Aku menghela napas, setelah mengataklannya. Bukan ingin menjadi anak durhaka, tapi aku mengingat setiap pesan yang disampaikan bapak padaku sebelum akau resmi menikah dengan Mas Attas. "Tapi bapak enggak rela, kamu dipermainkan seperti ini!" kesal bapak. "Anak ini bapak sudah dewasa," ujarku dengan senyum semanis mungkin, agar bapak tidak terlalu banyak pikiran. kesehatannya, sudah tidak sebagus dulu, dan aku menghidari pertengkaran. Bapak menghela napas berat, Pasti bapak mengingat moment saat kami berbincang berdua di malaam sebelum aku dan Mas Attar akad nikah. Bapak tahu pernikahan itu seperti apa dan dia tidak bisa ikut campur selagi aku tidak memintanya. "Lalu kamu mau apa di sini? Bukankah Attar sudah memilih menikah dengan gadis itu?" tanya bapak, dan membuatku terkejut. Kapan Mas Attar menikah, apakah selama dia tidak bersamaku? "Tiga bulan lagi, aku akan bertanya pada Mas Attar langsung, Pak. Setelah itu aku akan mengambil keputusan untuk kehidupanku dan Aqilla selanjut
Selesai makan siang yang kesorean, ibu kembali mengajakku berbincang. Menanyakan akan usaha apa dengan uang segitu. Aku pun bingung ingin usaha apa, karena aku hanya bisa mengerjakan pemasaran saja. "Mbak punya ide," sahut Mbak Naura, yang baru duduk setelah menidurkan Aqila. Aku dan ibu langsung melirik Mbak Naura, menatapnya penuh rasa penasaran. "Kamu dulu kerja di bagian pemasaran, gimana kalau kita buka toko baju atau butik sekalian?" ujarnya dengan semangat. "Akan tetapi, harga yang kita keluarkan bersaing dengan toko lain," imbuhnya. "Kalau pakaian tidak terlalu rugi, karena tidak basi. Harus dipikirkan matang-matang," ujar ibu menimpali. Mbak Naura nampak berpikir lagi, dia tidak ingin aku bekerja dan meninggalkan Aqilla tanpa pengawasanku. Katanya, jika ibu kandung yang mengasuh hasilnya akan berbeda. Aku menghela napas panjang, dan mengatakan seandainya Mas Attar ada di sini. Namun, ucapanku menundang decak kesal dari ibu dan Mbak Naura. "Dia tidak layak kamu pertahank
"Ba--!" Baru satu kata yang aku ucapkan, suara pintu terbuka dengan kasar terdengan dan mengalihkan perhatian kami.Mas Attar masuk dan baru mengucapkan salam setelah ada di dalam rumah. Dia duduk diantara kami tanpa ada yang memintanya, meski aku belum memastikan kebenarannya dari mulut Mas Attar tentang perselingkuhannya dengan seorang gadis, rasanya aku tidak sanggup melihatnya seperti orang yang putus asa."Ngapain kamu ke sini?" tanya ibu, yang amarahnya bertambah. "Keluar!" titahnya, dengan suara makin menggema.Aku diam, tidak berani mengatakan apapun. Ibu mertua sampai mengelus dada berulang kali, kala melihat putra kebanggaannya tertunduk lesu."Yumna, maafkan aku," ujarnya lirih."Tidak ada kata maaf untuk perselingkuhan!" Mbak Naura yang membalas ucapan Mas Attar.Ibu dan Mbak Naura, langsung menghakimi Mas Attar dengan kata-kata yang sungguh membuatku ikut merasakan sakit hati."Kamu meniduri wanita lain, saat istrimu di rumah mengurus anak dan ibumu ini! Kamu bersenang-se
