Hamzah segera masuk ke dalam pos dan menekan tombol otomatis untuk membuka gerbang. "Mari, Non. Silakan masuk," ujarnya sopan. "Terima kasih, Pak Hamzah." ucap Arunika, lalu menoleh pada Ijah yang masih berada di dalam mobil. Dia memberikan isyarat berupa gerakan tangan agar Ijah membawa mobilnya masuk. Setelah mobilnya rapi terparkir di halaman depan, Arunika menunggu Ijah untuk masuk ke bangunan utama bersama-sama. Tak disangka, di ruang tamu yang ukurannya lebih luas dari ruang tamu Abhimanyu itu, telah menunggu sesosok pria berperawakan tinggi tegap. Rambutnya gondrong sebahunya terlihat hitam mengkilap dan sedikit bergelombang. Sorot mata gelapnya tak bersahabat, garang memperhatikan Arunika dan Ijah. "Ternyata, selain durhaka, kamu juga tidak punya malu rupanya?" ejek pria berkemeja hawai yang dipadu dengan celana kargo pendek berwarna krem itu. Tampak betis kanannya penuh dengan ukiran tato. "Apa kabar, Kak Sagara?" balas Arunika lembut. Dia sama sekali tak terpancing d
Arunika tertegun mendengar ucapan Gayatri yang menurutnya keterlaluan. Ibu kandungnya itu tega mendesak Arunika agar meninggalkan pria yang dia cintai sepenuh hati.Sejenak, pandangannya tertumpu pada foto keluarga berbingkai emas dan berukuran sangat besar yang terpajang di salah satu sisi dinding ruang kerja."Seandainya ayah masih hidup, tentu aku tidak akan terlunta-lunta seperti ini." Arunika menyeka air mata yang mengalir di pipi."Kamu sendiri yang memilih untuk terlunta-lunta, Run," elak Gayatri."Ibu benar. Aku memang bodoh telah datang kemari dan meminta bantuan, sambil berharap pandangan kalian pada Mas Abhim bisa sedikit berubah. Namun ternyata aku keliru," sahut Arunika. "Keras kepala sekali kamu ini, Run!" cerca Sagara gemas."Silakan, Kak Saga boleh bicara apapun tentangku. Aku hanya berdoa, semoga suatu saat nanti, kamu akan mengalami apa yang kualami, sehingga Kas Saga dapat merasakan apa yang kurasa dengan baik. Sekarang, aku permisi dulu," pamit Arunika sebelum mem
"Kenapa kita berhenti di sini, Ev?" tanya Arunika sesaat setelah mengakhiri panggilannya. "Lapar, Kak. Saya belum sempat makan dari siang," dalih Evelyn. "Ya, ampun. Kenapa kamu tidak bilang? Harusnya tadi kita makan dulu," tutur Arunika. "Tidak apa-apa. Kebetulan ini restoran favorit saya sejak pindah ke Indonesia. Saya traktir ya, Kak," tawar Evelyn. "Eh, tidak usah. Aku saja yang traktir," tolak Arunika dengan segera. "Atau Arga saja yang traktir," sahut Evelyn tiba-tiba. "Kenapa jadi ke dia?" Arunika menatap curiga pada wanita di hadapannya itu. "Maaf sebelumnya, tapi saya menghubungi Arga supaya ikut kemari," beber Evelyn. "Apa? Bisa-bisanya!" sentak Arunika. "Baru saja kita berbaikan dan sekarang kamu malah berkhianat!" celanya. "Saya tidak pernah berkhianat, Kak. Sebelum menuduh, tolong dengar dulu penjelasanku." Evelyn tak terima jika Arunika menyebutnya demikian, dan dia tidak menutup-nutupi rasa keberatannya. Hal itu membuat Arunika terdiam. Dia menangka
