Aku memutar otak agar rencanaku tidak bisa tercium oleh Mas Gavin. Karena jika tidak, bisa-bisa Aku yang akan terjebak. Aku memang harus memutar otak. Tidak terasa sudah dua bulan Aku menikmati setoran Alwa. Artinya Aku harus segera bertindak lebih.
Besok adalah hari di mulainya liburan sekolah anak-anak. Aku berencana untuk mengajak mereka untuk liburan di rumah neneknya.
"Mas besok anak-anak mulai memasuki hari libur semester lho mas!"
"Mmmm iya Dek, kalau mereka libur emangnya kenapa?"
"Kira-kira kita bawa mereka liburan kemana ya, Mas?"
"Liburan? Dek, Dek. Kamu kira hidup ini mudah? Cari uang mudah? Terus kamu kira liburan itu harus? Sadar Dek! Sudah dua bulan ini, Mas ini lagi kena masalah soal keuangan Kamu seharusnya mengerti keadaan, Vina!"
Krisis keuangan? Krisis keuangan darimana, Mas?. Sudah dua bulan? Wkwkwk. Tentu saja. Karena pasti si Alwamu terus menuntut uang tambahan bukan? Karena hampir seluruh uang yang kamu kasih, ia serahkan padaku. Sebenarnya perkataanmu itu membuatku ingin tertawa saja. Hihihii. Rasain kamu, kamu pikir Aku bodoh Gavin sayaaaaang??.
"Jadi kita tidak akan mengajak mereka menikmati hari libur mereka ya, Mas. Seperti berwisata gitu kan,, tidak usah jauh-jauh, Mas."
"Astagaa, Mas tidak ada waktu untuk jalan-jalan, traveling, atau hal semacam itu, Vina. Hanya buang-buang waktu dan uang. Kamu ini di bilangi malah tidak mengerti keadaan. Punya otak buat berpikir, Dek! Berpikir! Uangnya ada atau tidak!. Sudah ah. Malas bicara sama istri error kayak kamu. Nggak nyambuuuung."
Aku berusaha tidak terbakar emosi berbicara dengannya. Harus ekstra sabar, biarlah dia menganggapku bodoh. Heheee yang penting, akhirnya Aku menang. Iya kan??
"Begini saja, Mas. Besok Aku mengajak anak-anak ke rumah Ibu saja ya? Biar liburan mereka sedikit menyenangkan. Bagaimana,?"
Terlihat Mas Gavin sedikit terdiam seperti sedang berpikir. Lalu terlihat sedikit senyum tersembunyi dari sudut bibirnya. Entah apa yang dia pikirkan. Terserahlah Aku tidak peduli.
"Kamu ingin mengajak semua anak-anak?"
"Iya dong Mas. Masa Praska ku tinggal? Emang Mas mau kerja sambil mengasuhnya? Apa Mas ingin menyusul nantinya? Sekalian silaturahmi sama Ayah dan Ibu."
"Iya Ayah. Kalau Ayah ikut pasti lebih seru. Kita bisa memetik rambutan di belakang rumah nenek bersama-sama." Timpal Ciya yang tiba-tiba muncul antusias.
"Tidak bisa nak, Ayah sibuk kerja dan harus kerja. Supaya kita bisa hidup bahagia. Bagaimana bisa ikut bersenang-senang."
"Ah Ayah nggak seru kalau nggak ikut." Rengeknya manja
" Ya sudah, tidak apa Ayah tidak ikut, nak. Kita juga bahagiakan tanpa keikutsertaan Ayah?"
Mas Gavin sedikit mendelik
"Mmmm baiklah kalau begitu. Besok kalian boleh pergi. Oh ya Mas cuma bisa kasih uang delapan ratus ribu rupiah buat kalian. Soalnya kamu tahu sendirikan, kondisi keuangan Mas lagi tidak bagus."
Ya Tuhaaaaan. Pelitnya dirimu, Mas. Delapan ratus ribu rupiah untuk dua minggu. Susu, uang jajan, oleh-oleh buat orang tuaku, ditambah keperluan-keperluan lainnya. Tapi tak apalah Aku mengalah. Soalnya kalau di perdebatkan, tidak akan menyelesaikan masalah. Malah akan menciptakan debat yang tidak bermanfaat.
