"Kenapa kamu meninggalkan aku sih, Mas!" sungut wanita cantik di belakang Mas Attar, dengan napas tersengal-sengal. Mas Attar meliriknya sejenak, dan mengacuhkannya begitu saja. Kembali menatap sayu ke arahku, perlahan langkahnya pasti mendekatiku. Hilman yang melihat reaksi Mas Attar, langsung bergeser ke hadapanku. Menghalangi, lelaki yang pernah membersamaiku selama lebih dari tujuh tahun. "Yumna! Jangan mau menikah dengan lelaki brengsek itu, dia ular berbisa!" rayu Mas Attar dan mencoba meraihku. "Kamu hanya tercipta untukku dan hanya akan bahagia, jika bersama denganku!" imbuhnya dengan suara tinggi. "Mas, sebelum kamu mengatakan hal itu, apa kamu enggak lihat anak dan istri kamu?" tanya Shanum yang menghempaskan tas tenteng yang sejak tadi dipegangnya. Kemudian berjalan masuk dan duduk di sofa tanpa ada yang menyuruhnya. Sungguh muka tembok wanita di depanku ini, tanpa canggung dia menidurkan bayinya di sofa dan duduk dengan santai untuk melepas lelah. "Mas, aku menerima si
Aku terduduk lesu di sofa, memijat kepala yang terasa mau meledak. Apakah Mas Attar tidak bisa menghilang saja. Agar aku bisa bahagia, atau dia pergi tidak pernah kembali."Apa kamu baik-baik saja?" tanya Hilman mengejutkanku."Iya!" jawabku lirih dan menunduk dalam. "Man, apa kamu ...." Ucapanku terhenti karena jari telunjuk Hilman berada di bibirku."Jangan meminta hal yang sudah kita sepakati, berilah aku waktu untuk membahagiakanmu hingga akhir hayatku!" ujar Hilman, yang membuatku merasa terenyuh.Ingin sekali aku memintanya menjauh dariku, tapi sepertinya tidak akan mungkin. Selama ini, begitu banyak yang dia korbankan untuk cintanya yang bodoh. Atau aku yang bodoh, mengabaikan cintanya sebelum kehadiran Mas Attar.***"Kamu yakin kita berangkat duluan, tidak bersama besan dan Hilman?" tanya bapak heran."Yakin, Pak. Hilman dan Yumna sudah membicarakan hal ini." Aku meyakinkan bapak."Ya sudah, ayo!" ajak bapak.Ibu menggendong Aqila, sedangkan aku berjalan berdampingan dengan b
Sepanjang perjalanan, aku menatap wajah Hliman yang berada di pangkuanku. Wajah pucat dan tidak berdaya terlihat sangat tersiksa, membuatku tidak sadar meneteskan air mata."Man, kamu kenapa? Jangan biarkan aku menjanda, untuk kedua kalinya!" isakku dengan mengusap wajahnya dengan lembut."Yumna!" bentak bapak.Bapak terlihat marah dengan ucapaku yang tanpa kupikirkan. Radit membawa mobil dengan kecepatan tinggi, hingga terjadi insiden kecil. Namun, semua dapat diatasi, apalagi kami memang sedang membawa Hilman yang terlihat sedang sekarat."Hati-hati, Dit!" tegur bapak yang berada di sampingnya.Ibu dan yang lainnya, berbeda mobil dengan kami dan berjalan beriringan, hingga sampai di rumah sakit. Semua, segera membantu membawa HIlman ke brankar yang di bawa oleh perawat laki-laki."Kita beri dia dukungan, dan juga doa yang tidak putus agar segera sembuh sedia kala," ujar Tante Rumi, yang memegang tanganku, saat kami berada di ruang tunggu."Tante, ada apa dengannya? Apa dia mau menin