"Makan dulu yang banyak. Nanti baru kuberitahu." Arga sengaja menggoda Arunika. Dia malah sibuk memanggil pelayan restoran dan memesan berbagai macam menu.Setengah jam kemudian, pesanan mereka datang. Sambil mengunyah, Arga menjelaskan banyak hal pada Arunika."Kakek Ranu adalah orang yang sangat menjaga kebugaran tubuh, rutin berolahraga dan mengonsumsi makanan sehat," terang Arga."Tapi, lama kelamaan, kesehatan Kakek Ranu menurun. Selain karena usia yang semakin tua, fisik kakek juga berubah lemah," lanjut Evelyn."Saat itu, kami sama sekali tak curiga sampai Evelyn menemukan tumpukan resep obat secara tidak sengaja," sambung Arga."Kami mengecek daftar obat yang tertulis dalam resep dan menemukan bahwa ada satu jenis obat yang sangat tidak disarankan untuk pria-pria lanjut usia," tutur Evelyn."Di situlah kecurigaan kami muncul," desis Arga."Ternyata sewaktu masih menjadi istri Kakek Ranu, Delia sering memasukkan obat tersebut ke dalam makanan. Efeknya tidak begitu terlihat, tap
"Mereka bicara apa?" tanya Arunika dengan suara bergetar. "Aku juga tidak begitu jelas mendengarnya, Kak. Yang kutangkap hanyalah sesuatu tentang menyerahkan sertifikat rumah sebagai salah satu cara untuk membayar utang Pak Abhimanyu terhadap Delia," jelas Evelyn. "Utang?" Arunika menggeleng tak mengerti. "Iya, Pak Abhimanyu tidak ingin menerima bantuan keuangan dari Delia dengan begitu saja. Dia berniat mengembalikan semua bantuan keuangan yang telah diberikan oleh Delia secara bertahap. Langkah pertamanya adalah dengan memberikan sertifikat rumah sebagai jaminan," papar Evelyn panjang lebar. "Oh, jadi benar apa yang dia jelaskan padaku dulu," gumam Arunika. "Sepertinya Pak Abhimanyu memiliki harga diri yang tinggi. Dia tidak ingin dibantu secara cuma-cuma. Dengan begitu, dia tidak perlu merasa berutang budi," ujar Evelyn. "Tetap saja aku marah, Mbak. Dia tidak mau membagi masalahnya denganku," ucap Arunika pelan. "Kak ...." Evelyn tersenyum lembut. "Jujur, awalnya aku
Tepat pukul lima pagi, Arunika terbangun. Dia spontan menoleh ke samping dan bernapas lega saat mendapati Abhimanyu masih terlelap dalam posisi tengkurap. Arunika terkikik geli. Diusapnya punggung lebar yang lengket oleh keringat itu. "Mas, sudah pagi. Mas tidak berangkat ke kantor?" tanya Arunika lembut. "Hm," gumam Abhimanyu sambil susah payah membuka kelopak matanya. "Arun? Jam berapa sekarang?" "Jam lima," jawab Arunika seraya membelai pipi sang suami. "Ah, aku tidak ada acara ke manapun. Jadwal hari ini adalah mengobati rindu bersama kamu." Tanpa aba-aba, Abhimanyu menarik tubuh Arunika mendekat, lalu memeluknya erat. "Tidur lagi, yuk," ajak Abhimanyu. Tentu saja Arunika menyambut ajakan suaminya dengan senang hati. Dia tak tahu bahwa di luar sana, Delia tengah merencanakan sesuatu. Istri kedua Abhimanyu itu keluar dari rumah secara terburu-buru. Dia sempat berpapasan dengan Masayu di ruang tengah dan menyunggingkan senyum sekilas. "Mau ke mana subuh-subuh begini,
"Bapak Ranu Wijaya adalah majikan saya dulu," ujar Evelyn, membuat Delia terbelalak. "Ra-Ranu?" Delia tergagap. "Dia adalah mendiang suamiku." "Betul sekali." Evelyn tersenyum lebar. Namun, bagi Delia, senyum itu tampak menakutkan. "Ta-tapi, aku tidak pernah melihatmu di rumah. Kamu bekerja sebagai apa? Asisten rumah tangga, atau ...." "Saya bekerja di rumah utama, sedangkan Bapak Ranu menempatkan Anda di villa," terang Evelyn, memotong kalimat Delia begitu saja. "Oh, pantas saja. Kita tidak pernah bertemu," gumam Delia seraya mundur beberapa langkah, menjauh dari Evelyn. "Lalu, pesan dari siapa yang ingin kamu sampaikan?" "Oh, itu." Evelyn kembali tersenyum. "Kemarin waktu Nyonya Besar menyuruh saya ke pasar, tanpa sengaja saya bertemu dengan anak angkat Pak Ranu. Namanya Rimba. Anda masih ingat, kan?" "Rimba?" ulang Delia. "Iya, Rimba. Pemuda yang Anda usir beberapa hari setelah berpulangnya Pak Ranu," terang Evelyn. "Jadi ... dia sekarang ada di Jakarta?" desis D
