Hai ... terima kasih masih setia membaca kisah hidup Marisa. Semoga kalian semua selalu sehat. Terus dukung Marisa dengan memberi ulasan, vote, dan gem ya. Terima kasih 🥰🥰🥰
"Anda tidak apa-apa Bu Marisa?" Suara berat dan dalam itu terdengar dari balik punggung Marisa. Tanpa menoleh pun perempuan berusia 28 tahun ini mengenali pemilik suara tersebut."Sa-saya tidak apa-apa kok, Dok," sahut Marisa dengan canggung. Masih dia ingat tatapan dokter itu kepadanya beberapa jam lalu. Tatapan prihatin yang membuatnya malu dan tidak berani balas menatapnya. "Alhamdulillah kalau begitu," jawab Dokter Harun yang segera melepas pegangan tangannya di bahu istri salah seorang pasiennya. Tadi dia tak sengaja melihat Marisa berdiri dengan kaki gemetar. Tubuhnya limbung sehingga dia segera berlari menahannya dari belakang agar perempuan itu tidak terjatuh. "Ibu sepertinya sedang kesemutan. Mungkinn karena terlalu lama duduk bersila tadi. Lebih baik ibu tidak memaksa untuk segera bergerak. Duduk saja dulu di bangku ini, Bu. Selonjorkan kakinya. Meluruskan kaki itu bisa membuat peredaran darahnya lancar kembali. Kalau sudah tidak kesemutan baru ibu bisa jalan lagi," sar
"Nah ini dia akhirnya kamu datang juga. Mama pikir kamu nggak kembali dan pergi bersama lelaki itu!" Rupanya kebiasaan baru ibu mertua marisa itu adalah mengomeli orang yang baru datang. Terbukti sekarang ini untuk kedua kalinya Marisa yang baru membuka pintu kamar VVIP sudah disambut suara nyinyir Bu Santi. "Lelaki, Ma?" Marisa bertanya dengan ekspresi bingung. Mungkinkah ibu mertuanya itu melihat dia sedang mengobrol bersama Dokter Harun? Agar tidak terjadi salah paham. Marisa buru-buru menjelaskan, "Tadi itu Dokter Harun membantu Marisa yang hampir jatuh, Ma. Beliau juga melarang Marisa segera kembali ke kamar karena masih limbung. Setelah Marisa agak enakan baru Dokter Harun mengizinkan Marisa pergi." "Yang bilang lelaki itu Dokter Harun siapa?" tanya Bu Santi dengan kesal."Loh terus siapa, Ma? Hanya Dokter Harun lelaki yang Marisa temui setelah Salat Magrib berjamaah tadi. Itu pun tidak sengaja." "Kamu bicara jujur? Memangnya dia gak hubungi kamu?" Bu Santi menatap Marisa d
"Nomor tidak dikenal. Siapa sih? Kenapa menelepon malam-malam begini?" gumam Bu Santi sambil menatap layar handphone-nya yang berisi sederet angka yang tidak dia kenal."Angkat ajalah, Ma. Barangkali kenalan Mama yang nomor barunya belum Mama save," perintah Pak Hartawan. Bu Santi mengangguk lalu menggeser layar ke tombol hijau untuk menerima panggilan. "Halo siapa ini ya?" Tangan Bu Santi menjauhkan ponselnya dari telinga lalu memutuskan sambungan telepon. "Ini orang siapa, sih, kok cuma menjerit terus menangis bikin sakit telinga aja!" gumamnya dengan jengkel."Siapa, Ma?" tanya Pak Hartawan dengan penasaran. "Enggak tahu, Pa. Cuma nangis aja. Jadi Mama matikan aja teleponnya," jawab Bu Santi sambil memasukkan kembali ponsel berlogo apel tergigit itu ke dalam tas branded kesayangannya. "Wah jangan-jangan orang yang mau nipu. Biasanya para penipu itu kan modusnya begitu. Mereka telpon terus nangis-nangis bilang lagi di rumah sakit atau kantor polisi terus minta transfer. Nominal
