"Hasan! Kakamu, kenapa?" tanya Bu Wati yang kini duduk di kursi belakang bersama Rosa. "Menepi dulu, Mas." "TI-TIDAK! AMPUN-AMPUN!" "Mas! Sadar!" tegur Hasan seraya menepuk pelan wajah kakaknya. Ia sudah menepikan mobil di pinggir jalan. Buliran keringat mengucur deras membasahi wajahnya. Farid terus berteriak, tetapi matanya tak kunjung terbuka. "Nak ... ya allah, Farid kamu kenapa?" ucap Bu Wati sambil mencondongkan tubuhnya ke depan untuk menyaksikan putranya yang begitu histeris. "JANGAN-JANGAN!" pekik Farid. "Mas Farid!" bentak Hasan, sontak lelaki itu langsung membuka kedua matanya. "Jangan ...jangan! Ampun! Hu-hu-hu-huuuu," ucapnya setelah kedua mata itu terbuka, sedang nafasnya begitu ngos-ngosan seperti di kejar setan. "Kamu tidur, Rid?" tanya Bu Wati Farid tak menjawab, pandangannya mengedar ke sekeliling, lalu ia pun menarik nafasnya lega ketika tahu bahwa saat ini dirinya sedang berada di dalam mobil bersama adik serta ibunya, "huhhhhh!" entah apa yang barusan ter
Nasi sudah menjadi bubur, semua sudah terjadi. Tiara yang gelap mata harus menerima hukuman, dan Farid yang menjadi korban juga mendapat hukuman, hukum alam yang pasti. Tak ada lagi nikmat dunia yang akan di rasakannya. Semua terasa hambar, terlebih rasa nyeri di kemaluannya yang sering datang serta mimpi buruk yang selalu menghantui, dan menghampirinya ketika dirinya tak sengaja terlelap, seperti tadi saat di dalam mobil menuju ke sini. "Aku tidak tahu, berapa lama waktu yang akan ku habiskan di dalam penjara, hingga saat itu tiba, aku ingin melihat putriku tumbuh dengan bahagia. Aku ingin kamu menjaganya, Ros ... aku mohon," ungkap Tiara. Matanya sayu, wajahnya pucat, dan tubuhnya kucel. Rosa tak dapat untuk tidak sekedar mengelus jemarinya, berhadap bisa menyalurkan kekuatan untuk wanita malang ini. "Aku sadar, aku pernah menyakiti perasaanmu, Ros, tapi ketahuilah bahwa sekarang aku menyesali semuanya. Maafkan, aku ... Rosa," ucap Tiara dengan bersungguh-sungguh. Buliran bening
Pagi ini, seperti biasa Rosa akan memulai aktivitasnya dengan kedua tangannya sendiri. Bila sekarang ia masih sanggup untuk melakukan semua pekerjaan rumah, tetapi tidak tahu bila nanti perutnya sudah membuncit, mungkin Rosa akan menyewa ART untuk sekedar membantunya melakukan pekerjaan rumah. Masak sudah, nyuci sudah, nyapu sudah, mandi pun sudah. Sedangkan jam baru menunjukkan pukul setengah 7 pagi, ia pun merasa bosan bila pagi ini harus di lalui hanya dengan menonton TV. Mau mengunjungi Caffe miliknya, rasanya sedikit malas. Sejenak berfikir, lalu terlintas ide cemerlang untuk mengisi waktu paginya. "Mas, hari ini nggak usah ke kantor ya," pintanya pada sang suami. Kini Rosa tengah bergelayut manja di leher lelaki itu, "kenapa begitu?" tanya Hasan yang tak mengerti dengan sikap manja istrinya. 'Tumben? biasanya juga paling anti di peluk, lah ini kok malah nempel meluk terus?' monolog Hasan dalam hati. Namun, sebenarnya ia senang bila di tempeli oleh istrinya seperti ini. "Nggak
