Pagi ini, Mia kembali ke rumah sakit dengan langkah yang ringan namun penuh perhitungan. Ia sudah menyiapkan segala strategi dalam pikirannya. Hari ini, ia akan mengambil langkah besar menuju target utamanya—Hasan.Mia tahu Hasan sering mengunjungi kakaknya, Farid, di rumah sakit setiap minggu. Sebagai seorang pengusaha sukses, Hasan selalu tampil rapi dengan jas mahal dan aura percaya diri. Namun, di balik senyumnya yang ramah, Mia tahu pria itu punya kelemahan, ego yang besar dan mudah dipuaskan dengan pujian.Di Ruang Pasien, Farid tersenyum lemah ketika Mia masuk ke kamar dengan membawa sarapan. “Mia, kau selalu memperlakukan aku seperti raja,” katanya, dengan suara serak.Mia tersenyum lembut. “Aku hanya ingin kau cepat pulih, Farid. Kau sudah terlalu lama di sini.”Farid mengangguk pelan, lalu tampak ragu sejenak sebelum akhirnya bertanya, “Hari ini Hasan bilang dia akan datang. Apa kau sempat bertemu dengannya?”Mia pura-pura terkejut. “Oh, Hasan akan datang? Aku tidak tahu.” I
Mia merasa kendali ada di tangannya. Hasan mulai terperangkap dalam pesonanya, dan Farid semakin bergantung padanya. Meski Rosa sudah mulai curiga, Mia yakin dia bisa mengatasinya. Namun, di balik rencana yang sempurna, ada sesuatu yang Mia tidak duga—sesuatu yang bisa menghancurkan semuanya dalam sekejap.Dua hari setelah pertemuan dengan Rosa, Mia menerima pesan dari Hasan.(Mia, bisa kita bertemu di luar rumah sakit? Aku ingin mengobrol denganmu tanpa ada orang lain.)Mia tersenyum tipis. Ini lebih cepat dari yang ia perkirakan. Dengan cepat, ia mengetik balasan.(Tentu, Pak Hasan. Kapan dan di mana?)(Besok malam, di restoran La Belle di pusat kota. Aku ingin mengenalmu lebih jauh.)Restoran mewah. Tanda bahwa Hasan mulai melihatnya lebih dari sekadar suster kakaknya. Mia tidak bisa menahan rasa puas yang menjalar dalam dirinya.Namun, saat ia menutup ponselnya, suara dingin Marco terdengar dari belakang.“Kau mulai bermain di luar rencana.”Mia menoleh dengan malas. “Aku tidak be
Mia tahu dia harus bertindak cepat. Situasi di restoran ini semakin berbahaya, dan Marco baru saja memperingatkannya tentang sesuatu yang lebih buruk. Tapi sebelum dia bisa berpikir jernih, Rosa sudah mengambil langkah lebih dulu.Dua pria berjas hitam memasuki restoran, wajah mereka datar dan serius. Keamanan restoran. Rosa melirik mereka dan memberi isyarat halus.“Mia,” Rosa berkata dengan suara pelan namun tegas, “Aku tidak tahu apa tujuanmu mendekati suamiku, tapi aku akan memastikan kau tidak bisa melakukan apa pun lagi.”Mia menatap Hasan, berharap pria itu akan membelanya. Tapi Hasan hanya diam, wajahnya penuh kebingungan. Mia tahu, kepercayaannya mulai runtuh.Sial.“Maaf, Bu,” salah satu petugas keamanan berkata sopan, “Kami mendapat laporan bahwa ada tamu yang mengganggu di sini. Kami harus meminta Anda pergi.”Mia menguatkan dirinya. Dia tidak bisa panik sekarang.Dia tersenyum kecil, menampilkan wajah polosnya. “Saya tidak mengerti apa maksud Anda. Saya hanya sedang makan