Abhimanyu dan Arunika benar-benar memanfaatkan waktu yang ada untuk bercumbu dan bercengkerama. Sedari pagi hingga menjelang siang, pasangan suami istri itu sama sekali tak turun dari ranjang. Arunika pun merasa sia-sia mandi, karena saat ini dia kembali berkeringat dan dalam keadaan tanpa sehelai benang pun. Arunika dan Abhimanyu berbaring berhadapan. Tubuh keduanya hanya ditutupi selimut. Beberapa saat lamanya mereka tak saling bicara, hanya saling tatap dengan sorot penuh cinta, sampai akhirnya Abhimanyu membuka suara terlebih dulu. "Waktunya makan siang, Run," bisik Abhimanyu lembut. "Aku lelah, Mas," sahut Arunika manja. "Kutelepon Ijah, ya. Biar dia yang membawa makan siang kemari," cetus Abhimanyu. "Ehm, aku ingin makan siang di luar," pinta Arunika. "Boleh! Mau makan siang di mana," tawar Abhimanyu. "Di mana saja. Terserah Mas Abhim. Jangan yang terlalu mahal, Mas. Ingat, kita harus irit sampai utang-utang kita pada Delia terbayar lunas," tutur Arunika. "Iya,
"Ya, ampun. Mas Abhim ...." Arunika menutup mulutnya yang terbuka dengan kedua tangan. Terharu, bahagia, sekaligus malu, bercampur menjadi satu. "Yuk, Sayang." Abhimanyu mengulurkan tangan pada Arunika. Dia membawa sang istri tercinta masuk ke dalam sebuah bangunan lima lantai yang dulu pernah mereka jadikan tempat resepsi pernikahan. "Mas masih ingat dengan hotel ini?" Arunika terkikik geli. "Mana mungkin aku lupa, Run. Dulu, kita berikrar sehidup semati sekaligus mengadakan pesta di ballroom hotel ini." Abhimanyu mencolek ujung hidung istrinya gemas. "Malam pertama juga di hotel ini," ujar Arunika malu-malu. "Kamar Suite 301," timpal Abhimanyu. "Aku sudah memesannya untuk malam ini dan besok." "Yang benar saja, Mas!" Arunika terbelalak tak percaya. "Untuk merayakan ulang tahun pernikahan kita yang tertunda, Sayang." Abhimanyu berbisik lirih, tepat di telinga Arunika. Getaran halus seakan bermuatan aliran listrik, merambat ke seluruh pembuluh darah, menciptakan sensasi luar b
Abhimanyu semakin mengeratkan genggaman di tangan istrinya saat mereka berjalan melintasi ruang tamu mewah kediaman Gayatri. Namun, langkahnya seketika terhenti ketika berpapasan dengan Arga yang baru saja masuk.Pria tampan itu seperti sudah biasa mendatangi rumah sang mertua. Terbukti dengan sikapnya yang bebas dan santai. Akan tetapi, bukan itu yang membuat Abhimanyu terkejut. Melainkan sosok wanita berpakaian rapi yang berdiri di samping Arga."Bi Ijah?" desis Abhimanyu dengan sorot tak percaya."P-pak Abhimanyu?" sahut Evelyn. Dia begitu salah tingkah ketika majikannya itu menatap dirinya penuh selidik."Sedang apa di sini?" tanya Abhimanyu curiga."Aku bisa menjelaskan, Mas," ujar Arunika lembut sembari mengusap lengan suaminya."Apa?" Abhimanyu mengalihkan perhatian pada sang istri, lalu menoleh pada Evelyn, kemudian kembali menatap Arunika. "Apa aku ketinggalan sesuatu? Atau kalian yang menyembunyikan sesuatu?" sindirnya."Bukan begitu." Arunika menghela napas panjang. Dapat d
