Tujuan menikah salah satunya memiliki keturunan. Bagi banyak pasangan, ketika menikah dan cepat dikaruniai anak adalah sebuah berkah yang amat membahagiakan. Namun, bagi sebagian kecilnya, anak menjadi penghambat karir mereka yang sedang cemerlang-cemerlangnya.
Ada juga sebagian pasangan yang lama menikah masih belum juga dipercaya untuk mengemong buah hati. Banyak sekali cerita mengenai anak di dalam rumah tangga. Ela saja yang menikah lebih dulu, belum diberi keturunan. Ayudia bahkan baru dirasai sekali saja oleh Ammar.
Ayudia menggeleng-gelengkan kepala, mengusir bisikan s**** yang semakin gencar menancapkan ujaran kedzaliman.
"Astaghfirullah ... Ya Allah, kenapa harus hamba yang Engkau pilih, kenapa bukan Ela yang sudah dua tahun menikah? Kenapa harus hamba yang belum bisa membina rumah tangga dengan layak? Hiks ... hiks ..."
Jika sedang gundah dan gusar, manusia seringkali menyalahkan takdir, bahkan kadang lupa siapa penguasa jagad raya sesungguhnya.
Ammar kembali ke rumah pukul tujuh, setelah semua anggota keluarga melakukan santap malam.Ammar lusuh dan kusut, ia juga meninggalkan semua aktivitas yang biasanya dilakukan. Sejak keluar dari tempat tinggal Ayudia, Ammar memilih menyendiri di bawah rumpunnya pohon bambu."Assalamualaikum." Seru Ammar kala kakinya memasuki rumah. Abah juga harus absen dari pengajian karena khawatir dengan Ammar dan Ayudia.Umi dan Abah berdiri menyambut putranya yang terlihat tak baik-baik saja."Walaikumsalam. Kenapa lusuh gitu, Am? Dia ndak marah lagi kan?"Ammar diam."Biar Ammar makan dulu saja, Mi.""Ya sudah, ayo ke belakang. Umi temani makan."Umi menyuguhkan piring yang sudah berisi nasi dan lauk pauk."Ini, dimakan dulu."Mencium aroma nasi di rumah, membuat perut Ammar mual. Nasi yang urung masuk ke mulut, sudah tertolak mentah-mentah. Ammar tak sanggup merasai nasi tersebut."Perut Ammar mual, Mi.""Loh,
Perempuan berkerudung navy lebar yang menutup surai hingga ke perut yang sedikit terlihat buncit. Ia tengah duduk di depan pagar besi yang menghadap sawah. Hamparan padi yang mulai menghijau menjadi titik fokusnya. Indah dan menyejukkan pandangan, namun keindahan yang terpampang nyata itu tak mampu menyegarkan hati Ayudia.Ayudia sudah berhasil melewati tiga bulan pertama kehamilannya dengan aman. Ia juga sudah hidup serumah dengan Ammar selama dua setengah bulan. Selama itu, mereka berpisah tempat tidur. Dan waktu yang cukup tersebut tak mampu membawa dua insan bertali pernikahan itu kunjung membaik.Di dalam rumah hanya ada keheningan, kesunyian dan kecanggungan. Meski sekarang Ammar sudah lebih baik, akan tetapi sikap itu belum mampu menggetarkan hati Ayudia.Awal-awal mereka tinggal bersama, Ayudia masih rela mendahului untuk selalu menegur dan menyapa. Membuka obrolan dan selalu menjaga sikap santun karena Ammar memanglah suaminya. Namun akhirnya, ia menyer
Benar saja, Ayudia mengandung dua janin. Kehamilan kembar mempersempit ruang gerak Ayudia, sehingga ia diminta untuk bedrest total. Penyakitnya mempunyai andil sebagai pencetus ia agar banyak istirahat. Ayudia dilarang mengerjakan pekerjaan rumah, mulai dari yang berat hingga ringan.Di dalam tubuhnya bersemayam dua nyawa lain. Tidak hanya dirinya saja. Ayudia harus makan lebih banyak, butuh asupan nutrisi yang lebih untuk tetap kuat. Tingkat stres juga sudah dibicarakan, dokter mewanti-wanti ia dan Ammar. Jika Ayudia sampai stres, tak menutup kemungkinan, ia akan mengalami anemia kembali.Jika sudah begitu, sangat rentan terjadi kelahiran dini. Maka, Ammar diminta untuk menjaga baik mood Ayudia.Kini Ayudia sudah diboyong kembali ke rumah Abah. Umi menugaskan dua santri untuk menemani Ayudia di rumah setiap harinya."Sudah, Mbak." Seru Via yang selesai mengulek sambal untuk rujakan.Ditemani Via dan Sera, Ayudia tengah makan rujak yang baru-baru i
