Share

Bab 43

Penulis: Blade Armore
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Kursi yang kuminta pun sudah ada di depan kami, pandanganku tidak beralih. Masih memandang wanita hamil yang terlihat sangat pongah.

"Duduk!" pintaku dengan suara tinggi, menyerupai perintah.

Seseorang dari rombongan Ustadz Idris, mengambil kursi itu, dan meletakkannya di belakang Shanum dan Mas Attar. Lalu, beberapa orang membawakan kursi lainnya untuk rombongan yang masih berdiri di belakang dua orang yang tidak pernah ingin aku temui.

"Jangan bergerak, apalagi berniat maju satu langkah. Aku tidak segan-segan mematahkan kaki kalian," tunjukku pada dua orang yang sudah duduk di depanku, bukan saatnya kau mengunakan emosi yang sudah hampir memuncak.

"Yumna adalah wanita lembut dan penyayang," Satu kalimat meluncur dari bibir Mas Attar, membuat istrinya mencebik kesal.

"Yumna siapa yang kamu maksud?1" tanyaku dengan nada tinggi, kemudian aku beralih pada mantan ibu mertua. Mengajaknya masuk, tanpa memperdulikan Mas Attar yang sepertinya ingin berkata sesuatu.

Ibu dan bapak mengajak Ust
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Kurelakan Suamiku untuk si Pelakor Magang   Bab 44

    Mbak Naura mendongakkan kepalanya untuk menatap ke arah ibu, matanya sudah terlihat sembab."Maksud ibu, apa kamu sudah siap menerima dan mendengar sumpah Ikrar yang akan diucapkan oleh Ustadz Idris?" Ibu mendekat, dan menggenggam tangan Mbak Naura.Wanita di depanku ini langsung menunduk dan kembali terisak, kemudian menole ke arahku. Menatap mataku dengan lekat."Apa boleh aku tidak melanjutkan pernikahan ini?" tanya Mbak Naura dengan suara serak dan berat.Aku dan ibu saling tatap, saat pertanyaan Mbak Naura meluncur begitu saja. Jantungku terasa berdebar kencang, aku yakin ini ada hubungannya dengan kedatangan Mas Attar dan istrinya."Kenapa?" tanya ibu dengan memiringkan kepalanya ke arah Mbak Naura.Mbak Naura menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan sangat perlahan, aku tahu dadanya sangat sesak saat ini. Kulihat Mbak Naura tidak menjawab pertanya ibu, dia memilih diam dan ibu yang makin penasaran, mengulang pertanyaannya lagi."Terlalu banyak yang terluka, apalagi ibu

  • Kurelakan Suamiku untuk si Pelakor Magang   Bab 45

    Aku yang mendengar kata sah, sangat terharu. Tidak menyangka, pernikahan ini terjadi di rumah orang tuaku. Di mana mempelai wanitanyanya adalah mantan kakak iparku, dan sebagai walinya adala mantan suamiku. Rasa sakit tentu masih sangat kentara, tapi aku bisa mengatasinya."Maafkan mbak, ya, Yumna." Mbak Naura menggengam tanganku erat, mungkin dia melihat mataku yang berkaca-kaca."Apanya yang perlu dimaafkan, Mbak?" Aku tersenyum padanya dan membalas gengaman tangannya."Lukamu, keluargamu dan ibu belum kering, tapi aku malah menyiramnya dengan bensin." Mbak Naura berkata dengan suara berat dan helaan napas panjang."Saat ini, luka kami sedikit membaik dengan melihatmu bahagia, Mbak!" tegasku dengan menatap matanya tajam.. "Air mata ini bukan karena dia, tapi karena melihat dirimu yang akan memulai membina rumah tangga dengan orang yang sangat baik." Aku melanjutkan kataku.Mbak Naura memelukku, dan aku menyambutnya dengan hangat. Bahkan, perias pengantin yang sudah mengetahui kisahk