"Maaf Anda siapa, ya?" tanya Marisa. Dia mengamati penampilan perempuan itu yang tampak seksi dengan baju ala cheongsam yang ketat membungkus tubuhnya. Perempuan itu mengabaikan pertanyaan Marisa dan balik bertanya. "Apa ini benar ruangan tempat Mas Irawan dirawat?"Marisa tidak segera menjawab pertanyaan itu. Dia menatap tajam perempuan yang berpenampilan kurang pantas saat berkunjung ke rumah sakit itu. Lantas dia mengalihkan perhatian kepada ponselnya yang masih terhubung dengan sepupunya. "Mas Rian nanti Risa hubungi lagi, ya," ucap Marisa. Dia terdiam beberapa saat untuk mendengar jawaban sepupunya itu. "Ada tamu, Mas. Tapi aku nggak kenal siapa, ditanya namanya malah diam saja." Marisa kembali terdiam dan mendengarkan ucapan sepupunya di telepon. "Iya Risa tahu. Pasti dong aku nggak bakal biarin orang nipu aku. Ya sudah, Mas nanti aku hubungi lagi setelah urusanku selesai, ya." Selama Marisa berbicara dengan sepupunya, mata hazelnya terus menatap tajam tamu yang berdiri di a
"Sudah saya bilang Mbak nggak boleh masuk!" cegah Marisa yang melihat Clara memaksa masuk."Tidak bisa! Saya harus masuk karena saya mau minta tanggung jawab!" jerit Clara. "Tanggung jawab apa? Siapa yang mau Mbak minta untuk bertanggung jawab?" "Mas Irawan. Siapa lagi?" Marisa terdiam dia menatap perempuan bernama Clara yang terus memaksa untuk masuk. Meski merasa penasaran akan apa yang terjadi kepada Clara, tetapi Marisa masih enggan untuk mengizinkannya masuk. "Ayo minggir! Aku mau ketemu dengan Mas Irawan!" Clara kembali memaksa masuk. Dia tampak sangat marah karena keinginannya dihalangi sehingga lupa berbicara dengan anggun. Tidak lagi menyebut dirinya dengan saya tetapi aku. "Tidak! Mbak nggak boleh masuk! Sekarang sudah malam, waktunya kami beristirahat. Lagipula percuma juga ketemu, Mas Irawan tidak akan bisa mengerti apa yang akan Mbak katakan." "Mau mengerti atau tidak aku tidak peduli. Aku tetap mau masuk!" Clara kembali mendorong Mariss untuk minggir."Loh kok maks
"Tidak ada apa-apa kok, Mas. Risa hanya sedikit sedih," jawab Marisa sambil tersenyum. Dia berusaha menyembunyikan tangisnya agar Rian tidak curiga dan banyak bertanya."Tidak mungkin! Tidak apa-apa bagaimana. Wajah sepucat ini ditambah tangismu yang cukup keras hingga terdengar dari luar pasti bukan karena sesuatu yang remeh," tebak Rian dengan tepat. Marisa menunduk. Memang sulit untuk menipu kakak sepupunya ini. Rian sudah terlalu hafal dengan sifat dan tindak tanduk Marisa."Ayo cerita kamu kenapa? Apa ini ada hubungannya dengan tamu yang tadi kamu ceritakan?" desak Rian. Alis Marisa terangkat. Dia sedikit tak percaya kakak sepupunya itu bisa menghubungkan kesedihannya dengan tamu yang tadi datang. Marisa membisu dan hanya menatap lekat Rian. Dia bingung harus bercerita apa kepada kakak sepupunya ini."Kenapa? Aku benar, kan? Feelingku tadi kamu berbicara di telepon untuk menyindirnya. Memangnya orang yang tadi datang ke sini itu siapa? Dia bawa kabar apa sampai kamu menangis se
"Apa? Perempuan itu sudah kenal kedua mertuamu? Kok bisa?" Mata Rian terbelalak. Dia menatap Marisa sambil menggeleng berulangkali. "Aku juga belum tahu kok bisa begitu, Mas. Aku sendiri baru melihatnya tadi. Dia pun juga baru tahu kalau aku istri Mas Irawan," terang Marisa. "Terus bagaimana kamu tahu kalau dia kenal dengan kedua mertua kamu?" Rian menatap lekat Marisa dengan pandangan bertanya-tanya."Jadi, tadi kami saling adu mulut. Dia terus menerus mendesakku meminta masuk untuk menuntut Mas Irawan bertanggung jawab. Sementara aku tidak mengizinkannya melewati pintu. Saat itu dia beberapa kali menyebut nama Mama dan Papa. Katanya akan mengadukan aku kepada mereka berdua." Rian melongo mendengar cerita Marisa, "Terus bagaimana?""Akhirnya aku menyuruh dia untuk datang besok sore. Biasanya kedua orang tua Mas Irawan datang sepulang kantor untuk menjenguk anaknya. Jadi dia bisa menemui kedua mertuaku itu. Walaupun seandainya besok aku belum pulang mengajar, dia bisa langsung bi
