"Apa kamu sudah gila?!" bentak Billy."T-Tuan ... itu ..." Hilman menunjuk sesuatu di depannya.Dua pasang mata di kursi belakang mobil mengintip arah yang ditunjuk jari Hilman. Amarah kedua Volker itu menguap begitu mendapati sebuah tubuh tergeletak di depan mobil sedan mewah yang dinaiki mereka."Sial! Matamu di mana, hah? Bisa-bisanya menabrak orang!" maki Billy."Bagaimana ini, Tuan?" Hilman sangat takut karena melihat darah yang keluar dari tubuh orang itu."Panggil ambulance sekarang!" perintah Eric."Nggak! Jangan!"Billy keluar dari mobil dan mendekati orang itu. Kalau saja mereka tidak menabrak seseorang, Eric pasti sudah meninggalkan Billy sendiri di jalanan.Billy mengguncang tubuh yang tergeletak lemas itu menggunakan kakinya. Kemudian, melambaikan tangan memanggil orang-orang yang masih membeku di dalam mobil setelah memastikan orang itu masih hidup.Wajah Eric pucat pasi melihat orang berlumuran darah di bawah kaki Billy. Meskipun bukan ia yang menabraknya, tetapi itu tet
Di pagi yang tidak begitu cerah karena matahari belum muncul sepenuhnya ...Saat tahu tentang penolakan keluarga Yuna kemarin, orang tua Eric langsung terbang menuju Sukamaya secepatnya. Diana sampai di Istana Volker bersama dengan Yudha pagi-pagi buta. Mereka tidak repot-repot menyapa pemilik rumah lebih dulu dan langsung menuju ke kamar Eric. Setiap anggota Volker, meskipun tidak tinggal di kota itu, mereka memiliki kamar masing-masing. Tidak sulit bagi mereka untuk mencari Eric yang rupanya masih meringkuk tidur di balik selimut tebal."Bangun, Ric!" bentak Diana."Hmm?" Eric menggeliat dan mengerjapkan mata. "Mama? Kalian kenapa ada di sini?""Buat apa lagi? Melamar calon menantuku! Kamu ini cuma melamar saja sampai ditolak! Malu-maluin mama saja!""Ini masih pagi, Ma. Jangan teriak-teriak.""Bangun sekarang juga lalu bersiap. Kita ke rumah Yuna tiga puluh menit lagi," tegas Yudha.Eric melirik jarum yang yang masih menunjuk pukul enam pagi. "Sekarang?""Kapan lagi? Jam sembilan
Bagaimana Diana tidak marah? Eric adalah anak kebanggaan Diana. Dan Herman dengan entengnya menyebut Eric tengik dan tidak tahu malu! "Aww!!" pekik Herman. Ujung runcing sepatu Diana mengenai bagian belakang kepala ayah Yuna. Herman memungut sepatu itu dan menggenggamnya erat. Andaikan bukan wanita yang melemparnya, ia pasti akan membalas."Apa yang Anda lakukan?" geram Herman."Berani-beraninya kamu menghina anakku!""Ada yang salah? Dia memang nggak tahu malu. Sudah bikin anak orang sengsara, masih juga datang mengganggu!""Ayah ... Kak Eric nggak pernah menggangguku," ujar Yuna."Mama juga jangan emosi. Kita ke sini bukan mau berkelahi." Eric juga berusaha menenangkan Diana.Namun, kedua orang tua itu tidak menyurutkan tatapan yang sama-sama mengancam. Mereka justru terlihat siap berkelahi seandainya Yuna dan Eric tidak memegangi mereka."Ehem, mari kita bicarakan baik-baik di dalam," kata Yudha."Siapa yang bilang kalian boleh masuk?!" hardik Herman."Ayah!""Saya sudah tahu mak