  • Kurelakan Suamiku untuk si Pelakor Magang   Bab 46

    "Terserah aku mau menikah dengan siapa!" ketusku. "Lagi pula, kenapa kamu masuk ke sini!" bentakku.Aku berdiri, dan menatap matanya tajam. Begitu juga dengan dirinya yang tidak mengalihkan pandangannya dariku. Sialnya, debaran itu muncul disaat yang tidak tepat."Aku hanya ingin tahu, lelaki mana yang aka menjadi ayah sambung bagi anakku. Jangan lelaki yang tidak berpendidikan dan tidak punya pneghasilan!" ejeknya.Sepertinya lelaki di depanku ini, tidak mempuyai kaca di rumahnya. Atau mungkin kaca pun enggan memperlihatkan sisi buruknya."Setelah kamu tau,kamu mau apa!" Tantangku."Tidak ada lelaki yang pantas untukmu selain aku!" pongahnya.Aku merasakan hawa yang mulai tidak enak, karena ucapan-ucapan Mas Attar. Ekor mataku melirik bapak yang ternyata sudah berdiri di belakangku. Wajahnya memerah dan biirnya bergetar, karena menahan amarah."Lebih baik kamu pergi dari sini, Mas. Dari pada ada keributan di hari bahagia Mbak Naura!" ujarku.Aku mengalah, bukan ingin kalah atau menan

  • Kurelakan Suamiku untuk si Pelakor Magang   Bab 47

    "Beraninya melamar istriku!" teriak Mas Attar, dan satu pukulan mendarat di iga Hilman.Hilman langsung tersungkur, dan mengaduh kesakitan. Aku sangat yakin, jika pukulan Mas Attar mengenai bagian vital di perut bagian sampingnya."Pak," lirihku, yang langsung duduk di sampinG Hilman.Mas Attar mundur, dan pergi seperti pengecut. Tidak heran lagi dengan tingkah anehnya. Apa dia tidak mendengar keputusan hakim, jika kami sudah resmi bercerai dan masa iddahku juga sudah lewat.[Radit! Cepatan pulang, lagi genting di sini. kamu langsung awa motor kamu ke belakang, ya.]Bapak menghubungi Radit, dan meminta adikku segera pulang. Rasanya aku ingin memukul dan membalas apa yang sudah dilakukan ole Mas Attar pada Hilman, hanya karena rasa yang telah usai dia berbuat buruk pada orang yang salah.Cukup lama Radit datang, membuat aku dan bapak kebingungan. Para tetangga menyarankan untuk membawa Radit ke rumah sakit segera, tapi kami juga tidak ingin acara ini berantakan karena ulah Mas Attar.S

  • Kurelakan Suamiku untuk si Pelakor Magang   Bab 48

    Setelah memastikan semua aman dan terkendali, aku meminta ijin pada ibu untuk pergi ke rumah sakit. bagaimana pun, Hilman terluka karena aku. Setidaknya aku harus menjenguknya. "Tapi ini sudah malam, Yumna!" ujar ibu, aku tau ibu khawatir. Akan tetapi, aku juga mengkhawatirkan Hilman. Bukan karena cinta, tapi karena merasa bersalah. Setelah membujuk ibu, dan mendapatkan ijinnya. Aku langsung menuju rumah sakit, tentu sudah mempersiapkan susu dan lainnya untuk Aqila. Beruntunnya, aku memiliki anak yang tidak rewel. Aqila bisa dekat dengan siapa saja, yang sering dilihatnya. *** [Dit, mbak diparkiran nih, kamu di kamar apa dan nomor berapa?] Tanyaku pada Radit. Saat akan berangkat tadi, aku sudah menghubunginya, bertanya mereka ada di rumah sakit mana, tapi lupa menanyakan detailnya. [Tunggu di sana saja, Mbak!] Radit mengakhiri pangilan teleponnya, aku hanya berdiri memperhatikan setiap orang yang lalu lalan. menunggu itu ternyata hal yang tidak mengenakkan. "Mbak enggak capek?