"Sayang, kamu ngapain di atas pohon?" Hasan setengah berteriak, matanya membelalak melihat istrinya yang dengan gesit memanjat pohon jambu air itu."Mau ambil jambu, Mas! Kelihatan segar banget, aku ngidam jambu ini dari kemarin!" Rosa menjawab santai, tangan mungilnya sudah sibuk memetik satu per satu buah jambu merah yang menggoda itu."Sayang, turun! Kamu lupa kamu lagi hamil, ya?" Hasan mulai panik, takut sesuatu yang buruk terjadi. Ia bergegas ke bawah pohon untuk berjaga-jaga kalau istrinya terpeleset."Tenang aja, Mas. Aku hati-hati kok." Rosa tertawa kecil, sama sekali tak terganggu dengan kekhawatiran suaminya. Ia malah duduk santai di salah satu dahan, memakan jambu segar itu langsung dari pohonnya. "Mas, mau coba? Manis banget!" Rosa melambaikan tangan, menawarkan jambu yang baru saja dipetiknya."Ya Allah, Rosa! Kamu bikin aku deg-degan!" Hasan mendongak, tangannya refleks terentang, bersiap menangkap istrinya kalau-kalau ia terpeleset. "Turun sekarang, atau aku panggil se
Hari-hari setelah "jalan-jalan" keliling komplek, Hasan mulai menyadari perubahan kecil pada Rosa. Kalau sebelumnya Rosa suka bercanda, sekarang tingkahnya makin sulit ditebak. Bahkan, Hasan sampai bingung bagaimana menghadapi permintaan istrinya yang kadang terdengar absurd.Pagi ini, Hasan baru saja selesai menyiapkan sarapan. Ia melihat Rosa duduk di meja makan dengan wajah cemberut."Sayang, kenapa cemberut pagi-pagi begini? Sarapan dulu, aku udah bikinin roti isi keju favorit kamu," kata Hasan sambil meletakkan piring di depan istrinya.Rosa melirik roti itu sekilas, lalu mendorongnya menjauh. "Nggak mau, Mas. Aku lagi nggak pengen makan itu."Hasan mengerutkan dahi. "Terus, kamu pengen makan apa, Sayang? Bilang aja, nanti aku carikan."Rosa memandang Hasan dengan tatapan penuh harap. "Aku pengen makan semangka, Mas.""Semangka? Oke, gampang. Nanti aku ke pasar beli semangka.""Bukan semangka biasa, Mas. Aku pengen semangka yang bentuknya kotak."Hasan langsung terdiam. "Semangka
Pagi ini, Hasan duduk di ruang tamu sambil membaca koran. Suasana rumah terasa tenang, tapi ia tahu ini tidak akan bertahan lama, dan benar saja, dari dapur terdengar suara Rosa memanggilnya dengan nada ceria."Mas! Mas Hasan!"Hasan melipat koran dan berjalan ke dapur, menemukan Rosa berdiri di depan lemari es sambil memegang sesuatu. "Ada apa lagi, Sayang? Kok manggilnya semangat banget?"Rosa memutar tubuhnya, memperlihatkan toples besar berisi acar. "Mas, aku punya ide bagus!"Hasan mengerutkan kening. "Ide apa lagi, Sayang? Jangan bilang ini soal ngidam lagi."Rosa tersenyum lebar. "Iya, Mas. Tapi kali ini sederhana kok. Aku cuma pengen makan acar ini bareng es krim."Hasan melongo. "Acar sama es krim? Astaga, Sayang. Itu kombinasi makanan atau eksperimen laboratorium?"Rosa terkikik kecil. "Eksperimen makanan lah, Mas. Ayo, temenin aku beli es krim sekarang!"Hasan menggeleng sambil tertawa. "Oke, baiklah. Tapi kalau nanti perut kamu bermasalah, jangan salahkan aku, ya."Tak lam
Hasan menaikkan alis, meletakkan bukunya di meja samping tempat tidur. "Tentang apa, Sayang? Ada yang mengganggu pikiranmu?"Rosa menggeleng pelan. "Enggak, Mas. Aku cuma ... merasa bersyukur aja.""Kenapa tiba-tiba bersyukur? Kan kamu sudah punya aku," candanya sambil terkekeh kecil, mencoba mencairkan suasana.Rosa tersenyum, lalu duduk bersila di atas tempat tidur. Ia menatap Hasan dengan serius, membuat lelaki itu ikut duduk, merasa perlu mendengar dengan lebih fokus."Mas, kamu tahu nggak? Dari semua yang aku miliki sekarang, kamu adalah hadiah terbaik yang pernah Allah kasih buat aku," ucap Rosa dengan suara pelan tapi penuh kejujuran.Hasan tertegun, tidak menyangka istrinya akan mengatakan hal seperti itu. "Sayang, kok ngomongnya serius banget? Kamu lagi kenapa?""Aku cuma mau bilang ... aku benar-benar bahagia bisa hidup sama kamu, Mas," lanjut Rosa sambil tersenyum. "Aku tahu aku sering bikin kamu capek, permintaanku kadang nggak masuk akal. Tapi kamu selalu sabar, selalu ad