"Kak! Jangan nakal, ya, tangannya!"Yuna menampik tangan Eric yang sudah bermain-main di pangkal pahanya. Eric tidak menyerah hanya karena tepukan ringan itu. Ia semakin dalam menjejalkan dua jemarinya ke dalam."Ka ... ahhk ...""Mau tahu rencana cadangannya?""Iya ... tapi ... berhenti dulu."Mulutnya saja minta berhenti, tapi dirinya sendiri menikmati. Tangannya pun ikut membantu menurunkan deretan gerigi penutup celana Eric.Sesuatu yang sesak itu terlepas dan berdiri dengan gagahnya. Namun, ia tidak mau berlama-lama di luar ruangan. Eric langsung memasukkan ke sarangnya. Hingga sang pemilik sarang memekik kencang."Shhh ... Jangan berisik, Baby."Eric memasukkan jemarinya ke mulut Yuna. Mulut atas dan bawah Yuna sibuk menggigit Eric dengan kuat. Sementara Eric hanya diam saja menikmati aksi kekasihnya. Dua tangannya memegangi pinggiran gazebo untuk menahan berat badannya sendiri dan Yuna yang bergerak sesuka hati."Ric!!" teriak Diana dari kejauhan."Sial!" umpat Eric.Bukannya b
Setelah memberikan obat pereda sakit kepala untuk Diana, Herman kembali mencari Yuna. Dan yang dicari rupanya masih duduk di tepi ranjang di kamarnya sembari mengeringkan rambut."Kamu habis mandi? Pantas saja ayah cari ke mana-mana nggak ada. Terus Eric kamu taruh di mana?""Ayah! Memangnya Kak Eric barang, masa ditaruh-taruh! Dia ada di kamar tamu pinjam kamar mandi."Herman memicingkan mata curiga. "Kalian habis ngapain tadi? Kamu juga tiba-tiba keramas.""I-itu tadi ... tadi kita jalan-jalan di belakang malah kejatuhan kotoran burung." Entahlah, pikiran Yuna buntu sampai menjawab sedapatnya. Walaupun memang Yuna baru saja kena kotoran burung, tapi burung yang lain. Meskipun Herman masih curiga, namun ayahnya tidak mau memperpanjang masalah. Ia tampak sedang memikirkan sesuatu yang lebih besar."Kenapa, Ayah?"Herman duduk di sebelah Yuna. Ia meneliti putrinya lekat-lekat seolah mencari sesuatu di dalam sorot matanya yang cerah."Ayah setuju kamu menikah dengan Eric. Tapi, apa ka
Setelah lamaran singkat itu, Eric dan orang tuanya kembali ke Kota Jawara. Eric hanya pulang untuk mengurusi pemindahan kantornya ke Kota Sukamaya. Mengambil beberapa barang-barang yang diperlukan dan semua pakaian Yuna yang masih tertinggal di apartemennya.Diana terpaksa mengambil alih kepemimpinan Eric di anak cabang Volker Corp. Yang artinya, menggagalkan pula rencana bulan madu keduanya. Andai saja anak sulung mereka dapat diandalkan, ia tidak akan kerepotan ditinggal si bungsu. "Ma, semua barangku di kantor sudah dikirim. Aku mau pulang dulu.""Ingat, Eric, jangan membicarakan masalah Aldo di depan Emilia. Akhir-akhir ini dia nggak mencari-cari Aldo lagi. Dia lebih khawatir kalau kamu masih berhubungan dengan Yuna.""Baik, Mama. Maaf, ya, kalau Mama jadi kerepotan begini.""Tch, sudah biasa kalian berdua merepotkanku."Eric mengecup kening Diana dengan singkat. Diana tercengang oleh perbuatan anaknya itu. Sebab, sudah dua puluh tahun sejak Diana mendapat kecupan atau pelukan da
Eric lega mendengar suara kendaraan di luar. Ia sudah keringat dingin mencari-cari alasan di kepalanya agar Emilia tidak ikut dengannya. Tetapi, mengingat bagaimana Emilia sangat mengenalnya dan dengan sifat curiga yang berlebihan, Eric takut jika kebohongannya segera terbongkar."Tunggu apa lagi, Ric? Malah bengong? Ayo, berangkat!""Pamitan sama mama dan papa dulu, Kak. Aku bisa dimarahi kalau mengajak Kak Emil tanpa izin.""Tch, merepotkan sekali," gerutu Emilia seraya berkacak pinggang.Pintu depan dibuka. Diana dan Yudha yang tadinya tertawa-tawa bersama sambil berangkulan mendadak kehilangan senyuman. Diana bertanya pada Eric apa yang terjadi menggunakan matanya. Sedangkan Eric menjawab dengan mengangkat kedua bahunya."Kamu mau ke mana, Emil?" tanya Yudha berhati-hati."Mau ikut Eric lah ... Eric mau pindah ke luar kota. Aku nggak mau ditinggal sendirian di sini dengan kalian berdua yang jelas-jelas nggak pernah menganggapku anak," ketus Emilia."Eric ke luar kota untuk bekerj