"Ya tak apa, Mas. Tapi semua biaya bulanan Mas yang tanggung ya, Mas. Sewa rumah, mobil, air, listrik dan lainya ya, Mas!"
"Ya baiklah kalau begitu. Mas setuju."
Senyum semakin mengembang di raut mukanya. Hiiih semakin aneh nih orang. Sambil bersiul-siul Mas Gavin melangkah ke kamar dengan muka kebahagiaan. Mengambil gawainya dan menghempaskan tubuh di sofa depan televisi. Sepertinya dia mulai bisa mengontrol emosinya. Syukurlah kalau begitu.
Segera Aku menyiapkan persiapan liburan anak-anakku. Oh ya Aku hampir lupa meminta tanda tangan Mas Gavin untuk tugas sekolah Ciya dan Cika. Soalnya lumayan banyak. Rencananya tugas itu harus di selesaikan dalam masa liburan ini. Setelah selesai maka harus dikirim fotonya lewat media sosial. Sebagai tanda bahwa hari liburpun tidak semata-mata untuk bersenang-senang. Tapi masih menyisakan waktu untuk belajar. Dan semua jawaban soal-soal itu harus ditulis tangan. Supaya para pelajar tidak seenaknya copy paste di internet.
Ku sodorkan lembaran-lembaran tugas mereka ke Mas Gavin.
" Ini Mas tolong tanda tangani tugas Ciya Cika. Biar nanti kalau selesai bisa langsung di kirim fotonya ke guru mereka."
Tanpa memperhatikan detailnya, lembaran demi lembaran, dengan lincah tangan Mas Gavin menorehkan tinta mencoretkan tanda-tangannya. Setelah selesai ku simpan semuanya ke plastik bening dengan rapi. Supaya nanti tidak kusam, ataupun basah. Hatiku terlalu senang.
Malam semakin larut . Seperti biasanya, Mas Gavin masih molor di depan tv. Ternyata matanya tidaklah ke tv, melainkan fokus menuju layar gawainya. Ku biarkan saja. Memang begitulah kebiasaannya.
Sebelum ku memejamkan mata. Tak lupa ku buka ponsel rahasiaku. Mengecek info penting yang muncul di aplikasi pesan mereka.
"Sayangku, manisku. Besok kamu ada acara nggak"
Itu tulisan lebay dari si Gavin.
"Kebetulan nggak ada Mas. Memangnya kenapa, Mas?"
Balasan si Alwa si madu gelapku.
"Dua minggu kedepan kamu tinggal sama Mas ajah ya, sayang. Menikmati hari-hari bersama tanpa ada yang mengganggu."
"Memangnya si nenek sihir kumal dan anak-anak kamu, eh anak-anak kita kemana sih, Mas?"
Eeeeei memangnya sejak kapan anak-anakku menjadi anak-anakmu Alwa. Baru jadi simpanan saja sudah berasa jadi istri. Apalagi masih status istri orang lahi. Benar-benar tak punya rasa malu. Tak punya harga diri. Rela saja menjadi simpanan pria beristri demi uang yang tidak seberapa jumlahnya.
Walaupun demikian Aku akui kau lebih istimewa di banding Aku. Tapi itu di mata Mas Gavin. Heheeee
"Pagi besok Vina mengajak anak-anak pada go out ke rumah ibunya. Pokoknya besok kamu siap-siap ajah deh. Biar Mas jemput. Tak sabar ingin merasakan menikmati hidup nyaman sama kamu di rumah ini, sayangku. Emmmmuach."
"Beneraan??? Aaah senangnya hatiku. Bukankah sebentar lagi kita akan tinggal di sana, Mas. Bolehlah sambil mengenali rumah yang bakalan menjadi rumahku juga."
"Iya dong sayaang. Makanya Mas ngajak kamu tinggal sama Mas. Walaupun untuk sementara waktu sih. Tenang saja. Nanti juga kita akan tinggal di sini sampai ajal menjemput."