Abhimanyu berkali-kali mengusap telapak tangannya demi menghilangkan rasa gugup yang semakin mendera. Pertemuannya yang berlangsung alot dengan RImba tadi sama sekali tak ada apa-apanya dibanidingkan detik-detik memasuki gerbang besar kediaman keluarga Hadiwinata. Perjalanannya memasuki rumah paling mewah saat itu cukup lancar. Para satpam rumah terlihat begitu hormat padanya. Mereka bahkan menawarkan untuk memarkirkan mobil Abhimanyu, sehingga pria itu dapat leluasa memasuki rumah dan menemui mertuanya di ruang kerja. Sesampainya di sana, Abhimanyu sudah disambut oleh Gayatri dan putra tertua, Sagara. Mereka memandang aneh ke arahnya, membuat Abhimanyu salah tingkah. "Se-selamat siang," sapanya. Sekilas, ekor mata pria tampan itu melirik ke arah Arunika dan Fahad yang duduk di sofa. "Selamat sore," sapa Abhimanyu sedikit gugup. "Jadi, kamu adalah anak kandung Tuan Fahad Omar Al Attas?" tanya Sagara dingin, tanpa membalas sapaan Abhimanyu. "Iya, betul. Aku juga baru tahu aka
Abhimanyu melangkah gagah menuju ruangan penyidik. Di sana, Delia sudah menunggu bersama beberapa orang pengacaranya dan seorang pria yang membuat Abhimanyu langsung terpaku."Kenalkan, Bhim. Namanya Wildan. Dia yang akan membantu kita bernegosiasi dengan pihak kepolisian," tutur Delia. "Dia kenal dengan salah satu pejabat tinggi," bisiknya tepat di telinga Abhimanyu."Oh, ya?" Abhimanyu melirik ke arah pria bernama Wildan itu, dengan sorot aneh. "Aku juga sudah menyiapkan sejumlah uang untuk mengembalikan seluruh dana yang kamu investasikan ke perusahaanku. Dengan demikian, aku tidak memiliki utang sama sekali," paparnya."Apa?" Delia terbelalak tak percaya. "Ini bukan saatnya membicarakan hal itu, Bhim!""Oh, malah ini adalah saat yang paling tepat. Dengan aku mengembalikan semuanya, aku jadi tidak perlu ikut terseret dalam kasusmu," timpal Abhimanyu."Kamu tega membiarkan aku sendirian melalui ini semua, Bhim?" tanya Delia dengan nada tinggi."Kamu tidak sendiri, kok. Ada Wildan di
"Tenang saja, Bhim. Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk meyakinkan mertuamu." Fahad Omar menepuk pundak putra kandung yang baru saja dia temukan."Baiklah, Pa. Kuserahkan semua padamu. Aku akan ke kantor polisi, menemui Delia dan menyelesaikan semua urusan," pamit Abhimanyu."Jangan lupa, tanyakan pada pihak penuntut, seberapa banyak yang mereka mau, aku akan melunasi seluruhnya," ucap Fahad.Abhimanyu sempat tertegun dan terdiam. Betapa keadaan bisa berbalik dengan begitu cepat. Kemarin dia yang membuang harga diri demi keinginan sang ibu, kini dapat tegak berdiri, menghadapi semua masalah dengan pikiran tenang, seolah kekuasaan sudah berada dalam genggamannya."Aku pergi dulu, Pa." Abhimanyu mencium punggung tangan Fahad, kemudian beralih pada Arunika. Dia mencium kening istrinya dengan penuh perasaan.Arunika dan Fahad memperhatikan langkah gagah Abhimanyu menjauh hingga menghilang di balik pintu restoran."Bagaimana? Apa kamu sudah siap?" tanya Fahad."Siap, Om." Arunika mengang
"Siapa?" tanya Arunika penasaran."Nanti kamu juga tahu sendiri." Abhimanyu tersenyum penuh arti seraya memutar kemudi. Dia melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, menuju salah satu restoran langganan di pusat kota, yang dekat dengan kantornya.Setelah memarkir kendaraan, Abhimanyu menggandeng Arunika dan menuntunnya masuk ke restoran. Langkahnya langsung tertuju pada salah satu meja yang terletak di sudut ruangan. Dia tak ragu menghampiri seorang pria paruh baya yang duduk seorang diri. Pria itu tampak asyik menggulir gawainya."Siapa dia, Mas?" bisik Arunika."Kenapa kamu tidak bertanya langsung saja padanya?" Abhimanyu malah menantang istrinya."Jangan bercanda ah, Mas!" sungut Arunika, membuat Abhimanyu tertawa renyah.Sontak, pria asing tersebut langsung mendongak. Tatapannya langsung tertuju pada Abhimanyu. "Hei, Nak! Sudah datang?" sapanya hangat dengan bahasa Indonesia yang terdengar sangat kaku."Nak?" ulang Arunika, seolah meyakinkan diri bahwa dia tak salah dengar."Oh,
