Setelah memastikan semua aman dan terkendali, aku meminta ijin pada ibu untuk pergi ke rumah sakit. bagaimana pun, Hilman terluka karena aku. Setidaknya aku harus menjenguknya. "Tapi ini sudah malam, Yumna!" ujar ibu, aku tau ibu khawatir. Akan tetapi, aku juga mengkhawatirkan Hilman. Bukan karena cinta, tapi karena merasa bersalah. Setelah membujuk ibu, dan mendapatkan ijinnya. Aku langsung menuju rumah sakit, tentu sudah mempersiapkan susu dan lainnya untuk Aqila. Beruntunnya, aku memiliki anak yang tidak rewel. Aqila bisa dekat dengan siapa saja, yang sering dilihatnya. *** [Dit, mbak diparkiran nih, kamu di kamar apa dan nomor berapa?] Tanyaku pada Radit. Saat akan berangkat tadi, aku sudah menghubunginya, bertanya mereka ada di rumah sakit mana, tapi lupa menanyakan detailnya. [Tunggu di sana saja, Mbak!] Radit mengakhiri pangilan teleponnya, aku hanya berdiri memperhatikan setiap orang yang lalu lalan. menunggu itu ternyata hal yang tidak mengenakkan. "Mbak enggak capek?
"Aku pikir kamu tertidur," ujarku menahan malu."Aku tadi tidur, tapi aku mendengar suara orang yang aku cintai, jadi otakku langsung merespon," Dengan senyum manis dia memandangku.Salah tingkah, tentu saja. Bagaimana pun hanya Mas Attar yang memandangku selekat itu dalam beberapa tahun terakhir ini. Bahkan Radit pun tidak berani melihatku lama-lama, karena takut ada cinta diantara kami, ujarnya waktu itu.Aku beranjak, ingin menjauh dari Hilman. Namun, tanganku dicekal olehnya, membuatku sedikit terhuyung ke samping. Beruntung, aku tidak jatuh ke arah Hilman berbaring."Tenaga kamu sepertinya sudah pulih, seharusnya aku pulang saja!" kesalku. "Lepas tanganku," pintaku kemudian.Hilman melepas tanganku dan meminta maaf karena berlaku kasar. Sebenarnya dia tidak kasar dengan apa yang dilakukannya, hanya saja aku tidak ingin jatuh cinta lagi untuk kedua kalinya pada lelaki asing, selain bapak.Aku beberapa kali menguap, karena meman cukup lelah. Meskipun pesta itu tidak begitu banyak m
Mataku membulat sempurna, meraba bibir dan mencari apa yang dikatakan oleh gadis kecil yang tidak lain adalah adik dari Hilman.Tante Rumi memukul pundak gadis kecilnya dan memarahinya, sedangkan aku langsung berlari ke kamar mandi. Membasuh wajahku dengan air berkali-kali, aku menepuk keningku sendiri. Merasa lalai dengan kewajibanku sebagai umat beragama."Jam berapa ini?" gumamku.Tidak ingin ambil pusing dengan iler yang dikatakan oleh gadis kecil itu, aku keluar dari kamar mandi dan berpamitan. Tante Rumi mencegahku, dan memintaku untuk menunda kepulanganku, karena ini masih subuh. Mendengar itu, aku bernapas lega."Kalau begitu, saya ke Musala dulu, tan," ijinku.Aku sedikit membungkuk, saat melewati kerabat Hilman yang lainnya. Senyum mereka membuatku sedikit tidak nyaman. aku jadi menafsirkan sesuatu yang tidak baik. Buru-buru aku ke musala terdekat dan melaksanakan sholat, meski jam sudah menunjukkan pukul 6. Prinsipku, lebih baik terlambat, dari pada tidak sama sekali."Maaf
