Jalan persimpangan terbilang cukup jauh dari penginapan. Sepinya jalan benar-benar membuat orang tenang tapi juga membuat Arum sedikit was-was akan keadaan sekitar. Menelisik keadaan sekitar, yang bahkan seekor serangga saja tidak terlihat di depan mata.Suara yang sejak tadi memanggilnya justru menghilang begitu Arum berbelok ke kanan. Tidak mendapati siapa pun selain dirinya sendiri, dengan bertelanjang kaki ia berputar di tempat. Bola matanya bergerak ke kanan dan kiri, berusaha mencari sesuatu atau sumber suara mencurigakan itu.“Siapa yang memanggil tadi ya? Aku bingung.”Kedua alisnya hampir menyatu, beberapa pertanyaan terus bergilir dalam otaknya. Sebanyak apa pun pertanyaan pun rasanya tidak akan pernah ada jawaban. Arum mundur setengah langkah kemudian sesuatu yang berat di saku celana hitamnya bergerak lalu terjatuh membentur jalanan beraspal.“Ponselku?!” jerit Aru
Bagaimana pandangannya terhadap sosok pria bernama Julvri Vandam? Pernah beberapa kali pertanyaan ini terlontar dari orang-orang di sekitarnya tapi tak pernah sekalipun Arum menjawab dengan sepenuh hati lantaran dulu ia berpikir hanya untuk memanfaatkan kekayaannya saja. Sedikit demi sedikit hubungan mereka seperti dua buah kain yang dijahit ulang. Perasaan yang sebenarnya tumbuh, Arum yang merasakan itu hanya bisa terdiam sembari memandang sosok suaminya dalam perasaan senang. Kebahagiaan sejati sudah berada di depan mata, kemudian kalimat ini terlintas dalam benaknya. Arum berpikir selamanya akan seperti ini tapi ia salah dan terjadilah kejadian tak terduga hari itu. Berawal dari sebuah ramalan dukun lalu berlanjut sifat atau sikap Julvri yang aneh, hingga kejadian di mana Arum menyaksikan suaminya telah melakukan hal keji secara langsung. Berdalih, "Ini demi dirimu. Aku tidak mau kamu diganggu oleh mereka lagi." Jika diingat kembali Julvri melakukan itu semua murni karena kein
Terbesit dalam pikiran Jean tuk menyembunyikan keberadaan Arum sepenuhnya namun ia teringat bahwa sikap itu akan sama saja seperti Julvri yang telah memperlakukannya kasar. Entah dengan alasan apa pun juga Jean merasa bahwa tindakan Julvri salah, namun Jean tidak mengerti kenapa Arum ingin mempercayainya sekali lagi.“Benarkah kamu wanita yang dulu sangat buruk itu?” Jean merupakan teman kuliah Arum, tapi juga teman semasa sekolah dulu. Meskipun Arum sama sekali tidak ingat akan hal itu. Sudah sejak lama Jean menaruh perhatiannya pada Arum, saat itu masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Arum Kusuma Pramesti, awal masuk ia cukup pendiam dan seringkali melihat seorang murid entah itu laki-laki ataupun perempuan yang dirundung oleh teman-teman sekelasnya. Arum hanya bisa diam membisu seolah tidak melihat kejadian tersebut.Sepekan hingga dua pekan telah berlalu, Jean Caspiro sebagai murid pindahan sekaligus kakak kelas bagi Arum masih memperhatikan setiap tingkah Arum hingga