  • Kurelakan Suamiku untuk si Pelakor Magang   Bab 49

    "Aku pikir kamu tertidur," ujarku menahan malu."Aku tadi tidur, tapi aku mendengar suara orang yang aku cintai, jadi otakku langsung merespon," Dengan senyum manis dia memandangku.Salah tingkah, tentu saja. Bagaimana pun hanya Mas Attar yang memandangku selekat itu dalam beberapa tahun terakhir ini. Bahkan Radit pun tidak berani melihatku lama-lama, karena takut ada cinta diantara kami, ujarnya waktu itu.Aku beranjak, ingin menjauh dari Hilman. Namun, tanganku dicekal olehnya, membuatku sedikit terhuyung ke samping. Beruntung, aku tidak jatuh ke arah Hilman berbaring."Tenaga kamu sepertinya sudah pulih, seharusnya aku pulang saja!" kesalku. "Lepas tanganku," pintaku kemudian.Hilman melepas tanganku dan meminta maaf karena berlaku kasar. Sebenarnya dia tidak kasar dengan apa yang dilakukannya, hanya saja aku tidak ingin jatuh cinta lagi untuk kedua kalinya pada lelaki asing, selain bapak.Aku beberapa kali menguap, karena meman cukup lelah. Meskipun pesta itu tidak begitu banyak m

  • Kurelakan Suamiku untuk si Pelakor Magang   Bab 50

    Mataku membulat sempurna, meraba bibir dan mencari apa yang dikatakan oleh gadis kecil yang tidak lain adalah adik dari Hilman.Tante Rumi memukul pundak gadis kecilnya dan memarahinya, sedangkan aku langsung berlari ke kamar mandi. Membasuh wajahku dengan air berkali-kali, aku menepuk keningku sendiri. Merasa lalai dengan kewajibanku sebagai umat beragama."Jam berapa ini?" gumamku.Tidak ingin ambil pusing dengan iler yang dikatakan oleh gadis kecil itu, aku keluar dari kamar mandi dan berpamitan. Tante Rumi mencegahku, dan memintaku untuk menunda kepulanganku, karena ini masih subuh. Mendengar itu, aku bernapas lega."Kalau begitu, saya ke Musala dulu, tan," ijinku.Aku sedikit membungkuk, saat melewati kerabat Hilman yang lainnya. Senyum mereka membuatku sedikit tidak nyaman. aku jadi menafsirkan sesuatu yang tidak baik. Buru-buru aku ke musala terdekat dan melaksanakan sholat, meski jam sudah menunjukkan pukul 6. Prinsipku, lebih baik terlambat, dari pada tidak sama sekali."Maaf

  • Kurelakan Suamiku untuk si Pelakor Magang   Bab 51

    Mataku membulat sempurna, meraba bibir dan mencari apa yang dikatakan oleh gadis kecil yang tidak lain adalah adik dari Hilman. Tante Rumi memukul pundak gadis kecildi depanku, dan memarahinya. Sedangkan aku, langsung berlari ke kamar mandi. Mambasuh wajahku beberapa kali dengan air dingin, agar apa yang di katakan oleh gadis itu hilang dan juga kewarasanku kembali normal. Setelah selesai, aku keluar dan langsun berpamitan pada keluarga Hilman. Meski di tahan, aku tidak ingin lama-lama bersama mereka. Lagi pula aku belum melaksanakan sholat subuh yang kesiangan. Buru-buru aku ke musala terdekat dan melaksanakan sholat, meski jam sudah menunjukkan pukul 6 lebih. prinsipku, lebih baik terlambat, dari pada tidak sama sekali. "Maafin Disha, ya. Dia memang sedikit usil," ujar seseorang, ketika aku melipat mukena yang tela kupakai. "Eh, loh, Tan," ucapku kaget. Sedangkan orang di belakangku hanya tersenyum, lagi-lagi membuatku tidak nyaman. Ada apa dengan mereka sebenarnya, kenapa jadi