Taksi melaju melewati jalanan kota yang diterangi lampu jalan remang-remang. Mia duduk di kursi belakang, jari-jarinya gemetar saat dia menggenggam ponselnya. Pesan yang baru saja dia terima terus berputar di pikirannya.“Kau sudah membuat pilihan yang salah, Mia. Sekarang giliran kami yang bermain.”Siapa yang mengirim pesan itu? Apakah mereka sudah menemukan Marco?Mia menoleh ke luar jendela dan merasakan ketakutan merayapi tulangnya. Sebuah mobil hitam tampak mengikuti taksinya sejak tadi. Tidak ada sirene, tidak ada tanda-tanda mencolok, tetapi nalurinya tahu—mereka sedang diawasi.Sial.Dia tidak bisa langsung kembali ke rumah dan bertemu Marco. Jika dia membawa mereka ke sana, itu sama saja seperti menyeret Marco ke dalam bahaya.Dia harus berpikir cepat.Mia bersandar ke depan, berbicara dengan sopir taksi dengan suara tenang tapi mendesak. “Pak, bisa belok ke jalan kecil di depan sana? Saya harus turun di tempat lain.”Sopir itu menatap Mia sekilas melalui kaca spion, tampak
Hujan mulai turun, rintik-rintiknya membasahi wajah Mia saat dia berdiri di hadapan Hasan. Tangannya masih dalam cengkeraman kuat pria itu. Nafasnya berat, pikirannya berpacu mencari cara keluar dari situasi ini.Hasan menatapnya tajam, matanya penuh kemarahan yang terpendam. “Katakan, Mia. Semua yang kau rencanakan.”Mia bisa saja berbohong. Dia sudah sering melakukannya. Tapi kali ini, dia tahu kebohongan tidak akan menyelamatkannya.“Aku…” Mia menelan ludah, memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Aku memang mendekati Farid karena alasan tertentu. Tapi itu bukan karena aku ingin menyakitinya.”Hasan tersenyum sinis. “Benarkah? Kau ingin aku percaya bahwa kau mendekati kakakku dengan niat baik?”Mia menarik napas dalam. “Awalnya aku hanya ingin mendapatkan kepercayaan Farid… untuk bisa lebih dekat dengan keluargamu.”Hasan menggelengkan kepala, ekspresinya semakin mengeras. “Dan setelah itu? Apa kau berencana menipu kami? Mengambil uangku?”Mia tidak menjawab, tapi tatapan Hasan sem
"Hasan! Mana istri kamu? Jam segini kok belum bangun!" teriak Bu Wati.Wanita paruh baya itu baru saja bangun dari tidurnya. Jam telah menunjukkan pukul 7.30 pagi, tetapi kedua matanya tidak menangkap sosok perempuan yang hampir satu minggu ini sudah menjadi menantunya. Bu Wati berjalan ke dapur sambil mengikat rambut pendeknya, tetapi saat sampai di dapur kedua matanya terbelalak melihat Rosa, sang menantu, tengah berdiri di depan kompor sambil mengaduk sayur yang ada di dalam kuali."Kenapa Bu, bangun tidur kok teriak-teriak?" tanya Rosa seraya berbalik badan dan tersenyum menatap Ibu Mertuanya.Sontak Bu Wati jadi salah tingkah dibuatnya, ia kira menantunya itu masih molor tapi ternyata sudah berkutak di dapur. "Nggak," jawabnya acuh lalu masuk ke kamar mandi yang ada di sebelah dapur.Rumah ini terbilang cukup dan sangat sederhana bagi Bu Wati dan keluarganya, tetapi tidak untuk Rosa, wanita itu sangat sengsara tinggal di rumah kecil bersama ipar dan para keponakan serta mertua ya
"Udah, Bu. Jangan terlalu dikerasin, kasihan Rosa. Lagian, dia juga baru menjadi seorang istri, jadi wajar dong belum ada pengalaman dalam hal apapun, termasuk menjadi seperti yang Ibu inginkan," ucap Tiara begitu lancar. Wanita yang usianya tak jauh beda dengan Rosa itu berdiri di depan Bu Wati, menampilkan senyuman padahal iler masih berjajar di wajahnya. Tiara baru saja bangun. Semenjak ada Rosa di rumah itu, Tiara semakin merasa leluasa, sebab tak harus melakukan pekerjaan ini itu karena ada adik ipar yang akan melakukan semuanya. Seperti pagi ini dan pagi-pagi sebelumnya. Hanya Rosa yang berkutak sendirian di dapur tanpa ada yang membantu. "Udah ya, Bu. Jangan cemberut lagi," bisiknya seraya berlalu dari hadapan Ibu Mertuanya. Tiara pergi ke kamar mandi berniat untuk mencuci wajah, atau sekedar berkumur sebab dirinya baru bangun tidur, tetapi saat melihat ayam goreng yang ada di atas meja, perutnya seketika menjadi lapar. Warna yang keemasan dan bentuknya yang krispi, membuat