“Aku benar-benar ingin kembali, Jean. Kamu pun tahu bagaimana sikapku yang penuh perhitungan tapi di lain sisi aku juga tipe orang yang memikirkan orang yang aku sayangi.”“Kamu juga sudah tahu bagaimana sifat asli Julvri. Kenapa kamu tidak mau mengerti? Salah langkah maka nyawamu yang akan melayang. Tahu tidak?” tukas Jean menegaskan.Ia berharap Arum takkan pernah kembali mengingat suaminya yang tidak waras akan tetapi Arum bersikukuh menginginkan keputusannya ini demi diri sendiri ataupun demi Julvri juga.Sekilas wajahnya terlihat polos namun di dalam pikirannya terdapat banyak hal rumit yang bahkan seharusnya tidak perlu dipikir panjang. Entah indera yang tumpul atau mungkin memang Arum yang sudah bersiap diri, Jean tetap tidak ingin Arum kembali.“Tolong hargai nyawamu,” pinta Jean dengan tatapan sedih.Sorot mata yang h
Sebuah tujuan hidup terucap dari bibir, terukir dalam hati dan terpatri dalam ingatan. Arum Kusuma Pramesti, wanita yang memiliki dua peran seumur hidup. Berdiri sebagai wanita biasa namun juga tidak biasa. Jahat atau baik, kedua sifat yang berbanding terbalik itu dimilikinya. Seolah ada dua orang yang bersemayam dalam tubuh Arum.Kadang-kadang perasaan takut muncul karena perasaan bersalah ataupun perasaan takut yang murni karena sesuatu. Julvri, adalah pria yang membuatnya mengalami pengalaman pertama dalam ketakutan murni itu. Arum memendam rasa takut itu beserta dengan rasa cemas tak biasa.Awalnya Arum mengabaikan hal itu tapi semakin lama ia berpisah dengan Julvri, bukannya merasa tenang ia justru gelisah. Seolah terkena sihir hitam tapi Arum yakin bukan karena itu.“Arum,” ucap Jean memanggil.“Ada apa?”“Tidak.”Percakapan singkat dilalui, set
Beberapa menit sebelum Arum melenggang keluar dari toilet, Arum mendapatkan sebuah pesan singkat dari suami tersayang.[Aku menemukanmu.] Pesan singkat ini tentu saja membuat jantung Arum berdegup kencang, rasa gugup entah ia menerka ini adalah sebuah perhatian khusus dari Julvri atau mungkin sedang ketakutan karena lokasinya sudah ketahuan begitu cepat.Jujur saja Arum pun tidak tahu mengapa. Tetapi tidak ada jawaban untuk Julvri dan Arum hanya gemetar memegang ponsel tanpa berpikir yang macam-macam lagi."Tunggu aku, Julvri." Arum membatin.Ponselnya didekap dalam dada, seolah memeluk karena kerinduannya pada sang suami tercinta. Di sisi lain rasa takut tidak sepenuhnya hilang namun Arum sudah lama bertekad untuk kembali padanya.Tidak lama ponselnya bergetar, layar ponsel berubah ke laman panggilan, Julvri menghubungi. Dengan cepat Arum mengangkat
“Apa?”Jean menoleh dan terus menatap serius padanya. Kemudian berkata, “Kamu pasti berniat membongkar watak aslinya dengan bukti konkret dengan mengorbankan diri sendiri.”Arum diam dengan dahi berkerut. Wanita itu berpaling dari tatapan Jean. Sebenarnya tidak salah namun ada alasan lain mengapa Arum melakukan ini semua."Aku melakukan ini semua demi dirimu. Aku tidak ingin Julvri membunuhmu juga, Jean." Arum membatin.Langit senja telah membuka tabir di antara mereka berdua. Apa pun yang terbesit telah terucap di bibir. Jean dan Arum sama-sama keras kepala dan meyakini keputusan mereka adalah keputusan terbaik, meski begitu ada sedikit hal yang masih disembunyikan.Kendaraan beroda empat itu berhenti di suatu tempat lagi setelah sempat berhenti sejenak di pinggir jalan. Berada di dekat perbukitan yang sepi akan pemukiman. Berbeda dengan kota-kota pada umumnya, kota kecil ini menampilkan kesan pedesaan yang ramah lingkungan.“Keluarlah.” Jean menyuruh Arum untuk keluar dari mobil ma