Ammar meninggalkan Ayudia usai mereka terjebak dalam pertengkaran yang tak berujung. Padahal ia sendiri yang menjadi sebab hubungannya dengan Ayudia selalu panas. Ammar belum meminta maaf atas tuduhannya, ia belum sepenuhnya percaya. Mana mungkin foto sejelas itu disebut oleh Ayudia adalah hasil editan.Ammar menerima empat bingkai foto yang Nur kirimkan melalui pesan WhatsApp. Sejak pertama Ammar menikahi Ayudia, memang Nur sering mengompori Ammar atas sifat Ayudia. Ammar percaya karena memang Nur memiliki seorang kakak yang berteman dengan Ayudia. Bahkan Nur juga menunjukkan foto sang kakak yang tengah berada di sungai guna mencuci baju bersama Ayudia dan beberapa gadis lain yang tentu saja Ammar tak kenali.Ammar kira kalau seorang teman sampai mencuci bersama merupakan teman akrab. Padahal itu saat kegiatan KKN. Sejak awal Ammar terlanjur percaya dengan Nur, sehingga tercipta kesan pertama yang buruk pada Ayudia. Sampai Ammar tak berpikir jernih, bukannya kalau tem
Ammar keluar dari ruang bersalin, begitu juga dengan Umi. Ayudia memilih untuk berjuang seorang diri. Bukan maksudnya sombong dan merasa kuat, namun ia lebih nyaman jika sendiri. Sebenarnya ia sangat ingin didampingi oleh Uti. Tapi Ayudia merasa kasihan jika Utinya harus datang ke kota yang jaraknya sangat jauh. Apalagi Atuk sudah mulai sering mengeluh sakit di bagian bagian pinggang dan lutut.Ayudia akan mempertaruhkan nyawanya demi sang buah hati, apapun yang akan terjadi asal anak-anak lahir selamat. Ia tak berhenti merapalkan do'a. Memohon pada sang Khaliq agar memberinya kemudahan. Akan tetapi, sampai menjelang terik kembali, tepatnya pukul lima lewat tujuh menit, Ayudia belum juga lengkap bukaannya.Tenaganya sudah habis terkuras oleh seribu kali lipat rasa sakit yang timbul akibat induksi. Ammar tak akan tahu sakitnya berjuang dengan jalan induksi.Pandangannya perlahan kabur, perawat yang menunggu mulai panik. Beberapa lainnya berlari menghambur ke luar
Ketika matahari memanggang jalanan berdebu, Ammar masih bergerak gelisah. Bersembunyi di bawah pohon beringin. Angin yang berhembus kencang tak mampu menyejukkan diri Ammar. Sudah lebih dari satu jam setengah Ammar menunggu teman Adam yang ia sendiri belum tahu namanya.Umi dan Abah pun sama gelisahnya dengan Ammar. Beberapa kali Umi melakukan panggilan telepon untuk menanyakan sudahkah ia dapatkan darah tersebut. Ammar menjawab belum. Ia ragu untuk mengungkap kebenaran bahwa bukan dirinya yang berhasil menyelamatkan Ayudia. Resah kembali bergelayut, Ammar tak ingin nama Adam membumbung tinggi di lisan Abah, Umi. Terutama Ayudia.Tiga puluh menit kemudian, Abah kembali menghubungi. Abah sempat memaki Ammar karena tak bergerak juga. Sebenarnya bukan memaki, namun kondisi Ammar yang tengah sensitif, menganggap usulan-usulan yang Abah lontarkan adalah sebuah ujaran kemarahan.Tak tahan bolak-balik di teror oleh Abah serta Umi. Akhirnya, Ammar mengaku juga. Mengatak
