"Aaapaa maksudmu sebenarnya? Siapa kau? Jangan cari gara-gara denganku."
Rona kemarahan membuat rupa wajahnya menjadi sedikit lebih lucu menurutku. Entah apa kini yang ada dalam benaknya. Sedangkan Aku, ku rasa tak perlu membuang-buang emosi untuk menghadapi makhluk seperti perempuan ini. Dengan santai dan tetap tersenyum, ku tatap matanya lekat-lekat.
"Siapa yang mencari gara-gara denganmu. Aku hanya heran mendengar kau ngaku-ngaku istrinya si Gavin. Kepedean sekali kau."
"Terus apa hubungannya denganmu? Jangan terlalu ikut campur masalah pribadi kami Karin."
"Sebenarnya, Aku tidak berniat untuk mencampuri urusan asmara kalian. Tapi Aku hanya ingin sedikit menawarkan kerja sama denganmu. Kuharap kau tak menolak tawaranku."
"Kerja sama? Kalau mau menawarkan kerja sama, tidak usah bawa-bawa urusan pribadiku, Karin."
Aku tersenyum lebar mendengar ucapannya. Memangnya kerjasama apa yang dia pikirkan. Huuuuu perempuan pengkhianat ini benar-benar harus di beri pelajaran yang bijak. Agar dia tahu rasa.
"Kerja sama yang ku tawarkan, tentu saja ada kaitannya dengan hubungan kalian."
"Apa maksudmu sebenarnya. Tolong jangan berbelit-belit."
"Baiklah karena kau yang memintaku untuk langsung ke inti pembicaraan. Kau tahu kau sudah memiliki suami bukan? Dan apakah kau tahu akibatnya jika aku memberitahu suamimu akan semua skandal perselingkuhanmu?."
"Hahahaaa ternyata itu ancamanmu. Lakukan saja Aku tidak takut. Emangnya kamu tahu suami saya?. Suami saya itu levelnya bukan daerah sini, Karin. Hahaa. Payah. Mau kasih ultimatum padaku? Kamu belum tahu siapa saya."
Hmmmm ternyata kuat juga mental perempuan ini. Oh ya wajar saja. Kan mental pengkhianat.
"Hmmm saya kenal baik siapa suamimu. Karena dia teman lamaku. Kalau kau tak percaya, kau boleh tanyakan pada suamimu. Bahkan rumah yang kamu tempati sekarang milik suamimu bukan?. Apa kau mau jika ketahuan selingkuh, kamu akan terusir dari rumah mewah itu? Bahkan Aku juga menyimpan nomor Ferdi suamimu lho Mbak Alwa yang terhormat. Atau aku juga bisa memberitahu hal ini pada keluarga suamimu. Aku punya banyak poto-poto mesra kalian. Mau lihat??"
Terpaksa Aku membohonginya. Tentu saja Aku bkan teman lamanya Ferdi. Tapi ini sekedar untuk melancarkan rencanaku.
Sengaja kusodorkan foto-foto romantis mereka. Sedang ciuman, berpelukan, bahkan ada yang bernuansa terlalu vulgar. Kelihatan seperti mentalnya sedikit turun melihat potret dirinya sendiri.
"Bagaimana?"
"Darimana kau dapatkan semua ini."
"Kamu tidak perlu tahu."
"Oke, oke. Apa sebenarnya yang kamu mau?."
"Dari laporan temanmu sendiri, Aku tidak tahu apakah dia teman dekatmu atau bukan. Dan kau tak perlu tahu siapa namanya. Dia mengatakan bahwa Gavin memberikan uang senilai delapan juta setiap bulan. Nah Aku cuma ingin kau memberiku tujuh dari delapan juta itu padaku. Beres. Aku tidak akan membuka rahasiamu. Bagaimana?.
Wanita itu terkaget-kaget mendengar penuturanku. Matanya mendelik tajam menahan amarah. Ingin rasanya Aku terbahak-bahak sudah berhasil membuatnya terkaget-kaget dengan sepak terjangku.
"Kamu ingat, jangan coba-coba memberitahu siapapun tentang kerjasama yang bagus ini. Terutama pada Gavin. Kalau kau masih nekad bilang ke orang lain. Maka kau jangan heran kalau foto ini akan bertebaran di media sosial. Dan suamimu pertama kalinya yang ku beri tahu."
