"Memangnya Bu Arun punya saudara di Bandung?" Ijah tampak semakin gelisah."Aku sudah tidak punya saudara, Mbak. Mereka semua membuangku. Cuma Ayah yang pada akhirnya ikhlas menerima pernikahanku dengan Mas Abhim. Itupun secara diam-diam," ungkap Arunika dengan sorot sendu."Sekarang Ayah sudah tiada. Tak ada lagi yang mendukungku." Sebulir air mata lolos di pipi Arunika. Buru-buru dia menyekanya lalu tersenyum dan menoleh kepada Ijah."Aku hanya punya Mas Abhim, Mbak," ucap Arunika lirih."Bu Arun ...." Ijah dapat merasakan kesedihan itu. Matanya turut berkaca-kaca. Wanita berambut pendek sedikit bergelombang itu memberanikan diri untuk mengusap lembut pundak sang majikan, berharap dapat menenangkannya walaupun sedikit."Tapi, sekarang pernikahan kami menjadi seperti ini." Tangis Arunika semakin kencang. Dia terisak sampai bahunya berguncang."Bu, sebaiknya menepi dulu. Bahaya kalau berkendara dalam keadaan seperti ini," tutur Ijah. "Apa biar saya yang menyetir?"Sambil mengusap sudu
"Apa yang sudah mas Abhim lakukan?" pancing Arunika sambil memandang dengan sorot selidik pada sang suami. "Apapun akan kulakukan supaya bisa menjemputmu pulang," jawab Abhimanyu penuh teka-teki. "Jadi, sampai kapan kamu akan membiarkanku berdiri di sini?" "Siapa suruh Mas Abhim ke sini. Tolong, pulanglah dan jangan membuatku berada dalam masalah," usir Arunika. "Dengan kamu pergi tanpa pamit begini, kamu sudah membuat masalah, Run! Paham, tidak?" hardik Abhimanyu. "Jangan seperti anak kecil begini. Kita bisa membicarakan semuanya secara baik-baik di rumah kita sendiri. Tak perlu pergi jauh-jauh ke Bandung," imbuhnya. "Itu rumah Mas Abhim, bukan rumah kita. Mungkin sebentar lagi malah jadi rumah Delia," cibir Arunika. Sontak, Abhimanyu mencekal lengan sang istri, lalu mendorongnya masuk. Dia menutup pintu menggunakan kaki dan menghempaskan tubuh ramping Arunika ke dinding. "Aku kemari, selain untuk menjemputmu pulang, juga karena ingin menjelaskan semuanya supaya kamu tidak
Malam yang sejuk dan berangin di Kota Bandung, menambah suasana romantis dalam kamar hotel yang disewa oleh Abhimanyu. Candaan, obrolan ringan serta desahan, bercampur menjadi satu. Dua sejoli itu memadu kasih, bercinta lalu mengakhirinya dengan percakapan. Percakapan itu menjadi semakin panas, sehingga mereka kembali mengulangi percintaan. Hal itu terus berlangsung sampai jarum jam menunjukkan pukul tiga dini hari. "Ya, ampun. Kita tidak tidur sama sekali." Abhimanyu tertawa geli. Lain halnya dengan Arunika yang tampak murung. "Setelah sampai rumah nanti, kita tidak bisa saling bertemu lagi sampai beberapa minggu ke depan," ucapnya lesu. "Aku masih bisa menghubungimu secara diam-diam, Run. Jangan khawatir," hibur Abhimanyu. "Tetap saja aku tidak bisa menyentuh Mas Abhim secara langsung." Arunika cemberut. Wajahnya terlihat begitu menggemaskan, membuat Abhimanyu tak dapat menahan diri. Dia melumat habis bibir ranum kemerahan itu sampai puas. "Ehm, Mas," desah Arunika seraya m