"Apa aku perlu menghubungi kedua mertuaku dan menceritakan kejadian tadi? Aku khawatir juga kalau kedatangan Clara yang tiba-tiba membuat Papa dan Mama syok," gumam Marisa sambil menimang handphone-nya.Marisa tengadah dan melihat jam dinding. "Sudah hampir pukul sepuluh malam. Rasanya nggak pantas kalau aku telepon atau chat W* sekarang. Lebih baik aku tunda. Besok saja aku hubungi Papa atau Mama." Marisa menyimpan kembali ponselnya. "Sekarang aku mending istirahat aja. Badanku rasanya pegal semua. Belum lagi emosi yang dibuat naik turun hari ini. Bikin mental juga nggak stabil. Hari ini benar-benar ujian bagi fisik dan psikis aku," gumam Marisa lalu menghembuskan nafas lelah. Marisa kemudian mulai merebahkan tubuhnya.Keesokan harinya kesibukannya di sekolah membuat Marisa melupakan niatnya untuk menghubungi mertuanya. Dia baru teringat ketika waktu menunjukkan hampir pukul tiga sore. Marisa segera mengambil ponselnya dan menghubungi Pak Hartawan. Marisa menceritakan secara singk
"Mas Rian … jangan pergi! Jangan tinggalkan aku! Bangun, Mas! Aku membutuhkanmu!" ratap Marisa. Namun, lelaki yang dipeluk dan ditangisinya masih tetap mengatupkan matanya. Rapat. "Sudah, Mbak jangan nangis terus. Lebih baik kita doakan Mas Rian agar diberikan kesehatan." Marisa mengangguk mendengar saran Dokter Harun. Memang tangis tidak akan membuat Rian sembuh. "Alhamdulillah Allah masih melindunginya. Tusukan pisau itu tidak mengenai organ vital. Geser satu centi aja akan sangat berbahaya. Namun, mengingat dia ditusuk tiga kali dan mengeluarkan banyak darah, kondisinya belum terbilang stabil. Perlu banyak kantong darah untuk transfusi. Sementara stok golongan darah O di PMI menipis."Marisa mengusap wajah lega. "Ambil darah saya saja, Dok. Golongan darah saya O." "Jangan. Kamu butuh istirahat, Mbak. Darah saya saja, Dok. Saya juga bergolongan darah O," ucap Dokter Harun."Baiklah … nanti kita periksa dulu untuk melihat kecocokannya."Marisa menelepon ibunya untuk mengabarkan di
"Ada apa dengan Marisa?" sambar Rian.Dokter Harun menatap Bu Rahmi dengan prihatin. "Sabar, ya, Bu. Mbak Marisa mengalami penculikan di dekat sekolah. Kasusnya sedang dalam penyelidikan polisi." "Apa diculik?" teriak Rian."Tidak! Jangan polisi. Nanti Marisa tidak selamat!" seru Bu Rahmi yang kemudian menangis. "Kenapa tidak selamat? Ibu tahu kalau Mbak Marisa diculik?" desak Dokter Harun. "Iya." Bu Rahmi mengusap wajahnya dan terduduk lemas di sofa. "Itu sebabnya tadi Bulek telepon kamu." Tatapan Bu Rahmi terarah ke Rian."Sebenarnya Bulek berharap itu cuma bercanda, tapi kabar yang dibawa Dokter Harun membuat Bulek tahu kalau orang itu sungguh-sungguh menculik Marisa." Air mata Bu Rahmi pun menderas di kedua pipinya. "Orang itu? Siapa?" "Siapa orang itu, Bu?"Dokter Harun dan Rian bertanya bersamaan. "Tadi ada telepon. Ngaku temannya Marisa ke Bik Siti. Setelah ibu angkat dia bilang sudah menculik Marisa dan melarang untuk melapor ke polisi kalau mau anak ibu selamat. Tapi ta