Rasanya sedikit perih bahkan setelah ditutup luka itu dengan plester luka, Arum kemudian memandang perekam suara itu sejenak lantas menekan tombol kecil yang berada di sampingnya untuk dinyalakan.["Coba kau jawab jujur, tidak. Aku ingin kau menjawab dengan jujur. Di mana saja kau pada tanggal xx?"]["Tentu saja aku di kantor. Kantorku terbilang baru jadi ada banyak hal yang harus aku lakukan."]["Aku sudah bertanya ke beberapa pegawai di sana. Katanya kau sempat pergi selama beberapa jam pada tanggal itu."]["Itu pasti karena aku terlalu lama menemui istriku."]Percakapan itu tidak menimbulkan kesan negatif apa pun terhadap Julvri sendiri, ia mengatakannya secara lugas namun tanpa bukti. Sedikitnya ia mendengar Julvri tertawa pelan, Arum dibuat bingung karena Julvri sendiri. “Percakapan antara Julvri dan Jean. Ini memang berbeda dari interogasi polisi sewaktu itu. Aku ingat dengan jelas Julvri hampir mengatakan hal yang sama tapi dengan membawa saksi sebagai bukti tentang alibi kami
Kehadiran seorang lelaki adalah pendamping bagi seorang wanita dan begitu juga dengan sebaliknya. Akan tetapi pasutri yang terikat pernikahan suci selama setengah tahun ini memiliki persepsi berbeda dari lainnya. Mereka memiliki sisi buruk yang tak terbayangkan serta sisi baik tak terduga. "Aku ... akan mati." Pikiran Arum hanya tertuju pada kematian saja. Dirinya berpikir ini sudah berakhir hingga beberapa petugas kepolisian menerobos masuk ke dalam rumah sembari menodongkan senjata. “Angkat tanganmu!” Luka lecet, lebam, bekas tusukan, darah terus mengalir di bagian lukanya, bahkan bekas luka jeratan tali masih terlihat. Tidak hanya itu, luka di hati pun sudah terpampang jelas di hadapan mereka. Arum sudah lemas dan tak sanggup bergerak di sisa napasnya yang sedikit. “Gawat! Orang ini tidak mau berhenti!”“Biar saya yang melakukannya!” seru seorang lelaki berpakaian jas coklat muda. Lelaki itu bergegas menghampiri lalu mem
“Ah!” Arum terbangun dalam keadaan tubuh basah berkeringat dingin. Wajahnya memucat, pupil matanya pun bergetar kuat dengan mengingat semua hal buruk yang ia pikir sedang terjadi saat ini. Namun ternyata Arum salah, begitu kesadarannya pulih dan mendapati dirinya berada di atas ranjang, ia mulai merasa tenang dan lega.“Syukurlah,” ucap Arum. “Ada apa, Arum?” Sampai melupakan sosok lelaki yang membuat Arum bermimpi buruk itu bertanya. Julvri yang telah membuka mata, lantas meraih wajah Arum dan memberinya kecupan pagi.Perasaan gelisah kembali hadir, seolah kabur hitam mengitari sekeliling tubuh mereka. Merinding tanpa bisa berekspresi lebih selain terdiam merasa takut.“Arum?” Sekali lagi sang suami memanggil dan bertanya apa masalahnya. “Ada apa?”“Julvri ... aku hanya kembali bermimpi buruk.” Perlahan Arum berucap sembari menyentuh punggung tangan kekar itu. “Mimpi buruk? Apakah itu tentang aku?”Awalnya Arum terkejut, dengan mata terbelalak dan mulut sedikit menganga, nyaris
