"Sombong sekali dia."
Ammar hanya mengatakan itu dalam hati.
Tidak menunggu Ayudia selesai membersihkan luka di keningny. Ammar menghidupkan mobil, mengemudi dengan ugal-ugalan. Tak perlu dibawa ugal-ugalan pun sudah mengombang-ambingkan tubuh Ayudia.
Perut Ayudia sampai mual karena guncangan yang stabil dan cukup kuat. Ia tak tahan lagi menahannya.
"Tolong berhenti dulu, Kak." Pinta Ayudia, matanya merem menahan gejolak.
"Tanggung, bentar lagi sampe." Ketus Ammar,
"Kak, perut Dia sakit. Dia mohon." Kata Ayudia memelas.
Ammar tak menghiraukan, ia tetap melaju dengan kecepatan sedang. Namanya trek berlumpur dan berlubang, jika dilibas dengan kecepatan sedang, rasanya sudah tak karuan.
Ayudia membungkuk, tangan kanannya memegang perut dan tangan kiri berpegangan pada pegangan yang ada di atas pintu.
Bibirnya sudah pucat, mata Ayudia sayu. Saking mualnya sampai air mata keluar sendiri.
Alhamdulillah,
Akhirnya
Tidak semua orang mempunyai kesempatan untuk memilih. Sebenarnya ungkapan itu kurang cocok, karena semua orang menjalani hidup tentu dengan pilihan. Artinya, semua orang menjalani kehidupan dengan pilihan. Terlepas beruntung atau tidaknya takdir memeluk kita.Seperti yang sedang Ayudia alami. Ayudia memilih jalannya sendiri untuk tetap bertahan dengan Ammar. Bukan karena datangnya Ammar dari keluarga terhormat, bukan juga karena parasnya yang masuk ke dalam kategori tampan dan rupawan.Ayudia memilih tetap bertahan meski menyakitkan, karena kakek-neneknya yang telah mengeluarkan banyak keringat untuk merawat dirinya. Hanya mereka yang Ayudia miliki, bahagianya tak hanya hidupnya. Namun juga kebahagiaan kakek-neneknya. Sedangkan, kakek berkata 'Atuk akan tenang bahagia kalau Dia sudah menikah, apalagi menjadi menantu Abah Ahmad, itu hal yang Atuk dan Uti tunggu sejak dulu'.Lebih dari setengah hidupnya ia lalui dengan sang nenek dan kakek. Bahkan Ayudia lupa waja
Ayudia perlahan sadar, saat sekantong darah Ela sudah menyatu dengan darahnya."Uti ... Dia dimana?""Dia ... hei, ini aku ... Ela." Kata Ela.Ayudia mengucek matanya, puing-puing ingatan mulai masuk ke dalam memori Ayudia."Bangun, Nduk. Ini Umi."Ayudia membuka mata lebar, menatap satu persatu manusia yang tengah berdiri di samping ranjang pesakitan."Ela ... Umi." Ucapnya dengan suara khas orang sakit."Iya, ini Umi.""Apa yang terjadi?" Tanya Ayudia,Ela dan Umi saling pandang, bingun hendak menjawab apa. Seharusnya mereka yang bertanya apa yang telah terjadi. Bagaimana bisa ia sampai tak sadarkan diri. Namun, apa yang terjadi malah sebaliknya. Akhirnya Umi mengangguk, memberi kode pada Ela untuk menjelaskan apa yang telah terjadi."Ingat Allah, apapun yang terjadi jangan sampai kamu malah sakit begini. Banyak anak yang menunggumu untuk mendapat ilmu darimu. Bukankah itu keinginanmu dari dulu? Sabar ... sabar
Kesehatan Ayudia sudah pulih seratus persen. Seminggu sejak kejadian mengenaskan itu menimpa, ia tak serta merta lupa akan itu.Ayudia ingat bagaimana Ammar merasainya. Bukan karena hanyut oleh keheningan malam, Ayudia rasa karena kebencian yang sangat dalam padanya. Kini, gadis itu tak mau lagi menegur Ammar, menatapnya saja Ayudia seolah trauma.Ayudia menuju kamar mandi, membasahi wajahnya dari kran air yang ia biarkan menyala. Terlihat ada jerawat yang tumbuh dibeberapa titik wajahnya. Rambutnya juga tampak kusut, karena sudah dua hari Ayudia malas menyisir. Entah mengapa, ia sedang tak ingin bersolek, bahkan untuk sekedar menyisir rambut.Ayudia kembali ke kamar. Sekarang ia bebas menggunakan kamar itu. Tak lagi takut akan kemarahan Ammar. Ayudia duduk di depan cermin. Membetulkan ikatan rambutnya, lalu memakai jilbab instan untuk menutupi surai hitam tersebut.Gadis itu tersenyum, sampai merona kemerahan di kedua pipinya. Ia sendiri tak mengerti ken