Aku beranjak dari duduk, ingin melangkah pergi. Namun ditahan oleh ibu. Dia mengatakan, jika aku dan Naura adalah anaknya sedangkan Mas Attar dia tidak mau mengakuinya."Kuikhlaskan air susuku padamu dan aku melepas ikatan anak dan ibu darimu. Kamu bebas melakukan apapun sesukamu tanpa meminta pendapat atau ijin dariku," Dengan bergetar ibu mertua mengatakan haal itu, cukup membuatku tercengang.Sesak, itu yang pertama kali aku rasakan. Tanpa bisa kutahan, air mata turun begitu saja. Aku pun melihat embun yang sama di matanya yang terlihat sangat lelah. Begitu pula Mbak Naura yang matanya sudah sangat beremun.Mbak Naura meminta pengasuh anaknya utnuk membawa mereka berdua ke kamar belakang. Agar tidak memdengar keributan dan suara kami yang saling meninggi."Untuk apa sebenarnya kamu ke sini, mau meminta hartamu lagi?" Mbak Naura bertanya dengan sinis. "Harta itu tidak akan berpindah tangan! Itu hak istri dan anak kamu, sudah sejak kamu naik jabatan, kamu tidak jujur masalah gaji den
Aku bergegas mengusap air mata dan mengatur napasku, agar sesak karena tangisan yang tertahan bisa berkurang. Dengan bismillah aku memberanikan diri untuk keluar dari kamar, melihat apa yang sedang terjadi."Bu, ada apa?" tanyaku dengan pandangan aneh ke arah Mas Attar yang terkapar di lantai."Sebentar, aku telepon Pak Ustadz Idris!" ujar Mbak Naura sembari mengambil ponselnya yang ada di atas nakas, sedangkan mengangkat kepala Mas Attar ke atas pangkuannya.Aku bingung harus apa, rasa sakit masih sangat berdarah, tapi melihat Mas Attar seperti itu aku tetap tidak tega. Ibu menggenggam tanganku erat sekali, terpancar ke khawatiran seorang ibu dari reaksinya. Sekilas kulirik ibu, dia menggigit bibir bawahnya, dan menatap sayu ke wajah Mas Attar. Bagaimana pun, darah lebih kental dari pada Air.Tidak lama, sekitar 15 menit terdengar salam dari beberapa orang. Mbak Naura langsung menemui mereka dan mengajak masuk ke dalam rumah."Sejak tadi," tanya Usatadz Idris.Mbak Naura mengangguk d
"Dukun?" tanyaku tidak percaya, apa iya dukun masih ada di zaman sekarang.Ustadz Idris mengangguk dan mengatakan hal itu bisa saja terjadi pada siapapun, dikala pikirannya sedang kosong dan saat sedang tergoda. Apalagi Mas Attar memang orang yang tidak enakkan, jika disodorkan makanan. Pasti dia makan walaupun hanya sedikitAku menatap Mas Attar miris, ingin kasihan, tapi hatiku terlanjur hancur dan sakit sekali, ketika dia mengatakan masalah anaknya yang sedang dikandung oleh gadis itu yang saat ini resmi menjadi istri keduanya,"Sepertinya, guna-guna itu sudah mendarah daging. Hingga Attar harus sesering mungkin di ruqyah dan dari dalam dirinya berniat ingin lepas dari wanita itu. Percuma ruqyah juga, jika dalam hatinya tidak ingin lepas," lirih Ustadz Idris yang sepertinya tahu apa yang sedang aku pikirkan.Ibu dan Mbak Naura tidak lagi bersuara, mereka diam sambil memandangi isi di dalam baskom yang kemudian di bawa salah satu teman Ustadz idris ke belakang untuk di buang. Ustad
Ibu mertuaku menyeret wanita hamil itu menjauh dariku, tapi dihalangi oleh orang bawaan Shanum. Ibu meminta padanya untuk menjauh dariku, juga suamiku. Namun, dia menolaknya dengan pongah dan dengan lantang dia mengatakan, jika Mas Attar akan tetap memilihnya dari pada aku. Melihatnya yang tetap cantik meski hamil, membuatku insecure sendiri. Bagaimana bisa dia menjaga bentuk tubuhnya dikala sedang berbadan dua. Aku sampai melihat tubuhku sendiri, yang terlihat sangat tidak menarik. Sumpah serapah yang terlontar dari tetangga-tetangga ibu mertua, tidak dipedulikannya. Dia fokus beradu argument dengan ibu mertua. "Shanum, kenapa kamu ke sini?" tanya Mas Attar yang membuat ibu terperanjat, karena baru menyadari keberadaan Mas Attar. "Oooo! Kamu pura-pura sakit untuk mendapatkan simpati kami?"tanya ibu mertua dengan wajah yang merah padam. Mas Attar diam saja, malah berjalan mendekati Shanum yang menampakkan wajah sedih dan tidak berdaya. Hebat sekali actingnya. Aku hanya mematung d