Bab terbaru

  • Kurelakan Suamiku untuk si Pelakor Magang   Bab 121

    Setelah satr tahun pertemuanku dengan Mas Attar, Aqila tidak lagi terlihat murung. Dia selalu memancarkan senyuman manis yang menenangkan, becanda dengan adik-adik dan sepupunya. Sungguh pemandangan yang selalu ingin kulihat sampai mataku tak mampu lagi terbuka.Radit dan istrinya benar-benar pindah, untuk menetap dan kembali memulai usahanya di sini. Kami bersama, mengurus semua hal yang ditinggalkan oleh suamiku tercinta. Si kembar pun sangat gembira, meski kehilangan sosok ayah, tapi mendapatkan banyak cinta yang tidak terduga. Ya, inilah buah kesabaran kami dan cinta yang datang terlambat. Rasanya, aku merindukan suamiku yang telah lama pergi meninggalkanku."Ma," Aqila memanggil dan langsung memelukku dari belakang.Gadis itu mengecup pundakku dan menangis, mengatakan kata maaf berulang kali dan makin mengeratkan pelukannya. Aku membelai kepalanya, dan memegang kedua tangannya. Merasakan kegelisahan yang dialaminya."Kenapa? Apa kamu enggak yakin dengan pernikahan ini?" tanyaku pa

  • Kurelakan Suamiku untuk si Pelakor Magang   Bab 120

    Aku mengerjapkan mata berkali-kali, takut jika yang kulihat hanya khayalanku saja. Akan tetapi, orang itu tidak berubah sedikitpun, dia tersenyum dengan matanya yang memerah. Bukan marah, tapi seperti menahan kesedihannya yang membuat matanya seperti itu. "Ada apa, Mas?" tanyaku lirih. Radit memilih duduk menjauh, memberi ruang padaku dan Mas Attar. Aku yakin, ini pasti ada hubungannya dengan Aqilla. Membuat Mas Attar memberanikan diri datang ke rumahku, karena tidak mungkin dia akan datang dengan suka rela tanpa ada sesuatu yang mendesak. "Maaf, aku melukai anakmu lagi," ujarnya, dengan suara bergetar. Tubuhku pun ikut lemas dengan apa yang dia ucapkan, apa yang sebenarnya terjadi, sampai mereka berdua seperti ini dan kenapa Mas Attar tidak mau belajar dengan kesalahannya yang telah lalu. Terus saja menyakiti hati putri semata wayangnya. "Ada apa?" tanyaku lembut, tidak ingin merusak mood yang sudah terbangun dengan baik. "Aku meminta Aqilla menjauhi lelaki yang sedang dekat den

  • Kurelakan Suamiku untuk si Pelakor Magang   Bab 119

    "Mbak?" Radit bertanya, tapi hanya menyebutku namaku saja. Sekarang semua mata menatapku, tatapan penuh tanya. Catra menuntunku untuk duduk dan memijat bahuku, mengecup ubun-ubunku penuh kasih sayang dan aku menggenggam tangannya yang masih berada di pundakku. "Ada apa, Ma?" tanya Candra lembut dan tangannya mengengam tangaku dan Catra. "Mama hanya mencicipi nasi goreng buatan Aqila, dan mama menggunakan sendok dan hanya sekali tanpa mengaduk-ngaduk," jawabku apa adanya. "Keterlaluan kakak!" Candra yang memang lebi emosian berjalan menuju kamar Aqila, mengetuk pintu itu dengan sangat kasar. Namun, Aqila tidak membukanya. Candra yang sedang terbalut emosi, terus memanggil kakaknya, berharap mendapatkan jawaban yang lebih baik dari pernyataanku. "Kenapa kakak tiba-tiba menjadi kasar?" tanya Catra, tepatnya seperti gumaman untuknya sendiri. "Mungkin kakak sedang banyak pekerjaan dan sedang kelelahan," ujarku menenangkan. Perubahan-perubahan inilah yang membuatku takut, apakah semu