"Untuk saat ini Aku terima tawaranmu."
Setelah menunggu beberapa saat akhirnya jawaban memuaskan itu aku dapatkan.
"Kalau begitu Aku berhak memperoleh bagian pertamaku hari ini, iya kan?"
"Mana rekeningmu"
"Aku tidak mau melalui rekening. Aku mau uang cash. Atau kau serahkan saja kartu ATMmu beserta pinnya padaku."
Tentu saja Aku menolak memberi nomor rekeningku padanya. Siapa tahu di langkah selanjutnya misiku bermasalah, maka seseorang tidak bisa mengetahui siapa aku lewat nomor rekeningku. Setidaknya aku mau penyamaran namaku akan aman.
"Ikut Aku"
Ku ikuti langkah kakinya menuju Atm terdekat. Tak berapa lama keluarlah ia dengan muka masam. Ditariknya lenganku menuju tempat yang sedikit tersembunyi. Ia merogoh tasnya lalu mengeluarkan lembaran-lembaran uang merah berpotretkan soekarno Hatta. Aku tersenyum menyaksikannya. Di selipkannya uang itu di tanganku.
"Ini yang kamu mau. Untuk saat ini anggap Aku mengalah. Tapi kita tidak tahu di waktu yang akan datang. Anggap kali ini kau menang. Tapi kau tidak perlu senang dulu. Sekarang kau boleh tertawa, tapi lain kali kupastikan kau akan menangis."
Dia pikir Aku takut dengan ancamannya. Sama sekali tidak, Alwa. Justru kau yang menunggu kehancuranmu. Aku tidak sebodoh yang engkau pikirkan.
"Ancamanmu boleh juga. Sukses membuatku takut. Tapi nanti saja kita lanjutkan. Yang pasti kali ini Aku telah mendapatkan yang Aku inginkan. Kau memang bisa di ajak untuk bekerja sama dengan baik. Saya sungguh berterimakasih padamu, Alwa."
"Dasar perempuan licik."
"Tak apalah licik asal mendapatkan keuntungan. Heheee jangan lupa, setoran selanjutnya di bulan yang akan datang. Dan ingat perjanjian tadi, jangan katakan pada siapapun, kalau kau tidak mau mempermalukan dirimu sendiri.
Dengan segera ku tinggalkan dia yang masih termangu. Ku setir mobil perlahan. Sambil melirik-lirik kaca spion, siapa tahu ada yang mengikuti perjalananku. Aku sadar ini adalah langkah yang tidak mudah. Tak lupa uang hasil jarahanku ku simpan terkebih dahulu ke rekeningku. Ya Aku harus membuka rekening baru. Tapi di lain bank.
****
Siang harinya, sebelum seisi rumah pulang, Aku telah berada di rumah seperti biasanya. Mengajak Praska bermain di depan televisi. Hari ini adalah hari yang menyenangkan bagiku.
Terdengar deru mobil Mas Gavin, ternyata si pelit itu sudah pulang. Kok tuben pulang siang?. Biasanya kan kalau tidaklarut malam, dengamn alasan lembur, pasti pulangnya sore. Uh kenapa cepat pulang sih. Mendingan lu pulang ke rumah Alwa dari pada ke sini. Merusak moodku saja. Tapi sebisa mungkin kutampakkan rona bahagia di wajahku.
Ku sambut kedatangannya dengan meraih tangannya dan mencium punggung tangannya. Tapi ada yang berbeda dari raut wajahnya. Terlihat sedikit muram. Tidak seperti biasanya.
"Udah pulang, Mas. Oh ya sini Adek buka sepatunya." Seperti biasanya Aku buka sepatu Mas Gavin, lanjut membawa kopernya.
"Kenapa kok Mas kelihatan jutek? Ada masalah ya di kantor?. Ya udah nanti saja ceritanya. Yuk kita makan siang sama-sama Mas. Tuh si kembar juga udah pulang. Jarang lho kita bisa makan siang bersama. Biasanya kan kalau tidak pulang malam karena lembur, Mas pasti pulangnya sore."
Mas Gavin sedikit mendelik padaku. Aku heran apa ada yang salah dengan kata-kataku? Menurut saya biasa saja. Apa dia tersinggung? Entahlah, apa yang dia pikirkan. Memang ribet ya nih orang.