Aku terjatuh, akibat dorongan dari seseorang, membuat bokongku terasa sakit. Kepala kudongakkan untuk melihat siapa yang berani mendorong tubuhku."Kamu!" tunjukku pada wanita yang baru saja datang.Berusaha berdiri, dan menahan nyeri di area bokong yang cukup terasa. Bukan hanya karena terkena lantai, tapi juga terkena sudut meja."Janda yang enggak bosan-bosannya membuat Hilman celaka, mau nunggu sampai dia mati! Pergi dari sisinya dan jangan pernah kembali, jika Hilman mencarimu, maka kamu harus menjauh. Mengerti!" seru wanita yang waktu itu dipanggil dengan nama Mutiara oleh Mama Rumi."Maksud kamu apa, ya? Saya istri Hilman!" ujarku tak kalah sengit.Aku tidak mau lagi, suamiku direbut oleh orang lain. Cukup satu kali, dan tidak akan pernah terulang untuk kedua kalinya. Aku akan mempertahankan rumah tangga yang baru saja kumulai."Cih, mimpi anda terlalu tinggi wahai janda gantel! Pergi, jika kamu berani datang lagi, maka kamu berurusan denganku!" ancamnya dengan menepuk dada ber
Mama Rumi menutup matanya, samil masuk ke dalam ruangan. Sedangkan aku diam terpaku dengan apa yang dilakukan oleh suami baruku itu. Hilman menciumku, menski singkat tapi getarannya mampu membuat jantungku tidak aman."Ya ampun, anak mama! Tunggu sembuh dulu! baru buat cucu untuk mama!" ujar Mama Rumi dengan senyum tersipu.Sedangkan aku, bingung harus ngapain. Ini bukan pertama kalinya aku disentuh laki-laki, tapi ada rasa tidak nyaman. Meski Hilman sudah menjadi suamiku sekarang."Ma, aku mau keluar dulu," ijinku.Mama Rumi hanya mengangguk, sedangkan Hilman menitip pesan padaku untuk tidak berlama-lama meninggalkan dia sendiri. Apa dia tidak sadar, jika dia sedang bersama ibunya. Aku hanya mengiyakan dengan senyuman."Kamu ini, masih sakit aja bisa terlalu bucin!" tegur Mama Rini.Aku tidak langsung pergi dari depan ruangan, hanya ingin mendengar tentang masalah Mutiara tadi. Berharap, mereka membicarakannya. Bukan bermaksud tidak percaya, tapi aku pernah terluka. Tidak ingin mengu
Aku dan Mama Rumi kompak melihat ke asal suara, dan mama tertawa melihat wajah anaknya yang muram dan tidak bersemangat. Kemudian mama mendekati anaknya untuk di peluk, sedangkan aku, tetap pada posisiku saat ini."Mama! Aku sudah punya istri!" keluh Hilman, yang enggan dipeluk mama Rumi"Meskipun kamu sudah punya anak, kamu tetap anak bayi mama!" ujar Mama Rumi, membuatku geli mendengarnya."Ma, aku pulang dulu, ya," ijinku.Mama Rumi menghentikan aksi jailnya, dan menatap ke arahku. Lalu melirik ke arah anaknya, dan tersenyum. Memintaku untuk menunggu sebentar, karena Mama Rumi harus menebus obat di apotik luar. Katanya, obat yang dimaksud tidak ada di apotik rumah sakit ini. Aku hanya menghela napas panjang dan pasrah dengan keadaan."Kamu enggak mau lihat keadaanku sekarang?" tanya Hilman dengan senyum manis, yang kutahu sedang dia paksakan."Aku sudah bisa lihat dari sini, kamu sudah membaik," balasku.Hilman berdecak, "apa aku harus ke sofa untuk kamu periksa?""Jangan macam-mac
Tiga hari Hilman dirawat di rumah sakit dan hari ini sudah diperbolehkan pulang. Sedangkan aku, menjaga jarak denganya setelah ciuman panas yang dia minta, dan terpergok oleh Mama Rumi. "Semua persiapan sudah selesai, sebaiknya kita langsung ke rumah," ujar ibu pada Mama Rumi. Mama Rumi pasrah dengan keputusan bersama yang di ambil sejak kemarin. Bapak dan ibu sudah menyiapkan pengajian untuk mengumumkan pernikahnku dan Hilman, pada tetangga sekitar. Sepanjang perjalanan, Hilman mengenggam tanganku dan terus tersenyum. Sampai-sampai diledek oleh Mama Rumi dan Radit, tapi lelakiku ini cuek dengan apa yang dia lakukan. Malah makin mengeratkan pegangan tangannya, dan menciuminya berkali-kali. "Sudah, jangan terlalu lebay, kita sudah sampai!" ketus Radit, yang sudah bosan memperingati Hilman. Radit turun dengan wajah masamnya, karena Hilman terlalu over protective padaku. Sedangkan Mama Rumi hanya tersenyum geli melihat anaknya yang begitu lengket padaku dan aku, hanya pasrah dengan p
