego itu?” Marco bangkit dari sofa, melangkah mendekat dengan wajah menahan amarah. “Kau habiskan waktumu untuk Farid, tapi aku tidak melihat hasil apa pun, Mia! Sudah berapa lama kita bermain-main dengan ini?”Mia mendongak, menatap Marco dengan mata tajam. “Ini tidak sesederhana itu, Marco. Kalau kita bergerak ter
Pagi ini, Mia kembali ke rumah sakit dengan langkah yang ringan namun penuh perhitungan. Ia sudah menyiapkan segala strategi dalam pikirannya. Hari ini, ia akan mengambil langkah besar menuju target utamanya—Hasan.Mia tahu Hasan sering mengunjungi kakaknya, Farid, di rumah sakit setiap minggu. Sebagai seorang pengusaha sukses, Hasan selalu tampil rapi dengan jas mahal dan aura percaya diri. Namun, di balik senyumnya yang ramah, Mia tahu pria itu punya kelemahan, ego yang besar dan mudah dipuaskan dengan pujian.Di Ruang Pasien, Farid tersenyum lemah ketika Mia masuk ke kamar dengan membawa sarapan. “Mia, kau selalu memperlakukan aku seperti raja,” katanya, dengan suara serak.Mia tersenyum lembut. “Aku hanya ingin kau cepat pulih, Farid. Kau sudah terlalu lama di sini.”Farid mengangguk pelan, lalu tampak ragu sejenak sebelum akhirnya bertanya, “Hari ini Hasan bilang dia akan datang. Apa kau sempat bertemu dengannya?”Mia pura-pura terkejut. “Oh, Hasan akan datang? Aku tidak tahu.” I
"Hasan! Mana istri kamu? Jam segini kok belum bangun!" teriak Bu Wati.Wanita paruh baya itu baru saja bangun dari tidurnya. Jam telah menunjukkan pukul 7.30 pagi, tetapi kedua matanya tidak menangkap sosok perempuan yang hampir satu minggu ini sudah menjadi menantunya. Bu Wati berjalan ke dapur sambil mengikat rambut pendeknya, tetapi saat sampai di dapur kedua matanya terbelalak melihat Rosa, sang menantu, tengah berdiri di depan kompor sambil mengaduk sayur yang ada di dalam kuali."Kenapa Bu, bangun tidur kok teriak-teriak?" tanya Rosa seraya berbalik badan dan tersenyum menatap Ibu Mertuanya.Sontak Bu Wati jadi salah tingkah dibuatnya, ia kira menantunya itu masih molor tapi ternyata sudah berkutak di dapur. "Nggak," jawabnya acuh lalu masuk ke kamar mandi yang ada di sebelah dapur.Rumah ini terbilang cukup dan sangat sederhana bagi Bu Wati dan keluarganya, tetapi tidak untuk Rosa, wanita itu sangat sengsara tinggal di rumah kecil bersama ipar dan para keponakan serta mertua ya
"Udah, Bu. Jangan terlalu dikerasin, kasihan Rosa. Lagian, dia juga baru menjadi seorang istri, jadi wajar dong belum ada pengalaman dalam hal apapun, termasuk menjadi seperti yang Ibu inginkan," ucap Tiara begitu lancar. Wanita yang usianya tak jauh beda dengan Rosa itu berdiri di depan Bu Wati, menampilkan senyuman padahal iler masih berjajar di wajahnya. Tiara baru saja bangun. Semenjak ada Rosa di rumah itu, Tiara semakin merasa leluasa, sebab tak harus melakukan pekerjaan ini itu karena ada adik ipar yang akan melakukan semuanya. Seperti pagi ini dan pagi-pagi sebelumnya. Hanya Rosa yang berkutak sendirian di dapur tanpa ada yang membantu. "Udah ya, Bu. Jangan cemberut lagi," bisiknya seraya berlalu dari hadapan Ibu Mertuanya. Tiara pergi ke kamar mandi berniat untuk mencuci wajah, atau sekedar berkumur sebab dirinya baru bangun tidur, tetapi saat melihat ayam goreng yang ada di atas meja, perutnya seketika menjadi lapar. Warna yang keemasan dan bentuknya yang krispi, membuat
