"Bangun dan bicaralah. Kalau tidak, aku akan menuntutmu karena membuat mobil sepupuku lecet dan hampir membuat kami semua dalam bahaya," ucap Billy.Gadis itu pun akhirnya berbalik. Bibirnya yang kering hendak mengucap sesuatu, namun tidak ada yang terdengar dari mulutnya."Aku ... haus ..." ucap gadis itu susah payah."Ambil sendiri minumanmu."Billy menunjuk gelas yang berisi air di atas nakas. Mana mungkin ia mau mengambilkan minuman untuk sembarang orang. Dengan tangannya yang gemetaran karena retak tulang, gadis itu pun mengambil gelas dan menyesapnya perlahan. Sesekali matanya melirik kepada Billy yang masih menatapnya tanpa berkedip sekali pun."Nah, sekarang sudah bisa bicara 'kan?"Gadis itu mengangguk. "S-saya tidak sengaja. Maaf."Billy mengambil ponselnya lalu memutar video yang ia ambil dari kamera dashboard mobil Eric. Malam itu, Hilman rupanya tidak menabrak si gadis. Hilman berhenti tepat ketika gadis itu terjatuh di depan mobilnya. Dan bisa dipastikan jika luka si g
"Jangan bilang ... Kakak naksir Yuna?"Billy terbahak-bahak oleh pertanyaan sepupunya yang tidak masuk akal. 'Apa korelasinya membuat permainan kecil dengan jatuh cinta? Konyol sekali,' batin Billy.Berbeda dengan pikiran Billy, Eric justru semakin mencurigai sepupunya itu. Billy biasanya tidak mau repot-repot mengurus sesuatu. Tetapi, Billy dengan entengnya menyetujui rencana Diana. Bahkan, Billy mau saja repot-repot mengantar Yuna ke sana kemari sebelum Yuna bertemu Eric. Dan sekarang, Billy seakan punya rasa percaya diri berlebihan kalau ia yang lebih pantas menjadi menantu Herman.Apa untungnya membuat permainan tidak penting itu bagi seorang Billy Volker? Kenapa juga Billy mau membuang-buang waktunya yang berharga demi kekasih, calon istri sepupunya?Eric sungguh penasaran dengan apa yang ada di benak Billy. Namun, Eric enggan bertanya. Eric tidak ingin mendengar kalau dugaannya benar. Eric juga tidak ingin membuat hubungannya dengan Billy menjadi lebih buruk dari sekarang."Ak
[Aku ada di depan restoran, Baby. Cepatlah keluar. Aku ingin berkencan denganmu.]Yuna tersenyum simpul membaca pesan dari Eric. Ia hendak membalas agar Eric mau menunggunya lima menit lagi. Tetapi, seorang karyawan memanggilnya lebih dulu."Mbak, pembukuan bulan ini sudah dicek belum?""Kamu sudah telepon Pak Billy?""Pak Billy siapa, Mbak?""Maksudku, Pak Darwis. Dia 'kan yang mengurusi semua laporan akhir.""Oh, katanya, Mbak Yuna yang disuruh menyelesaikan semua, termasuk menggaji karyawan selama Pak Darwis liburan.""Liburan? Sejak kapan?"Yuna bersungut-sungut kesal. Sudah seminggu Billy tidak mengunjungi restoran. Yuna jadi kewalahan mengurusi dapur dan manajemen sekaligus. Ditelepon berkali-kali pun Billy tidak pernah menjawab."Ya udah, aku ke kantor sekarang. Sebentar ... kamu bisa menghubungi Pak Darwis?""Bisa, Mbak. Barusan aku telepon beliau. Makanya, aku mencari Mbak Yuna.""Pinjam ponselmu sebentar. Dia nggak akan mengangkat teleponku."Karyawan itu menyerahkan ponseln