"Maaf," Hanya kata itu yang terlontar dari mulutku.Hilman tidak menjawaabku, dia menenggelamkan kepalanya ke dalam pangkuanku. Rasanya, aku sudah tidak adil padanya, dia selalu menerima segala kesulitan karena diriku. Akan tetapi aku belum bisa menerima dirinya seutuhnya."Jangan menangis, aku tidak suka melihatmu seperti itu. Hanya senyum yang boleh kamu tampilkan di wajaahmu yang semakin cantik," ujarnya yang membuatku tersipu."Terima kasih, Man. Kamu selalu saja membuatku tersenyum," ucapku tulus."Siapa, Man?" tanya Hilman dengan wajah cengoknya.Aku memukul lengannya, karena baru menyadari apa yang dia inginkan. Kemudian memberanikan diri mengusap keningnya yang berkerinat, karena kamar ini cukup hangat. Tidak ada kipas atau pun AC di sini, menghindari tagihan listrik yang menggila."Aku di sini sangat kegerahan, Yumna. Bolehkan aku memasang AC?" tanya Hilman lirih.Aku tidak menjawab, karena yang dipikirkan adalah orang tuanya yang memilih hidup sederhana. Meski aku pernah men
Setelah satr tahun pertemuanku dengan Mas Attar, Aqila tidak lagi terlihat murung. Dia selalu memancarkan senyuman manis yang menenangkan, becanda dengan adik-adik dan sepupunya. Sungguh pemandangan yang selalu ingin kulihat sampai mataku tak mampu lagi terbuka.Radit dan istrinya benar-benar pindah, untuk menetap dan kembali memulai usahanya di sini. Kami bersama, mengurus semua hal yang ditinggalkan oleh suamiku tercinta. Si kembar pun sangat gembira, meski kehilangan sosok ayah, tapi mendapatkan banyak cinta yang tidak terduga. Ya, inilah buah kesabaran kami dan cinta yang datang terlambat. Rasanya, aku merindukan suamiku yang telah lama pergi meninggalkanku."Ma," Aqila memanggil dan langsung memelukku dari belakang.Gadis itu mengecup pundakku dan menangis, mengatakan kata maaf berulang kali dan makin mengeratkan pelukannya. Aku membelai kepalanya, dan memegang kedua tangannya. Merasakan kegelisahan yang dialaminya."Kenapa? Apa kamu enggak yakin dengan pernikahan ini?" tanyaku pa
Aku mengerjapkan mata berkali-kali, takut jika yang kulihat hanya khayalanku saja. Akan tetapi, orang itu tidak berubah sedikitpun, dia tersenyum dengan matanya yang memerah. Bukan marah, tapi seperti menahan kesedihannya yang membuat matanya seperti itu. "Ada apa, Mas?" tanyaku lirih. Radit memilih duduk menjauh, memberi ruang padaku dan Mas Attar. Aku yakin, ini pasti ada hubungannya dengan Aqilla. Membuat Mas Attar memberanikan diri datang ke rumahku, karena tidak mungkin dia akan datang dengan suka rela tanpa ada sesuatu yang mendesak. "Maaf, aku melukai anakmu lagi," ujarnya, dengan suara bergetar. Tubuhku pun ikut lemas dengan apa yang dia ucapkan, apa yang sebenarnya terjadi, sampai mereka berdua seperti ini dan kenapa Mas Attar tidak mau belajar dengan kesalahannya yang telah lalu. Terus saja menyakiti hati putri semata wayangnya. "Ada apa?" tanyaku lembut, tidak ingin merusak mood yang sudah terbangun dengan baik. "Aku meminta Aqilla menjauhi lelaki yang sedang dekat den