Akhirnya lonceng kepulangan berdenting nyaring, sampai menyentil gendang telinga Ammar yang berada di kelas paling jauh. Hari itu Ammar hanya memberi soal kepada murid-muridnya, sedangkan ia duduk melamun.Bawaannya ingin marah melulu. Anak-anak ikut kecipratan getahnya."Sudah belum? Kalau sudah selesai cepat kumpulkan. Terus siap-siap berdo'a dan pulang!" Teriaknya,Seperti paduan suara, satu kelas itu kompak menjawab; "beluuumm, Paaak!"Ammar berdiri, berjalan ke meja siswa yang paling depan, lalu menarik buku mereka satu persatu."Kalian ini, soal cuma segitu belum selesai juga, Bapak sudah menunggu sampai jam pulang, kalian belum selesai juga, kalian mau dihukum?!" Marahnya pada anak-anak yang tidak tahu apa-apa.Sang ketua kelas berdiri,"Kami mohon ma'af, Pak. Kami belum ada yang menyelesaikan soal-soal yang Bapak beri. Menurut kami, soal yang bapak berikan sangat banyak dan menyulitkan kami. Dari kami ber-30, hanya berapa anak
"sebenarnya, apa?!" Ayudia menarik kain lap untuk mengeringkan tangannya. Lalu ia beranikan untuk menatap Ammar tanpa ragu. "Sebenarnya Kak Ammar ada masalah apa sama Dia? Dia ndak pernah ikut campur urusan Kak Ammar, apalagi masalah sosial media. Dia mau post apapun juga siapa yang tahu suami Dia? Cuma orang-orang terdekat Dia. Selain itu Ndak ada yang tahu. Jadi jangan khawatir harga diri Kak Ammar akan terjun bebas!" Ayudia berbalik, lalu pergi ke kamar meninggalkan Ammar. Biar tahu rasa, sekali-kali sedikit diberi shok terapi barangkali akan sedikit meluluh. Walau setelah mengatakan itu, Ayudia takut bukan main. Apalagi di rumah itu tak ada siapapun selain mereka berdua. "Dia ... buka pintunya!" "Mau ngapain? Dia mau istirahat." Bohongnya. "Aku mau ambil sesuatu." "Besok aja," Ammar masih betah menggedor pintu kamar tersebut, Ayudia tak menghiraukan. Gadis itu sedikit iseng hari itu. Ia tinggal rebahan dan menutup t
"Hhuuufffrrrr. Apa ini?!" Teriak Ammar sambil meringis. Ayudia menutup mulutnya karena terkikik pelan. Rasanya bahagia banget bisa mengerjai Ammar. Umi hanya geleng-geleng, baru paham ternyata manisnya Ayudia karena ingin memberikan Ammar teh asin. "Ngapain ketawa? Senang?! Istri durhaka, bisa-bisanya ngasih teh asin ke suami. Lihat itu menantu Umi, seperti itu kelakuannya!" Ammar marah, ia kesal. Lalu pergi ke kamar yang ditempati Ayudia. "Am, hei. Mau kemana?" Kata Umi. Ayudia mengintip dari ambang pintu, ah iya. Perempuan itu lupa tak mengunci pintunya dari luar. "Ma'afin Dia, Mi. Dia cuma kesal saja sama Kak Ammar. Dia ndak maksud apa-apa." Kata Ayudia lesu. "Ya sudah, lain kali jangan gitu ya, Nduk? Biarin dulu dia istirahat sebentar, nanti kalau sudah baikan pasti keluar." Ayudia melanjutkan masaknya sampai selesai. Sayur sop, sambel bawang dan tempe goreng. Sampai pukul lima kurang seperempat. "Kalau sudah, Dia m