"Di makan dulu ini, Mas. Aku udah capek-capek masak juga!""Aku lapar yang lain, Baby. Gimana dong?"Untungnya, ruangan VIP itu tertutup. Tidak ada yang bisa melihat tangan nakal Eric yang mulai meraba-raba tubuh Yuna."Ah, udahlah, kalau nggak mau makan. Aku bawa ke dalam lagi makanannya," kesal Yuna."Iya, iya, aku makan. Tapi, habis ini aku boleh makan kamu, ya?"***"Ini yang namanya Istana Volker?"Yuna terpesona oleh wujud kediaman Volker yang banyak dibicarakan orang-orang. Baru di halaman depan, mulut Yuna terbuka lebar sampai lupa menutup. Kesempatan untuk Eric menyodorkan bibirnya dan memainkan lidahnya ke dalam mulut Yuna."Mas!" Yuna mendorong Eric."Hehehe. Ayo, keluar dulu."Eric membuka mobil lalu berlari kecil untuk membukakan pintu untuk Yuna. Ia menggandeng Yuna melewati garasi depan yang terdapat lusinan mobil mewah milik Billy yang berjejer rapi."Di dalam rumah lagi banyak orang, ya, Mas? Aku malu," ucap Yuna mengeratkan genggaman tangannya."Nggak ada. Cuma ada k
"Kamu kenapa, Baby?"Eric mendekati Yuna dan membantu memijat tengkuknya. Namun, Yuna justru semakin banyak memuntahkan isi perutnya."Minggir dulu, Mas."Eric berbalik mengambil kaos dan celana kain tanpa memakai dalaman karena miliknya masih mengacung sempurna. Ia kembali mendekat saat Yuna berhenti muntah-muntah dan selesai membersihkan mulutnya."Kamu sakit? Tadi padahal nggak kenapa-napa.""Nggak tahu. Kekenyangan mungkin.""Sekarang sudah baikan? Mau aku panggilkan dokter dulu?""Nggak usah, Mas. Aku sudah nggak apa-apa, kok." Yuna mengambil tisu dan menyeka wajahnya. "Mau dilanjutkan?" godanya.Eric sebenarnya mau-mau saja. Tetapi, Eric tidak tega melihat wajah Yuna yang masih sedikit pucat."Lain kali saja. Kita mandi dulu lalu tiduran di kamar."Yuna mengangguk setuju dan mulai melepaskan pakaiannya. Begitu juga dengan Eric."Masuk, Baby," perintah lembut Eric.Yuna duduk di dalam kolam hangat. Disusul Eric memasuki kolam. Milik Eric sengaja diserempetkan di belakang kepala Y
"Masa iya aku yang hamil, Ma! Orang cuma ada aku dan Yuna di sini."'Aku manusia tak dianggap," batin Felix kecut.Diana tidak terkejut sama sekali. Ia hanya ingin memastikan pendengarannya tidaklah salah.Kalau ditanya, Diana justru senang karena akan memiliki cucu. Yang sebelumnya ia sangat kecewa dan sedih karena cucu pertamanya tiada. Namun, Diana tetap memasang ekspresi keras. Biar bagaimanapun, Eric telah melakukan kesalahan dengan manghamili anak orang di luar nikah."Ikut mama sebentar, Ric." Diana menjewer telinga Eric."Aww!! Sakit, Ma! Jangan bikin malu!"Diana pun menyeret Eric ke luar dari kamar. Dan menutup pintu dengan keras, sampai Yuna dan dokter Felix terlonjak dari duduknya."Apa kamu masih punya malu? Sembarangan bikin anak di mana saja yang kamu suka! Mama nggak suka!""Apa maksud, Mama? Aku nggak sembarangan," kilah Eric. Matanya bergetar tidak tahu harus melihat ke mana."Kemarin apa yang mama lihat di taman itu?""D-di taman mana? A-aku cuma membantu m-members
Setengah jam berlalu, Lima selesai didandani oleh para pelayan Volker. Rambut panjang lurusnya dipotong dengan gaya soft layer sebahu dan diwarnai kecoklatan. Wajah kecil cantiknya disapu oleh make up tipis ala korea. Tubuh semampainya dibalut oleh gaun panjang merah muda.Lima malu-malu saat dirinya berputar sesuai perintah Billy. Rona kemerahan tercetak di wajah putih mulusnya yang begitu tampak muda. Meskipun sudah berumur dua puluh enam tahun, Lima masih terlihat seperti gadis remaja.Billy sampai lupa berkedip oleh penampilan baru Lima. Ia mengangguk puas melihat gadis di depannya yang tadinya tampak kumal dan lusuh berubah jauh melebihi ekspektasinya.Walaupun Billy sempat terpesona, namun bukan Billy Volker namanya jika ia tiba-tiba jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Lima. Di mata Billy, Lima hanya terlihat cantik. Itu saja. Tidak kurang dan tidak lebih.Lima tetaplah perempuan menyedihkan tanpa asal usul yang jelas dan tidak pantas untuk mendapatkan banyak perhatian dar
