"Apa yang terjadi dengan anakku, Nara, kenapa dia?" tanya Pras dengan raut wajah panik melihat Rio yang baru saja turun dari mobil sepulang dari rumah sakit.Wanita itu tak menjawab, ia memilih diam seribu bahasa dan tetap meneruskan langkahnya ke kamar membawa sang putra yang masih lemas.Pras berdiri mematung melihat tingkah Nara yang tak memandangnya meski sekilas. Ia yang sedang berdiri di teras pun langsung mengikuti langkah kaki wanita itu, ke dalam rumah.Rio sudah diperbolehkan pulang oleh dokter, karena kondisinya yang sudah berangsur membaik. Sekarang dia sedang istirahat di kamarnya.Sedangkan Pras hanya menjadi orang plonga-plongo di tempat itu. Tak ada yang memperdulikannya. Ia bagai sampah tak berguna.Melihat majikannya seperti kedatangan tamu, si Mbok langsung meninggalkan mereka. Dia kembali ke dapur untuk menyelesaikan pekerjaannya yang menumpuk.Kini hanya tinggal mereka berdua di depan pintu kamar Rio yang tertutup."Nara, tolong jawab pertanyaanku tadi, jangan ka
"Kamu seharian kemana aja sih, kok nggak ada di kantor?” seru Lisa yang memasang raut wajah kesal. Ia sedang duduk di teras rumah Pras.Pria yang baru saja tiba itu sedikit mendengus kesal saat ia mendengar pertanyaan yang membuatnya semakin merasa capek.“Aku lagi ada urusan sebentar,” sahutnya sekenanya.“Urusan apa?” ia sangat ingin mau tau urusan pribadi orang lain.Mendengar itu, Pras hanya bisa menghela napas berat. Haruskah ia menjawab pertanyaan yang tak semestinya ia jawab?“Kamu tak harus mengetahui segala urusanku, Lisa. Dan aku juga tak berkepentingan melaporkannya padamu!” seru Pras yang sedikit sinis. Lalu ia pun meninggalkan wanita itu begitu saja. Ia langsung masuk ke dalam rumah.Hari ini benar-benar sangat melelahkan baginya. Bukan cuma fisik tapi mental.Jiwanya seakan dihajar habis-habisan oleh kenyataan pahit yang membuat dia jauh dengan buah hatinya.Ia ingin cepat pulang ke rumah guna mengistirahatkan pikurannya, eh tau-taunya malah disambut dengan pertanyaan
Pagi-pagi sekali dia sudah bangun dari tempat tidurnya. Ia sengaja memasang alarm agar terbangun sesuai dengan jam yang ia inginkan.Setelah membersihkan diri di kamar mandi, dia langsung menginjak lantai dapur. Pagi ini ia akan benar-benar mengikuti saran dari ibunya. Dia akan memasak untuk hadiah makan siang kepada Pras, lelaki penghuni hatinya.Ia bisa mengolah makanan menjadi lebih lezat. Meski tingkatannya belum seperti para chef di sebuah restoran mewah.Ia mengambil ikan nila yang sudah dipotong-potong di dalam frezer. Mengeluarkannya agar tak beku saat di masak nanti. Sementara itu ia menyiapkan bumbunya terlebih dahulu.Mengiris bawang merah yang akan di goreng yang nantinya akan dijadikan sebagai topping di atas ikan nila panggang dengan saus asam pedas.Sarti yang baru saja bangun menghela napas berat saat melihat perjuangan sang anak untuk merebut hati pria yang dicintainya. Ia menggelengkan kepala melihat kegigihan putrinya itu. Ia berdoa di dalam hati, semoga apa yang a