Ayudia meletakkan kalender kecil yang biasa ia pakai untuk mengingatkan hal-hal penting. Sudah memasuki bulan April. Perempuan itu lalu keluar kamar, menyantap nasi goreng yang sudah ia masak tadi. Kini perempuan yang semakin terlihat anggun itu duduk sendirian di meja makan kecil. Ia sudah rapi dengan pakaian sekolahnya. Sudah lima hari Ayudia meninggali rumah kecil yang berada di sudut belakang pondok pesantren. Bersyukur karena Abah menerima usulannya untuk bertukar tempat dengan Ammar. Awalnya ia takut, namun setelah biasa, Ayudia menjadi betah dan nyaman. Ia ingin hidup sendiri, bila memungkinkan, Ayudia ingin berpisah saja dengan suaminya yang bernama Ammar. Namun ia belum mengutarakan kemauannya pada Abah juga Umi. Ia sendiri bingung, jika benar itu terjadi maka akan sangat membuat Atuk dan Uti kaget. Ah entahlah, perempuan itu kini hanya ingin menikmati perannya dulu sebagai guru Madrasah Ibtidaiyah. Nasi goreng ludes, tak tersisa barang sebutir. Ayud
Tujuan menikah salah satunya memiliki keturunan. Bagi banyak pasangan, ketika menikah dan cepat dikaruniai anak adalah sebuah berkah yang amat membahagiakan. Namun, bagi sebagian kecilnya, anak menjadi penghambat karir mereka yang sedang cemerlang-cemerlangnya.Ada juga sebagian pasangan yang lama menikah masih belum juga dipercaya untuk mengemong buah hati. Banyak sekali cerita mengenai anak di dalam rumah tangga. Ela saja yang menikah lebih dulu, belum diberi keturunan. Ayudia bahkan baru dirasai sekali saja oleh Ammar.Ayudia menggeleng-gelengkan kepala, mengusir bisikan s**** yang semakin gencar menancapkan ujaran kedzaliman."Astaghfirullah ... Ya Allah, kenapa harus hamba yang Engkau pilih, kenapa bukan Ela yang sudah dua tahun menikah? Kenapa harus hamba yang belum bisa membina rumah tangga dengan layak? Hiks ... hiks ..."Jika sedang gundah dan gusar, manusia seringkali menyalahkan takdir, bahkan kadang lupa siapa penguasa jagad raya sesungguhnya.
Tiga hari sudah Ammar menjabat sebagai suami dari Ayudia Prasasti. Ia sangat menikmati perannya tersebut. Ia ingin menjadi suami yang terbaik untuk Ayudia, tidak akan mengulang kesalahan dahulu, atau bisa fatal akibatnya. Selama tiga hari, Ammar senantiasa membantu Ayudia dalam hal apapun. Ia cekatan merawat Fa dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci piring dan mencuci pakaian. Ammar juga memutuskan untuk tidak pergi ke luar kota, dalam waktu yang tidak bisa ditentukan. Sementara hanya menerima pekerjaan dari rumah, agar bisa menghabiskan banyak waktu bersama.Hari ini, Ammar mengajak Ayudia untuk pindah ke rumah baru mereka. Tempat yang akan menaungi hari-hari keluarga kecil Ammar ke depan. Rumah yang berhasil Ammar wujudkan dalam kurun waktu satu bulan. Ia mendesain sendiri rumah itu. Berkonsep minimalis dan estetik. Sengaja Ammar hanya memberi dua kamar pada rumah tersebut, dengan alasan agar Ayudia tidak kelelahan membereskan pekerjaan rumah saat ia sedang ke luar k
Ayudia mematut dirinya di depan cermin, memandang dan menatap detail tubuhnya yang terbalut gamis berwarna navy dengan kerudung senada, menutup sampai di bawah perut. Pakaian sederhana berbahan brukat tanpa pernak-pernik apapun. Namun, aura kecantikan tetap memancar dari wajah ayu itu. Ia memoles bedak dan lipstik. Tidak perlu foundation, tidak perlu eyeliner, blashon dan lain sebagainya. Ayudia pikir, hanya lamaran, tak perlu tampak berlebihan juga.Fa juga terlihat tampan dengan kemeja abu, pakaian yang Ammar belikan. Bocah kecil itu anteng sekali sejak tadi, seakan ia paham benar suasana hati sang ibu. Bahagia. Sudah pukul delapan malam, Ammar juga sudah mengabarkan jika ia sudah berjalan dengan rombongan menuju rumah Ayudia. Akan tetapi, sudah lebih dari sepuluh menit belum juga sampai."Mbak, ayo keluar. Mas Ammar sudah datang. Biar Fa, aku yang gendong.""Sudah sampai? Kok ndak kedengeran suara mobil?"Najma tersenyum, "Ya ndak, orang jalan kaki."Ayudia membelalak, kurang yakin