Hasan baru saja berdiri dari tempat tidur, tangannya meraih jaket yang tergantung di kursi dekat meja. Wajahnya tampak serius, lebih serius dari biasanya."Sayang, aku harus pergi. Ini penting," katanya tergesa, sambil berusaha mengenakan jaketnya.Rosa yang masih bersandar di tempat tidur segera bangkit. "Mas! Mau kemana? Sekarang sudah hampir jam sebelas malam!" serunya, nada cemas mulai terdengar dalam suaranya."Di kantor ada masalah besar. Tadi Pak Iwan telepon. Kalau dia sampai menghubungi jam segini, pasti ini urusan mendesak," jawab Hasan sambil melangkah ke pintu.Rosa buru-buru turun dari tempat tidur, menghampiri suaminya, dan berdiri di depannya. "Tunggu, Mas! Ini aneh!""Aneh gimana, Sayang? Masalah kantor itu bisa terjadi kapan saja," balas Hasan dengan nada yang mencoba menenangkan."Tapi ini malam, Mas! Siapa yang masih di kantor jam segini? Apalagi Pak Iwan! Bukannya dia biasanya juga pulang lebih awal?" Rosa menatap Hasan dengan mata yang penuh kekhawatiran.Hasan te
Farid dan Mia menikmati keheningan sore itu di taman rumah sakit. Angin sepoi-sepoi meniup lembut dedaunan, menciptakan irama alam yang menenangkan. Di sekeliling mereka, pasien lain juga menikmati waktu di luar, ada yang berjalan perlahan dibantu tongkat, ada pula yang duduk dengan kerabat mereka, berbagi cerita. Tapi bagi Farid, dunia seakan menyempit. Yang ada hanya dirinya dan Mia. Setiap kata yang Mia ucapkan tadi terus terngiang di kepala Farid. "Aku masih mencintaimu." Ia merasa dadanya penuh, seolah dihimpit antara kebahagiaan dan keraguan. Bagaimana mungkin Mia, yang dulu meninggalkannya tanpa jejak, kini kembali menawarkan cinta? Namun, ada sesuatu dalam cara Mia berbicara—kejujuran, penyesalan, dan ketulusan—yang membuatnya sulit untuk mengabaikan perasaannya. “Aku senang kamu tidak langsung menolak,” Mia memecah keheningan. Suaranya lembut, nyaris seperti bisikan. “Aku tahu ini semua pasti berat untukmu, Farid. Tapi aku di sini, siap menunggu sampai kamu siap.” Farid me
Mia melangkah masuk dengan tenang, mengenakan seragam suster berwarna putih. Wajahnya masih seperti dulu—lembut, tenang, dan penuh kehangatan. Hanya saja, kini ada kedewasaan yang membuatnya tampak semakin anggun. Pandangan matanya bertemu dengan Farid, dan untuk beberapa detik, ruangan itu terasa hening.“Mia...,” suara Farid terdengar serak, seperti berbisik.Mia tersenyum tipis, mendekat sambil membawa clipboard di tangannya. “Halo, Farid. Lama tidak bertemu,” ucapnya dengan nada lembut.Bu Wati yang duduk di sisi Farid menatap keduanya dengan bingung. Ia kemudian melirik Hasan, yang tampak terkejut namun berusaha menjaga sikapnya. Hasan berdehem pelan untuk memecah keheningan.“Kamu kenal Mia, Bang?” tanya Hasan, meski dari nada suaranya, ia sudah tahu jawabannya.Farid tidak segera menjawab. Hanya pandangannya yang tak lepas dari Mia, seolah memastikan bahwa sosok di depannya benar-benar nyata. Setelah beberapa detik, ia mengangguk pelan. “Ya, kami... pernah saling kenal.”Mia te