Shanum terlihat sangat manja pada Mas Attar dan sesekali mengusap perutnya, dia seperti ingin memperlihatkan, jika dirinya sangat bahagia dan bangga dengan apa yang dia lakukan.Mbak Naura semakin emosi mendengar ucapan Shanum, dan aku hanya bisa diam saja. Tidak ingin menjatuhkan harga diriku, untuk mempertahankan rumah tangga yang memang sudah tidak sehat ini."Aku hanya meminta kembali apa yang menjadi milikku, jika kalian ingin mengeluarkan aku dari hidup kalian!" Mas Attar kini yang bicara dengan suara yang berapi-api. "Termasuk uang dan lainnya yang ada di kamu!" imbuh Mas Attar dengan menunjuk diriku.Sempat aku terkejut dengan ucapan Mas Attar, enggak menyangka dia akan mengeluarkan kata-kata itu. Bahkan, para tetangga melontarkan makian pada Mas Attar karena ucapannya tadi."Berapa uang yang kamu keluarkan untukku dan ibumu, kita buat perhitungan di sini. Agar kelak tidak ada masalah lagi setelah kita bercerai, karena di sini banyak saksinya!" Tiba-tiba, aku mengatakan hal ya
Setelah satr tahun pertemuanku dengan Mas Attar, Aqila tidak lagi terlihat murung. Dia selalu memancarkan senyuman manis yang menenangkan, becanda dengan adik-adik dan sepupunya. Sungguh pemandangan yang selalu ingin kulihat sampai mataku tak mampu lagi terbuka.Radit dan istrinya benar-benar pindah, untuk menetap dan kembali memulai usahanya di sini. Kami bersama, mengurus semua hal yang ditinggalkan oleh suamiku tercinta. Si kembar pun sangat gembira, meski kehilangan sosok ayah, tapi mendapatkan banyak cinta yang tidak terduga. Ya, inilah buah kesabaran kami dan cinta yang datang terlambat. Rasanya, aku merindukan suamiku yang telah lama pergi meninggalkanku."Ma," Aqila memanggil dan langsung memelukku dari belakang.Gadis itu mengecup pundakku dan menangis, mengatakan kata maaf berulang kali dan makin mengeratkan pelukannya. Aku membelai kepalanya, dan memegang kedua tangannya. Merasakan kegelisahan yang dialaminya."Kenapa? Apa kamu enggak yakin dengan pernikahan ini?" tanyaku pa
Aku mengerjapkan mata berkali-kali, takut jika yang kulihat hanya khayalanku saja. Akan tetapi, orang itu tidak berubah sedikitpun, dia tersenyum dengan matanya yang memerah. Bukan marah, tapi seperti menahan kesedihannya yang membuat matanya seperti itu. "Ada apa, Mas?" tanyaku lirih. Radit memilih duduk menjauh, memberi ruang padaku dan Mas Attar. Aku yakin, ini pasti ada hubungannya dengan Aqilla. Membuat Mas Attar memberanikan diri datang ke rumahku, karena tidak mungkin dia akan datang dengan suka rela tanpa ada sesuatu yang mendesak. "Maaf, aku melukai anakmu lagi," ujarnya, dengan suara bergetar. Tubuhku pun ikut lemas dengan apa yang dia ucapkan, apa yang sebenarnya terjadi, sampai mereka berdua seperti ini dan kenapa Mas Attar tidak mau belajar dengan kesalahannya yang telah lalu. Terus saja menyakiti hati putri semata wayangnya. "Ada apa?" tanyaku lembut, tidak ingin merusak mood yang sudah terbangun dengan baik. "Aku meminta Aqilla menjauhi lelaki yang sedang dekat den