"Eh, jawab!" seru Tiara, ia penasaran dengan jawaban adik iparnya itu. Pasalnya, Rosa hanya diam saja sejak ditanya tentang statusnya."Apa jangan-jangan kamu itu seorang janda bukan perawan tua? tapi ya sudahlah, untuk apa diselali, apapun statusmu dulu itu tidak ngaruh bagiku, toh sekarang kamu sudah menikah. Mau perawan tua atau seorang janda, yang pasti kamu sudah melepas masa lajangmu. Iya, 'kan, Rosa?" "Iya, Kak." "Nah, gitu ... kalau diajak ngomong ya nyahut, jangan diem aja." "Pertanyaan, kamu tidak berbobot untuk apa ku sahuti?" ujar Rosa, lalu pergi dari sana, tak lupa ia membawa bekal yang sudah dipersiapkan untuk suaminya. "Astaga, anak itu!" gerutu Tiara seraya menunjuk Rosa yang hampir menghilang dari pandangannya. "Enak banget jawabnya, pertanyaan kamu tidak berbobot untuk apa kusahuti, eh kamu pikir kamu siapa! Berani-beraninya bicara kasar padaku! Aku ini kakak iparmu, bisa-bisanya kamu berlaku sok begitu!" Tiara terus meracau merasa tak terima bila ucapannya dij
Hujan mulai turun, rintik-rintiknya membasahi wajah Mia saat dia berdiri di hadapan Hasan. Tangannya masih dalam cengkeraman kuat pria itu. Nafasnya berat, pikirannya berpacu mencari cara keluar dari situasi ini.Hasan menatapnya tajam, matanya penuh kemarahan yang terpendam. “Katakan, Mia. Semua yang kau rencanakan.”Mia bisa saja berbohong. Dia sudah sering melakukannya. Tapi kali ini, dia tahu kebohongan tidak akan menyelamatkannya.“Aku…” Mia menelan ludah, memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Aku memang mendekati Farid karena alasan tertentu. Tapi itu bukan karena aku ingin menyakitinya.”Hasan tersenyum sinis. “Benarkah? Kau ingin aku percaya bahwa kau mendekati kakakku dengan niat baik?”Mia menarik napas dalam. “Awalnya aku hanya ingin mendapatkan kepercayaan Farid… untuk bisa lebih dekat dengan keluargamu.”Hasan menggelengkan kepala, ekspresinya semakin mengeras. “Dan setelah itu? Apa kau berencana menipu kami? Mengambil uangku?”Mia tidak menjawab, tapi tatapan Hasan sem
Taksi melaju melewati jalanan kota yang diterangi lampu jalan remang-remang. Mia duduk di kursi belakang, jari-jarinya gemetar saat dia menggenggam ponselnya. Pesan yang baru saja dia terima terus berputar di pikirannya.“Kau sudah membuat pilihan yang salah, Mia. Sekarang giliran kami yang bermain.”Siapa yang mengirim pesan itu? Apakah mereka sudah menemukan Marco?Mia menoleh ke luar jendela dan merasakan ketakutan merayapi tulangnya. Sebuah mobil hitam tampak mengikuti taksinya sejak tadi. Tidak ada sirene, tidak ada tanda-tanda mencolok, tetapi nalurinya tahu—mereka sedang diawasi.Sial.Dia tidak bisa langsung kembali ke rumah dan bertemu Marco. Jika dia membawa mereka ke sana, itu sama saja seperti menyeret Marco ke dalam bahaya.Dia harus berpikir cepat.Mia bersandar ke depan, berbicara dengan sopir taksi dengan suara tenang tapi mendesak. “Pak, bisa belok ke jalan kecil di depan sana? Saya harus turun di tempat lain.”Sopir itu menatap Mia sekilas melalui kaca spion, tampak