lMalam mulai larut. Lampu di ruang tamu rumah Bu Wati masih menyala, sementara Farid terduduk diam di kursi rodanya, menatap keluar jendela kamarnya. Hatinya berkecamuk, penuh dengan rasa putus asa dan rasa sakit yang sudah lama ia pendam. Luka akibat insiden itu semakin parah, tapi rasa malu dan gengsi membuatnya terus menolak pergi ke rumah sakit.“Farid, makan dulu, Nak,” suara lembut ibunya terdengar dari balik pintu.Farid hanya menghela napas. “Taruh saja di meja, Bu. Nanti aku makan.”Bu Wati mendekat, membawa nampan berisi sup hangat dan segelas air putih. Ia duduk di kursi kecil dekat tempat tidur Farid, memandang anak sulungnya dengan penuh kekhawatiran. “Farid, sampai kapan kamu mau seperti ini? Ibu nggak tega lihat kamu menahan sakit terus-terusan.”Farid mengalihkan pandangannya. “Aku baik-baik saja, Bu.”“Baik-baik saja? Luka itu makin parah, Farid! Bau busuknya saja sudah menyebar! Kamu pikir Ibu nggak tahu?” Nada suara Bu Wati meninggi, matanya mulai berkaca-kaca.Fari
Semakin lama orang yang masuk dari pintu belakang itu semakin mendekat, mendekat, dan akhirnya terlihat juga batang hidungnya. "Mbak Nanik! Ngapain masuk dari pintu belakang? Kayak maling aja!" seru Farid yang tadi sedikit panik. Ia kira mengira ada penyusup yang ingin membobol rumahnya, meski di saat siang hari begini. "Mana ada maling cantik," sahut wanita itu sambil celingak-celinguk seperti sedang mencari sesuatu. "Mana ibumu? Tadi saya nggak salah lihat, 'kan? Hasan keluar dari mobil mewah? " tanyanya pelan sambil berbisik. Jiwa kepo bin julidnya itu masih saja bertebaran. Farid yang suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja sebab berita yang dibawa Hasan tadi sangat memukul mentalnya pun berlalu begitu saja tanpa mengidahkan seribu pertanyaan dari Mbak Nanik. "Eh, tunggu, Farid. Saya tanya, ibumu mana?" ulang Mbak Nanik lagi. Namun, Farid hanya diam dan tangannya terus memutar roda lalu masuk ke kamarnya. "Ihh, dasar! Sudah cacat masih saja belagu." Wanita itu pun berja
Pak Lurah menarik napas panjang, lalu meletakkan tangannya di bahu Bu Wati yang terlihat semakin tua karena masalah yang tiada habisnya. "Baiklah, Nak Farid. Kalau begitu, saya tidak akan memaksa. Tapi ingat, hidup ini masih panjang. Jangan sia-siakan kesempatan untuk memperbaiki semuanya," katanya pelan.Pak Lurah melangkah pergi, diikuti oleh Bu Wati yang menunduk lesu. Setelah menutup pintu, Bu Wati menghela napas panjang, matanya berair menatap lantai. "Ya Allah, sampai kapan ini semua akan selesai?" gumamnya.Farid yang masih duduk di kursi roda memandangi pemandangan di luar jendela. Sebuah kenangan menyelinap masuk ke dalam pikirannya, tentang hari-hari penuh tawa bersama Chika, dan istrinya yang kini mendekam di penjara. Sebuah foto dengan senyum bahagia yang tergantung di dinding seakan mengolok-oloknya."Kalau aku tidak begini ... apa mereka masih akan ada di sini?" bisiknya dengan suara serak.Namun, sebelum pikirannya tenggelam lebih dalam, suara langkah kaki Bu Wati terde
"Bu ...," suara Farid terdengar lirih. Bu Wati tak sadar bila di mata pria itu terdapat genangan air yang siap membasahi wajahnya yang terlihat tampan, tapi itu dulu, jauh sebelum hidupnya dilanda musibah. "Apa! Mau apa lagi kamu? Kerjaanmu tiap hari nyusahin ibu saja! kalo nggak berak, kencing, berak, kencing, itu-itu aja tiap hari!" omel bu Wati seraya membersihkan tempat tidur Farid yang terkena kotorannya tadi. Pria itu tak jadi berkata, ucapan ibunya sungguh menusuk hati, seperti cakaran kucing pada luka yang belum kering. "Kalau tau nasibmu bakal begini, tak sudi ibu melahirkan kamu!" Degh! Hati Farid semakin mencelos mendengar hinaan demi hinaan yang dilontarkan oleh ibu kandungnya itu. Dulu, sewaktu berjaya, dirinyalah yang selalu disanjung-sanjung dan jadi kebanggaan sang bunda. Namun, kata bangga dan penuh pujian itu, kini tak lagi ia terdengar. Sekarang, setiap hari hanya caci dan maki yang selalu ia dapatkan. "Maaf, Bu," lirihnya pelan, bahkan semut saja tak dapat men