"Apa-apaan ini? Siapa mereka?" tanya Marisa ketika melihat tiga orang lelaki turun dari mobil yang menghadangnya.Salah satu lelaki yang turun dari mobil penghadang itu kemudian menggedor jendela di samping Marisa. "Buka pintunya! Cepat!" Marisa terlonjak kaget dan mundur dari jendela. Untuk beberapa saat dia hanya diam dan memandang ketiga lelaki berwajah menyeramkan itu. Marisa tidak mau membuka pintunya. Berada di dalam mobil dengan pintu yang terkunci membuatnya sedikit merasa aman. Sayangnya rasa aman itu hanya bertahan sebentar, karena tak lama kemudian kaca jendela mobilnya pecah berhamburan. Salah satu lelaki menyeramkan itu memegang semacam palu yang besar dan berhasil memecah kaca. Belum hilang rasa kaget Marisa, lelaki yang sama berhasil membuka pintu mobilnya dari dalam dan menarik Marisa keluar. Kemudian dia diseret memasuki mobil milik ketiga lelaki itu. Meski Marisa meronta dan berteriak, tetapi itu tidak ada artinya. Karena tenaga Marisa jelas kalah dibanding ketig
"Iya betul, Bu. Dan kedatangan saya sekarang ini untuk meminta restu dari Ibu. Saya ingin melamar putri Ibu yang bernama Marisa." Bu Rahmi terpana melihat keterusterangan Dokter Harun. Dia tidak menyangka lelaki di hadapannya ini akan mengatakan hal tersebut di pertemuan pertama. "Alhamdulillah. Saya, sih, terserah kepada Marisa, saja, Nak Dokter. Tapi … kenapa terburu-buru? Apakah Nak Dokter nggak mau kenalan dulu dengan Marisa? Atau jangan-jangan kalian sudah kenal lama?" "Tidak, Bu. Saya baru bertemu dengan Mbak Marisa ketika saya merawat mantan suaminya. Saat itu tidak ada perasaan apa pun kecuali simpati seorang dokter kepada keluarga pasiennya." Bu Rahmi mendengarkan penjelasan Dokter Harun. "Lantas kapan mulai berubah?" Marisa mendelik mendengar pertanyaan ibunya. Dia menyenggol tubuh ibunya dengan siku untuk memintanya diam. Namun, Bu Rahmi tidak mempedulikannya. Sebenarnya Marisa juga penasaran seperti ibunya, tetapi dia terlalu malu untuk bertanya. Jadi, ketika Bu Rahm
Marisa berjalan mendekat. Mungkin karena mendengar suara langkah Marisa, lelaki itu mengangkat wajahnya dan Marisa pun berseru, "Kamu?"Lelaki itu kemudian bangkit dari kursinya dan berdiri dengan sikap sopan ala abdi kerajaan yang menunggu sang putri datang. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum. Mata hitam yang dinaungi sepasang alis yang melengkung sempurna itu menatap Marisa lekat. Namun, ketika tatapan dua insan berlawanan jenis itu bertemu, keduanya sama-sama segera mengalihkan tatapannya. "Maaf kalau saya datang tanpa kabar lebih dulu, Bu Marisa," ucap lelaki itu. "Iya. Tidak apa-apa. Silakan duduk, Dok." Marisa pun duduk di seberang sofa yang ditempati Dokter Harun. "Ada yang bisa saya bantu, Dok? Ada apa dengan Amanda?" "Kedatangan saya kemari nggak ada hubungannya dengan Amanda, Bu."Marisa mengangkat wajahnya dan menatap mata Dokter Harun. Ada tatapan bertanya di mata Marisa.Melihat pandangan bertanya di mata hazel Marisa, tiba-tiba saja Dokter Harun menjadi gugup. "B
Tiba-tiba Marisa berhenti melangkah. Raut wajahnya tampak seperti seseorang yang baru menyadari sesuatu. Dia kemudian berbisik, "Kenapa aku merasa senang mengetahui fakta terbaru tentang Suster Ratri? Apakah ini artinya aku mulai membuka hati untuk Dokter Harun?"Untuk beberapa saat Marisa berdiri termangu, lalu dia menghela napas dan kembali berbisik, "Aku nggak boleh linglung di sini. Lebih baik sekarang aku segera pulang. Tentang bagaimana perasaanku sebenarnya bisa aku pikirkan nanti saja kalau sudah di rumah."Lantas, Marisa pun memutar tubuh dan kembali ke halaman sekolah. Dia segera memasuki mobil kesayangannya dan memacunya menuju rumah. "Loh … katanya mau ke toko buku. Kok sudah pulang? Nggak jadi?" tegur Bu Rahmi ketika melihat Marisa turun dari mobil. "Enggak, Bu," jawab Marisa sambil melangkah menuju teras. Lalu dia duduk di salah satu kursi yang ada di teras. Marisa menyelonjorkan kaki dan memandang ibunya yang tengah merapikan rumpun mawar.Tidak adanya penjelasan atas