"Vina, Mas pulang malam ataupun sore, kan karena kerja!!. Kerja demi bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga kita. Anak-anak kita. Bukan bersenang-senang."
Bikin tertawa saja ucapan Mas Gavin ini. Bilang saja buat mengutamakan selingkuhanmu Mas. Ngaku apa salahnya sih. Terlalu percaya diri kau bicara seperti itu. Ucapanmu meyakinkan sekali. Kalau saja orang yang belum begitu mengenalmu, pasti mereka akan percaya kata-katamu. Tapi tidak denganku, Mas. Belangmu sudah terlalu nyata. Silahkan kau membohongiku sepuas hatimu. Tapi kenyataan telah Aku dapatkan.
"Maaf, Mas. Adek tidak bermaksud begitu. Maaf ya Mas. Adek hanya ingin kita makan bersama anak-anak siang ini."
"Ya bilang saja ngajak makan. Jangan nyindir-nyindir masalah pekerjaan Mas. Bikin tambah pusing saja. Orang capek pulang kerja malah di bikin tambah pusing."
Huuuuuh kenapa ya tiba-tiba Mas Gavin jadi sangat sensitif siang ini. Oooh Aku belum mengecek ponsel. Siapa Tahu ada problem dengan si Alwa kesayanganbya, Terkait kerja samaku dengannya tadi siang. Ya aku harus cepat bertindak, siapa tahu menyangkut diriku.
Huuuuuh kenapa ya tiba-tiba Mas Gavin jadi sangat sensitif siang ini. Oooh Aku belum mengecek ponsel. Siapa Tahu ada problem dengan si Alwa kesayanganbya, Terkait kerja samaku dengannya tadi siang. Ya aku harus cepat bertindak, siapa tahu menyangkut diriku. Kubuka aplikasi chat mereka. Setelah kubuka, ternyata benar dugaanku. Perempuan itu ternyata merengek-rengek minta tambahan jatah pada suamiku. Hehe tapi tak apalah. Yang penting Aku dapat menikmati uangnya. "Pokoknya Aku tidak mau tahu Mas. Aku mau tambahan dua juta lagi. Uang kemaren sudah habis terpakai buat pengobatan ibuku. 
Bersyukur sekali rasanya bisa bertemu dengan Mas Gavin ini. Lelaki yang sangat royal kepadaku dan tidak segan-segan menuruti keinginanku. Posisinya bisa mengganti Mas Ferdi di sisi hidupku. Bagaimana tidak Mas Ferdi tahunya kerja, kerja dan kerja saja. Pulang paling-paling sebulan sekali. Itupun paling-paling hanya tiga hari. Untuk ikut dengannya Aku ogah . Siapa sih yang mau deket-deket sama keluarganya yang super duper usil itu. Mentang-mentang orang kaya. Ih jijik. Memang sih, setiap bulan kirimannya selalu datang untukku. Sebenarnya lebih dari cukup. Nominalnya bahkan lebih dari yang kuterima dari Mas Gavin. Memangnya hidup hanya cukup dengan materi?. Tapi bagaimanapun kebutuhanku juga banyak. Rencananya Aku mau membeli rumah lain atas namaku sendiri. Tanpa sepengetahuan Mas Ferdi. Sebetulnya kalau tidak karen
Rasanya sesak sekali ketika Mas Gavin mengataiku hanya menumpang di rumah ini. Terlebih lagi dia mengatakannya kepada wanita selingkuhannya. Menganggapku hanya makan minum saja di rumah ini. Tidak sadarkah ia, rumah ini di dapatkan dari perjuangan bersama-sama. Bahkan terkadang aku tak segan-segan membantu dengan uangku sendiri. Memang dia tidak tahu, bagaimana susahnya Aku mengatur keuangan yang minim itu. Seandainya dia mau jujur dengan pendapatannya, seandainya dia mengetahui bahwa uang yang dia berikan tidak mencukupi, seandainya saja dia mau meringankan bebanku, dengan membayar cicilan rumah misalnya, mungkin Aku tidak sepusing ini. Tapi sepertinya memang dianya yang tidak mau tahu. Buktinya setiap Aku mencoba membicarakan hal ini, pasti Akulah yang ia salahkan. Aku istri boroslah, tidak pandai mengatur keuanganlah. Lagi-lagi Aku yang salah. Boro-boro mau menambah keuangan. Malah uangnya lebih senang ia berikan kepada seling