Lisa langsung meninggalkan kantor. Ia tak peduli lagi dengan barang-barangnya yang tertinggal. Hanya ponsel yang ia bawa. Perasaannya benar-benar hancur sekarang. Air matanya turun tanpa bisa dihentikan. Dadanya perih seakan tertusuk pisau tajam yang baru diasah.Pras masih berdiri mematung. Melihat kotak makanan yang isinya keluar dari tempatnya akibat hempasan yang terlalu keras. Ia pun menghela napas dan mengusap dagunya.Ada-ada saja kejadian yang membuatnya jengkel setiap harinya.Tapi ia sadar, perilakunya tadi sudah di luar batas. Dia membentak wanita itu dengan sangat kasar sampai menangis terisak seperti itu.Terbesit rasa ingin minta maaf di dalam hatinya. Ia pun kemudian mengejar, mencari ke meja kerja wanita itu.Namun apa yang ia dapat setelah sampai di sana. Ruang kerjanya kosong.Pras kemudian menyusul ke tempat parkir, berharap agar wanita itu masih ada di sana.Tapi saat ia baru saja tiba di lokasi, wanita itu sudah pergi dengan motor vesva-nya. Pras kembali berdeca
Pasar malam begitu ramai. Segala jenis usia terlihat ada di sana. Mulai dari balita hingga orang tua. Gemerlap lampu yang berkilauan menambah kesan indah suasana itu.Dua orang yang sedang jatuh cinta sedang melebarkan senyum bahagia. Mereka sedang asyik berfoto.Pras dan Lisa berjalan beriringan tanpa bergandengan tangan.“Kamu mau main lempar botol?” sapa lelaki itu agar ada obrolan diantara mereka.“Nggak, deh.” tolaknya.“Kenapa?”“Karena aku bukan ahli bermain seperti itu,” sahutnya lagi.“Terus ahlinya main apa, dong?”Mendengar pertanyaan itu Lisa sontak menoleh ke wajah Pras yang tampak remang-remang, hanya di hiasi oleh lampu-lampu kecil di situ.Mereka saling menatap. Hingga keduanya tak sadar sedang berada di tempat ramai.Sepersekian detik kemudian, mereka saling mengalihkan pandangan. Keduanya tampak gugup.Lisa hanya tertunduk menahan gelora asmara yang bergejolak di dalam dadanya.“Sebentar ya, aku mau beli minuman dulu.” ucap Pras yang mencoba mengalihkan suasana.Di
Satu minggu kemudian …“Ibu seneng banget, Nak, akhirnya kamu sudah menentukan pilihanmu.” ucap Dinta sumringah. Ia sedang menyusun kue bolu dan parsel berisi buah-buahan yang akan dibawa ke rumah orang tua Lisa.Sebenarnya Pras setengah yakin dengan keputusan ini. Bagaimana tidak, dalam hatinya masih belum bisa untuk melupakan Nara. Wanita yang sudah tak lagi sudi bersamanya.Hidup terus berjalan, ia tak mungkin terus-terusan berada dalam lingkaran kenangan masa lalu. Terlebih lagi usianya sekarang sudah menginjak angka 30 tahun. Walau bagaimanapun ia membutuhkan sosok seorang istri untuk melengkapi kebutuhan hidupnya.Hubungannya dengan Nara hanya sebatas masa lalu, mereka sudah tak ada kemungkinan untuk bersama lagi.Tentang anak mereka, bagaimana Pras akan bertanggung jawab, sedangkan bertanya kabarnya saja tidak diperbolehkan oleh Nara.Jadi apa yang bisa ia lakukan dengan itu?Malam ini, ia akan meminta seorang wanita untuk menjadi istrinya. Ia tak perlu merisaukan jawaban yang
Sudah 10 tahun berlalu.Rio pergi ke sekolah dengan bibir yang mengerucut. Hari ini tanggal 22 desember, yang dimana setiap tahunnya akan mengadakan acara khusus Hari Ibu di sekolahnya.Untuk kali ini dia tidak akan mengemis pada wanita yang super sibuk itu. Sudah cukup ia lakukan hal itu di tahun-tahun sebelumnya.Setiap tanggal 22 di akhir tahun, dia selalu takut untuk pergi ke sekolah. Diantara 45 orang murid di SD Negri 115 hanya dia sendiri yang berbeda, karena sang ibu tak sudi untuk datang di acara itu.Murid yang lain sedang asyik menyuap kue bolu kepada ibunya masing-masing. Sedangkan dirinya, siapa yang harus ia suapi?Ia hanya bisa duduk termenung di kursinya melihat mereka yang saling berkasih sayang. Hatinya begitu hancur. Perasaannya luluh lantak."Ibumu tidak datang?" tanya guru wanita yang masih muda itu.Rio hanya menggeleng pelan. Jiwanya bersedih, dalam dadanya tersimpan amarah yang begitu besar.Hanya satu hari saja, mengapa ia tak ingib meninggalkan pekerjaannya?