"Apa-apaan kamu, Bhim!" sentak Masayu. "Ingat, kamu juga masih punya aku!" sambung Delia. "Kamu tidak bisa seenaknya pergi dari rumah tanpa memedulikan aku!""Maafkan aku yang tidak bisa tegas, Del. Seharusnya sejak awal, aku menolak ide gila ini. Sekarang, setelah datang masalah sebesar ini, aku sadar. Semakin lama aku mempertahankan hubungan tak sehat ini, semakin buruk pengaruhnya terhadap kita berdua," jelas Abhimanyu panjang lebar."Apa maksudnya, Bhim? Apa yang akan kamu lakukan?" cecar Delia panik."Setelah permasalahan ini beres, aku akan menceraikanmu. Aku juga sudah siap mengembalikan seratus persen dana yang sudah kamu gelontorkan ke perusahaan," lanjut Abhimanyu."Bhim, jangan ngawur!" Masayu mulai histeris. Namun, Abhimanyu tetap pada pendiriannya. Dia mengangkat tangan sebagai isyarat agar ibunya berhenti berbicara."Sekali ini saja. Kumohon, supaya Mama mempercayai keputusanku. Percayalah, Ma. Tidak akan ada yang mengolok-olok kita, mencaci apalagi menghina. Dan kupas
"Tadi malam kan aku sudah berpamitan, Ma," sahut Delia ketus."Pesta macam apa yang berlangsung semalam suntuk? Arunika saja, selama menikah dengan Abhim, tidak pernah bertingkah macam-macam!" hardik Masayu."Aku bukan Arunika! Aku juga tidak sudi disamakan dengannya!" balas Delia. Dia tak memiliki keraguan sama sekali saat membentak Masayu."Ada apa ini?" seru Abhimanyu yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Delia. "Kenapa kamu berkata kasar terhadap Mama?"Delia tersentak. Dia sama sekali tak menyangka jika Abhimanyu memergoki secara langsung tindakannya yang tak terpuji."A-aku tidak bermaksud, Bhim. Ma-mama dan aku hanya saling salah paham," kilah Delia terbata."Kesalahpahaman apa yang bisa membuatmu bersikap kurang ajar pada Mama?" geram Abhimanyu dengan tangan terkepal erat."Sudah, Bhim. Delia benar. Dia tidak serius berkata seperti tadi. Mama sama sekali tak ada masalah, kok," sela Masayu, berusaha menengahi."Apa?" desis Abhimanyu. Dia tak mengira bahwa sang ibu akan bersi
Masayu berniat keluar dari kamar Delia secara diam-diam. Akan tetapi, rencananya tak berhasil. Arunika malah memergoki ulahnya. "Mama? Sedang apa di sini?" tanya Arunika curiga. "Kamu sendiri? Sedang apa di sini?" Masayu balik bertanya. Dia tak mampu menyembunyikan rasa gugupnya. "Mas Abhim meminta saya untuk mengambil minyak kayu putih," jelas Arunika. "Kenapa dia?" "Sepertinya masuk angin," jawab Arunika lembut seraya menggeser tubuh, melewati Masayu. Setelah beberapa langkah, dia tiba-tiba berbalik ke arah Masayu yang masih terpaku. "Mama sedang apa di sini?" tanya Arunika. "A-aku ... ta-tadi ...." Masayu terbata, seakan kehilangan kemampuan bicara. "Mama juga melihat Delia pergi dari rumah?" terka Arunika. "I-iya. Di bawah," jawab Masayu gugup. "Mas Abhim juga melihatnya dari balkon," beber Arunika. "Lantas, kenapa dia tidak mencegah Delia? Kamu juga kenapa diam saja? Sebenarnya kamu paham tidak sih, situasi yang kita hadapi sekarang!" cerca Masayu. "Kenapa