Gumpalan awan yang menghitam, mulai menyebar ke seluruh atap bumi. Menutup teriknya matahari siang itu. Mendung berselimut. Tak perlu kerja keras, awan yang dipenuhi uap tersebut, sudah tak mampu menampung butiran air yang menggumpal di dalamnya. Hujan ... membasahi gersangnya pepohonan kering.September 2021, bulan sembilan masih berada di musim kemarau. Hampir satu bulan lebih, Kampung Kipyuh tak mendapat hawa dingin dari derasnya hujan. Sepertinya daerah yang tengah terlewati pun lama tak terguyur hujan. Terbukti, petrichor mulai menusuk hidung, baunya masuk hingga ke dalam mobil.Mobil panther yang tadinya melaju kencang, perlahan mengurangi kecepatannya. Kaca depan mengembun, meski wiper aktif bergoyang ke kanan kiri, namun tetap saja, embun juga menembus ke bagian dalam. Menyulitkan sang pengemudi untuk melaju, sesekali ia harus mengelap pakai tisu yang ada di dashboard.Jika dilihat dari sebaran awan yang merata, Kampung Kipyuh sepertinya juga mendapat ja
Hampir 7 hari tanpa keberadaan Ammar di rumah, membuat Ayudia serasa bagai burung yang diliarkan ke alam. Meski sudah tak ada lagi sikap ketus dari Ammar, namun pria tersebut kadang masih suka lupa dan bicara dengan kata-kata yang menohok. Apalagi sekarang Ammar lebih sering cemburu saat Ayudia hanya menjawab pertanyaan dari santri pria yang kebetulan lewat di depan rumah. Menurut informasi yang Ayudia dengar dari Fatma juga Najma. Nama Ammar terseret kasus Nur. Kata mereka, Nur tak mengakui hubungan gelapnya dengan suami salah satu warga, dan malah menyebut bahwa ia memiliki hubungan lebih dari seorang santri dan ustadnya dengan Ammar. Parahnya, Nur bilang, ia sering berduaan dengan Ammar. Entah bagaimana jalan pikiran gadis itu. Kata Fatma; biarkan saja Kakak kandungnya itu memakan ucapan yang sering dilontarkan. Karena tak mengakui dosa yang diperbuat, Nur diarak keliling kampung. Warga juga menyematkan kalung di leher Nur. Bukan kalung rangkaian bunga, apal
Tiga hari sudah Ammar menjabat sebagai suami dari Ayudia Prasasti. Ia sangat menikmati perannya tersebut. Ia ingin menjadi suami yang terbaik untuk Ayudia, tidak akan mengulang kesalahan dahulu, atau bisa fatal akibatnya. Selama tiga hari, Ammar senantiasa membantu Ayudia dalam hal apapun. Ia cekatan merawat Fa dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci piring dan mencuci pakaian. Ammar juga memutuskan untuk tidak pergi ke luar kota, dalam waktu yang tidak bisa ditentukan. Sementara hanya menerima pekerjaan dari rumah, agar bisa menghabiskan banyak waktu bersama.Hari ini, Ammar mengajak Ayudia untuk pindah ke rumah baru mereka. Tempat yang akan menaungi hari-hari keluarga kecil Ammar ke depan. Rumah yang berhasil Ammar wujudkan dalam kurun waktu satu bulan. Ia mendesain sendiri rumah itu. Berkonsep minimalis dan estetik. Sengaja Ammar hanya memberi dua kamar pada rumah tersebut, dengan alasan agar Ayudia tidak kelelahan membereskan pekerjaan rumah saat ia sedang ke luar k
Ayudia mematut dirinya di depan cermin, memandang dan menatap detail tubuhnya yang terbalut gamis berwarna navy dengan kerudung senada, menutup sampai di bawah perut. Pakaian sederhana berbahan brukat tanpa pernak-pernik apapun. Namun, aura kecantikan tetap memancar dari wajah ayu itu. Ia memoles bedak dan lipstik. Tidak perlu foundation, tidak perlu eyeliner, blashon dan lain sebagainya. Ayudia pikir, hanya lamaran, tak perlu tampak berlebihan juga.Fa juga terlihat tampan dengan kemeja abu, pakaian yang Ammar belikan. Bocah kecil itu anteng sekali sejak tadi, seakan ia paham benar suasana hati sang ibu. Bahagia. Sudah pukul delapan malam, Ammar juga sudah mengabarkan jika ia sudah berjalan dengan rombongan menuju rumah Ayudia. Akan tetapi, sudah lebih dari sepuluh menit belum juga sampai."Mbak, ayo keluar. Mas Ammar sudah datang. Biar Fa, aku yang gendong.""Sudah sampai? Kok ndak kedengeran suara mobil?"Najma tersenyum, "Ya ndak, orang jalan kaki."Ayudia membelalak, kurang yakin