Mataku membulat sempurna, meraba bibir dan mencari apa yang dikatakan oleh gadis kecil yang tidak lain adalah adik dari Hilman. Tante Rumi memukul pundak gadis kecildi depanku, dan memarahinya. Sedangkan aku, langsung berlari ke kamar mandi. Mambasuh wajahku beberapa kali dengan air dingin, agar apa yang di katakan oleh gadis itu hilang dan juga kewarasanku kembali normal. Setelah selesai, aku keluar dan langsun berpamitan pada keluarga Hilman. Meski di tahan, aku tidak ingin lama-lama bersama mereka. Lagi pula aku belum melaksanakan sholat subuh yang kesiangan. Buru-buru aku ke musala terdekat dan melaksanakan sholat, meski jam sudah menunjukkan pukul 6 lebih. prinsipku, lebih baik terlambat, dari pada tidak sama sekali. "Maafin Disha, ya. Dia memang sedikit usil," ujar seseorang, ketika aku melipat mukena yang tela kupakai. "Eh, loh, Tan," ucapku kaget. Sedangkan orang di belakangku hanya tersenyum, lagi-lagi membuatku tidak nyaman. Ada apa dengan mereka sebenarnya, kenapa jadi
Setelah mandi dan membantu sedikit pekerjaan, aku menemui bapak. Meskipun ada keraguan, tapi aku tidak bisa menghindari ini."Pak," sapaku.Aku duduk di sampingnya, yang diam menatap ke arah mushaf yang di pegangnya. Jika sudah diam beini, aku bingung harus seperti apaa merayu bapak, pasti dia menahan amarahnya yang dipendam. Aku pun memilih diam dan menunduk, tidak ingin menambah amarah yang masih menguasai bapak."Kamu ada hubungan apa dengan Hilman?" tanya bapak, setelah beberapa saat terdiam."Tidak ada hubungan apa-apa, Pak. Seperti yang bapak ketahui, aku, Radit dan Hilman, adalah sahabat. Kenapa bapak bertanya seperti itu?" tanyaku penasaran. "Apa karena kata-kata Hilman kemarin?" tanyaku dengan serius.Bapak menatapku, tatapannya tidak menunjukkan amarah malah sebaliknya. Teduh dan menenangkan diriku yang masih lelah jiwa dan raga."Pak, Hilman berbicara seperti itu, bukan karena dia menyukaiku. Akan tetapi demi membuat Mas Attar tidak berlaku seenaknya denganku," Kugengam tan
"Apa yang ibu tanyakan!" ketus bapak. "Apa bapak belum yakin dengan Hilman?" tanya ibu. "Apa masih ingin menerima Attar?" Ibu sepertinya sedang memancing amarah bapak dengan pertanyaannya Bapak berdiri dan berjalan keluar dari kamar, menyisakan aku dan ibu yang tertawa aneh. Aku ingin mengejar bapak, tapi di tahan oleh ibu. Ibu memintaku untuk duduk di sampingnya, perlakuan ibu membuatku berdebar. Membuatku kembali mengingat masalalu, yang membuat kami berdua menangis semalaman. "Bu!" tegurku, ketika ibu mulai membelai rambutku, dan tersenyum haru. "Kamu tidak memiliki perasaan pada Hilman?" tanya ibu, sepertinya ibu juga tidak percaya dengan apa yang aku katakan. Ibu menghela napas berat dan menatapku, menangkup kedua pipiku dan tersenyum manis. Matanya mulai berembun, menandakan ada kesedihan di dalam hatinya yang belum hilang. "Bu, aku belum ingin menikah!" putusku. Rasa trauma itu hanya aku yang rasakannya, tidak mau menunjukkan pada orang-orang yang mencintaiku. Aku hanya
"Bukan ingin menyinggung Mbak Naura, tapi aku rasa Mbak Naura tahu persis bagaimana hati saat kehilangan. Tidak mungkin secepatnya membuka hati!" lirihku dengan di akhiri hembusan napas berat."Iya, Mbak tahu banget. Akan tetapi, kita beda Yumna. Mbak ditinggal selamanya, dan tidak bisa move on dari kebaikan Almarhum semasa hidupnya. Kamu harus membuka hati kamu, agar kelak Attar tidak semena-mena terhadapmu dan Aqila. Kami hanya mengawatirkanmu, tidak selamanya kami berada di sisimu. Mbak sudah punya pasangan, dan akan mengikuti ke mana pun Mas idris membawa Mbak dan anak-anak. Ibu dan kedua orang tuamu, kita tidak pernah tahu umur manusia. Radit pun kelak akan menikah, pikirkan baik-baik!" Mbak Naura menggenggam tanganku dan menepuknya pelan.Entah mengapa, pikiranku membenarkan ucapan Mbak Naura dan ibu, padahal aku sudah berjanji pada diri sendiri dan juga Aqila, meski gadis kecilku itu belum paham apa yang aku ucapkan."Aku hanya bisa jalani apa yang ada, Mbak. Saat ini, dalam pi