Mia tahu dia harus bertindak cepat. Situasi di restoran ini semakin berbahaya, dan Marco baru saja memperingatkannya tentang sesuatu yang lebih buruk. Tapi sebelum dia bisa berpikir jernih, Rosa sudah mengambil langkah lebih dulu.Dua pria berjas hitam memasuki restoran, wajah mereka datar dan serius. Keamanan restoran. Rosa melirik mereka dan memberi isyarat halus.“Mia,” Rosa berkata dengan suara pelan namun tegas, “Aku tidak tahu apa tujuanmu mendekati suamiku, tapi aku akan memastikan kau tidak bisa melakukan apa pun lagi.”Mia menatap Hasan, berharap pria itu akan membelanya. Tapi Hasan hanya diam, wajahnya penuh kebingungan. Mia tahu, kepercayaannya mulai runtuh.Sial.“Maaf, Bu,” salah satu petugas keamanan berkata sopan, “Kami mendapat laporan bahwa ada tamu yang mengganggu di sini. Kami harus meminta Anda pergi.”Mia menguatkan dirinya. Dia tidak bisa panik sekarang.Dia tersenyum kecil, menampilkan wajah polosnya. “Saya tidak mengerti apa maksud Anda. Saya hanya sedang makan
Mia merasa kendali ada di tangannya. Hasan mulai terperangkap dalam pesonanya, dan Farid semakin bergantung padanya. Meski Rosa sudah mulai curiga, Mia yakin dia bisa mengatasinya. Namun, di balik rencana yang sempurna, ada sesuatu yang Mia tidak duga—sesuatu yang bisa menghancurkan semuanya dalam sekejap.Dua hari setelah pertemuan dengan Rosa, Mia menerima pesan dari Hasan.(Mia, bisa kita bertemu di luar rumah sakit? Aku ingin mengobrol denganmu tanpa ada orang lain.)Mia tersenyum tipis. Ini lebih cepat dari yang ia perkirakan. Dengan cepat, ia mengetik balasan.(Tentu, Pak Hasan. Kapan dan di mana?)(Besok malam, di restoran La Belle di pusat kota. Aku ingin mengenalmu lebih jauh.)Restoran mewah. Tanda bahwa Hasan mulai melihatnya lebih dari sekadar suster kakaknya. Mia tidak bisa menahan rasa puas yang menjalar dalam dirinya.Namun, saat ia menutup ponselnya, suara dingin Marco terdengar dari belakang.“Kau mulai bermain di luar rencana.”Mia menoleh dengan malas. “Aku tidak be
Pagi ini, Mia kembali ke rumah sakit dengan langkah yang ringan namun penuh perhitungan. Ia sudah menyiapkan segala strategi dalam pikirannya. Hari ini, ia akan mengambil langkah besar menuju target utamanya—Hasan.Mia tahu Hasan sering mengunjungi kakaknya, Farid, di rumah sakit setiap minggu. Sebagai seorang pengusaha sukses, Hasan selalu tampil rapi dengan jas mahal dan aura percaya diri. Namun, di balik senyumnya yang ramah, Mia tahu pria itu punya kelemahan, ego yang besar dan mudah dipuaskan dengan pujian.Di Ruang Pasien, Farid tersenyum lemah ketika Mia masuk ke kamar dengan membawa sarapan. “Mia, kau selalu memperlakukan aku seperti raja,” katanya, dengan suara serak.Mia tersenyum lembut. “Aku hanya ingin kau cepat pulih, Farid. Kau sudah terlalu lama di sini.”Farid mengangguk pelan, lalu tampak ragu sejenak sebelum akhirnya bertanya, “Hari ini Hasan bilang dia akan datang. Apa kau sempat bertemu dengannya?”Mia pura-pura terkejut. “Oh, Hasan akan datang? Aku tidak tahu.” I
Malam itu, gerimis menyambut Mia yang baru saja pulang dari rumah sakit. Seragam susternya sudah kusut, dan rambutnya yang biasanya rapi kini sedikit berantakan. Ia berjalan cepat memasuki rumah kecilnya, melepaskan sepatu tanpa melihat ke arah suaminya yang duduk di sofa dengan tatapan penuh emosi.“Kenapa kau terlambat lagi?” suara Marco menggema, tajam seperti pisau yang siap menikam.Mia menghela napas panjang. Ia tahu pertanyaan itu bukan soal keterlambatannya, melainkan kemarahan Marco atas rencana mereka yang menurutnya berjalan terlalu lambat.“Aku harus lembur,” jawab Mia tanpa emosi, meletakkan tasnya di atas meja kecil.“Lembur? Atau kau terlalu sibuk menjaga si bego itu?” Marco bangkit dari sofa, melangkah mendekat dengan wajah menahan amarah. “Kau habiskan waktumu untuk Farid, tapi aku tidak melihat hasil apa pun, Mia! Sudah berapa lama kita bermain-main dengan ini?”Mia mendongak, menatap Marco dengan mata tajam. “Ini tidak sesederhana itu, Marco. Kalau kita bergerak ter