Lima yang awalnya terkejut mulai membuka akses mulutnya untuk Billy. Entah apa yang terjadi dan siapa wanita itu, Lima tidak tahu. Tugasnya hanya menuruti Billy, sang penyelamat hidupnya seorang.Billy pun melumat bibir Lima dengan lahap dan sedikit menikmatinya. Kemudian, Billy melepaskan ciumannya sampai terdengar suara decapan dari bibir mereka yang terpisah. Wanita cantik tadi membeku tidak jauh dari tempat Billy dan Lima berada. Yang tadinya ia hanya melihat punggung Billy, kini ia tahu jika Billy tengah bermesraan dengan seorang gadis asing yang baru dilihatnya.Bukan hanya wanita itu saja yang melihat Billy bermesraan. Beberapa kerabat, termasuk Eric pun sampai tidak bisa berkata-kata. Suasana aula yang tadinya ramai orang bercakap-cakap mendadak sunyi.Billy Volker awalnya seorang penyendiri kaku dan hanya menyukai seorang wanita saja. Setelah patah hati oleh cinta pertamanya yang begitu meninggalkan luka mendalam, dan tentu saja diketahui banyak orang, Bill
"Buat apa kamu ke sini? Mau mengganggu Yuna lagi, hah?" bentak Diana sambil berkacak pinggang menghalangi pintu rumah."Bukan, Ma. Saya bukan mau bertemu Yuna.""Ma? Jangan memanggilku seolah-olah kamu itu anakku!" cerca Diana. Mata Diana melotot tajam kepada Aldo."Maaf, Bu- Nyonya. Saya mau bertemu dengan Pak Herman, sekalian Anda," kata Aldo sopan.Herman yang mendengar suara kencang besannya pun keluar dari dalam kamar. "Ada apa?" Ia memicingkan mata ke arah Aldo."Boleh saya bicara sebentar dengan Anda? Lima menit saja," pinta Aldo.Herman akhirnya mengizinkan Aldo masuk. Meskipun Diana masih menggerutu terus-menerus. Bahkan, ketika Bi Jumi mau menyiapkan minuman, Diana dengan tegas melarangnya.Yudha dan Eric datang setelahnya. Mereka ikut duduk karena ingin tahu apa yang akan Aldo katakan."Bapak mungkin sudah tahu siapa saya," kata Aldo kepada Herman."Ya, saya tahu," jawab Herman datar.Aldo tiba-tiba bersimpuh di depan kaki Herman. Namun, Herman langsung mencegahnya. Aldo te
"Nggak mau," tolak Eric sambil menggeleng-geleng tidak percaya dengan permintaan aneh sepupunya."Kembalilah ke kota, Kak. Kamu bisa kembali menjadi Presiden Direktur Volker Corp. Aku cuma mau Yuriana, nggak ingin kekuasan yang seharusnya jadi hakmu," lanjutnya.Billy mendesah lelah. "Kamu pulang besok. Sekarang sudah hampir malam. Dan Yuriana pergi pakai jalur laut, jangan naik helikopter, suaranya berisik.""Baik, Kak. Berikan dulu Yuriana. Aku ingin menggendongnya."Billy menyerahkan Yuriana setelah bayi itu puas meminum susunya dan Eric selesai mencuci tangan. Eric langsung memeluk erat Yuriana ke dalam pelukan.Tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata bagaimana lega dan bahagia dirinya sekarang. Sampai air mata haru meleleh di pipinya. Eric juga tidak bisa berhenti menciumi seluruh wajah Yuriana.Billy menghela napas, lalu berdecak-decak masuk ke dalam rumah. Entah sudah berapa kali, sejak kedatangan Eric menjemput Yuriana, Billy selalu menghela napas. Suasana hatinya jadi memburuk