"Enak tidak, Bhim?" tanya Delia dengan suara menggoda. Tangannya luwes memijit pundak Abhimanyu yang tengah berendam di bathup. Posisi Delia saat itu berada di belakang Abhimanyu, menghadap punggung lebar suaminya. "Hm." Hanya satu kata itu yang dilontarkan oleh Abhimanyu. "Capek, ya? Semalaman mencari Mbak Arun," celoteh Delia. "Rasa lelahku hilang saat berhasil menemukan Arun dan membawanya pulang." Kali ini, jawaban Abhimanyu lebih panjang, tapi nadanya tetap terdengar dingin. "Senangnya merasa dicintai seperti itu," gumam Delia yang tak dapat menyembunyikan rasa cemburunya. "Kamu dulu juga pernah kuperlakukan seperti seorang ratu. Tapi, apa balasannya? Kamu malah membuangku begitu saja," timpal Abhimanyu datar. "Jadi, kamu masih belum memaafkan kesalahanku yang satu itu, Bhim?" tanya Delia. "Aku sudah memaafkan, tapi tidak melupakan," tegas Abhimanyu. "Aku minta kamu memperlakukank
"Kamu baik-baik saja kan, Run?" tanya Abhimanyu lembut dari seberang sana. "Aku baik, Mas." Arunika yang tadinya hendak turun untuk makan malam, segera mengurungkan niatnya. Dia memilih duduk di kursi balkon dan mendengarkan suara berat Abhimanyu yang tengah mengucap syukur. "Bagaimana bulan madunya? Seru?" tanya Arunika. "Sungai Thames indah sekali, Run. Lebar dan bagus. Kapan-kapan, aku akan mengajakmu ke tempat ini. Hanya kita berdua," ujar Abhimanyu. "Apa bisa, Mas?" sahut Arunika ragu. "Kita harus optimis, Run. Yakinlah bahwa semua masalah ini akan segera berlalu," hibur Abhimanyu. "Semoga," desah Arunika. "Bagaimana sakit kepalamu?" Abhimanyu mengalihkan pembicaraan. "Aku tidak apa-apa, Mas. Sudah tiga hari ini, sakit kepalaku hilang sama sekali," jawab Arunika.
Arunika tak segera menjawab. Rasanya begitu berat saat harus membalas sapaan sang adik madu. "Ada apa, Delia?" ucap Arunika pada akhirnya. "Tidak apa-apa. Aku hanya ingin memastikan apakah Mama Masayu sudah menyampaikan pesanku," tutur Delia. "Oh, tentang suamiku yang tidak boleh menghubungi istrinya sendiri itu, ya?" cibir Arunika. "Ya, dan kuharap juga sebaliknya. Mbak Arun jangan mengganggu dulu bulan madu kami," jawab Delia percaya diri. "Luar biasa." Arunika berdecak kesal. "Bukan begitu. Aku ingin sedikit keadilan saja. Akan ada waktunya Abhim bersama Mbak Arun. Tapi itu nanti, sekarang giliranku," tegas Delia. "Nanti? Kemarin-kemarin saja, setiap kali Mas Abhim berduaan denganku, kamu juga keberatan. Sepertinya memang kamu berusaha menjauhkanku dari suamiku," tuding Arunika. Mendengar hal itu, Delia malah tertawa. "Jadi, Mbak Arun sudah bisa merasakannya?" "Jadi, benar? Kamu ingin menjauhkanku dari Mas Abhim?" geram Arunika. "Anggap saja itu konsekuensi karena Mbak tela
Hamzah segera masuk ke dalam pos dan menekan tombol otomatis untuk membuka gerbang. "Mari, Non. Silakan masuk," ujarnya sopan. "Terima kasih, Pak Hamzah." ucap Arunika, lalu menoleh pada Ijah yang masih berada di dalam mobil. Dia memberikan isyarat berupa gerakan tangan agar Ijah membawa mobilnya masuk. Setelah mobilnya rapi terparkir di halaman depan, Arunika menunggu Ijah untuk masuk ke bangunan utama bersama-sama. Tak disangka, di ruang tamu yang ukurannya lebih luas dari ruang tamu Abhimanyu itu, telah menunggu sesosok pria berperawakan tinggi tegap. Rambutnya gondrong sebahunya terlihat hitam mengkilap dan sedikit bergelombang. Sorot mata gelapnya tak bersahabat, garang memperhatikan Arunika dan Ijah. "Ternyata, selain durhaka, kamu juga tidak punya malu rupanya?" ejek pria berkemeja hawai yang dipadu dengan celana kargo pendek berwarna krem itu. Tampak betis kanannya penuh dengan ukiran tato. "Apa kabar, Kak Sagara?" balas Arunika lembut. Dia sama sekali tak terpancing d