Aku memutar otak agar rencanaku tidak bisa tercium oleh Mas Gavin. Karena jika tidak, bisa-bisa Aku yang akan terjebak. Aku memang harus memutar otak. Tidak terasa sudah dua bulan Aku menikmati setoran Alwa. Artinya Aku harus segera bertindak lebih. Besok adalah hari di mulainya liburan sekolah anak-anak. Aku berencana untuk mengajak mereka untuk liburan di rumah neneknya. "Mas besok anak-anak mulai memasuki hari libur semester lho mas!" "Mmmm iya Dek, kalau mereka libur emangnya kenapa?" "Kira-kira kita bawa mereka liburan kemana ya, Mas?" "Liburan? Dek, Dek. Kamu kira hidup ini mudah? Cari uang mudah? Terus kamu kira liburan itu harus? Sadar Dek! Sudah dua bulan ini, Mas ini lagi kena masalah soal keuangan Kamu seharusnya mengerti
Di rumah Ibuku bisnis online ku terus berlanjut. Walaupun pikiran kalut, tetapi uang harus tetap mengalir. Aku tidak boleh kalah dari si Gavin congkak tersebut. Dia tidak tahu kalau uang yang Aku hasilkan terkadang melebihi uang yang dia kasih ke Aku. Sedangkan uangnya sendiri sebagian besar ia habiskan untuk dirinya sendiri. Biarlah dia menganggapku bodoh tidak tahu apa-apa. Memangnya itu penting buat di pikirkan? Tentu saja tidak. Dari rumah Ibuku Aku terus memantau gerak gerik mereka. Pertama ku coba mengecek penyadap suara di kamar kami. Lalu terdengarlah pembicaraan-pembicaraan mereka. "Wah itu foto anak-anak ya, Mas. Mereka ganteng dan cantik-cantik. Mereka mirip sama Ayahnya. Beda jauh sama Ibu mereka." "Iya dong sayang, siapa dulu ayahnya. Apalagi kalau Mas punya anak dari kamu, pasti wajah mereka tambah
Di rumah orang tuaku, Aku menyusun strategi. Aku ingin menghubungi seseorang untuk mendukung keinginanku. Orang itu adalah Ferdi suaminya Alwa. Aku memang belum mengenal pria itu. Berbekal nomor ponselnya. Aku mengajaknya bertemu di suatu tempat. Awalnya dia menolak. Tapi setelah aku berhasil meyakinkannya, dia setuju. Untuk menemuinya, memang sedikit memakan waktu sih. Tapi tak apalah. "Bu hari ini Vina mau antar orderan. Agak jauh Bu." "Lhoo kamu mau antar sendiri, kenapa nggak dikirim saja, nak?" "Kebetulan yang pesen teman lama Bu. Jadi ya Vina mau antar sendirilah, sekalian mau silaturahmi. Vina titip anak-anak ya Bu. Oh ya Vina pake mobil Ayah ya, Bu!" "Yang penting kamu ha
"Jadi apa yang kira-kira harus kita lakukan , Fer?" "Baiklah pertama kali sebaiknya kau amankan aset yang kalian miliki. Rumah, mobil atau apa yang menurutmu penting. Kamu tidak boleh jatuh sebelum terlambat, Vina. Pikirkan masa depan anak-anakmu." "Ya soal itu Aku mengerti. Aku berusaha semampuku. Aku tahu dalam beberapa waktu ke depan Mas Gavin akan menceraikan Aku." "Oleh sebab itu kamu harus mengambil langkah yang cepat, Vina. Kalau tidak kau akan kalah dengan mereka. Kalau kau butuh bantuan jangan sungkan untuk menghubungiku." Sepulangnya dari sana Aku berpikir memang benar apa yang Ferdi katakan. Aku harus sedikit mempercepat langkahku. Sekarang Aku harus memutar otak bagaimana caranya agar mobil
"Mmm kamu mau mengenalkan wanita itu padaku? Boleh. Siapa takut. Walaupun sebenarnya itu tidak penting bagiku." "Kau boleh mengatakan dia tidak penting untukmu, Vina. Tapi dia teramat penting dan spesial buatku. Bisa saja kau berkata demikian karena kau iri kan? Iri dengannya yang berbeda 180 derajat di banding kamu. Kalau kau di sandingkan dengannya, maka tak lebih terlihat seperti seorang nyonya dengan pembantunya." "Oh begitu ya. Baguslah kalau begitu. Boleh saja kamu bilang Aku iri. Kau pikir Aku bisa iri dengan seorang wanita yang menggaet suami orang? Iya? Pikiranmu dangkal, Mas. Harusnya Aku prihatin dengan wanita seperti itu. Sampai-sampai harus memanfaatkan uang suami orang untuk memenuhi kebutuhannya. Tapi tak apalah, Karena perkataanmu sudah ku anggap angin lalu."