"Eh, jawab!" seru Tiara, ia penasaran dengan jawaban adik iparnya itu. Pasalnya, Rosa hanya diam saja sejak ditanya tentang statusnya."Apa jangan-jangan kamu itu seorang janda bukan perawan tua? tapi ya sudahlah, untuk apa diselali, apapun statusmu dulu itu tidak ngaruh bagiku, toh sekarang kamu sudah menikah. Mau perawan tua atau seorang janda, yang pasti kamu sudah melepas masa lajangmu. Iya, 'kan, Rosa?" "Iya, Kak." "Nah, gitu ... kalau diajak ngomong ya nyahut, jangan diem aja." "Pertanyaan, kamu tidak berbobot untuk apa ku sahuti?" ujar Rosa, lalu pergi dari sana, tak lupa ia membawa bekal yang sudah dipersiapkan untuk suaminya. "Astaga, anak itu!" gerutu Tiara seraya menunjuk Rosa yang hampir menghilang dari pandangannya. "Enak banget jawabnya, pertanyaan kamu tidak berbobot untuk apa kusahuti, eh kamu pikir kamu siapa! Berani-beraninya bicara kasar padaku! Aku ini kakak iparmu, bisa-bisanya kamu berlaku sok begitu!" Tiara terus meracau merasa tak terima bila ucapannya dij
"Biarin struk, toh niatku beli motor bukan untuk pamer, meski ada sih sedikit rasa jengkel." "Yaudah, Neng. Orang macam Bu Wati memang pantas dipojokkan dengan pembuktian. Kalo cuma balas ucapannya nggak bakalan mempan, orang itu pikirannya sempit, mana mau kalah sama orang," ucap si abang tukang ojek. "Emangnya kamu kenal banget sama mertuaku, Bang?" "Ya ... nggak kenal banget sih, Neng. Cuma, dari wajahnya saja sudah ketara kalau dia itu orangnya nyebelin. Lagian, bukan rahasia lagi siapa Bu Wati. Semua orang juga tahu, dialah si pembuat onar di kampung ini." "Oooo," sahut Rosa. Setelah berkendara beberapa menit tak jauh dari dealer yang tadi, akhirnya Rosa benar-benar sampai pada tempat yang sangat diinginkan olehnya. "Nah, ini dealer motor baru, Neng," kata si abang tukang ojek. Rosa pun membuka helm yang masih menyangkut di kepalanya lalu turun dari motor supra x milik si tokeng ojek itu. Dia pun masuk ke dealer sedangkan lelaki tadi hanya menunggu di depan. Mata Rosa k
"Maksud kamu?" Hasan tak mengerti, mengapa istrinya bicara seperti itu. Lelaki itu tak pernah ambil pusing, dan memikirkan setiap kata kasar yang keluar dari mulut ibundanya. "Sekarang gini deh, Mas. Ibu bilang,--" "Udahlah, Sa. Nggak usah diperpanjang. Terserah ibu mau bilang apa. Dari aku kecil, hingga aku setua ini, ibu tidak pernah berkata lembut padaku. Toh, sudah diizinkan tinggal bersamanya saja aku sudah bersyukur, Sa." "Kenapa, Mas? Kenapa kamu diam saja saat ibumu bicara kasar?" "Ya, aku harus bagaimana? Apa aku harus marah balik, dan mengumpatnya? atau aku harus membanting semua perabotan agar ibu berhenti mengomel? Percuma, Sa ...." Rosa pun terdiam, sejenak ia berpikir apa suaminya ini anak pungut, sehingga diperlakukan begitu beda oleh ibunya sendiri. "Mas," panggil Rosa, sekilas ia melihat manik mata lelaki yang ada di hadapannya ini begitu banyak menyimpan kesedihan. Dengan berat hati Hasan mengangkat wajahnya, dan balik memandang wanita yang sudah resmi menjad