Arunika tertegun mendengar ucapan Gayatri yang menurutnya keterlaluan. Ibu kandungnya itu tega mendesak Arunika agar meninggalkan pria yang dia cintai sepenuh hati.Sejenak, pandangannya tertumpu pada foto keluarga berbingkai emas dan berukuran sangat besar yang terpajang di salah satu sisi dinding ruang kerja."Seandainya ayah masih hidup, tentu aku tidak akan terlunta-lunta seperti ini." Arunika menyeka air mata yang mengalir di pipi."Kamu sendiri yang memilih untuk terlunta-lunta, Run," elak Gayatri."Ibu benar. Aku memang bodoh telah datang kemari dan meminta bantuan, sambil berharap pandangan kalian pada Mas Abhim bisa sedikit berubah. Namun ternyata aku keliru," sahut Arunika. "Keras kepala sekali kamu ini, Run!" cerca Sagara gemas."Silakan, Kak Saga boleh bicara apapun tentangku. Aku hanya berdoa, semoga suatu saat nanti, kamu akan mengalami apa yang kualami, sehingga Kas Saga dapat merasakan apa yang kurasa dengan baik. Sekarang, aku permisi dulu," pamit Arunika sebelum mem
"Ya, ampun. Mas Abhim ...." Arunika menutup mulutnya yang terbuka dengan kedua tangan. Terharu, bahagia, sekaligus malu, bercampur menjadi satu. "Yuk, Sayang." Abhimanyu mengulurkan tangan pada Arunika. Dia membawa sang istri tercinta masuk ke dalam sebuah bangunan lima lantai yang dulu pernah mereka jadikan tempat resepsi pernikahan. "Mas masih ingat dengan hotel ini?" Arunika terkikik geli. "Mana mungkin aku lupa, Run. Dulu, kita berikrar sehidup semati sekaligus mengadakan pesta di ballroom hotel ini." Abhimanyu mencolek ujung hidung istrinya gemas. "Malam pertama juga di hotel ini," ujar Arunika malu-malu. "Kamar Suite 301," timpal Abhimanyu. "Aku sudah memesannya untuk malam ini dan besok." "Yang benar saja, Mas!" Arunika terbelalak tak percaya. "Untuk merayakan ulang tahun pernikahan kita yang tertunda, Sayang." Abhimanyu berbisik lirih, tepat di telinga Arunika. Getaran halus seakan bermuatan aliran listrik, merambat ke seluruh pembuluh darah, menciptakan sensasi luar b
Abhimanyu semakin mengeratkan genggaman di tangan istrinya saat mereka berjalan melintasi ruang tamu mewah kediaman Gayatri. Namun, langkahnya seketika terhenti ketika berpapasan dengan Arga yang baru saja masuk.Pria tampan itu seperti sudah biasa mendatangi rumah sang mertua. Terbukti dengan sikapnya yang bebas dan santai. Akan tetapi, bukan itu yang membuat Abhimanyu terkejut. Melainkan sosok wanita berpakaian rapi yang berdiri di samping Arga."Bi Ijah?" desis Abhimanyu dengan sorot tak percaya."P-pak Abhimanyu?" sahut Evelyn. Dia begitu salah tingkah ketika majikannya itu menatap dirinya penuh selidik."Sedang apa di sini?" tanya Abhimanyu curiga."Aku bisa menjelaskan, Mas," ujar Arunika lembut sembari mengusap lengan suaminya."Apa?" Abhimanyu mengalihkan perhatian pada sang istri, lalu menoleh pada Evelyn, kemudian kembali menatap Arunika. "Apa aku ketinggalan sesuatu? Atau kalian yang menyembunyikan sesuatu?" sindirnya."Bukan begitu." Arunika menghela napas panjang. Dapat d