Dua hari kemudian Ammar baru menanyakan lagi perihal jawaban Ayudia. Sebab ... semakin ditunggu, Ayudia justru semakin kelihatan menjauh, membuat Ammar dilanda kegalauan. Dengan amat sangat terpaksa, Ammar membuang urat malu dan melapisi wajahnya dengan tembok, Ammar menagih jawaban Ayudia. Dengan santai dan hanya dalam sebuah pesan singkat. Ayudia menjawab dengan Jawaban yang masih sama. Tetap iya, membuat Ammar merasa bingung akibat tak mau terlalu percaya diri dulu dan akhirnya kecewa. Lalu ia desak lagi agar menuliskan jawaban yang jelas menggunakan kalimat, bukan sekedar satu kata. [Iya, Dia mau kembali dengan Kakak.] Pesan yang Ayudia kirim barusan, Ammar pandangi sampai lama, sampai seluruh kepingan jiwa dan kewarasannya kembali. Lalu ... "Yey! Yes! Alhamdulillah ya Allah ...! Alhamdulillah! Hore ... Umi ... Dia mau, Dia mau, Mi ....!" Umi tidak heran, sebab beliau begitu paham dengan tabiat anaknya yang memuja Ayudia. Janggal jikalau Ammar tidak jingkrak-jingkrak. Jika sud
Ayudia memanggil-manggil Umi dan Abah. Sayangnya tidak ada sahutan. Albi lalu meninggalkan Ammar di kursi saja, dan pergi keluar. Fatma malah meringkuk dengan Fa, tidak mungkin Ayudia membangunkan, yang ada Fa akan kaget. Akhirnya ia sendiri yang menangani Ammar."Kak, Dia siapkan air hangat untuk mandi ya? Tapi di kamar mandi belakang, Kakak ambil bajunya dulu di kamar.""Ndak kuat, Dia ... tolong sekalian."Meski ragu-ragu, Ayudia tetap membuka pintu kamar Ammar, lalu menghidupkan lampu kamar."Dia ..." Panggil Ammar,Ayudia terlonjak, "Ya.""Ehm, itu ... itunya ... ndak usah."Ayudia berbalik dan mendekati Ammar. Ia tidak mengerti apa yang sedang Ammar bicarakan. "Itu itunya itu apa sih, Kak?""Ya itu, ndak usah. Di belakang ada."Ayudia menggeleng, masih tidak paham ia melengos dan masuk ke kamar lalu membuka lemari. Barulah saat pupilnya menangkap segitiga berkerut, bulu kuduknya meremang. Ia baru memahami ucapan Ammar tadi. Mengalihkan pandangan lalu menarik satu kaos dan celana
Pukul sebelas malam, Ayudia dan Ammar baru saja akan pulang dari bidan Diva. Fa tidak perlu pengobatan serius karena memang hanya mau pilek biasa. Kegelapan menemani sepanjang perjalanan mereka, tak nampak sepercik sinar kehidupan dari rumah-rumah warga, semua gelap dan mencekam.Cuaca memang sering tidak terduga, bulan yang seharusnya menjadi musim panas, tiba-tiba terguyur hujan lebat. Biasa begitu kalau lama tidak hujan, giliran hujan petir tampil paling garang. Ayudia yang terkantuk-kantuk sambil mengepuk-ngepuk paha Fa, memaksa buka suara untuk menemani Ammar yang tengah menyetir."Kak ... nanti langsung pulang ke rumah Kak Ammar saja, Dia biar pulang sendiri. Baju Kak Ammar kan basah, takut masuk angin."Ammar mengangguk dalam temaram. Entah terlihat atau tidak. Bibirnya sudah tidak mampu lagi mengatup, dingin yang menyeruak sampai ke tulang sumsum, membuat pria itu menekan gigi-giginya untuk menahan getaran pada tubuh. Rasanya Ammar sudah ingin ambruk, akan tetapi ... dua malai