Semilir angin membawa pergi dedaunan gugur, beterbangan bagai sehelai bulu yang ringan dan entah ke mana perginya mereka kala angin terus menggerakkannya. Sejenak suasana terasa tenang, Arum merasa begitu memejamkan mata maka dirinya akan cepat terlelap. “Julvri, apa kamu benar-benar akan membunuhku?” Dari sekian banyaknya pertanyaan, hanya kalimat itu yang terlontar dari bibir tipisnya. Sosok lelaki yang hadir berada di sampingnya itu hanya bisa terdiam dengan mulut setengah terbuka seakan hendak mengatakan sesuatu tapi tertahan. Setelah beberapa saat lelaki itu melengos dan kembali menghadap arah depan sambil menggandeng tangan sang istri dengan kuat."Ada apa dengan Julvri?" batin Arum bertanya-tanya dalam kebingungan. Sebab tak pernah merasa bahwa Julvri akan bersikap begini karena ini adalah pertama kalinya. Rasa bimbang ataupun bingung, resah dan gelisah. Entah apa yang sebenarnya Julvri pikirkan. “Tidak menjawab itu artinya benar. Lalu kenapa nggak lakukan saja sekarang? Aku
“Lalu kamu akan melakukan apa setelah menemukan sesuatu di laptopku?” Bagai disambar petir di siang bolong, Arum tersentak kaget mendapat pertanyaan yang jelas adalah sebuah sindiran. Arum mengubah posisinya menjadi duduk, sekali lagi terkejut, ia menatap tajam pada Julvri seolah sedang berbalik menghakimi.Julvri lantas bangkit dan berkata, “Ayo katakan sesuatu. Jangan sampai aku dibuat penasaran.” Di lain sisi ia merasa ada seseorang yang memperhatikan mereka. Spontan Arum menoleh ke arah pintu yang terdapat celah sedikit. “Julvri, pintunya tidak ditutup?” tanyanya sembari berusaha mengalihkan pembicaraan. “Ah, benar. Aku melupakannya,” ucap Julvri. Di celah pintu terbuka, Arum melihat sosok siluet familiar. Ia pun turun dari ranjang dan berjalan ke arah pintu dan membukanya.“Bibi Elli?” Rasanya tak pernah habis keterkejutan Arum dalam hidupnya. Ia dikagetkan oleh bibinya sendiri yang ternyata mengintip.“Ikut aku sebentar, rum.” Begitulah bibi memanggil, lalu Arum hanya mengi
Bibi Ella dan Elli adalah kembar seiras, yah, meskipun dari sifat mereka berbanding terbalik. Bibi Ella orang yang lembut sedangkan bibi Elli orangnya galak. Lalu sekarang bibi Elli berhadapan dengannya, dan entah kenapa seperti sedang marah. “Aku tidak berharap kamu mengerti ucapanku, Arum. Tapi kupikir sebaiknya ...,”“Bibi membicarakan apa?” Seolah tak ingin membahas sesuatu hal buruk itu, Arum kembali melanjutkan jahitannya yang belum selesai. Mulai dari pakaian hingga ke taplak meja, dengan sangat giat Arum mengerjakannya sepenuh hati hingga kembali sempurna seperti sedia kala. Sementara ia merasakan punggungnya dingin akibat tatapan tajam dari bibi Elli. “Aku belum selesai bicara,” katanya.Arum menelan ludah, bibir bawahnya sedikit tergigit. Setelah selesai menjahit, ia lantas menoleh ke belakang. Arum sangat terkejut akan tatapan yang dirasa semakin tajam dan menakutkan itu. “Iya, baiklah. Aku akan mendengarkannya tapi tentang apa? Bibi Elli selalu bicara setengah-setenga
Suasana di kampung halaman yang terasa lebih sejuk membuat Arum merasa rileks sejenak. Saat ini ia sedang membantu nenek menjahit pakaian yang sedikit rusak dengan cara manual. Nenek tampak sehat dengan kegesitan yang ia gunakan tuk menjahit. Sungguh hebat. “Arum, jujurlah pada nenekmu ini tentang satu hal.”Nenek memulai percakapan yang sejujurnya terdengar seolah Arum menyembunyikan sesuatu. Arum pun menghentikan gerakan tangannya terkejut. “Iya, nek. Kenapa?”“Ibumu sudah tiada dan aku ingin tahu bagaimana keadaan Ayahmu.” Rasa terkejut kembali bertambah, Arum sepenuhnya bungkam karena tak mengira bahwa nenek tidak mengetahui kabar tentang Ayahnya.“Ayahku ...,” Arum menggumam. Pikirannya mulai kalut dalam kebingungan, ia bimbang apakah perlu menceritakan yang sebenarnya atau tidak lantaran ibunya sendiri pun sengaja tidak memberitahukan hal tersebut. "Kenapa Ibu menyembunyikan hal ini? Kejadiannya sudah cukup lama. Apa aku perlu menceritakannya?" batin Arum yang memiliki bany