Inginku terkekeh membaca pesan-pesan menjijikan mereka. Sudah tidak sadar umur kali ya. Masih saja berlagak seperti abg yang baru mengenal cinta. Huuuuh.. rupanya Mas Gavin menginginkan perempuan itu tinggal di rumah ini. Artinya Aku ekstra hati-hati. Akan ku kunci semua lemari yang berisi apapun milikku. Kalian tidak tahu, cctv akan memantau aktivitas kalian di rumahku. Karena sebelum Aku berencana meninggalkan rumah ini, walaupun cuma dua minggu, seluruh ruangan di rumah ini sudah ku pasangi cctv mini yang keberadaannya susah di tebak. Yang semuanya terhubung ke gawaiku. Lihat saja nanti. Apa sesuatu yang istimewa, yang bisa di lakukan oleh wanita yang kalian anggap bodoh ini untuk kalian.
Foto, ya apa mungkin dia mengenaliku. Ah tidak mungkin. Fotoku di rumah ini semuanya berhijab dan berpakaian panjang syar'i. Sedangkan waktu menemuinya Aku memakai dress pendek dan santai tapi modis. Dengan kaca mata hitam, rambut palsu kekinian, dan tak lupa tahi lalat palsu kutoreh ke hidungku. Suatu perbedaan yang sangat kontras. Tak mungkin dia mengenaliku. Baiklah sepertinya ini tidak perlu di khawatirkan.
Tak apalah saat ini ku izinkan kalian tinggal di rumahku. Tapi tidak di lain waktu. Kalian tidak perlu tahu, bahwa kalian sedang berada di tengah-tengah jalan rencanaku, yang tentu saja akan menggilas tubuh kalian dengan memalukan diri kalian sendiri. Hahahaaa...
Di rumah Ibuku bisnis online ku terus berlanjut. Walaupun pikiran kalut, tetapi uang harus tetap mengalir. Aku tidak boleh kalah dari si Gavin congkak tersebut. Dia tidak tahu kalau uang yang Aku hasilkan terkadang melebihi uang yang dia kasih ke Aku. Sedangkan uangnya sendiri sebagian besar ia habiskan untuk dirinya sendiri. Biarlah dia menganggapku bodoh tidak tahu apa-apa. Memangnya itu penting buat di pikirkan? Tentu saja tidak. Dari rumah Ibuku Aku terus memantau gerak gerik mereka. Pertama ku coba mengecek penyadap suara di kamar kami. Lalu terdengarlah pembicaraan-pembicaraan mereka. "Wah itu foto anak-anak ya, Mas. Mereka ganteng dan cantik-cantik. Mereka mirip sama Ayahnya. Beda jauh sama Ibu mereka." "Iya dong sayang, siapa dulu ayahnya. Apalagi kalau Mas punya anak dari kamu, pasti wajah mereka tambah
Di rumah orang tuaku, Aku menyusun strategi. Aku ingin menghubungi seseorang untuk mendukung keinginanku. Orang itu adalah Ferdi suaminya Alwa. Aku memang belum mengenal pria itu. Berbekal nomor ponselnya. Aku mengajaknya bertemu di suatu tempat. Awalnya dia menolak. Tapi setelah aku berhasil meyakinkannya, dia setuju. Untuk menemuinya, memang sedikit memakan waktu sih. Tapi tak apalah. "Bu hari ini Vina mau antar orderan. Agak jauh Bu." "Lhoo kamu mau antar sendiri, kenapa nggak dikirim saja, nak?" "Kebetulan yang pesen teman lama Bu. Jadi ya Vina mau antar sendirilah, sekalian mau silaturahmi. Vina titip anak-anak ya Bu. Oh ya Vina pake mobil Ayah ya, Bu!" "Yang penting kamu ha
"Jadi apa yang kira-kira harus kita lakukan , Fer?" "Baiklah pertama kali sebaiknya kau amankan aset yang kalian miliki. Rumah, mobil atau apa yang menurutmu penting. Kamu tidak boleh jatuh sebelum terlambat, Vina. Pikirkan masa depan anak-anakmu." "Ya soal itu Aku mengerti. Aku berusaha semampuku. Aku tahu dalam beberapa waktu ke depan Mas Gavin akan menceraikan Aku." "Oleh sebab itu kamu harus mengambil langkah yang cepat, Vina. Kalau tidak kau akan kalah dengan mereka. Kalau kau butuh bantuan jangan sungkan untuk menghubungiku." Sepulangnya dari sana Aku berpikir memang benar apa yang Ferdi katakan. Aku harus sedikit mempercepat langkahku. Sekarang Aku harus memutar otak bagaimana caranya agar mobil
"Mmm kamu mau mengenalkan wanita itu padaku? Boleh. Siapa takut. Walaupun sebenarnya itu tidak penting bagiku." "Kau boleh mengatakan dia tidak penting untukmu, Vina. Tapi dia teramat penting dan spesial buatku. Bisa saja kau berkata demikian karena kau iri kan? Iri dengannya yang berbeda 180 derajat di banding kamu. Kalau kau di sandingkan dengannya, maka tak lebih terlihat seperti seorang nyonya dengan pembantunya." "Oh begitu ya. Baguslah kalau begitu. Boleh saja kamu bilang Aku iri. Kau pikir Aku bisa iri dengan seorang wanita yang menggaet suami orang? Iya? Pikiranmu dangkal, Mas. Harusnya Aku prihatin dengan wanita seperti itu. Sampai-sampai harus memanfaatkan uang suami orang untuk memenuhi kebutuhannya. Tapi tak apalah, Karena perkataanmu sudah ku anggap angin lalu."