Dan benar saja, firasatnya itu sangat tepat. Andai Bu Wati tahu siapa Rosa sebenarnya, mungkin sikapnya akan lembut, dan meratukan Rosa, seperti dia meratukan Tiara. "Tadi ke sini naik apa?" tanya Hasan, memecahkan keheningan, dan kecanggungan yang sempat tercipta. Sikap lancangnya tadi, membuat keduanya sama-sama menahan malu, tetapi saling menikmati. Andai saat ini mereka berada di dalam kamar, mungkin aksi malam pertama yang sempat tertunda akan terlaksana. "Motor," jawab Rosa pelan. "Motor?" Hasan mengulangi ucapan istrinya. "Iya motor, Mas." "Motor bapak?" "Bukan.""Lalu?" "Ya, motorku, Mas. Mau make motor bapak, tapi nggak dikasih izin sama ibu, jadi ya aku beli motor sendirilah. Dari pada minjem-minjem nggak dipinjemin." "Apa!" Hasan terbelalak mendengar penuturan istrinya. "Kamu anggap beli motor kayak beli kopi di warung, Sa?" ucapnya seakan tak percaya atas pengakuan istrinya. "Kenapa? Kamu nggak percaya, Mas?" "Ya nggak percaya, Sa. Aku kasih uang ke kamu aja c
Pagi ini, Mia kembali ke rumah sakit dengan langkah yang ringan namun penuh perhitungan. Ia sudah menyiapkan segala strategi dalam pikirannya. Hari ini, ia akan mengambil langkah besar menuju target utamanya—Hasan.Mia tahu Hasan sering mengunjungi kakaknya, Farid, di rumah sakit setiap minggu. Sebagai seorang pengusaha sukses, Hasan selalu tampil rapi dengan jas mahal dan aura percaya diri. Namun, di balik senyumnya yang ramah, Mia tahu pria itu punya kelemahan, ego yang besar dan mudah dipuaskan dengan pujian.Di Ruang Pasien, Farid tersenyum lemah ketika Mia masuk ke kamar dengan membawa sarapan. “Mia, kau selalu memperlakukan aku seperti raja,” katanya, dengan suara serak.Mia tersenyum lembut. “Aku hanya ingin kau cepat pulih, Farid. Kau sudah terlalu lama di sini.”Farid mengangguk pelan, lalu tampak ragu sejenak sebelum akhirnya bertanya, “Hari ini Hasan bilang dia akan datang. Apa kau sempat bertemu dengannya?”Mia pura-pura terkejut. “Oh, Hasan akan datang? Aku tidak tahu.” I
Malam itu, gerimis menyambut Mia yang baru saja pulang dari rumah sakit. Seragam susternya sudah kusut, dan rambutnya yang biasanya rapi kini sedikit berantakan. Ia berjalan cepat memasuki rumah kecilnya, melepaskan sepatu tanpa melihat ke arah suaminya yang duduk di sofa dengan tatapan penuh emosi.“Kenapa kau terlambat lagi?” suara Marco menggema, tajam seperti pisau yang siap menikam.Mia menghela napas panjang. Ia tahu pertanyaan itu bukan soal keterlambatannya, melainkan kemarahan Marco atas rencana mereka yang menurutnya berjalan terlalu lambat.“Aku harus lembur,” jawab Mia tanpa emosi, meletakkan tasnya di atas meja kecil.“Lembur? Atau kau terlalu sibuk menjaga si bego itu?” Marco bangkit dari sofa, melangkah mendekat dengan wajah menahan amarah. “Kau habiskan waktumu untuk Farid, tapi aku tidak melihat hasil apa pun, Mia! Sudah berapa lama kita bermain-main dengan ini?”Mia mendongak, menatap Marco dengan mata tajam. “Ini tidak sesederhana itu, Marco. Kalau kita bergerak ter