"Kenapa kamu mendekati bujangan, bukannya lebih cocok dengan seorang duda?" tanyanya dengan wajah serius. "Sudah ... sudah, kenapa jadi kayak gini, sih. Mutiara, ayo kita pulang, Mama kamu pasti nyariin kamu yang pergi tanpa pamit," Tante Rumi seakan-akan mengalihkan pembicaraan. Gadis itu mencebik kesal dan menghentakkan kakinya, kemudian keluar dari ruang rawat dengan menggerutu. Tante Rumi mengatakan padaku untuk menjaga Hilman sebentar, karena dia dan suaminya akan bertemu dengan orang tua Mutiara dan aku hanya bisa mengangguk pasrah. "Nak, mama tinggal dulu, ya. Kalau ada apa-apa, langsung telepon!" ujar Tante Rumi berpamitan dengan anaknya dan hanya ditanggapi dengan anggukkan kepala. "Yumna," sapa Hilman yang tersenyum padaku. Aku membalas senyumnya, "Kamu sudah bangun? Mama dan papa kamu tadi mengantar Mutiara, nanti juga balik lagi katanya." Aku duduk menjauh dari Hilman, enggan menimbulkan prasangka yang tidak-tidak. Memilih berkirim pesan dengan Mbak Naura yang kutahu
Setelah satr tahun pertemuanku dengan Mas Attar, Aqila tidak lagi terlihat murung. Dia selalu memancarkan senyuman manis yang menenangkan, becanda dengan adik-adik dan sepupunya. Sungguh pemandangan yang selalu ingin kulihat sampai mataku tak mampu lagi terbuka.Radit dan istrinya benar-benar pindah, untuk menetap dan kembali memulai usahanya di sini. Kami bersama, mengurus semua hal yang ditinggalkan oleh suamiku tercinta. Si kembar pun sangat gembira, meski kehilangan sosok ayah, tapi mendapatkan banyak cinta yang tidak terduga. Ya, inilah buah kesabaran kami dan cinta yang datang terlambat. Rasanya, aku merindukan suamiku yang telah lama pergi meninggalkanku."Ma," Aqila memanggil dan langsung memelukku dari belakang.Gadis itu mengecup pundakku dan menangis, mengatakan kata maaf berulang kali dan makin mengeratkan pelukannya. Aku membelai kepalanya, dan memegang kedua tangannya. Merasakan kegelisahan yang dialaminya."Kenapa? Apa kamu enggak yakin dengan pernikahan ini?" tanyaku pa
Aku mengerjapkan mata berkali-kali, takut jika yang kulihat hanya khayalanku saja. Akan tetapi, orang itu tidak berubah sedikitpun, dia tersenyum dengan matanya yang memerah. Bukan marah, tapi seperti menahan kesedihannya yang membuat matanya seperti itu. "Ada apa, Mas?" tanyaku lirih. Radit memilih duduk menjauh, memberi ruang padaku dan Mas Attar. Aku yakin, ini pasti ada hubungannya dengan Aqilla. Membuat Mas Attar memberanikan diri datang ke rumahku, karena tidak mungkin dia akan datang dengan suka rela tanpa ada sesuatu yang mendesak. "Maaf, aku melukai anakmu lagi," ujarnya, dengan suara bergetar. Tubuhku pun ikut lemas dengan apa yang dia ucapkan, apa yang sebenarnya terjadi, sampai mereka berdua seperti ini dan kenapa Mas Attar tidak mau belajar dengan kesalahannya yang telah lalu. Terus saja menyakiti hati putri semata wayangnya. "Ada apa?" tanyaku lembut, tidak ingin merusak mood yang sudah terbangun dengan baik. "Aku meminta Aqilla menjauhi lelaki yang sedang dekat den