Farid dan Mia menikmati keheningan sore itu di taman rumah sakit. Angin sepoi-sepoi meniup lembut dedaunan, menciptakan irama alam yang menenangkan. Di sekeliling mereka, pasien lain juga menikmati waktu di luar, ada yang berjalan perlahan dibantu tongkat, ada pula yang duduk dengan kerabat mereka, berbagi cerita. Tapi bagi Farid, dunia seakan menyempit. Yang ada hanya dirinya dan Mia. Setiap kata yang Mia ucapkan tadi terus terngiang di kepala Farid. "Aku masih mencintaimu." Ia merasa dadanya penuh, seolah dihimpit antara kebahagiaan dan keraguan. Bagaimana mungkin Mia, yang dulu meninggalkannya tanpa jejak, kini kembali menawarkan cinta? Namun, ada sesuatu dalam cara Mia berbicara—kejujuran, penyesalan, dan ketulusan—yang membuatnya sulit untuk mengabaikan perasaannya. “Aku senang kamu tidak langsung menolak,” Mia memecah keheningan. Suaranya lembut, nyaris seperti bisikan. “Aku tahu ini semua pasti berat untukmu, Farid. Tapi aku di sini, siap menunggu sampai kamu siap.” Farid me
Mia melangkah masuk dengan tenang, mengenakan seragam suster berwarna putih. Wajahnya masih seperti dulu—lembut, tenang, dan penuh kehangatan. Hanya saja, kini ada kedewasaan yang membuatnya tampak semakin anggun. Pandangan matanya bertemu dengan Farid, dan untuk beberapa detik, ruangan itu terasa hening.“Mia...,” suara Farid terdengar serak, seperti berbisik.Mia tersenyum tipis, mendekat sambil membawa clipboard di tangannya. “Halo, Farid. Lama tidak bertemu,” ucapnya dengan nada lembut.Bu Wati yang duduk di sisi Farid menatap keduanya dengan bingung. Ia kemudian melirik Hasan, yang tampak terkejut namun berusaha menjaga sikapnya. Hasan berdehem pelan untuk memecah keheningan.“Kamu kenal Mia, Bang?” tanya Hasan, meski dari nada suaranya, ia sudah tahu jawabannya.Farid tidak segera menjawab. Hanya pandangannya yang tak lepas dari Mia, seolah memastikan bahwa sosok di depannya benar-benar nyata. Setelah beberapa detik, ia mengangguk pelan. “Ya, kami... pernah saling kenal.”Mia te
lMalam mulai larut. Lampu di ruang tamu rumah Bu Wati masih menyala, sementara Farid terduduk diam di kursi rodanya, menatap keluar jendela kamarnya. Hatinya berkecamuk, penuh dengan rasa putus asa dan rasa sakit yang sudah lama ia pendam. Luka akibat insiden itu semakin parah, tapi rasa malu dan gengsi membuatnya terus menolak pergi ke rumah sakit.“Farid, makan dulu, Nak,” suara lembut ibunya terdengar dari balik pintu.Farid hanya menghela napas. “Taruh saja di meja, Bu. Nanti aku makan.”Bu Wati mendekat, membawa nampan berisi sup hangat dan segelas air putih. Ia duduk di kursi kecil dekat tempat tidur Farid, memandang anak sulungnya dengan penuh kekhawatiran. “Farid, sampai kapan kamu mau seperti ini? Ibu nggak tega lihat kamu menahan sakit terus-terusan.”Farid mengalihkan pandangannya. “Aku baik-baik saja, Bu.”“Baik-baik saja? Luka itu makin parah, Farid! Bau busuknya saja sudah menyebar! Kamu pikir Ibu nggak tahu?” Nada suara Bu Wati meninggi, matanya mulai berkaca-kaca.Fari