"Bangun dan bicaralah. Kalau tidak, aku akan menuntutmu karena membuat mobil sepupuku lecet dan hampir membuat kami semua dalam bahaya," ucap Billy.Gadis itu pun akhirnya berbalik. Bibirnya yang kering hendak mengucap sesuatu, namun tidak ada yang terdengar dari mulutnya."Aku ... haus ..." ucap gadis itu susah payah."Ambil sendiri minumanmu."Billy menunjuk gelas yang berisi air di atas nakas. Mana mungkin ia mau mengambilkan minuman untuk sembarang orang. Dengan tangannya yang gemetaran karena retak tulang, gadis itu pun mengambil gelas dan menyesapnya perlahan. Sesekali matanya melirik kepada Billy yang masih menatapnya tanpa berkedip sekali pun."Nah, sekarang sudah bisa bicara 'kan?"Gadis itu mengangguk. "S-saya tidak sengaja. Maaf."Billy mengambil ponselnya lalu memutar video yang ia ambil dari kamera dashboard mobil Eric. Malam itu, Hilman rupanya tidak menabrak si gadis. Hilman berhenti tepat ketika gadis itu terjatuh di depan mobilnya. Dan bisa dipastikan jika luka si g
"Buat apa kamu ke sini? Mau mengganggu Yuna lagi, hah?" bentak Diana sambil berkacak pinggang menghalangi pintu rumah."Bukan, Ma. Saya bukan mau bertemu Yuna.""Ma? Jangan memanggilku seolah-olah kamu itu anakku!" cerca Diana. Mata Diana melotot tajam kepada Aldo."Maaf, Bu- Nyonya. Saya mau bertemu dengan Pak Herman, sekalian Anda," kata Aldo sopan.Herman yang mendengar suara kencang besannya pun keluar dari dalam kamar. "Ada apa?" Ia memicingkan mata ke arah Aldo."Boleh saya bicara sebentar dengan Anda? Lima menit saja," pinta Aldo.Herman akhirnya mengizinkan Aldo masuk. Meskipun Diana masih menggerutu terus-menerus. Bahkan, ketika Bi Jumi mau menyiapkan minuman, Diana dengan tegas melarangnya.Yudha dan Eric datang setelahnya. Mereka ikut duduk karena ingin tahu apa yang akan Aldo katakan."Bapak mungkin sudah tahu siapa saya," kata Aldo kepada Herman."Ya, saya tahu," jawab Herman datar.Aldo tiba-tiba bersimpuh di depan kaki Herman. Namun, Herman langsung mencegahnya. Aldo te
"Nggak mau," tolak Eric sambil menggeleng-geleng tidak percaya dengan permintaan aneh sepupunya."Kembalilah ke kota, Kak. Kamu bisa kembali menjadi Presiden Direktur Volker Corp. Aku cuma mau Yuriana, nggak ingin kekuasan yang seharusnya jadi hakmu," lanjutnya.Billy mendesah lelah. "Kamu pulang besok. Sekarang sudah hampir malam. Dan Yuriana pergi pakai jalur laut, jangan naik helikopter, suaranya berisik.""Baik, Kak. Berikan dulu Yuriana. Aku ingin menggendongnya."Billy menyerahkan Yuriana setelah bayi itu puas meminum susunya dan Eric selesai mencuci tangan. Eric langsung memeluk erat Yuriana ke dalam pelukan.Tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata bagaimana lega dan bahagia dirinya sekarang. Sampai air mata haru meleleh di pipinya. Eric juga tidak bisa berhenti menciumi seluruh wajah Yuriana.Billy menghela napas, lalu berdecak-decak masuk ke dalam rumah. Entah sudah berapa kali, sejak kedatangan Eric menjemput Yuriana, Billy selalu menghela napas. Suasana hatinya jadi memburuk