Arum mencercanya habis-habisan tanpa kenal takut, ia sudah tidak peduli bila suaminya akan marah karena hal ini sebab Arum pun merasa bahwa dirinya sudah tidak bisa menahannya lebih lama lagi. "Aku ingin merekam bagian ini tapi tak aku sangka aku kehabisan cara dan yang aku andalkan sekarang kata-kata meskipun tenggorokanku terasa kering sekarang," batin Arum. Rasa takut adalah hal wajar, ia berpikir sudah tak mungkin menyembunyikan kekesalannya lagi tapi di luar dugaan Julvri merespon seolah ini candaan. “Hahaha! Apa yang kamu bicarakan, Arum?” sahut Julvri yang juga tertawa bahak-bahak.“Sejak tadi kamu sepertinya berusaha membuatku marah ya? Tapi tidak masalah,” imbuhnya. “Kamu lah yang mempermainkan aku, membuatku marah dan jengkel karena terus memperlakukan aku seperti hewan ternak. Kalau kamu kesal seharusnya bunuh saja aku!” Senyum terukir semakin lebar di wajahnya yang tampan. Jemari yang besarnya dua kali lipat itu lantas kembali meraih dan membelai wajahnya dengan penuh
Dengan memanfaatkan paras tampannya, Julvri Vandam selalu mencari kesempatan untuk bermain dengan banyak wanita. Bohong kalau ia sungguhan mencintai mereka, sebab kenyatannya ia hanya mempermainkan para wanita saja. Ia bersenang-senang demi dirinya sendiri. Julvri adalah seorang lelaki tidak waras. “Hei, bagaimana kalau kita kencan besok?” Paras tampan, berduit dan memiliki hati yang baik. Itu semua terlihat di mata para wanita, ketika diajak kencan, siapa yang akan menolak? Tentu saja tidak akan ada kecuali orang buta.“B-boleh saja.” Wanita berambut pendek sebahu menjawab dengan gugup. Namun satu syarat mutlak bagi Julvri, ia memilih wanita yang sama sekali tidak berguna di kemasyarakatan. Julvri akan mengencani setiap wanita yang statusnya kadang tidak jelas, ada yang buron, setengah tidak waras, peminum dan masih banyak lagi. Rata-rata wanitanya tidak bisa dibilang wanita normal sehingga akan mudah bagi Julvri yang akan menghabisi mereka jika sudah bosan. “Julvri, hari ini kit
“Jangan kamu kira aku tidak tahu.”“Kenapa kamu berpikir begitu? Bisa saja bukan aku 'kan?” “Tapi kupikir begitu.”Semenjak perilaku Julvri yang sebenarnya terungkap jelas di depan mata, Arum dengannya selalu berdebat dan beradu kemampuan di samping ada rasa keinginan untuk melenyapkan. Kehidupan yang didambakan oleh Arum selama ini nyatanya takkan pernah terwujud karena orang yang sekarang berada di hadapannya. Apa yang Arum masukan ke dalam makanan Julvri adalah obat pencahar sementara Julvri memasukan obat pelemas otot sehingga dengan kondisi Arum saat ini akan cepat berefek, ia lemas dan sudah tak bertenaga lagi. “Taksi online pesanan kita sudah sampai. Ayo cepat pulang ke kampung halaman rumahmu, Arum.” Sambil tersenyum pria itu kembali menuntunnya masuk ke taksi online, Arum hanya bisa pasrah kala Julvri sepenuhnya mengendalikan dirinya seperti sekarang ini. “Ayo pak, jalan.”“Baik.” Perasaan mual kembali muncul setelah sekian lama, kehamilannya membuat keadaan Arum semaki