Bab 44 Akhir Cerita Aku dan Ferdi teramat khawatir dengan keadaan Papaku. Ibu tega merencanakan sesuatu yang buruk padanya. Kuharap pihak yang berwajib segera mengambil tindakan tegas, karena bukti rekaman suara Ibu sambungku sangat kuat. Keselamatan ayahku berada dalam ancaman sekarang. Oh ya kami belum menyampaikan kabar kepulanganku pada Ayah. Tapi sebelum kami berniat menghubungi Ayah, Derrrttttt..... Drrrrttt.... Ponsel Ferdi bergetar, dengan cepat dia mengecek siapa yang menelpon. "Nah ini Papa yang nelpon." Baru saja mau di hubungi malah beliau nelpon duluan. Panggilan langsung di jawab dan di loudspeaker.
Part 43 POV Tante Ara "Pa, Mama kasihan sekali melihat cucu-cucu kita tadi. Tidak tega, mereka sangat sedih karena kepergian Ibu mereka." Berusaha Aku menarik perhatian suamiku. Berusaha untuk seolah-olah bersimpati dengan bencana yang menimpa mereka. Padahal dalam hatiku berkata "rasain". "Iya benar, Ma. Kasihan melihat keadaan mereka yang selalu murung. Apa lebih baik kita saja yang merawat mereka, Ma?" Pendapatnya sungguh membuatku tertawa. Siapa juga yang mau mengasuh anak yang masih kecil seperti Praska. Tapi demi mencapai tujuan terpsksa Aku berpura-pura untuk menerima pendapatnya. "Itulah yang mama pikirkan tadi, Pa. Kemarin sebelum kita pulang, tanpa sepengetahuan Papa, Mama telah berusaha membujuk anak-a
Bab 42 Gagal Hingga pada suatu hari kami kedatangan 2 orang tamu yang ngaku-ngaku sahabatnya Vina. Satu diantaranya menggunakan masker, tapi maklum sekarang kan masih masa pandemi.. Tidak perlu menaruh kecurigaan sedikitpun dengan kedua wanita tersebut. "Saya turut merasa kehilangan. Kalau boleh tahu, apakah Mbak menyaksikan mobil Vina terbakar waktu itu?" Salah seorang dari mereka bertanya padaku .Aku tetap dengan pendirian berusaha untuk meyakinkan orang-orang bahwa Vina memang telah mati. Semua orang telah mempercayai semua keterangan yang kuberikan. "Ya,,, saya jelas-jelas melihat keberadaannya yang sedang memegang setir mobil dan terjepit tidak bisa keluar, karena mobilnya menabrak pohon. Dan pohon itu juga ikut terbakar karena ledakan mobil Vina." Dengan lantan
Bab 41 Perjuangan Untuk Mendapatkannya Kembali Hatiku lega akhirnya niatku untuk menghabisi Wanita itu telah tercapai. Tinggal sekarang Aku berusaha bagaimana cara agar Ferdi mau kembali padaku. Berbagai cara akan kulakukan untuk mendapatkannya kembali. Bukankah dulu dia sangat mencintai ku kan? Aku yakin dia masih menyimpan perasaan itu. Setiap hari aku menyempatkan untuk datang kepadanya untuk menemani masa masa berkabung. Semua orang telah menganggap Vina telah mati. Dalam hati aku bersyukur. Sekarang Tante Ara masih berpikir bagaimana cara menyingkirkan suaminya. Ambisi perempuan paruh baya itu begitu besar. Kalau dia pandai mengatur strategi perencanaan, maka bisa dipastikan dia akanb mm menguasai semua aset suaminya. "Ba