"Mbak?" Radit bertanya, tapi hanya menyebutku namaku saja. Sekarang semua mata menatapku, tatapan penuh tanya. Catra menuntunku untuk duduk dan memijat bahuku, mengecup ubun-ubunku penuh kasih sayang dan aku menggenggam tangannya yang masih berada di pundakku. "Ada apa, Ma?" tanya Candra lembut dan tangannya mengengam tangaku dan Catra. "Mama hanya mencicipi nasi goreng buatan Aqila, dan mama menggunakan sendok dan hanya sekali tanpa mengaduk-ngaduk," jawabku apa adanya. "Keterlaluan kakak!" Candra yang memang lebi emosian berjalan menuju kamar Aqila, mengetuk pintu itu dengan sangat kasar. Namun, Aqila tidak membukanya. Candra yang sedang terbalut emosi, terus memanggil kakaknya, berharap mendapatkan jawaban yang lebih baik dari pernyataanku. "Kenapa kakak tiba-tiba menjadi kasar?" tanya Catra, tepatnya seperti gumaman untuknya sendiri. "Mungkin kakak sedang banyak pekerjaan dan sedang kelelahan," ujarku menenangkan. Perubahan-perubahan inilah yang membuatku takut, apakah semu
Siang ini, aku berencana ke cafe untuk mencocokkan data-data yang sudah masuk ke emailku. Tidak semua cafe dapat kukontrol, hanya ada dua saja. Bukannya tidak ingin melihat semua progres cafe yang sudah berjalan, tapi keterbatasan waktu dan tempat membuatku harus tetap memperhatikan kesehatanku sendiri. Ada rasa tidak nyaman dalam tubuku dan entah itu apa, aku tidak ingin periksa ke dokter. Bukan apa-apa, aku hanya takut, jika diagnosanya tidak baik dan membuat semua menjadi khawatir padaku. Membuat peraturan-peraturan yang akan membatasi ruang gerakku."Mama mau pergi?" tanya Aqila yang baru keluar dari dalam kamarnya."Loh, kamu enggak kerja?" Aku balik bertanya padanya tanpa menjawab pertanyaannya terlebih dulu."Mama kebiasaan, ditanya malan nanya!" gerutu Aqila, dan aku hanya tersenyum mendengarnya. "Hari ini jadwalku padat untuk keluargaku, Ma. Aku berharap, mama tidak terlalu lelah. Mama terliat pucat dan lemah," Aqila memperhatikanku dari ujung kaki hingga ujung kepala.Helaan
Pagi ini begitu cerah, secerah hati dan wajah Aqilla. Suaranya yang bersenandung, dan tangannya yang cekatan mengerjakan pekerjaan rumah. Tidak ada satu pun yang diperbolehkan membantunya, dia membersihkan ruma dan membuat sarapan seorang diri. Aku tau, ini pasti karena dia telah mengetahui keberadaan ayahnya dan juga memastikan ijin yang telah kuberikan. "Mama ini teh hangatnya," ujar Aqila, dan wajanya selalu dihiasi dengan senyuman hangat. Setelah meletakkan cangkir te itu, Aqila berlalu pergi. Enta apa saja yang dia lakukan di dalam rumah, bahkan adik kembarnya langsung disuruh jogging, saat berniat membantu. Aku hanya bisa tertawa geli melihat tinkah putriku, memang cukup ajaib saat dia mengetahui keberadaan sang ayah. "Mbak, aku mau jalan pagi saja. Anakmu sepertinya memiliki tenaga samson hari ini, semuanya ingin dia kerjakan, termasuk merawat Nita. Semuanya deh!" Radit berpamitan. Aku hanya bisa mengangguk, dan menikmati udara pagi di depan teras. Melihat bunga-bunga yang b
Aqilla mendekatiku dan duduk di sampingku, menatapku dengan tatapan sayunya. Matanya sudah mulai berkaca-kaca, bibirnya bergetar tanpa suara. Aku tahu, rindunya pada Mas Attar sangatlah besar. Sejak kecil dia selalu menanyakan Hilman yang sudah dikebumikan, lalu beralih bertanya mengenai Mas Attar karena tetangga julid yang mempengaruhinya."Iya," Mau tidak mau, aku memberitau kenyataan ini pada Aqilla.Rasanya sudah lelah untuk menyembunyikan hal yang seharusnya memang diketahui oleh anak itu. Meski ada rasa tidak nyaman dalam sudut hatiku yang terdalam, tidak ingin keegoisan ini menyelimuti hati dan membuat anak-anak malah menjauhiku."Mama rela aku menemuinya?" tanya Aqilla dengan suaranya yang lirih."Kenapa kamu bertanya seperti itu pada mamamu?!" tanya Radit dengan ekspresi yang datar.Aqila menegakkan tubuhnya dan menatap ke arah pamannya dengan tatapan yang entahlah, aku pun menatap Radit dengan kesal. Bagaimana lelaki itu bisa berucap seperti itu, tapi aku tahu dia hanya meng