"Mbak?" Radit bertanya, tapi hanya menyebutku namaku saja. Sekarang semua mata menatapku, tatapan penuh tanya. Catra menuntunku untuk duduk dan memijat bahuku, mengecup ubun-ubunku penuh kasih sayang dan aku menggenggam tangannya yang masih berada di pundakku. "Ada apa, Ma?" tanya Candra lembut dan tangannya mengengam tangaku dan Catra. "Mama hanya mencicipi nasi goreng buatan Aqila, dan mama menggunakan sendok dan hanya sekali tanpa mengaduk-ngaduk," jawabku apa adanya. "Keterlaluan kakak!" Candra yang memang lebi emosian berjalan menuju kamar Aqila, mengetuk pintu itu dengan sangat kasar. Namun, Aqila tidak membukanya. Candra yang sedang terbalut emosi, terus memanggil kakaknya, berharap mendapatkan jawaban yang lebih baik dari pernyataanku. "Kenapa kakak tiba-tiba menjadi kasar?" tanya Catra, tepatnya seperti gumaman untuknya sendiri. "Mungkin kakak sedang banyak pekerjaan dan sedang kelelahan," ujarku menenangkan. Perubahan-perubahan inilah yang membuatku takut, apakah semu
Siang ini, aku berencana ke cafe untuk mencocokkan data-data yang sudah masuk ke emailku. Tidak semua cafe dapat kukontrol, hanya ada dua saja. Bukannya tidak ingin melihat semua progres cafe yang sudah berjalan, tapi keterbatasan waktu dan tempat membuatku harus tetap memperhatikan kesehatanku sendiri. Ada rasa tidak nyaman dalam tubuku dan entah itu apa, aku tidak ingin periksa ke dokter. Bukan apa-apa, aku hanya takut, jika diagnosanya tidak baik dan membuat semua menjadi khawatir padaku. Membuat peraturan-peraturan yang akan membatasi ruang gerakku."Mama mau pergi?" tanya Aqila yang baru keluar dari dalam kamarnya."Loh, kamu enggak kerja?" Aku balik bertanya padanya tanpa menjawab pertanyaannya terlebih dulu."Mama kebiasaan, ditanya malan nanya!" gerutu Aqila, dan aku hanya tersenyum mendengarnya. "Hari ini jadwalku padat untuk keluargaku, Ma. Aku berharap, mama tidak terlalu lelah. Mama terliat pucat dan lemah," Aqila memperhatikanku dari ujung kaki hingga ujung kepala.Helaan
Pagi ini begitu cerah, secerah hati dan wajah Aqilla. Suaranya yang bersenandung, dan tangannya yang cekatan mengerjakan pekerjaan rumah. Tidak ada satu pun yang diperbolehkan membantunya, dia membersihkan ruma dan membuat sarapan seorang diri. Aku tau, ini pasti karena dia telah mengetahui keberadaan ayahnya dan juga memastikan ijin yang telah kuberikan. "Mama ini teh hangatnya," ujar Aqila, dan wajanya selalu dihiasi dengan senyuman hangat. Setelah meletakkan cangkir te itu, Aqila berlalu pergi. Enta apa saja yang dia lakukan di dalam rumah, bahkan adik kembarnya langsung disuruh jogging, saat berniat membantu. Aku hanya bisa tertawa geli melihat tinkah putriku, memang cukup ajaib saat dia mengetahui keberadaan sang ayah. "Mbak, aku mau jalan pagi saja. Anakmu sepertinya memiliki tenaga samson hari ini, semuanya ingin dia kerjakan, termasuk merawat Nita. Semuanya deh!" Radit berpamitan. Aku hanya bisa mengangguk, dan menikmati udara pagi di depan teras. Melihat bunga-bunga yang b
Aqilla mendekatiku dan duduk di sampingku, menatapku dengan tatapan sayunya. Matanya sudah mulai berkaca-kaca, bibirnya bergetar tanpa suara. Aku tahu, rindunya pada Mas Attar sangatlah besar. Sejak kecil dia selalu menanyakan Hilman yang sudah dikebumikan, lalu beralih bertanya mengenai Mas Attar karena tetangga julid yang mempengaruhinya."Iya," Mau tidak mau, aku memberitau kenyataan ini pada Aqilla.Rasanya sudah lelah untuk menyembunyikan hal yang seharusnya memang diketahui oleh anak itu. Meski ada rasa tidak nyaman dalam sudut hatiku yang terdalam, tidak ingin keegoisan ini menyelimuti hati dan membuat anak-anak malah menjauhiku."Mama rela aku menemuinya?" tanya Aqilla dengan suaranya yang lirih."Kenapa kamu bertanya seperti itu pada mamamu?!" tanya Radit dengan ekspresi yang datar.Aqila menegakkan tubuhnya dan menatap ke arah pamannya dengan tatapan yang entahlah, aku pun menatap Radit dengan kesal. Bagaimana lelaki itu bisa berucap seperti itu, tapi aku tahu dia hanya meng