  • Kurelakan Suamiku untuk si Pelakor Magang   Bab 118

    Siang ini, aku berencana ke cafe untuk mencocokkan data-data yang sudah masuk ke emailku. Tidak semua cafe dapat kukontrol, hanya ada dua saja. Bukannya tidak ingin melihat semua progres cafe yang sudah berjalan, tapi keterbatasan waktu dan tempat membuatku harus tetap memperhatikan kesehatanku sendiri. Ada rasa tidak nyaman dalam tubuku dan entah itu apa, aku tidak ingin periksa ke dokter. Bukan apa-apa, aku hanya takut, jika diagnosanya tidak baik dan membuat semua menjadi khawatir padaku. Membuat peraturan-peraturan yang akan membatasi ruang gerakku."Mama mau pergi?" tanya Aqila yang baru keluar dari dalam kamarnya."Loh, kamu enggak kerja?" Aku balik bertanya padanya tanpa menjawab pertanyaannya terlebih dulu."Mama kebiasaan, ditanya malan nanya!" gerutu Aqila, dan aku hanya tersenyum mendengarnya. "Hari ini jadwalku padat untuk keluargaku, Ma. Aku berharap, mama tidak terlalu lelah. Mama terliat pucat dan lemah," Aqila memperhatikanku dari ujung kaki hingga ujung kepala.Helaan

  • Kurelakan Suamiku untuk si Pelakor Magang   Bab 117

    Pagi ini begitu cerah, secerah hati dan wajah Aqilla. Suaranya yang bersenandung, dan tangannya yang cekatan mengerjakan pekerjaan rumah. Tidak ada satu pun yang diperbolehkan membantunya, dia membersihkan ruma dan membuat sarapan seorang diri. Aku tau, ini pasti karena dia telah mengetahui keberadaan ayahnya dan juga memastikan ijin yang telah kuberikan. "Mama ini teh hangatnya," ujar Aqila, dan wajanya selalu dihiasi dengan senyuman hangat. Setelah meletakkan cangkir te itu, Aqila berlalu pergi. Enta apa saja yang dia lakukan di dalam rumah, bahkan adik kembarnya langsung disuruh jogging, saat berniat membantu. Aku hanya bisa tertawa geli melihat tinkah putriku, memang cukup ajaib saat dia mengetahui keberadaan sang ayah. "Mbak, aku mau jalan pagi saja. Anakmu sepertinya memiliki tenaga samson hari ini, semuanya ingin dia kerjakan, termasuk merawat Nita. Semuanya deh!" Radit berpamitan. Aku hanya bisa mengangguk, dan menikmati udara pagi di depan teras. Melihat bunga-bunga yang b

  • Kurelakan Suamiku untuk si Pelakor Magang   Bab 116

    Aqilla mendekatiku dan duduk di sampingku, menatapku dengan tatapan sayunya. Matanya sudah mulai berkaca-kaca, bibirnya bergetar tanpa suara. Aku tahu, rindunya pada Mas Attar sangatlah besar. Sejak kecil dia selalu menanyakan Hilman yang sudah dikebumikan, lalu beralih bertanya mengenai Mas Attar karena tetangga julid yang mempengaruhinya."Iya," Mau tidak mau, aku memberitau kenyataan ini pada Aqilla.Rasanya sudah lelah untuk menyembunyikan hal yang seharusnya memang diketahui oleh anak itu. Meski ada rasa tidak nyaman dalam sudut hatiku yang terdalam, tidak ingin keegoisan ini menyelimuti hati dan membuat anak-anak malah menjauhiku."Mama rela aku menemuinya?" tanya Aqilla dengan suaranya yang lirih."Kenapa kamu bertanya seperti itu pada mamamu?!" tanya Radit dengan ekspresi yang datar.Aqila menegakkan tubuhnya dan menatap ke arah pamannya dengan tatapan yang entahlah, aku pun menatap Radit dengan kesal. Bagaimana lelaki itu bisa berucap seperti itu, tapi aku tahu dia hanya meng