"Mbak?" Radit bertanya, tapi hanya menyebutku namaku saja. Sekarang semua mata menatapku, tatapan penuh tanya. Catra menuntunku untuk duduk dan memijat bahuku, mengecup ubun-ubunku penuh kasih sayang dan aku menggenggam tangannya yang masih berada di pundakku. "Ada apa, Ma?" tanya Candra lembut dan tangannya mengengam tangaku dan Catra. "Mama hanya mencicipi nasi goreng buatan Aqila, dan mama menggunakan sendok dan hanya sekali tanpa mengaduk-ngaduk," jawabku apa adanya. "Keterlaluan kakak!" Candra yang memang lebi emosian berjalan menuju kamar Aqila, mengetuk pintu itu dengan sangat kasar. Namun, Aqila tidak membukanya. Candra yang sedang terbalut emosi, terus memanggil kakaknya, berharap mendapatkan jawaban yang lebih baik dari pernyataanku. "Kenapa kakak tiba-tiba menjadi kasar?" tanya Catra, tepatnya seperti gumaman untuknya sendiri. "Mungkin kakak sedang banyak pekerjaan dan sedang kelelahan," ujarku menenangkan. Perubahan-perubahan inilah yang membuatku takut, apakah semu
Siang ini, aku berencana ke cafe untuk mencocokkan data-data yang sudah masuk ke emailku. Tidak semua cafe dapat kukontrol, hanya ada dua saja. Bukannya tidak ingin melihat semua progres cafe yang sudah berjalan, tapi keterbatasan waktu dan tempat membuatku harus tetap memperhatikan kesehatanku sendiri. Ada rasa tidak nyaman dalam tubuku dan entah itu apa, aku tidak ingin periksa ke dokter. Bukan apa-apa, aku hanya takut, jika diagnosanya tidak baik dan membuat semua menjadi khawatir padaku. Membuat peraturan-peraturan yang akan membatasi ruang gerakku."Mama mau pergi?" tanya Aqila yang baru keluar dari dalam kamarnya."Loh, kamu enggak kerja?" Aku balik bertanya padanya tanpa menjawab pertanyaannya terlebih dulu."Mama kebiasaan, ditanya malan nanya!" gerutu Aqila, dan aku hanya tersenyum mendengarnya. "Hari ini jadwalku padat untuk keluargaku, Ma. Aku berharap, mama tidak terlalu lelah. Mama terliat pucat dan lemah," Aqila memperhatikanku dari ujung kaki hingga ujung kepala.Helaan
Pagi ini begitu cerah, secerah hati dan wajah Aqilla. Suaranya yang bersenandung, dan tangannya yang cekatan mengerjakan pekerjaan rumah. Tidak ada satu pun yang diperbolehkan membantunya, dia membersihkan ruma dan membuat sarapan seorang diri. Aku tau, ini pasti karena dia telah mengetahui keberadaan ayahnya dan juga memastikan ijin yang telah kuberikan. "Mama ini teh hangatnya," ujar Aqila, dan wajanya selalu dihiasi dengan senyuman hangat. Setelah meletakkan cangkir te itu, Aqila berlalu pergi. Enta apa saja yang dia lakukan di dalam rumah, bahkan adik kembarnya langsung disuruh jogging, saat berniat membantu. Aku hanya bisa tertawa geli melihat tinkah putriku, memang cukup ajaib saat dia mengetahui keberadaan sang ayah. "Mbak, aku mau jalan pagi saja. Anakmu sepertinya memiliki tenaga samson hari ini, semuanya ingin dia kerjakan, termasuk merawat Nita. Semuanya deh!" Radit berpamitan. Aku hanya bisa mengangguk, dan menikmati udara pagi di depan teras. Melihat bunga-bunga yang b
Aqilla mendekatiku dan duduk di sampingku, menatapku dengan tatapan sayunya. Matanya sudah mulai berkaca-kaca, bibirnya bergetar tanpa suara. Aku tahu, rindunya pada Mas Attar sangatlah besar. Sejak kecil dia selalu menanyakan Hilman yang sudah dikebumikan, lalu beralih bertanya mengenai Mas Attar karena tetangga julid yang mempengaruhinya."Iya," Mau tidak mau, aku memberitau kenyataan ini pada Aqilla.Rasanya sudah lelah untuk menyembunyikan hal yang seharusnya memang diketahui oleh anak itu. Meski ada rasa tidak nyaman dalam sudut hatiku yang terdalam, tidak ingin keegoisan ini menyelimuti hati dan membuat anak-anak malah menjauhiku."Mama rela aku menemuinya?" tanya Aqilla dengan suaranya yang lirih."Kenapa kamu bertanya seperti itu pada mamamu?!" tanya Radit dengan ekspresi yang datar.Aqila menegakkan tubuhnya dan menatap ke arah pamannya dengan tatapan yang entahlah, aku pun menatap Radit dengan kesal. Bagaimana lelaki itu bisa berucap seperti itu, tapi aku tahu dia hanya meng