"Kita bicarakan masalah ini nanti, setelah Yuriana pulang."Eric tentunya senang oleh permintaan maaf Yuna, tetapi ia masih ingin mengamati perubahan Yuna. Eric tidak ingin lagi ada masalah di kemudian hari dengan persoalan yang sama. Cukup sekali Eric merasakan kesal, marah, dan sedih karena tidak dipercaya dan tidak dihargai istrinya sendiri. Bagaimanapun juga, semua yang ia lakukan demi masa depan keluarganya. "Baiklah. Lalu, berapa lama Mas Eric pergi?""Belum tahu. Aku berangkat dulu, ya. Jangan lemah, Yuna. Kamu sudah menjadi ibu sekarang. Pikirkan Yuriana nanti kalau pulang. Kamu tidak boleh sakit."Hanya mendengar kata-kata perhatian dari Eric saja, Yuna sudah tahu jika Eric telah memaafkan dirinya. Sebelum Eric berbalik, Yuna meraih pundaknya."Ada apa lagi, Yuna?"Yuna mengecup bibir Eric begitu lembut. Sejuta kerinduan yang tertutupi akibat kesedihan dan pikiran negatifnya, akhirnya dapat ia salurkan.Yuna melepaskan ciuman itu, tetapi tangan Eric sudah lebih dulu mendara
"Tuan, sebaiknya kita mengembalikan anak ini kepada orang tuanya." Suara Lima begitu lemah karena seharian kecapekan mengurus Yuriana.Di pulau pribadi Billy Volker, tidak ada satu pun pelayan, hanya ada lusinan bodyguard dan semuanya pria. Lima merasa kesulitan karena tidak terbiasa menggendong bayi.Sejak kemarin, Billy sendiri yang mengasuh Yuriana. Tetapi, hari ini, Billy sedang ingin santai-santai dan tidak ingin diganggu oleh siapa pun."Malas. Kamu saja yang mengembalikan kalau mau.""Bagaimana saya pergi dari pulau ini kalau cuma Tuan yang bisa menerbangkan helikopter," gerutu Lima."Jangan berisik di dekatku kalau nggak mau aku hukum," ancam Billy.Billy berbaring santai sambil menikmati jus buah segar yang dipetik Lima beberapa saat lalu. Matanya terlihat hampir terpejam karena angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah tampannya.Suara Yuriana menangis membuat Billy melompat dari kursi santai. Dadanya naik turun dengan cepat karena sangat terkejut."Lima!! Kamu ini nggak becus se
"Lepaskan aku!" Emilia meronta-ronta ketika dua petugas polisi mencekal lengannya. "Brengsek! Aku akan membunuh kalian semua! Siapa yang berani melaporkan aku?!"Eric terdiam. Keputusan memenjarakan Emilia juga sangat berat baginya. Yudha dan Diana awalnya juga menentang, tetapi tidak ada cara lain untuk menghentikan kegilaan Emilia.Untung saja, penangkapan Emilia terjadi di tempat terpencil. Mereka masih bisa menyembunyikan kasus itu dari media.Setelah Emilia pergi, beberapa petugas kesehatan yang berjaga-jaga sebelumnya masuk dan memeriksa semua orang. Aldo yang paling parah lukanya. Hampir semua jahitan di perut Aldo terlepas. Ia cukup beruntung karena organ dalam yang tadinya terluka masih baik-baik saja.Rombongan Yuna dan Eric bersama-sama menuju ke kantor polisi terdekat untuk menginterogasi Emilia. Selama berjam-jam, Emilia hanya mengamuk dan mengucap sumpah serapah.Akhirnya, Emilia lelah dan mulai mengakui perbuatannya. Selama berjam-jam tadi, Emilia sengaja mengulur wakt
"Jangan bohong! Cepat katakan di mana anakku!" pekik Yuna sambil berurai air mata.Aldo mendekati Emilia. "Sayang, ayolah, kita jemput Yuriana, lalu pulang ke rumah kita. Atau ... kita tinggal di sini saja berdua. Nggak akan ada yang mengganggu kita. Kita bisa punya anak sendiri. Sekarang, kembalikan dulu Yuriana."Iris mata Emilia berpindah ke arah pintu. Dua pria lain menerobos masuk ke dalam rumahnya. Eric dan Rendra akhirnya sampai, setelah berlarian ke tempat itu.Tanpa memedulikan apa yang baru terjadi, Eric langsung menarik kemeja Aldo dan memutar badan Aldo ke arahnya. Ia langsung meninju wajah Aldo sampai Aldo tersungkur jatuh."Brengsek!" umpat Eric."Kenapa kamu memukul Aldo, Mas?!" Yuna menarik lengan Eric yang bersiap memukul Aldo sekali lagi. "Dia membantuku mencari Yuriana, nggak seperti kamu yang nggak peduli sama sekali!""Kamu membelanya?!" bentak Eric. "Aku nggak membelanya. Kamu datang-datang cuma mau cemburu? Yang ada di pikiran kamu itu apa sebenarnya? Kamu ngga