Dua hari kemudian Ammar baru menanyakan lagi perihal jawaban Ayudia. Sebab ... semakin ditunggu, Ayudia justru semakin kelihatan menjauh, membuat Ammar dilanda kegalauan. Dengan amat sangat terpaksa, Ammar membuang urat malu dan melapisi wajahnya dengan tembok, Ammar menagih jawaban Ayudia. Dengan santai dan hanya dalam sebuah pesan singkat. Ayudia menjawab dengan Jawaban yang masih sama. Tetap iya, membuat Ammar merasa bingung akibat tak mau terlalu percaya diri dulu dan akhirnya kecewa. Lalu ia desak lagi agar menuliskan jawaban yang jelas menggunakan kalimat, bukan sekedar satu kata. [Iya, Dia mau kembali dengan Kakak.] Pesan yang Ayudia kirim barusan, Ammar pandangi sampai lama, sampai seluruh kepingan jiwa dan kewarasannya kembali. Lalu ... "Yey! Yes! Alhamdulillah ya Allah ...! Alhamdulillah! Hore ... Umi ... Dia mau, Dia mau, Mi ....!" Umi tidak heran, sebab beliau begitu paham dengan tabiat anaknya yang memuja Ayudia. Janggal jikalau Ammar tidak jingkrak-jingkrak. Jika sud
Ayudia memanggil-manggil Umi dan Abah. Sayangnya tidak ada sahutan. Albi lalu meninggalkan Ammar di kursi saja, dan pergi keluar. Fatma malah meringkuk dengan Fa, tidak mungkin Ayudia membangunkan, yang ada Fa akan kaget. Akhirnya ia sendiri yang menangani Ammar."Kak, Dia siapkan air hangat untuk mandi ya? Tapi di kamar mandi belakang, Kakak ambil bajunya dulu di kamar.""Ndak kuat, Dia ... tolong sekalian."Meski ragu-ragu, Ayudia tetap membuka pintu kamar Ammar, lalu menghidupkan lampu kamar."Dia ..." Panggil Ammar,Ayudia terlonjak, "Ya.""Ehm, itu ... itunya ... ndak usah."Ayudia berbalik dan mendekati Ammar. Ia tidak mengerti apa yang sedang Ammar bicarakan. "Itu itunya itu apa sih, Kak?""Ya itu, ndak usah. Di belakang ada."Ayudia menggeleng, masih tidak paham ia melengos dan masuk ke kamar lalu membuka lemari. Barulah saat pupilnya menangkap segitiga berkerut, bulu kuduknya meremang. Ia baru memahami ucapan Ammar tadi. Mengalihkan pandangan lalu menarik satu kaos dan celana
Pukul sebelas malam, Ayudia dan Ammar baru saja akan pulang dari bidan Diva. Fa tidak perlu pengobatan serius karena memang hanya mau pilek biasa. Kegelapan menemani sepanjang perjalanan mereka, tak nampak sepercik sinar kehidupan dari rumah-rumah warga, semua gelap dan mencekam.Cuaca memang sering tidak terduga, bulan yang seharusnya menjadi musim panas, tiba-tiba terguyur hujan lebat. Biasa begitu kalau lama tidak hujan, giliran hujan petir tampil paling garang. Ayudia yang terkantuk-kantuk sambil mengepuk-ngepuk paha Fa, memaksa buka suara untuk menemani Ammar yang tengah menyetir."Kak ... nanti langsung pulang ke rumah Kak Ammar saja, Dia biar pulang sendiri. Baju Kak Ammar kan basah, takut masuk angin."Ammar mengangguk dalam temaram. Entah terlihat atau tidak. Bibirnya sudah tidak mampu lagi mengatup, dingin yang menyeruak sampai ke tulang sumsum, membuat pria itu menekan gigi-giginya untuk menahan getaran pada tubuh. Rasanya Ammar sudah ingin ambruk, akan tetapi ... dua malai