Abhimanyu berkali-kali mengusap telapak tangannya demi menghilangkan rasa gugup yang semakin mendera. Pertemuannya yang berlangsung alot dengan RImba tadi sama sekali tak ada apa-apanya dibanidingkan detik-detik memasuki gerbang besar kediaman keluarga Hadiwinata. Perjalanannya memasuki rumah paling mewah saat itu cukup lancar. Para satpam rumah terlihat begitu hormat padanya. Mereka bahkan menawarkan untuk memarkirkan mobil Abhimanyu, sehingga pria itu dapat leluasa memasuki rumah dan menemui mertuanya di ruang kerja. Sesampainya di sana, Abhimanyu sudah disambut oleh Gayatri dan putra tertua, Sagara. Mereka memandang aneh ke arahnya, membuat Abhimanyu salah tingkah. "Se-selamat siang," sapanya. Sekilas, ekor mata pria tampan itu melirik ke arah Arunika dan Fahad yang duduk di sofa. "Selamat sore," sapa Abhimanyu sedikit gugup. "Jadi, kamu adalah anak kandung Tuan Fahad Omar Al Attas?" tanya Sagara dingin, tanpa membalas sapaan Abhimanyu. "Iya, betul. Aku juga baru tahu aka
Abhimanyu melangkah gagah menuju ruangan penyidik. Di sana, Delia sudah menunggu bersama beberapa orang pengacaranya dan seorang pria yang membuat Abhimanyu langsung terpaku."Kenalkan, Bhim. Namanya Wildan. Dia yang akan membantu kita bernegosiasi dengan pihak kepolisian," tutur Delia. "Dia kenal dengan salah satu pejabat tinggi," bisiknya tepat di telinga Abhimanyu."Oh, ya?" Abhimanyu melirik ke arah pria bernama Wildan itu, dengan sorot aneh. "Aku juga sudah menyiapkan sejumlah uang untuk mengembalikan seluruh dana yang kamu investasikan ke perusahaanku. Dengan demikian, aku tidak memiliki utang sama sekali," paparnya."Apa?" Delia terbelalak tak percaya. "Ini bukan saatnya membicarakan hal itu, Bhim!""Oh, malah ini adalah saat yang paling tepat. Dengan aku mengembalikan semuanya, aku jadi tidak perlu ikut terseret dalam kasusmu," timpal Abhimanyu."Kamu tega membiarkan aku sendirian melalui ini semua, Bhim?" tanya Delia dengan nada tinggi."Kamu tidak sendiri, kok. Ada Wildan di
"Tenang saja, Bhim. Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk meyakinkan mertuamu." Fahad Omar menepuk pundak putra kandung yang baru saja dia temukan."Baiklah, Pa. Kuserahkan semua padamu. Aku akan ke kantor polisi, menemui Delia dan menyelesaikan semua urusan," pamit Abhimanyu."Jangan lupa, tanyakan pada pihak penuntut, seberapa banyak yang mereka mau, aku akan melunasi seluruhnya," ucap Fahad.Abhimanyu sempat tertegun dan terdiam. Betapa keadaan bisa berbalik dengan begitu cepat. Kemarin dia yang membuang harga diri demi keinginan sang ibu, kini dapat tegak berdiri, menghadapi semua masalah dengan pikiran tenang, seolah kekuasaan sudah berada dalam genggamannya."Aku pergi dulu, Pa." Abhimanyu mencium punggung tangan Fahad, kemudian beralih pada Arunika. Dia mencium kening istrinya dengan penuh perasaan.Arunika dan Fahad memperhatikan langkah gagah Abhimanyu menjauh hingga menghilang di balik pintu restoran."Bagaimana? Apa kamu sudah siap?" tanya Fahad."Siap, Om." Arunika mengang
"Siapa?" tanya Arunika penasaran."Nanti kamu juga tahu sendiri." Abhimanyu tersenyum penuh arti seraya memutar kemudi. Dia melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, menuju salah satu restoran langganan di pusat kota, yang dekat dengan kantornya.Setelah memarkir kendaraan, Abhimanyu menggandeng Arunika dan menuntunnya masuk ke restoran. Langkahnya langsung tertuju pada salah satu meja yang terletak di sudut ruangan. Dia tak ragu menghampiri seorang pria paruh baya yang duduk seorang diri. Pria itu tampak asyik menggulir gawainya."Siapa dia, Mas?" bisik Arunika."Kenapa kamu tidak bertanya langsung saja padanya?" Abhimanyu malah menantang istrinya."Jangan bercanda ah, Mas!" sungut Arunika, membuat Abhimanyu tertawa renyah.Sontak, pria asing tersebut langsung mendongak. Tatapannya langsung tertuju pada Abhimanyu. "Hei, Nak! Sudah datang?" sapanya hangat dengan bahasa Indonesia yang terdengar sangat kaku."Nak?" ulang Arunika, seolah meyakinkan diri bahwa dia tak salah dengar."Oh,