Emilia membawa Yuriana ke praktik dokter terdekat. Dokter mengatakan jika Yuriana harus dirujuk ke rumah sakit untuk pemeriksaan penunjang."Sakit apa anak saya, Dok?" tanya Emilia panik. Emilia khawatir jika dokter itu akan membawa Yuriana ke rumah sakit. Keberadaan mereka bisa langsung ditemukan oleh keluarganya."Dari gejala yang Ibu sebutkan, putri Ibu kemungkinan mengalami intolerasi laktosa. Jadi, sebaiknya Ibu memeriksakan putri Ibu ke rumah sakit yang memiliki fasilitas lengkap," kata sang dokter."Apa tidak bisa di sini saja, Dok?""Maaf, Bu. Seperti yang bisa Anda lihat, kami hanya datang sesekali melakukan pemeriksaan umum gratis dan tidak memiliki peralatan memadai untuk pemeriksaan lengkap. Tetapi, kami bisa membantu Ibu untuk merujuk putri Ibu ke rumah sakit."Emilia melihat sekeliling ruangan. Hanya ada dua kamar saja di tempat itu. Satu untuk mendaftar, kamar lain untuk memeriksa. Hanya ada beberapa alat medis minim di sana."Saya ke rumah sakit sendiri saja, Dok. Ter
"Bukankah Mas Eric nggak peduli dengan kami lagi? Urusi saja pekerjaan dan sekretaris Mas Eric itu," ujar Yuna dengan suara lirih.'Yuna! Pulang sekarang! Kamu benar-benar nggak bisa mematuhi aku, hah?!' bentak Eric."Nggak, aku mau mencari Yuriana!" Yuna balas membentak Eric.Yuna mematikan ponsel Hilman supaya Eric tidak dapat menghubungi. Ia juga tidak mau Eric melacak lokasinya saat ini. Ia hanya ingin Eric melihat, dirinya tidak butuh bantuan Eric untuk menemukan Yuriana."Nyonya ... Bagaimana kalau kita kembali dulu? Saya takut ...."Yuna memotong ucapan Hilman, "Kalau kamu nggak mau mengantar aku, biar aku pergi ke sana dengan orang ini."Hilman tidak berani memprotes lagi. Lebih baik ia menurut daripada meninggalkan Yuna sendirian. Pulang-pulang, ia pasti akan kehilangan kepala jika sampai terjadi sesuatu pada Yuna.Aldo yang tadinya juga ingin membujuk Yuna agar mereka memutar mobil untuk kembali, urung mengatakannya. Aldo juga ingin segera menemukan anak Yuna. Jika terjadi ap
"Mas Eric ... malas denganku?" Air mata mulai menetes di wajah cantik Yuna. "Karena itu, Mas Eric cuma sibuk di sini, bukan malah mencari Yuriana ....""Aku juga mencari Yuriana, Yuna! Jangan sembarangan bicara! Pulanglah! Di sini kantor, bukan untuk bicara masalah pribadi," tegas Eric.Yuna menggeleng-geleng pelan. Ia tidak percaya jika Eric tega membentak dan mengusirnya. Prasangka buruk Yuna bertambah ketika melihat kehadiran Dina tadi. Dan sekarang makin menjadi-jadi.Karena Yuna tak kunjung pergi, Eric yang memilih keluar dari ruangan, meninggalkan Yuna seorang diri. Eric harus cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan supaya bisa menyusul Rendra untuk mencari Yuriana.Eric sepenuhnya mengabaikan Yuna yang terluka oleh kata-katanya. Yuna mengusap air mata, lalu berbalik pergi. Langkah Yuna terhenti ketika melihat sosok Dina. Yuna mendatangi Dina, tetapi Dina cepat-cepat memalingkan muka dan pergi menjauh. "Mbak Dina!!"Namun, Yuna malah memanggil Dina dengan suara lantang. Seperti k