Bab 40 Step Pertama Berhasil Sore ini aku berniat untuk menjalankan rencana kami. Beberapa orang suruhan Tante Ara telah siap. salah seorang yang ku suruh untuk mengamati keadaan Vina, mengatakan wanita itu masih ada di kantor. sebelum terlambat aku mengambil ponsel sebisa mungkin ku buat suara yang berbeda. "Buuu Aku kecelakaan di jalan Seruni Bu tolooooong. Ini Aku ciyaa." Aku buat seolah-olah aku sedang menangis dan sedang dalam keadaan bahaya. Aku harap suaraku bisa mengecoh nya. Dugaanku benar Vina terdengar sangat khawatir. Dalam hati Aku bersyukur, mudah-mudahan niat ini bisa terwujud. Sengaja Aku mengaku sebagai Ciya, yang sedang dalam bahaya di jalan seruni. Karena aku berencana menjalankan rencana di sana. Lokas
Part 39 Aku Ingin Suamiku Kembali Hari itu aku terbaring di rumah sakit. Aku menahan sakit yang teramat sangat. aku sangat sial mengapa penyakit ini menggerogotiku. Penyakit kelamin yang baunya sangat menyengat. Ini pasti gara-gara pelangganku yang berasal dari India dulu. Percuma bayaran mahal, tahu-tahunya penyakitan. Gara-gara diatidak ada yang mau menjengukku. Bahkan Ibu saja terkadang malas untuk sekedar dekat-dekat. Ketika aku sedang meringis sering menahan kesakitan, aku kedatangan seorang pembezuk yang aku tidak tahu namanya. Setelah dia menjelaskan, alangkah terkejutnya aku ketika dia mengatakan bahwa dia adalah mantan istrinya Gavin. Kuperhatikan tampangnya dari kepala sampai ujung kaki. Wanita ini elegan, tidak seperti yang Gavin katakan. Selama ini Gavin mengata
Bab 38 Telepon Yang Tidak Pernah Kuduga Semua kejadian berlalu begitu mengejutkan. Alwa telah di amankan oleh aparat keamanan. Tinggal kami menyusul ke sana untuk memberi kesaksian. "Baiklah, semua masalah telah jelas. Dan saya telah berusaha sebaik mungkin untuk menolong Mbak Vina. Sekarang saya izin pulang dulu. Karena Ibu saya sudah lama menunggu kepulangan saya." Alin pamit untuk kembali pulang ke rumahnya. Aku menarik tangan Ferdi sebentar. Ku serahkan brosur jumlah biaya kami di rumah sakit waktu itu. Aku berniat membayar semuanya dengan uangku, tapi Ferdi mencegah. Dia mengambil cek dan menuliskan nominal angka yang lebih banyak daripada yang ada di brosur tersebut. Lalu Ferdi mengambil satu buah cek lagi. Dan menulis kembali jumlah nominal uang yang sama. Aku tidak mengerti untuk apa. &nb
Bab 37 Mengelak Dari KenyataanKalau begitu, sekarang Bukalah maskermu Mbak. Tunjukkan bahwa kau masih hidup." Suara Alin menggema di ruangan rumahku. Mengejutkan semua orang. Kini semua mata tertuju ke arahku. Aku membuka maskerku dan....... Tahulah semua orang di sana siapa diriku sebenarnya. Akulah orang yang disangka telah mati itu. Semua mata memandang tidak percaya padaku. Mereka berbisik-bisik dengan kata-kata yang tidak bisa ku dengar. Ferdi menatapku sejenak, mungkin dia mau memastikan seseorang yang berdiri ini apakah sungguh Vina atau bukan.
Bab 36 Pernyataan Kebohongan Alwa Sesampainya di depan rumah, alangkah terkejutnya Aku melihat banyak karangan Bunga bertebaran di depan rumah. "Turut Berduka Cita Dengan Meninggalnya Vina Alfani Binti Aziz Azam." Astagafirullahhalazhiim.... Apakah semua orang sudah menganggapku mati??? Aku termangu dengan apa yang kulihat. Karangan-karangan bunga itu berasal dari mana-mana. Dari perusahaan-perusahaan yang menjalin kerja sama dengan perusahaan tempat Ferdi bekerja, maupun Dari staf kerja perusahaan tempatnya sendiri bekerja. "Ayo, Mbak kenapa harus bengong. Ayo turun. Ini benar-benar rumah Mbak kan? pasti ada sesuatu di sini. Lihatlah karangan-karangan bunga ini begitu banyak."