"Lama banget sih!" sinisnya yang sudah tak sabar menunggu sang menantu keluar dari kamar mandi.Ini sudah ke seribu kalinya."Awas aja kalau nanti hasilnya masih sama!" cetusnya di dalam hati.Tak lama setelahnya, pintu pun terbuka dengan pelan. Raut wajah murung tercetak jelas di wajah Lisa."Bagaimana, sudah positif kan? Tespekmu bergambar garis dua kan?" ucapnya menganguk-anggukkan kepala.Lisa tak bisa menjawab. Karena bukan itu yang mertuanya inginkan. Benda pipih menyerupai stik itu menunjukkan garis satu."Kenapa diam? Jangan bilang kalau ... hasilnya masih sama seperti yang kemarin," sergahnya di depan wajah sang menantu."Maaf Bu, saya sudah tidak tau lagi harus bagaimana, segala macam promil juga sudah kami jalani, tapi mungkin memang belum waktunya aja, Bu." ucapnya memelas setengah takut."Apa? Belum waktunya katamu? Jadi kapan lagi, kalian sudah menikah selama 10 tahun, kapan lagi kau akan melahirkan seorang cucu untukku!" bentaknya, tatapan matanya membelalak. Giginya me
Beberapa waktu kemudian, Pras melenggang penuh semangat berjalan ke dalam rumah seraya menenteng surat cerai dari kantor pengadilan agama yang didapatnya tadi siang. Ia begitu lega bisa lepas dari wanita jahat itu. Kalau sampai berlama-lagi ia bersama perempuan itu bisa-bisa ia kehilangan ibunya. Beruntung semua itu cepat ketahuan, hingga kejadian buruk bisa diminimalisir.Ia berniat akan mendatangi buah hatinya. Sudah tak ada lagi yang ia takuti. Biasanya dia selalu bergerak secara sembunyi-sembunyi. Yang membuat ia sangat merasa tidak nyaman dan terkungkung.Ia sudah mendapatkan seorang suster baru untuk ibunya. Yang kali ini pasti berbeda, bukan perawat abal-abal. Karena ia memesannya dari suatu yayasan terkenal di daerahnya.Ia pun pamit kepada Dinta untuk pergi menemui Rio, cucu yang selama ini tak pernah dia akui. Wanita itu lantas memanggut saja bagai seeokor ayam yang sedang memakan butiran beras. Lalu dia harus bagaimana lagi? Mau mencegah sang anak pergi, itu juga sangat t
“Lisa, jadi kau sudah mengetahui se-semuanya?” ucapnya terbata. Ia bingung akan menjelaskan apa kepada wanita yang duduk di hadapannya itu.“Serapat-rapatnya kau menyimpan bangkai, pasti suatu saat akan terbongkar juga, Mas. Seperti sekarang ini. Kau sudah berhasil membohongiku selama sepuluh tahun lamanya, kau sangat hebat dan luar biasa.” sarkasnya menyindir.“Aku bisa jelaskan ini semua sama kamu, Lisa. Aku sengaja tidak mem-”“Sudah, cukup, Mas. Aku tak mau mendengar alasan apapun yang keluar dari mulutmu.” potongnya dengan cepat, sebelum pria itu menyelesaikan perkataannya. Sudah tak ada lagi yang perlu dibahas. Sampai jumpa di pengadilan Mas,” tutupnya, lalu beranjak pergi menuju pintu keluar cafe itu.Pras hanya bisa menatap punggung wanita yang sebentar lagi akan resmi menjadi mantan istrinya itu. Ia merasa sedikit kehilangan, meski bapak hakim pengadilan belum mengetuk palunya.Dia sedih. Semua tak berjalan sesuai dengan apa yang diharapkannya ketika di rumah tadi. Perlahan