Mata Marisa terbelalak mendengar ucapan Dokter Harun. "Sudah sedekat itukah hubungan mereka hingga Suster Ratri membawakan bekal untuk makan siang Dokter Harun?" batinnya."Suster Ratri itu seperti seorang ibu sekaligus kakak buat saya. Cerewetnya sama," lanjut Dokter Harun sambil menatap Marisa."Seperti ibu? Cerewet?" Marisa mengulangi kata-kata Dokter Harun dengan nada kebingungan. "Iya. Kalau Suster Ratri lagi ngomelin saya bisa dua puluh ribu kata per jam dia lontarkan." Dokter Harun terkekeh sambil matanya menerawang. Dia mengenang saat-saat Suster Ratri mengomelinya. "Suster Ratri berani ngomelin Dokter?" Marisa bertanya dengan heran. Dia semakin kebingungan mendengar fakta terbaru tentang sosok suster luar biasa yang menjadi kesayangan keluarga Dokter Harun itu."Loh kenapa nggak berani? Kan dia juga sudah saya anggap seperti kakak tertua," jawab Dokter Harun. Marisa melongo mendengar jawaban Dokter Harun yang semakin membuatnya bingung. Benaknya sibuk merangkai semua fa
"Bu Marisa … apa kabar? Lama kita tidak ketemu. Kapan kita bisa mengobrol lagi seperti beberapa bulan lalu, ya, Bu? Saya kangen kepada Ibu."Marisa mengangkat kepalanya. Dia melihat seorang siswi mendekatinya yang tengah asyik membaca di perpustakaan sekolah. "Amanda? Alhamdulillah kabar ibu baik dan sehat. Semoga Amanda juga sehat. Iya, kita lama nggak ketemu, ya. Soalnya tahun ajaran baru ini ibu nggak mengajar di kelasmu lagi. Ayo sini duduk di sebelah Ibu, mumpung lagi jam istirahat." Amanda menurut dan menarik kursi kosong di sebelah Marisa. Setelah duduk, dia lalu berkata,"Alhamdulillah … syukurlah kalau ibu baik-baik saja. Manda juga Alhamdulillah baik, Bu. Cuma kangen aja karena jarang ngelihat Ibu." "Iya, loh. Ibu juga baru sadar kalau sudah lama nggak lihat kamu nunggu jemputan di bangku halaman sekolah." "Iya, Bu. Sekarang ini Manda nggak perlu nunggu jemputan lagi."Marisa terkesiap. Dalam hatinya dia bertanya-tanya, apakah ini ada hubungannya dengan kemarahan Dokter
"Iya, Mas. Aku baru saja memberi tahu dia kalau aku menolak lamarannya." "O pantas saja mukanya ditekuk seperti itu. Terus apa rencana kamu selanjutnya?""Rencana? Rencana apa maksudmu, Mas?" tanya Marisa dengan wajah kebingungan."Ya rencana masa depan kamu. Misalnya … apa kamu akan kembali menutup diri atau mau membuka hati lagi? Apa kamu mau terima perjodohan yang kemarin diatur ibuku? Atau bagaimana? Kamu pasti sudah memikirkannya, kan?" selidik Rian."Sepertinya aku ngalir aja, Mas. Aku ikut takdir Allah. Maksudku … aku nggak siapin waktu secara khusus untuk cari pasangan hidup, tapi kalau Allah takdirkan aku ketemu seseorang, ya, aku terima." "Meskipun itu aku?""Maksudnya gimana, Mas?""Kalau Allah takdirkan aku adalah jodohmu gimana?" Rian tidak menjawab pertanyaan Marisa, tetapi justru bertanya balik. Tatapan mata Rian menghujam tepat ke bola mata Marisa. Dia menatap penuh harap kepada perempuan yang sudah dikenalnya sejak kecil itu."Kalau memang Allah takdirkan, ya,