  • Kurelakan Suamiku untuk si Pelakor Magang   Bab 115

    "Emang apa yang aku lakukan?" tanyanya dengan pongah dan menaikkan dagunya. Aku tidak menyangka, wanita ini sama dengan ibunya dulu, yang sering sekali menggangguku. Bagaimana aku bisa bertahan dengan mereka sebagai tetanggaku. "Baiklah, dari pada kita ribut dan cari pembenaran sendiri, maka lebih baik kita bawa masalah ini ke ranah hukum. Ini sudah perbuatan yang sangat tidak manusiawi, dan mengancam nyawa. Juga nanti akan ketahuan saya selingkuh dengan Radit atau tidak!" Kembali, aku menekankan setiap kata-kata yang keluar. Bisik-bisik kembali terdengar, aku bukan merasa sok atau apalah, cuma menghindari hal yang paling menakutkan dikemudian hari. Belum apa-apa, sudah ada yang berani melakukan hal keji seperti ini. Apa lagi jika aku hanya diam dan menerima semua gosip murahan yang mereka lakukan. Bisa saja mereka berbuat seenaknya. "Lebih baik kalian bubar, dan biarkan ini ditangani oleh polisi,' ujarku dengan tatapan sinis. Satu persatu mereka pergi dengan wajah pias, ini sudah

  • Kurelakan Suamiku untuk si Pelakor Magang   Bab 114

    Aku dan Radit. tentu saja panik mendengar Nita yang terjatuh entah di mana dan aku yakin ini ada campur tangan orang lain, karena setahuku, Nita adalah wanita yang sangat hati-hati dalam segala hal. Tidak mungkin pula dia terjatuh karena terpleset, saat ini bukan musim hujan."Tenang, Dit. Jangan sampai kita juga ikut celak," Aku memperingatkan Radit yang mengemudi terlalu cepat. "Pasti ada yang menolongnya, tidak mungkin dia sendirian di jalan! Mbak tahu kamu khawatir, tapi kamu juga harus bisa menguasai diri kamu untuk saat ini!" imbuhku, karena Radit semakin terlihat gugup.Radit tidak menjawab pertanyaanku, atau pun melihat ke arahku. Pandangannya terlalu fokus ke depan. Hingga kami kembali ke rumah dan dengan cepat dia turun untuk mencari Nita. Aku sedikit aneh, karena melihat beberapa orang ada di teras rumah dan sebagian ada di halamn rumah. Seperti sedang membicarakan sesuatu, aku yakin ini mengenai kejadian Nita yang terjatuh."Permisi, Bu," sapaku seramah mungkin.Namun, aku

  • Kurelakan Suamiku untuk si Pelakor Magang   Bab 113

    Aku menoleh ke arah radit, dan tertawa dengan sangat lepas, menertawakan pertanyaan konyol dari lelaki yang selalu ada saat aku butuhkan sejak dulu. Dia-lah adik sepupu, rasa adik kandung."Kamu tahu usia mbak berapa?" tanyaku dan Radit mengangguk. "Wanita seusiaku, tidak ada yang memikirkan untuk menikah lagi, sudah memikirkan bagaimana untuk bekal akhirat dan melihat anak-anak bahagia. Jadi buang pikiranmu yang ane itu!" ujarku dengan gelengan kepala.Tidak habis pikir, kenapa bisa ada kata-kata seperti itu yang muncul darinya. Apakah ini yang membuatnya tidak semangat hari ini. Aku tidak ingin bertanya lebih jauh padanya, takut dia malah bertanya hal-hal aneh lagi. Diam ... diam lebih baik, untuk saat ini.Sesekali aku melirik ke arah radit yang tidak nyaman dengan posisinya, apakah dia sedang sakit atau sedang menahan sesuatu. Namun, aku juga mendengar beberapa kali dia menghela napas berat, adakah kaitannya dengan pertanyaannya tentang kesendirianku. Lama-lama aku juga kesal meli

DMCA.com Protection Status