Hasan sedang berdiri di depan pintu, rapi dengan kemeja biru muda yang digosok sempurna. Tas kerjanya tergantung di bahu, dan ia sedang memakai jam tangan ketika Rosa tiba-tiba memeluknya dari belakang. "Mas, nggak usah ke kantor, dong," rengek Rosa, suaranya lembut namun manja. Hasan tertawa kecil, lalu menolehkan kepala untuk melihat istrinya. "Sayang, aku kan harus kerja. Kalau nggak, nanti semua kacau." Rosa melepaskan pelukannya perlahan dan berjalan menghadap Hasan. Tangannya menyilang di depan dada, ekspresinya cemberut seperti anak kecil yang tidak mendapatkan permen. "Kerja dari rumah aja, Mas. Perusahaan ini punya Papah juga. Kalau ada apa-apa, kan bisa telpon-telponan." Hasan menggeleng sambil tersenyum. "Rosa, aku bos, iya. Tapi tetap harus kelihatan di kantor. Kalau nggak, nanti anak buahku bilang aku cuma duduk-duduk dan numpang nama mertuaku." Rosa menatap suaminya dengan mata bulat besar, berusaha mengeluarkan jurus andalan: tatapan penuh permohonan. "Tapi aku
Rosa tertawa kecil lagi, kali ini dengan sedikit lebih banyak energi. "Thanks, Mas. Tapi jangan lupa kasih kecapnya yang banyak, ya. Sama kerupuknya yang kriuk banget."Hasan mengangkat kedua alisnya. "Siap, Bu. Ada tambahan lagi? Es teh manis, mungkin?"Rosa mengangguk. "Iya, es teh manis juga, Mas. Tapi teh nya jangan terlalu manis. Dan kalau bisa, pakai jeruk nipis."Hasan pura-pura menghela napas panjang. "Wah, istriku ini ternyata pelanggan yang perfeksionis. Tapi oke, siap dilaksanakan."Rosa tersenyum lega sambil kembali menyandarkan tubuhnya ke bantal. Hasan pun bergegas ke dapur untuk menyiapkan bubur ayam yang diminta istrinya. Selama di dapur, ia mencari cara sederhana untuk membuat bubur ayam dengan bahan yang tersedia. Meski tidak ahli, Hasan mencoba sebisa mungkin memenuhi keinginan Rosa.Sementara itu, Rosa kembali merenung di kamar. Ia tersenyum kecil, memikirkan betapa beruntungnya ia memiliki suami seperti Hasan yang begitu pengertian. Meski sederhana, perhatian Hasa
Hasan menghela napas panjang, lalu menarik Rosa kembali ke dalam rumah. "Mungkin kamu masih terpengaruh mimpi buruk tadi, Sayang. Sudahlah, kita masuk. Besok pagi pasti semuanya terasa lebih baik."Meski Rosa mengangguk, ia tidak bisa sepenuhnya menghilangkan rasa ganjil yang melingkupinya. Ia melirik ke arah pintu sekali lagi sebelum akhirnya masuk, bertanya-tanya apakah malam ini benar-benar sudah selesai.***Rosa menatap langit-langit kamar setelah Hasan membawanya masuk. Rasa gelisah masih menghantui pikirannya. Mimpi buruk tadi terlalu nyata, seakan-akan ia benar-benar mengalami setiap detiknya. Namun, Hasan berusaha menenangkannya."Rosa, coba tarik napas dalam-dalam," ujar Hasan sambil mengusap lembut punggung istrinya. "Apa pun yang tadi kamu rasakan, itu cuma efek mimpi. Kita di sini aman, semuanya baik-baik saja."Rosa mengangguk kecil, mencoba meyakinkan dirinya bahwa Hasan benar. Tapi rasa berat di dadanya masih ada. Sejenak ia duduk di tepi ranjang, memandangi Hasan yang