“Sudah Mas, jangan kau lanjutkan lagi ucapanmu. Aku sudah paham, maksud dari perkataanmu itu apa. Tak perlu kau bicara panjang lebar lagi. Intinya kau memang tak pernah mencintaiku.” pungkasnya kecewa.Sepuluh tahun lamanya ia mendampingi pria itu. Namun setitik cinta pun sama sekali tak ia dapatkan. Wanita mana yang tak akan bersedih jika berada di posisi seperti dirinya?“Jadi, kapan kamu akan pulang? Ingat ya, aku ini suamimu, kau harus mengurus segala yang aku perlukan, jadilah istri yang baik,” tukasnya tanpa memperdulikan perasaan istrinya yang sedang kesal kepadanya.“Jangan ditunggu, Mas. Karena aku tidak akan pernah kembali!” tegasnya.“Hah? Maksud kamu gimana? Jangan aneh-aneh, deh!” cetusnya dengan jantung yang sedikit berdebar, karena suara wanita itu terdengar sangat serius. Tangannya sedikit bergetar saat menggenggam benda pintar yang biasa disebut smartphone itu.“Aku ingin kita cerai, Mas.”Deg!Jantung Pras seketika lepas dari tempatnya, saat mendengar penuturan d
“Kamu melupakan istrimu yang ada di rumah. Jangan suka menyakiti hati wanita lah!” ucapnya nyelekit.“Iya, kamu benar. Aku tidak lupa kok, aku hanya merindukan anakku, itu saja. Tak ada maksud lain.” tutupnya.Melihat Rio yang baru selesai berganti pakaian, Nara langsung mengajaknya pulang. Tanpa menoleh lagi ke belakang untuk memperhatikan pria yang pernah berarti di masa lalunya itu.“Kita kok pulang duluan, Ma? Terus ayah sendirian dong, di sini?” “Sudahlah, Rio. Tak perlu kamu pikirkan dia. Ayahmu sudah dewasa, dia tau mana yang baik dan buruk untuk hidupnya.” jelas wanita yang memakai baju kaos hitam itu.“Tapi besok, ayah datang lagi kan, Ma?” Dia bertanya pada sang ibu dan berharap ia akan mendapatkan jawaban iya. Namun ternyata sebaliknya.Wanita itu malah menjawab lain, yang sama sekali tak sesuai dengan harapan bocah itu.“Rumah ayahmu itu jauh Nak, dia tidak bisa setiap hari datang ke sini.”“Ya sudah, kita aja yang datang kesana, Ma.” serunya antusias, karena ia juga ingi
“Kenapa diam Om? Tolong jawab pertanyaan Rio tadi?” Rio merengek setengah memaksa. Ia ingin sebuah penjelasan yang sebenarnya.“Bukan apa-apa kok, Sayang, Om Pras tadi hanya salah sebut.” ucap Nara menyela diantara percakapan mereka.“Nggak! Aku mau dengar dari Om Pras sendiri.” Rio menolak alasan ibunya, ia yakin pria itu tak mungkin berkata sembarangan. Dia pasti memiliki maksud dan tujuan tertentu yang menyebut dirinya sebagai ‘ayah’.“M-jadi begini, Rio, sebenarnya-”“Kamu jangan percaya ucapan laki-laki ini, Nak. Dia orang jahat.” potong Nara di saat Pras sedang berbicara untuk menjelaskan segalanya.“Stop, Ma! Aku tak ingin mendengarkan apa pun dari mulut Mama. Aku ingin mengetahui yang sebenarnya, Om tolong bicara Om, katakan yang sejujurnya.” Anak itu terus memaksa Pras untuk berterus terang. Seketika pria berusia matang itu pun menghela napasnya dengan berat.“Baiklah, Nak. Kali ini Om akan bicara yang sebenarnya sama Rio. Tapi sebelum itu Om mau tanya dulu, seandainya meman
“Om, Rio boleh minta sesuatu nggak?” lirihnya seraya menggenggam pergelangan tangan pria berbadan sedikit berisi itu.“Mau minta apa, Sayang. Kalau Om mampu, maka Om akan turutin.” sahutnya yang membelai rambut anak itu. Begitu indah yang ia rasakan. Saat menyentuh sang anak hatinya menjadi bergetar.“Rio pengen jalan-jalan sama Om, dan juga mama.” pintanya, kini kedua tangannya memegang tangan kedua orang tuanya, di kiri dan kanannya.“Tapi, Mama belum ada waktu libur, Rio!”Mendengar kata penolakan itu yang keluar dari mulut ibu kandungnya membuatnya emosi dan menghempaskan tangan wanita itu.“Mama memang selalu sibuk sama pekerjaan! Mama nggak pernah punya waktu buat aku!” sergahnya, kemudian dia berlari entah kemana.“Rio … tunggu Nak!” Pras berusaha mengejar, mengikuti setiap jejak langkah kaki anak itu.Betapa sedih hatinya. Bahkan di saat sedang sakit seperti ini pun wanita itu masih tidak mau meluangkan waktu untuknya. Anak mana yang tidak akan merasa kecewa jika berada di pos