Pagi-pagi buta Aku dikejutkan dengan kedatangan Mas Gavin. Untuk apalagi bajingan itu kemari. Merusak pemandangan di pagi hari saja. " Ada perlu apalagi kamu datang kemari?" " Memangnya kenapa? Masalah buat kamu? Ini adalah rumahku. Terserah padaku mau datang, mau tinggal, mau apa saja. Sekarang Aku mau mengambil brankas yang berisi surat-surat penting itu. Soalnya Aku ingin segera mengurus perceraian denganmu." "Baiklah, ambil saja. Aku tidak keberatan." Dengan melengos dia pergi menuju ruang kerjanya dan mengambil brankas itu. tidak masalah, toh dia mau mengambil buku nikah buat mengurus perceraian kami. Tapi ada sedikit ketakutan merasuki pikiranku. Bagaiman
Surat panggilan dari pengadilan sengaja tidak ku tanggapi. Agar tidak ada perselisihan pendapat dengan Mas Gavin. kubiarkan saja saja sampai akta cerai itu keluar. Malas Aku melayaninya bicara.Tidak ada gunanya juga Aku datang. Tidak ada yang perlu di bahas lagi. Kalaupun datang, itu hanya membuang waktu percuma. Dengan begitu ku biarkan Mas Gavin merasa dia telah menang. Menganggapku menyetujui semua yang dia inginkan. Mungkin saja image bodohnya diriku sedang memenuhi pikirannya saat ini. Aku tak ambil pusing. Bukankah selama ini mereka berdua menganggapku bodoh. Jadi untuk apa orang bodoh ini menemui manusia pintar seperti mereka. Pintar dari hongkong kali ya. Orang pintar tidak akan menjual diri demi uang. Orang ointar tidak akan mengambil suami irang, ataupun istri orang. Justru merekalah orang orang yang menghalalkan segala cara untuk kepentingan mereka sendiri.
Hari ini Alwa mengajakku bertemu di suatu tempat. Aku menyetujuinya. Siapa takut. Dengan berdandan seperti biasanya Aku menemuinya. Aku memang belum berniat untuk menunjukkan siapa diriku sebenarnya. takut kalau terlalu cepat untuk membuatnya terkejut, setelah tahu siapa Aku sesungguhnya. Aku meluncur dengan taksi online yang telah ku pesan dari awal. Aku sengaja pergi lebih awal karena tidak mau menunggu lama. Akhirnya orang yang ku tunggu akhirnya tiba. " Syukurlah kalau kamu mau menyetujui kita bertemu di sini. Aku kesini hanya sekedar memberi tahu, bahwa sebentar lagi Mas Gavin akan menikahiku. Jadi semua foto-foto kami itu akan sah-sah saja bukan?" "Tapi kamu belum bisa menghentikan uang untukku sebelum kalian menikah. Dan sebelum kamu bercerai denga
Sekarang Aku harus menghubungi Mas Gavin. Ada sesuatu yang ingin Aku bicarakan. Menyangkut apa yang harus Aku dapatkan. Ku tekan tombol panggilan pada kontaknya. "Hey mengapa kamu masih menghubungiku. Mau minta duit ya? Aku tidak ada duit buat di kasih ke kamu, Vina. Sono minta saja sama orang tuamu!" "Aku bukan mau minta duit, Mas. Tapi ada yang harus Aku bicarakan ke kamu. Ini penting, Mas. Apa kita bisa bertemu?" "Memangnya kamu ingin membicarakan soal apa lagi. Katakan saja kamu kaget hidup tanpa Aku kan?. Susah cari duit buat menghidupi diri kalian. Makanya jadi perempuan jangan sok-sokkan. Sok mampu, sok mandiri. Tahu-tahunya baru ditinggal sebentar sudah nelpon-nelpon. Ooh atau kamu baru menyadari bahwa Aku ini penting ya? Tapi walau bagaimanapun Aku tidak mungkin menari