"Kita bicarakan masalah ini nanti, setelah Yuriana pulang."Eric tentunya senang oleh permintaan maaf Yuna, tetapi ia masih ingin mengamati perubahan Yuna. Eric tidak ingin lagi ada masalah di kemudian hari dengan persoalan yang sama. Cukup sekali Eric merasakan kesal, marah, dan sedih karena tidak dipercaya dan tidak dihargai istrinya sendiri. Bagaimanapun juga, semua yang ia lakukan demi masa depan keluarganya. "Baiklah. Lalu, berapa lama Mas Eric pergi?""Belum tahu. Aku berangkat dulu, ya. Jangan lemah, Yuna. Kamu sudah menjadi ibu sekarang. Pikirkan Yuriana nanti kalau pulang. Kamu tidak boleh sakit."Hanya mendengar kata-kata perhatian dari Eric saja, Yuna sudah tahu jika Eric telah memaafkan dirinya. Sebelum Eric berbalik, Yuna meraih pundaknya."Ada apa lagi, Yuna?"Yuna mengecup bibir Eric begitu lembut. Sejuta kerinduan yang tertutupi akibat kesedihan dan pikiran negatifnya, akhirnya dapat ia salurkan.Yuna melepaskan ciuman itu, tetapi tangan Eric sudah lebih dulu mendara
"Tuan, sebaiknya kita mengembalikan anak ini kepada orang tuanya." Suara Lima begitu lemah karena seharian kecapekan mengurus Yuriana.Di pulau pribadi Billy Volker, tidak ada satu pun pelayan, hanya ada lusinan bodyguard dan semuanya pria. Lima merasa kesulitan karena tidak terbiasa menggendong bayi.Sejak kemarin, Billy sendiri yang mengasuh Yuriana. Tetapi, hari ini, Billy sedang ingin santai-santai dan tidak ingin diganggu oleh siapa pun."Malas. Kamu saja yang mengembalikan kalau mau.""Bagaimana saya pergi dari pulau ini kalau cuma Tuan yang bisa menerbangkan helikopter," gerutu Lima."Jangan berisik di dekatku kalau nggak mau aku hukum," ancam Billy.Billy berbaring santai sambil menikmati jus buah segar yang dipetik Lima beberapa saat lalu. Matanya terlihat hampir terpejam karena angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah tampannya.Suara Yuriana menangis membuat Billy melompat dari kursi santai. Dadanya naik turun dengan cepat karena sangat terkejut."Lima!! Kamu ini nggak becus se
"Lepaskan aku!" Emilia meronta-ronta ketika dua petugas polisi mencekal lengannya. "Brengsek! Aku akan membunuh kalian semua! Siapa yang berani melaporkan aku?!"Eric terdiam. Keputusan memenjarakan Emilia juga sangat berat baginya. Yudha dan Diana awalnya juga menentang, tetapi tidak ada cara lain untuk menghentikan kegilaan Emilia.Untung saja, penangkapan Emilia terjadi di tempat terpencil. Mereka masih bisa menyembunyikan kasus itu dari media.Setelah Emilia pergi, beberapa petugas kesehatan yang berjaga-jaga sebelumnya masuk dan memeriksa semua orang. Aldo yang paling parah lukanya. Hampir semua jahitan di perut Aldo terlepas. Ia cukup beruntung karena organ dalam yang tadinya terluka masih baik-baik saja.Rombongan Yuna dan Eric bersama-sama menuju ke kantor polisi terdekat untuk menginterogasi Emilia. Selama berjam-jam, Emilia hanya mengamuk dan mengucap sumpah serapah.Akhirnya, Emilia lelah dan mulai mengakui perbuatannya. Selama berjam-jam tadi, Emilia sengaja mengulur wakt
"Jangan bohong! Cepat katakan di mana anakku!" pekik Yuna sambil berurai air mata.Aldo mendekati Emilia. "Sayang, ayolah, kita jemput Yuriana, lalu pulang ke rumah kita. Atau ... kita tinggal di sini saja berdua. Nggak akan ada yang mengganggu kita. Kita bisa punya anak sendiri. Sekarang, kembalikan dulu Yuriana."Iris mata Emilia berpindah ke arah pintu. Dua pria lain menerobos masuk ke dalam rumahnya. Eric dan Rendra akhirnya sampai, setelah berlarian ke tempat itu.Tanpa memedulikan apa yang baru terjadi, Eric langsung menarik kemeja Aldo dan memutar badan Aldo ke arahnya. Ia langsung meninju wajah Aldo sampai Aldo tersungkur jatuh."Brengsek!" umpat Eric."Kenapa kamu memukul Aldo, Mas?!" Yuna menarik lengan Eric yang bersiap memukul Aldo sekali lagi. "Dia membantuku mencari Yuriana, nggak seperti kamu yang nggak peduli sama sekali!""Kamu membelanya?!" bentak Eric. "Aku nggak membelanya. Kamu datang-datang cuma mau cemburu? Yang ada di pikiran kamu itu apa sebenarnya? Kamu ngga