Semua aktivitas sudah berjalan seperti sediakala. Ayudia sudah terlepas dari bayang-bayang trauma. Ia fokus mengasuh Fa dan mengelola rumah semai bersama Najma. Sedang Ammar juga sibuk sendiri dengan proyek yang membanjiri peminat jasanya. Ya, Ammar memutuskan untuk berhenti mengajar, karena merasa bosan dan itu memang bukan bidangnya. Sudah hampir sepuluh hari Ayudia tidak melihat wajah teduh pria yang semakin sering membayangi dirinya. Selama itu juga Ammar hanya beberapa kali mengirim pesan. Terakhir kemarin siang, pesan yang menanyakan kesehatannya dan Fa. Namun, saat Ayudia membalas, pesan hanya centang satu abu-abu ... sampai hari ini. Ingin bertanya kepada Najma, namun Ayudia sedikit malu. Seakan ia tidak bisa menahan rindu yang menggunung. Iapun hanya pasrah menanti kepulangannya. Kadang terbersit prasangka buruk; apakah Ammar benar-benar dengan perasaan dan pernyataannya? Atau sekedar menghibur dirinya yang kesepian? Ayudia tidak paham. Tetapi, lebih dari seminggu tanpa kab
Malam nanti aqiqah akan diselenggarakan, seluruh ketering sudah Ammar serahkan pada pihak pemotongan kambing. Ammar juga yang sibuk memesan berbagai macam kudapan untuk menambah suguhan para tetangga yang hadir. Tak lupa pria tersebut memesan tenda agar seluruh tamu bisa tertampung, dan juga tenang saat sedang menyelenggarakan marhabanan. Tidak takut kalau hujan tiba-tiba mengguyur.Rumah Ayudia sangat sesak dengan kehadiran para guru-guru dari sekolahnya mengajar dan dari Asmaul Husna. Ramai dan penuh tawa kebahagiaan. Banyak yang melempar ledekan kepada Ammar, sayangnya pria itu tak bisa lama-lama menanggapi candaan-candaan receh yang membuatnya tersenyum. Ia harus wara-wiri mendampingi pemasang dekor dan tenda. Ia ingin semua sempurna. Enak dipandang dan indah. Sesuai keinginannya. Ah, sudah seperti pemilik event organizer, saja."Am ... buruan dilamar, keburu disabet bujang-bujang yang lebih unggul darimu!" Kata Iqbal."Santai aja, Bal. Meski banyak yang lebih unggul, tapi pesonak
Ayudia menutup kembali buku itu, meletakkan di laci lemari seperti sediakala. Hatinya sudah plong, pikirannya jauh lebih ringan. Tiba-tiba semua suara yang entah sejak kapan suka sekali berbisik di telinga, lenyap begitu saja. Ayudia bingung, sebenarnya apa yang terjadi? Apakah semua adalah pengaruh dari setan? Ah ya sudah lah, yang terpenting kini ia merasa lebih baik. Perempuan tersebut berjalan menapaki semua ruangan di rumahnya. Mencari dimana gerangan gadis yang izin memasak tadi. Ayudia memanggil-manggil gadis itu. Rasanya tak sabar mengabarkan untuk segera mencari bayi kecilnya yang kemarin ia tolak."Najma ... Najma ... di mana, Najma?" Ayudia bertanya pada dirinya, matanya memindai seluruh ruangan tak terkecuali. Ingin berjalan ke belakang, mencari di 'Rumah Semai', namun kewanitaan miliknya masih terasa nyeri. Darah nifas mengalir dengan derasnya. Akhirnya ia duduk di ruang tamu. Bahkan sekarang perempuan berstatus janda dua kali itu, sedang senyum-senyum sendiri. Hatinya se
Akhirnya Adam kecil dibawa pulang oleh Umi yang diantar Andre. Ammar menunggu Ayudia, dan Najma pergi membeli perlengkapan bayi bersama Habibi. Andre harus mengalah karena diamanahi oleh Najma untuk menjaga rumah semai di kediaman Ayudia. Keesokan pagi, Ammar membawa Ayudia pulang. Kondisinya sudah stabil, meski ia masih tampak lesu dan banyak diam. Najma yang menjaga Ayudia semalaman, ikut pulang dengan mobil Ammar. Dua pria yang tengah gencar mendekatinya sudah kembali ke daerah masing-masing. Gadis itu mencoba membuka obrolan agar Ayudia berbicara. "Mbak Dia, kemarin Andre mengantar benih mahoni 250 pohon. Baru Najma bayar setengah, setengahnya nanti kalau sudah laku seluruhnya." Tidak bergeming, Ayudia tetap diam. Najma dan Ammar saling pandang melalui kaca tengah. Lalu Najma mengangkat bahu, kode bahwa ia tak bisa berbuat banyak. Kini giliran Ammar berusaha mengalihkan perhatian Ayudia dari hilir-mudik kendaraan di jalan. "Dia ... bagaimana jika nanti saat sampai di rumah, aku