"Emang apa yang aku lakukan?" tanyanya dengan pongah dan menaikkan dagunya. Aku tidak menyangka, wanita ini sama dengan ibunya dulu, yang sering sekali menggangguku. Bagaimana aku bisa bertahan dengan mereka sebagai tetanggaku. "Baiklah, dari pada kita ribut dan cari pembenaran sendiri, maka lebih baik kita bawa masalah ini ke ranah hukum. Ini sudah perbuatan yang sangat tidak manusiawi, dan mengancam nyawa. Juga nanti akan ketahuan saya selingkuh dengan Radit atau tidak!" Kembali, aku menekankan setiap kata-kata yang keluar. Bisik-bisik kembali terdengar, aku bukan merasa sok atau apalah, cuma menghindari hal yang paling menakutkan dikemudian hari. Belum apa-apa, sudah ada yang berani melakukan hal keji seperti ini. Apa lagi jika aku hanya diam dan menerima semua gosip murahan yang mereka lakukan. Bisa saja mereka berbuat seenaknya. "Lebih baik kalian bubar, dan biarkan ini ditangani oleh polisi,' ujarku dengan tatapan sinis. Satu persatu mereka pergi dengan wajah pias, ini sudah
Aku dan Radit. tentu saja panik mendengar Nita yang terjatuh entah di mana dan aku yakin ini ada campur tangan orang lain, karena setahuku, Nita adalah wanita yang sangat hati-hati dalam segala hal. Tidak mungkin pula dia terjatuh karena terpleset, saat ini bukan musim hujan."Tenang, Dit. Jangan sampai kita juga ikut celak," Aku memperingatkan Radit yang mengemudi terlalu cepat. "Pasti ada yang menolongnya, tidak mungkin dia sendirian di jalan! Mbak tahu kamu khawatir, tapi kamu juga harus bisa menguasai diri kamu untuk saat ini!" imbuhku, karena Radit semakin terlihat gugup.Radit tidak menjawab pertanyaanku, atau pun melihat ke arahku. Pandangannya terlalu fokus ke depan. Hingga kami kembali ke rumah dan dengan cepat dia turun untuk mencari Nita. Aku sedikit aneh, karena melihat beberapa orang ada di teras rumah dan sebagian ada di halamn rumah. Seperti sedang membicarakan sesuatu, aku yakin ini mengenai kejadian Nita yang terjatuh."Permisi, Bu," sapaku seramah mungkin.Namun, aku
Aku menoleh ke arah radit, dan tertawa dengan sangat lepas, menertawakan pertanyaan konyol dari lelaki yang selalu ada saat aku butuhkan sejak dulu. Dia-lah adik sepupu, rasa adik kandung."Kamu tahu usia mbak berapa?" tanyaku dan Radit mengangguk. "Wanita seusiaku, tidak ada yang memikirkan untuk menikah lagi, sudah memikirkan bagaimana untuk bekal akhirat dan melihat anak-anak bahagia. Jadi buang pikiranmu yang ane itu!" ujarku dengan gelengan kepala.Tidak habis pikir, kenapa bisa ada kata-kata seperti itu yang muncul darinya. Apakah ini yang membuatnya tidak semangat hari ini. Aku tidak ingin bertanya lebih jauh padanya, takut dia malah bertanya hal-hal aneh lagi. Diam ... diam lebih baik, untuk saat ini.Sesekali aku melirik ke arah radit yang tidak nyaman dengan posisinya, apakah dia sedang sakit atau sedang menahan sesuatu. Namun, aku juga mendengar beberapa kali dia menghela napas berat, adakah kaitannya dengan pertanyaannya tentang kesendirianku. Lama-lama aku juga kesal meli