Semua aktivitas sudah berjalan seperti sediakala. Ayudia sudah terlepas dari bayang-bayang trauma. Ia fokus mengasuh Fa dan mengelola rumah semai bersama Najma. Sedang Ammar juga sibuk sendiri dengan proyek yang membanjiri peminat jasanya. Ya, Ammar memutuskan untuk berhenti mengajar, karena merasa bosan dan itu memang bukan bidangnya. Sudah hampir sepuluh hari Ayudia tidak melihat wajah teduh pria yang semakin sering membayangi dirinya. Selama itu juga Ammar hanya beberapa kali mengirim pesan. Terakhir kemarin siang, pesan yang menanyakan kesehatannya dan Fa. Namun, saat Ayudia membalas, pesan hanya centang satu abu-abu ... sampai hari ini. Ingin bertanya kepada Najma, namun Ayudia sedikit malu. Seakan ia tidak bisa menahan rindu yang menggunung. Iapun hanya pasrah menanti kepulangannya. Kadang terbersit prasangka buruk; apakah Ammar benar-benar dengan perasaan dan pernyataannya? Atau sekedar menghibur dirinya yang kesepian? Ayudia tidak paham. Tetapi, lebih dari seminggu tanpa kab
Malam nanti aqiqah akan diselenggarakan, seluruh ketering sudah Ammar serahkan pada pihak pemotongan kambing. Ammar juga yang sibuk memesan berbagai macam kudapan untuk menambah suguhan para tetangga yang hadir. Tak lupa pria tersebut memesan tenda agar seluruh tamu bisa tertampung, dan juga tenang saat sedang menyelenggarakan marhabanan. Tidak takut kalau hujan tiba-tiba mengguyur.Rumah Ayudia sangat sesak dengan kehadiran para guru-guru dari sekolahnya mengajar dan dari Asmaul Husna. Ramai dan penuh tawa kebahagiaan. Banyak yang melempar ledekan kepada Ammar, sayangnya pria itu tak bisa lama-lama menanggapi candaan-candaan receh yang membuatnya tersenyum. Ia harus wara-wiri mendampingi pemasang dekor dan tenda. Ia ingin semua sempurna. Enak dipandang dan indah. Sesuai keinginannya. Ah, sudah seperti pemilik event organizer, saja."Am ... buruan dilamar, keburu disabet bujang-bujang yang lebih unggul darimu!" Kata Iqbal."Santai aja, Bal. Meski banyak yang lebih unggul, tapi pesonak
Ayudia menutup kembali buku itu, meletakkan di laci lemari seperti sediakala. Hatinya sudah plong, pikirannya jauh lebih ringan. Tiba-tiba semua suara yang entah sejak kapan suka sekali berbisik di telinga, lenyap begitu saja. Ayudia bingung, sebenarnya apa yang terjadi? Apakah semua adalah pengaruh dari setan? Ah ya sudah lah, yang terpenting kini ia merasa lebih baik. Perempuan tersebut berjalan menapaki semua ruangan di rumahnya. Mencari dimana gerangan gadis yang izin memasak tadi. Ayudia memanggil-manggil gadis itu. Rasanya tak sabar mengabarkan untuk segera mencari bayi kecilnya yang kemarin ia tolak."Najma ... Najma ... di mana, Najma?" Ayudia bertanya pada dirinya, matanya memindai seluruh ruangan tak terkecuali. Ingin berjalan ke belakang, mencari di 'Rumah Semai', namun kewanitaan miliknya masih terasa nyeri. Darah nifas mengalir dengan derasnya. Akhirnya ia duduk di ruang tamu. Bahkan sekarang perempuan berstatus janda dua kali itu, sedang senyum-senyum sendiri. Hatinya se
Akhirnya Adam kecil dibawa pulang oleh Umi yang diantar Andre. Ammar menunggu Ayudia, dan Najma pergi membeli perlengkapan bayi bersama Habibi. Andre harus mengalah karena diamanahi oleh Najma untuk menjaga rumah semai di kediaman Ayudia. Keesokan pagi, Ammar membawa Ayudia pulang. Kondisinya sudah stabil, meski ia masih tampak lesu dan banyak diam. Najma yang menjaga Ayudia semalaman, ikut pulang dengan mobil Ammar. Dua pria yang tengah gencar mendekatinya sudah kembali ke daerah masing-masing. Gadis itu mencoba membuka obrolan agar Ayudia berbicara. "Mbak Dia, kemarin Andre mengantar benih mahoni 250 pohon. Baru Najma bayar setengah, setengahnya nanti kalau sudah laku seluruhnya." Tidak bergeming, Ayudia tetap diam. Najma dan Ammar saling pandang melalui kaca tengah. Lalu Najma mengangkat bahu, kode bahwa ia tak bisa berbuat banyak. Kini giliran Ammar berusaha mengalihkan perhatian Ayudia dari hilir-mudik kendaraan di jalan. "Dia ... bagaimana jika nanti saat sampai di rumah, aku