Ikatan batin yang kuat antara seorang ayah dan anak seakan tak dapat dipisahkan. Ia merasa gelisah sejak jauh dari Rio. Pikirannya selalu berputar-putar pada anak itu.“Apa yang terjadi dengannya, di sana? Mengapa hatiku menjadi tidak tenang begini?” batinnya.Untuk memastikan yang lebih jelasnya ia akan datang lagi untuk menemui anak itu, esok hari. Tak peduli apakah mereka akan bertengkar lagi, karena Lisa yang mulai mencurigai tindak tanduknya yang aneh.Sudah sepuluh tahun ia berpisah dengan sang anak. Ia tak ingin hal ini terjadi lagi.**Setelah tiga hari di rumah …“Kamu mau pergi lagi, Mas?” Alis Lisa mengusut tatkala melihat sang suami kembali menyusun pakaian ke dalam koper hitam miliknya.“Iya, masih ada urusan di sana!” pungkasnya, lalu langsung menghilang dari ruangan itu. Berjalan menuju mobilnya dan … tancap gas.Lisa berdecak kesal, lagi-lagi suaminya pergi meninggalkannya untuk urusan yang sama sekali tidak jelas.Di sisi lain, Rio masih berada di tempat tidur. Su
Rio kembali murung. Dikarenakan Om kesayangannya sudah pergi pulang ke kotanya. Tak ada lagi yang membuatnya bersemangat dalam menjalani hari-hari yang sangat membosankan.Tapi ia teringat akan janji pria itu. Bahwa dia akan kembali, kepergiannya hanya sesaat saja.Ia sangat berharap agar lelaki bertubuh tinggi itu datang lagi untuk menepati janjinya.Setiap hari ia selalu memikirkan pria itu, hingga membuatnya demam, badannya panas tinggi. Mulutnya tak henti-hentinya mengigau.Nara yang sedang mendampinginya dibuat tercengang atas apa yang dikatakan oleh sang anak.“Om, kapan datang lagi? Aku kangen Om …” serunya dengan mata yang tertutup. Tubuhnya menggil kedinginan sedangkan suhu tubuhnya panas bagai api.“Om siapa Nak?” tanya Nara yang kebingungan. “Om Pras, aku kangen, kenapa Om harus pergi …” racaunya lagi. Yang membuat Nara benar-benar terkejut hebat.Jantungnya berdetak lebih kencang. Apakah orang yang dimaksud anaknya itu adalah Pras, pria bajing4n itu?Nara berharap, sem
Nara mengintip dari jendela. Tampak Rio turun dari sebuah mobil putih dari merk terkenal di negara ini. Seketika wanita itu langsung melipat kening.‘Siapa orang yang mengantar anakku itu?’ batinnya di dalam hati sambil terus meneliti dengan seksama tanpa berkedip.Tampak Rio melambaikan tangan ke kaca pintu depan mobil. Sebuah tangan keluar, membalas lambaian itu. Melihat itu, Nara tau, kalau yang ada di dalam mobil itu adalah seorang pria. Terlihat dari bentuk tangannya.Rio telah sampai di teras, dan perlahan mobil itu pun menjauh pergi.“Kenapa pulang terlambat?” serang Nara yang menyilangkan tangan di dada.“Abis main,” sahutnya singkat.“Main sama siapa?” Nara terus mencercanya dengan berbagai macam pertanyaan.“Sejak kapan Mama peduli sama aku? Mama biasanya sibuk ngurusin kerjaan.” balasnya kesal.“Mama itu kerja buat kamu, untuk biayain sekolah kamu, kenapa kamu malah marah sama Mama?”“Aku nggak marah, ya udah aku kan nggak ganggu Mama kalau pulang terlambat.”“Mama tany