Farid dan Mia menikmati keheningan sore itu di taman rumah sakit. Angin sepoi-sepoi meniup lembut dedaunan, menciptakan irama alam yang menenangkan. Di sekeliling mereka, pasien lain juga menikmati waktu di luar, ada yang berjalan perlahan dibantu tongkat, ada pula yang duduk dengan kerabat mereka, berbagi cerita. Tapi bagi Farid, dunia seakan menyempit. Yang ada hanya dirinya dan Mia. Setiap kata yang Mia ucapkan tadi terus terngiang di kepala Farid. "Aku masih mencintaimu." Ia merasa dadanya penuh, seolah dihimpit antara kebahagiaan dan keraguan. Bagaimana mungkin Mia, yang dulu meninggalkannya tanpa jejak, kini kembali menawarkan cinta? Namun, ada sesuatu dalam cara Mia berbicara—kejujuran, penyesalan, dan ketulusan—yang membuatnya sulit untuk mengabaikan perasaannya. “Aku senang kamu tidak langsung menolak,” Mia memecah keheningan. Suaranya lembut, nyaris seperti bisikan. “Aku tahu ini semua pasti berat untukmu, Farid. Tapi aku di sini, siap menunggu sampai kamu siap.” Farid me
Mia melangkah masuk dengan tenang, mengenakan seragam suster berwarna putih. Wajahnya masih seperti dulu—lembut, tenang, dan penuh kehangatan. Hanya saja, kini ada kedewasaan yang membuatnya tampak semakin anggun. Pandangan matanya bertemu dengan Farid, dan untuk beberapa detik, ruangan itu terasa hening.“Mia...,” suara Farid terdengar serak, seperti berbisik.Mia tersenyum tipis, mendekat sambil membawa clipboard di tangannya. “Halo, Farid. Lama tidak bertemu,” ucapnya dengan nada lembut.Bu Wati yang duduk di sisi Farid menatap keduanya dengan bingung. Ia kemudian melirik Hasan, yang tampak terkejut namun berusaha menjaga sikapnya. Hasan berdehem pelan untuk memecah keheningan.“Kamu kenal Mia, Bang?” tanya Hasan, meski dari nada suaranya, ia sudah tahu jawabannya.Farid tidak segera menjawab. Hanya pandangannya yang tak lepas dari Mia, seolah memastikan bahwa sosok di depannya benar-benar nyata. Setelah beberapa detik, ia mengangguk pelan. “Ya, kami... pernah saling kenal.”Mia te
lMalam mulai larut. Lampu di ruang tamu rumah Bu Wati masih menyala, sementara Farid terduduk diam di kursi rodanya, menatap keluar jendela kamarnya. Hatinya berkecamuk, penuh dengan rasa putus asa dan rasa sakit yang sudah lama ia pendam. Luka akibat insiden itu semakin parah, tapi rasa malu dan gengsi membuatnya terus menolak pergi ke rumah sakit.“Farid, makan dulu, Nak,” suara lembut ibunya terdengar dari balik pintu.Farid hanya menghela napas. “Taruh saja di meja, Bu. Nanti aku makan.”Bu Wati mendekat, membawa nampan berisi sup hangat dan segelas air putih. Ia duduk di kursi kecil dekat tempat tidur Farid, memandang anak sulungnya dengan penuh kekhawatiran. “Farid, sampai kapan kamu mau seperti ini? Ibu nggak tega lihat kamu menahan sakit terus-terusan.”Farid mengalihkan pandangannya. “Aku baik-baik saja, Bu.”“Baik-baik saja? Luka itu makin parah, Farid! Bau busuknya saja sudah menyebar! Kamu pikir Ibu nggak tahu?” Nada suara Bu Wati meninggi, matanya mulai berkaca-kaca.Fari
Semakin lama orang yang masuk dari pintu belakang itu semakin mendekat, mendekat, dan akhirnya terlihat juga batang hidungnya. "Mbak Nanik! Ngapain masuk dari pintu belakang? Kayak maling aja!" seru Farid yang tadi sedikit panik. Ia kira mengira ada penyusup yang ingin membobol rumahnya, meski di saat siang hari begini. "Mana ada maling cantik," sahut wanita itu sambil celingak-celinguk seperti sedang mencari sesuatu. "Mana ibumu? Tadi saya nggak salah lihat, 'kan? Hasan keluar dari mobil mewah? " tanyanya pelan sambil berbisik. Jiwa kepo bin julidnya itu masih saja bertebaran. Farid yang suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja sebab berita yang dibawa Hasan tadi sangat memukul mentalnya pun berlalu begitu saja tanpa mengidahkan seribu pertanyaan dari Mbak Nanik. "Eh, tunggu, Farid. Saya tanya, ibumu mana?" ulang Mbak Nanik lagi. Namun, Farid hanya diam dan tangannya terus memutar roda lalu masuk ke kamarnya. "Ihh, dasar! Sudah cacat masih saja belagu." Wanita itu pun berja