"Apa-apaan kamu, Bhim!" sentak Masayu. "Ingat, kamu juga masih punya aku!" sambung Delia. "Kamu tidak bisa seenaknya pergi dari rumah tanpa memedulikan aku!""Maafkan aku yang tidak bisa tegas, Del. Seharusnya sejak awal, aku menolak ide gila ini. Sekarang, setelah datang masalah sebesar ini, aku sadar. Semakin lama aku mempertahankan hubungan tak sehat ini, semakin buruk pengaruhnya terhadap kita berdua," jelas Abhimanyu panjang lebar."Apa maksudnya, Bhim? Apa yang akan kamu lakukan?" cecar Delia panik."Setelah permasalahan ini beres, aku akan menceraikanmu. Aku juga sudah siap mengembalikan seratus persen dana yang sudah kamu gelontorkan ke perusahaan," lanjut Abhimanyu."Bhim, jangan ngawur!" Masayu mulai histeris. Namun, Abhimanyu tetap pada pendiriannya. Dia mengangkat tangan sebagai isyarat agar ibunya berhenti berbicara."Sekali ini saja. Kumohon, supaya Mama mempercayai keputusanku. Percayalah, Ma. Tidak akan ada yang mengolok-olok kita, mencaci apalagi menghina. Dan kupas
"Tadi malam kan aku sudah berpamitan, Ma," sahut Delia ketus."Pesta macam apa yang berlangsung semalam suntuk? Arunika saja, selama menikah dengan Abhim, tidak pernah bertingkah macam-macam!" hardik Masayu."Aku bukan Arunika! Aku juga tidak sudi disamakan dengannya!" balas Delia. Dia tak memiliki keraguan sama sekali saat membentak Masayu."Ada apa ini?" seru Abhimanyu yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Delia. "Kenapa kamu berkata kasar terhadap Mama?"Delia tersentak. Dia sama sekali tak menyangka jika Abhimanyu memergoki secara langsung tindakannya yang tak terpuji."A-aku tidak bermaksud, Bhim. Ma-mama dan aku hanya saling salah paham," kilah Delia terbata."Kesalahpahaman apa yang bisa membuatmu bersikap kurang ajar pada Mama?" geram Abhimanyu dengan tangan terkepal erat."Sudah, Bhim. Delia benar. Dia tidak serius berkata seperti tadi. Mama sama sekali tak ada masalah, kok," sela Masayu, berusaha menengahi."Apa?" desis Abhimanyu. Dia tak mengira bahwa sang ibu akan bersi
Masayu berniat keluar dari kamar Delia secara diam-diam. Akan tetapi, rencananya tak berhasil. Arunika malah memergoki ulahnya. "Mama? Sedang apa di sini?" tanya Arunika curiga. "Kamu sendiri? Sedang apa di sini?" Masayu balik bertanya. Dia tak mampu menyembunyikan rasa gugupnya. "Mas Abhim meminta saya untuk mengambil minyak kayu putih," jelas Arunika. "Kenapa dia?" "Sepertinya masuk angin," jawab Arunika lembut seraya menggeser tubuh, melewati Masayu. Setelah beberapa langkah, dia tiba-tiba berbalik ke arah Masayu yang masih terpaku. "Mama sedang apa di sini?" tanya Arunika. "A-aku ... ta-tadi ...." Masayu terbata, seakan kehilangan kemampuan bicara. "Mama juga melihat Delia pergi dari rumah?" terka Arunika. "I-iya. Di bawah," jawab Masayu gugup. "Mas Abhim juga melihatnya dari balkon," beber Arunika. "Lantas, kenapa dia tidak mencegah Delia? Kamu juga kenapa diam saja? Sebenarnya kamu paham tidak sih, situasi yang kita hadapi sekarang!" cerca Masayu. "Kenapa