"Emang apa yang aku lakukan?" tanyanya dengan pongah dan menaikkan dagunya. Aku tidak menyangka, wanita ini sama dengan ibunya dulu, yang sering sekali menggangguku. Bagaimana aku bisa bertahan dengan mereka sebagai tetanggaku. "Baiklah, dari pada kita ribut dan cari pembenaran sendiri, maka lebih baik kita bawa masalah ini ke ranah hukum. Ini sudah perbuatan yang sangat tidak manusiawi, dan mengancam nyawa. Juga nanti akan ketahuan saya selingkuh dengan Radit atau tidak!" Kembali, aku menekankan setiap kata-kata yang keluar. Bisik-bisik kembali terdengar, aku bukan merasa sok atau apalah, cuma menghindari hal yang paling menakutkan dikemudian hari. Belum apa-apa, sudah ada yang berani melakukan hal keji seperti ini. Apa lagi jika aku hanya diam dan menerima semua gosip murahan yang mereka lakukan. Bisa saja mereka berbuat seenaknya. "Lebih baik kalian bubar, dan biarkan ini ditangani oleh polisi,' ujarku dengan tatapan sinis. Satu persatu mereka pergi dengan wajah pias, ini sudah
Aku dan Radit. tentu saja panik mendengar Nita yang terjatuh entah di mana dan aku yakin ini ada campur tangan orang lain, karena setahuku, Nita adalah wanita yang sangat hati-hati dalam segala hal. Tidak mungkin pula dia terjatuh karena terpleset, saat ini bukan musim hujan."Tenang, Dit. Jangan sampai kita juga ikut celak," Aku memperingatkan Radit yang mengemudi terlalu cepat. "Pasti ada yang menolongnya, tidak mungkin dia sendirian di jalan! Mbak tahu kamu khawatir, tapi kamu juga harus bisa menguasai diri kamu untuk saat ini!" imbuhku, karena Radit semakin terlihat gugup.Radit tidak menjawab pertanyaanku, atau pun melihat ke arahku. Pandangannya terlalu fokus ke depan. Hingga kami kembali ke rumah dan dengan cepat dia turun untuk mencari Nita. Aku sedikit aneh, karena melihat beberapa orang ada di teras rumah dan sebagian ada di halamn rumah. Seperti sedang membicarakan sesuatu, aku yakin ini mengenai kejadian Nita yang terjatuh."Permisi, Bu," sapaku seramah mungkin.Namun, aku
Aku menoleh ke arah radit, dan tertawa dengan sangat lepas, menertawakan pertanyaan konyol dari lelaki yang selalu ada saat aku butuhkan sejak dulu. Dia-lah adik sepupu, rasa adik kandung."Kamu tahu usia mbak berapa?" tanyaku dan Radit mengangguk. "Wanita seusiaku, tidak ada yang memikirkan untuk menikah lagi, sudah memikirkan bagaimana untuk bekal akhirat dan melihat anak-anak bahagia. Jadi buang pikiranmu yang ane itu!" ujarku dengan gelengan kepala.Tidak habis pikir, kenapa bisa ada kata-kata seperti itu yang muncul darinya. Apakah ini yang membuatnya tidak semangat hari ini. Aku tidak ingin bertanya lebih jauh padanya, takut dia malah bertanya hal-hal aneh lagi. Diam ... diam lebih baik, untuk saat ini.Sesekali aku melirik ke arah radit yang tidak nyaman dengan posisinya, apakah dia sedang sakit atau sedang menahan sesuatu. Namun, aku juga mendengar beberapa kali dia menghela napas berat, adakah kaitannya dengan pertanyaannya tentang kesendirianku. Lama-lama aku juga kesal meli