Pak Lurah menarik napas panjang, lalu meletakkan tangannya di bahu Bu Wati yang terlihat semakin tua karena masalah yang tiada habisnya. "Baiklah, Nak Farid. Kalau begitu, saya tidak akan memaksa. Tapi ingat, hidup ini masih panjang. Jangan sia-siakan kesempatan untuk memperbaiki semuanya," katanya pelan.Pak Lurah melangkah pergi, diikuti oleh Bu Wati yang menunduk lesu. Setelah menutup pintu, Bu Wati menghela napas panjang, matanya berair menatap lantai. "Ya Allah, sampai kapan ini semua akan selesai?" gumamnya.Farid yang masih duduk di kursi roda memandangi pemandangan di luar jendela. Sebuah kenangan menyelinap masuk ke dalam pikirannya, tentang hari-hari penuh tawa bersama Chika, dan istrinya yang kini mendekam di penjara. Sebuah foto dengan senyum bahagia yang tergantung di dinding seakan mengolok-oloknya."Kalau aku tidak begini ... apa mereka masih akan ada di sini?" bisiknya dengan suara serak.Namun, sebelum pikirannya tenggelam lebih dalam, suara langkah kaki Bu Wati terde
"Bu ...," suara Farid terdengar lirih. Bu Wati tak sadar bila di mata pria itu terdapat genangan air yang siap membasahi wajahnya yang terlihat tampan, tapi itu dulu, jauh sebelum hidupnya dilanda musibah. "Apa! Mau apa lagi kamu? Kerjaanmu tiap hari nyusahin ibu saja! kalo nggak berak, kencing, berak, kencing, itu-itu aja tiap hari!" omel bu Wati seraya membersihkan tempat tidur Farid yang terkena kotorannya tadi. Pria itu tak jadi berkata, ucapan ibunya sungguh menusuk hati, seperti cakaran kucing pada luka yang belum kering. "Kalau tau nasibmu bakal begini, tak sudi ibu melahirkan kamu!" Degh! Hati Farid semakin mencelos mendengar hinaan demi hinaan yang dilontarkan oleh ibu kandungnya itu. Dulu, sewaktu berjaya, dirinyalah yang selalu disanjung-sanjung dan jadi kebanggaan sang bunda. Namun, kata bangga dan penuh pujian itu, kini tak lagi ia terdengar. Sekarang, setiap hari hanya caci dan maki yang selalu ia dapatkan. "Maaf, Bu," lirihnya pelan, bahkan semut saja tak dapat men
Hasan sedang berdiri di depan pintu, rapi dengan kemeja biru muda yang digosok sempurna. Tas kerjanya tergantung di bahu, dan ia sedang memakai jam tangan ketika Rosa tiba-tiba memeluknya dari belakang. "Mas, nggak usah ke kantor, dong," rengek Rosa, suaranya lembut namun manja. Hasan tertawa kecil, lalu menolehkan kepala untuk melihat istrinya. "Sayang, aku kan harus kerja. Kalau nggak, nanti semua kacau." Rosa melepaskan pelukannya perlahan dan berjalan menghadap Hasan. Tangannya menyilang di depan dada, ekspresinya cemberut seperti anak kecil yang tidak mendapatkan permen. "Kerja dari rumah aja, Mas. Perusahaan ini punya Papah juga. Kalau ada apa-apa, kan bisa telpon-telponan." Hasan menggeleng sambil tersenyum. "Rosa, aku bos, iya. Tapi tetap harus kelihatan di kantor. Kalau nggak, nanti anak buahku bilang aku cuma duduk-duduk dan numpang nama mertuaku." Rosa menatap suaminya dengan mata bulat besar, berusaha mengeluarkan jurus andalan: tatapan penuh permohonan. "Tapi aku