Emilia membawa Yuriana ke praktik dokter terdekat. Dokter mengatakan jika Yuriana harus dirujuk ke rumah sakit untuk pemeriksaan penunjang."Sakit apa anak saya, Dok?" tanya Emilia panik. Emilia khawatir jika dokter itu akan membawa Yuriana ke rumah sakit. Keberadaan mereka bisa langsung ditemukan oleh keluarganya."Dari gejala yang Ibu sebutkan, putri Ibu kemungkinan mengalami intolerasi laktosa. Jadi, sebaiknya Ibu memeriksakan putri Ibu ke rumah sakit yang memiliki fasilitas lengkap," kata sang dokter."Apa tidak bisa di sini saja, Dok?""Maaf, Bu. Seperti yang bisa Anda lihat, kami hanya datang sesekali melakukan pemeriksaan umum gratis dan tidak memiliki peralatan memadai untuk pemeriksaan lengkap. Tetapi, kami bisa membantu Ibu untuk merujuk putri Ibu ke rumah sakit."Emilia melihat sekeliling ruangan. Hanya ada dua kamar saja di tempat itu. Satu untuk mendaftar, kamar lain untuk memeriksa. Hanya ada beberapa alat medis minim di sana."Saya ke rumah sakit sendiri saja, Dok. Ter
"Bukankah Mas Eric nggak peduli dengan kami lagi? Urusi saja pekerjaan dan sekretaris Mas Eric itu," ujar Yuna dengan suara lirih.'Yuna! Pulang sekarang! Kamu benar-benar nggak bisa mematuhi aku, hah?!' bentak Eric."Nggak, aku mau mencari Yuriana!" Yuna balas membentak Eric.Yuna mematikan ponsel Hilman supaya Eric tidak dapat menghubungi. Ia juga tidak mau Eric melacak lokasinya saat ini. Ia hanya ingin Eric melihat, dirinya tidak butuh bantuan Eric untuk menemukan Yuriana."Nyonya ... Bagaimana kalau kita kembali dulu? Saya takut ...."Yuna memotong ucapan Hilman, "Kalau kamu nggak mau mengantar aku, biar aku pergi ke sana dengan orang ini."Hilman tidak berani memprotes lagi. Lebih baik ia menurut daripada meninggalkan Yuna sendirian. Pulang-pulang, ia pasti akan kehilangan kepala jika sampai terjadi sesuatu pada Yuna.Aldo yang tadinya juga ingin membujuk Yuna agar mereka memutar mobil untuk kembali, urung mengatakannya. Aldo juga ingin segera menemukan anak Yuna. Jika terjadi ap
"Mas Eric ... malas denganku?" Air mata mulai menetes di wajah cantik Yuna. "Karena itu, Mas Eric cuma sibuk di sini, bukan malah mencari Yuriana ....""Aku juga mencari Yuriana, Yuna! Jangan sembarangan bicara! Pulanglah! Di sini kantor, bukan untuk bicara masalah pribadi," tegas Eric.Yuna menggeleng-geleng pelan. Ia tidak percaya jika Eric tega membentak dan mengusirnya. Prasangka buruk Yuna bertambah ketika melihat kehadiran Dina tadi. Dan sekarang makin menjadi-jadi.Karena Yuna tak kunjung pergi, Eric yang memilih keluar dari ruangan, meninggalkan Yuna seorang diri. Eric harus cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan supaya bisa menyusul Rendra untuk mencari Yuriana.Eric sepenuhnya mengabaikan Yuna yang terluka oleh kata-katanya. Yuna mengusap air mata, lalu berbalik pergi. Langkah Yuna terhenti ketika melihat sosok Dina. Yuna mendatangi Dina, tetapi Dina cepat-cepat memalingkan muka dan pergi menjauh. "Mbak Dina!!"Namun, Yuna malah memanggil Dina dengan suara lantang. Seperti k