"Emang apa yang aku lakukan?" tanyanya dengan pongah dan menaikkan dagunya. Aku tidak menyangka, wanita ini sama dengan ibunya dulu, yang sering sekali menggangguku. Bagaimana aku bisa bertahan dengan mereka sebagai tetanggaku. "Baiklah, dari pada kita ribut dan cari pembenaran sendiri, maka lebih baik kita bawa masalah ini ke ranah hukum. Ini sudah perbuatan yang sangat tidak manusiawi, dan mengancam nyawa. Juga nanti akan ketahuan saya selingkuh dengan Radit atau tidak!" Kembali, aku menekankan setiap kata-kata yang keluar. Bisik-bisik kembali terdengar, aku bukan merasa sok atau apalah, cuma menghindari hal yang paling menakutkan dikemudian hari. Belum apa-apa, sudah ada yang berani melakukan hal keji seperti ini. Apa lagi jika aku hanya diam dan menerima semua gosip murahan yang mereka lakukan. Bisa saja mereka berbuat seenaknya. "Lebih baik kalian bubar, dan biarkan ini ditangani oleh polisi,' ujarku dengan tatapan sinis. Satu persatu mereka pergi dengan wajah pias, ini sudah
Aku dan Radit. tentu saja panik mendengar Nita yang terjatuh entah di mana dan aku yakin ini ada campur tangan orang lain, karena setahuku, Nita adalah wanita yang sangat hati-hati dalam segala hal. Tidak mungkin pula dia terjatuh karena terpleset, saat ini bukan musim hujan."Tenang, Dit. Jangan sampai kita juga ikut celak," Aku memperingatkan Radit yang mengemudi terlalu cepat. "Pasti ada yang menolongnya, tidak mungkin dia sendirian di jalan! Mbak tahu kamu khawatir, tapi kamu juga harus bisa menguasai diri kamu untuk saat ini!" imbuhku, karena Radit semakin terlihat gugup.Radit tidak menjawab pertanyaanku, atau pun melihat ke arahku. Pandangannya terlalu fokus ke depan. Hingga kami kembali ke rumah dan dengan cepat dia turun untuk mencari Nita. Aku sedikit aneh, karena melihat beberapa orang ada di teras rumah dan sebagian ada di halamn rumah. Seperti sedang membicarakan sesuatu, aku yakin ini mengenai kejadian Nita yang terjatuh."Permisi, Bu," sapaku seramah mungkin.Namun, aku
Aku menoleh ke arah radit, dan tertawa dengan sangat lepas, menertawakan pertanyaan konyol dari lelaki yang selalu ada saat aku butuhkan sejak dulu. Dia-lah adik sepupu, rasa adik kandung."Kamu tahu usia mbak berapa?" tanyaku dan Radit mengangguk. "Wanita seusiaku, tidak ada yang memikirkan untuk menikah lagi, sudah memikirkan bagaimana untuk bekal akhirat dan melihat anak-anak bahagia. Jadi buang pikiranmu yang ane itu!" ujarku dengan gelengan kepala.Tidak habis pikir, kenapa bisa ada kata-kata seperti itu yang muncul darinya. Apakah ini yang membuatnya tidak semangat hari ini. Aku tidak ingin bertanya lebih jauh padanya, takut dia malah bertanya hal-hal aneh lagi. Diam ... diam lebih baik, untuk saat ini.Sesekali aku melirik ke arah radit yang tidak nyaman dengan posisinya, apakah dia sedang sakit atau sedang menahan sesuatu. Namun, aku juga mendengar beberapa kali dia menghela napas berat, adakah kaitannya dengan pertanyaannya tentang kesendirianku. Lama-lama aku juga kesal meli