Bab 44 Akhir Cerita Aku dan Ferdi teramat khawatir dengan keadaan Papaku. Ibu tega merencanakan sesuatu yang buruk padanya. Kuharap pihak yang berwajib segera mengambil tindakan tegas, karena bukti rekaman suara Ibu sambungku sangat kuat. Keselamatan ayahku berada dalam ancaman sekarang. Oh ya kami belum menyampaikan kabar kepulanganku pada Ayah. Tapi sebelum kami berniat menghubungi Ayah, Derrrttttt..... Drrrrttt.... Ponsel Ferdi bergetar, dengan cepat dia mengecek siapa yang menelpon. "Nah ini Papa yang nelpon." Baru saja mau di hubungi malah beliau nelpon duluan. Panggilan langsung di jawab dan di loudspeaker.
Part 43 POV Tante Ara "Pa, Mama kasihan sekali melihat cucu-cucu kita tadi. Tidak tega, mereka sangat sedih karena kepergian Ibu mereka." Berusaha Aku menarik perhatian suamiku. Berusaha untuk seolah-olah bersimpati dengan bencana yang menimpa mereka. Padahal dalam hatiku berkata "rasain". "Iya benar, Ma. Kasihan melihat keadaan mereka yang selalu murung. Apa lebih baik kita saja yang merawat mereka, Ma?" Pendapatnya sungguh membuatku tertawa. Siapa juga yang mau mengasuh anak yang masih kecil seperti Praska. Tapi demi mencapai tujuan terpsksa Aku berpura-pura untuk menerima pendapatnya. "Itulah yang mama pikirkan tadi, Pa. Kemarin sebelum kita pulang, tanpa sepengetahuan Papa, Mama telah berusaha membujuk anak-a
Bab 42 Gagal Hingga pada suatu hari kami kedatangan 2 orang tamu yang ngaku-ngaku sahabatnya Vina. Satu diantaranya menggunakan masker, tapi maklum sekarang kan masih masa pandemi.. Tidak perlu menaruh kecurigaan sedikitpun dengan kedua wanita tersebut. "Saya turut merasa kehilangan. Kalau boleh tahu, apakah Mbak menyaksikan mobil Vina terbakar waktu itu?" Salah seorang dari mereka bertanya padaku .Aku tetap dengan pendirian berusaha untuk meyakinkan orang-orang bahwa Vina memang telah mati. Semua orang telah mempercayai semua keterangan yang kuberikan. "Ya,,, saya jelas-jelas melihat keberadaannya yang sedang memegang setir mobil dan terjepit tidak bisa keluar, karena mobilnya menabrak pohon. Dan pohon itu juga ikut terbakar karena ledakan mobil Vina." Dengan lantan
Bab 41 Perjuangan Untuk Mendapatkannya Kembali Hatiku lega akhirnya niatku untuk menghabisi Wanita itu telah tercapai. Tinggal sekarang Aku berusaha bagaimana cara agar Ferdi mau kembali padaku. Berbagai cara akan kulakukan untuk mendapatkannya kembali. Bukankah dulu dia sangat mencintai ku kan? Aku yakin dia masih menyimpan perasaan itu. Setiap hari aku menyempatkan untuk datang kepadanya untuk menemani masa masa berkabung. Semua orang telah menganggap Vina telah mati. Dalam hati aku bersyukur. Sekarang Tante Ara masih berpikir bagaimana cara menyingkirkan suaminya. Ambisi perempuan paruh baya itu begitu besar. Kalau dia pandai mengatur strategi perencanaan, maka bisa dipastikan dia akanb mm menguasai semua aset suaminya. "Ba
Bab 40 Step Pertama Berhasil Sore ini aku berniat untuk menjalankan rencana kami. Beberapa orang suruhan Tante Ara telah siap. salah seorang yang ku suruh untuk mengamati keadaan Vina, mengatakan wanita itu masih ada di kantor. sebelum terlambat aku mengambil ponsel sebisa mungkin ku buat suara yang berbeda. "Buuu Aku kecelakaan di jalan Seruni Bu tolooooong. Ini Aku ciyaa." Aku buat seolah-olah aku sedang menangis dan sedang dalam keadaan bahaya. Aku harap suaraku bisa mengecoh nya. Dugaanku benar Vina terdengar sangat khawatir. Dalam hati Aku bersyukur, mudah-mudahan niat ini bisa terwujud. Sengaja Aku mengaku sebagai Ciya, yang sedang dalam bahaya di jalan seruni. Karena aku berencana menjalankan rencana di sana. Lokas
Part 39 Aku Ingin Suamiku Kembali Hari itu aku terbaring di rumah sakit. Aku menahan sakit yang teramat sangat. aku sangat sial mengapa penyakit ini menggerogotiku. Penyakit kelamin yang baunya sangat menyengat. Ini pasti gara-gara pelangganku yang berasal dari India dulu. Percuma bayaran mahal, tahu-tahunya penyakitan. Gara-gara diatidak ada yang mau menjengukku. Bahkan Ibu saja terkadang malas untuk sekedar dekat-dekat. Ketika aku sedang meringis sering menahan kesakitan, aku kedatangan seorang pembezuk yang aku tidak tahu namanya. Setelah dia menjelaskan, alangkah terkejutnya aku ketika dia mengatakan bahwa dia adalah mantan istrinya Gavin. Kuperhatikan tampangnya dari kepala sampai ujung kaki. Wanita ini elegan, tidak seperti yang Gavin katakan. Selama ini Gavin mengata
Bab 38 Telepon Yang Tidak Pernah Kuduga Semua kejadian berlalu begitu mengejutkan. Alwa telah di amankan oleh aparat keamanan. Tinggal kami menyusul ke sana untuk memberi kesaksian. "Baiklah, semua masalah telah jelas. Dan saya telah berusaha sebaik mungkin untuk menolong Mbak Vina. Sekarang saya izin pulang dulu. Karena Ibu saya sudah lama menunggu kepulangan saya." Alin pamit untuk kembali pulang ke rumahnya. Aku menarik tangan Ferdi sebentar. Ku serahkan brosur jumlah biaya kami di rumah sakit waktu itu. Aku berniat membayar semuanya dengan uangku, tapi Ferdi mencegah. Dia mengambil cek dan menuliskan nominal angka yang lebih banyak daripada yang ada di brosur tersebut. Lalu Ferdi mengambil satu buah cek lagi. Dan menulis kembali jumlah nominal uang yang sama. Aku tidak mengerti untuk apa. &nb
Bab 37 Mengelak Dari KenyataanKalau begitu, sekarang Bukalah maskermu Mbak. Tunjukkan bahwa kau masih hidup." Suara Alin menggema di ruangan rumahku. Mengejutkan semua orang. Kini semua mata tertuju ke arahku. Aku membuka maskerku dan....... Tahulah semua orang di sana siapa diriku sebenarnya. Akulah orang yang disangka telah mati itu. Semua mata memandang tidak percaya padaku. Mereka berbisik-bisik dengan kata-kata yang tidak bisa ku dengar. Ferdi menatapku sejenak, mungkin dia mau memastikan seseorang yang berdiri ini apakah sungguh Vina atau bukan.
Bab 36 Pernyataan Kebohongan Alwa Sesampainya di depan rumah, alangkah terkejutnya Aku melihat banyak karangan Bunga bertebaran di depan rumah. "Turut Berduka Cita Dengan Meninggalnya Vina Alfani Binti Aziz Azam." Astagafirullahhalazhiim.... Apakah semua orang sudah menganggapku mati??? Aku termangu dengan apa yang kulihat. Karangan-karangan bunga itu berasal dari mana-mana. Dari perusahaan-perusahaan yang menjalin kerja sama dengan perusahaan tempat Ferdi bekerja, maupun Dari staf kerja perusahaan tempatnya sendiri bekerja. "Ayo, Mbak kenapa harus bengong. Ayo turun. Ini benar-benar rumah Mbak kan? pasti ada sesuatu di sini. Lihatlah karangan-karangan bunga ini begitu banyak."