"Apakah kira-kira orang yang akan kamu pilih itu Dokter Harun?" tanya Bu Rahmi sambil tetap mengelus punggung Marisa. Suara isak tangis putrinya sudah mulai berkurang seiring elusan tangannya. Mendengar pertanyaan Bu Rahmi, Marisa seketika melonggarkan pelukannya. Dia kemudian duduk tegak sejajar dengan ibunya. Matanya menatap lekat wajah Bu Rahmi mencoba menyelami maksud pertanyaan ibunya. Namun, tak secuil informasi pun yang bisa dia dapatkan karena ibunya hanya diam dan balik menatap. Jadi, Marisa akhirnya tidak tahan, "Kenapa Ibu bertanya seperti itu?" "Loh memangnya salah kalau ibu menanyakan hal itu?" "Nggak salah, sih, Bu. Risa cuma merasa heran aja Ibu bisa kepikiran nama Dokter Harun." Bu Rahmi tertawa kecil sambil memandang wajah putri sulungnya. "Kamu boleh percaya boleh nggak, Nduk. Seorang Ibu itu peka. Punya firasat yang jarang sekali salah." "Waktu Risa dijodohkan dengan Mas Irawan apa ibu nggak mempunyai firasat?""Entahlah. Ibu sedikit lupa karena sudah lama
"Oo jadi Dokter Harun itu sebenarnya mau menikah tapi batal, ya? Amanda tahu alasannya apa?" Marisa memiringkan tubuhnya ke kanan dan menatap lekat Amanda. Dia benar-benar penasaran dengan kelanjutan cerita muridnya itu. "Saya nggak tahu, Bu. Kejadiannya udah lama dan waktu itu saya masih kecil. Kata mama Itu urusan orang dewasa." Amanda menjawab dengan santai tanpa tahu perasaan orang yang sudah bertanya. Marisa mengerjapkan bulu matanya. Desah lirih pertanda kecewa meluncur dari bibirnya. Rasa penasarannya menemui jalan buntu dan tidak menemukan jawaban. Amanda menoleh ke kiri. Dia mendengar desah lirih yang keluar dari bibir gurunya dan menjadi penasaran. "Kenapa, Bu?" "Oo enggak apa-apa, kok," jawab Marisa dengan cepat. Dia menjadi salah tingkah karena tatapan lekat Amanda seolah-olah menyelidikinya. "Bu Marisa ternyata aneh juga. Sama seperti Om Harun." "Dokter Harun juga aneh? Kenapa?" tanya Marisa yang dibalas anggukan Amanda. "Mirip Bu Marisa tadi. Om Harun juga sering n
"Gini ini, loh, Bu, sifat Om Harun yang saya nggak suka. Dikit-dikit ceramah. Mungkin itu sebabnya om saya ini belum menikah sampai sekarang. Karena mana ada perempuan yang mau terus diceramahin." Amanda mencebik kesal. Wajah Dokter Harun mengeras mendengar omelan Amanda. Namun, dia hanya diam saja dan tidak balas memarahi keponakannya itu. Marisa yang merasa canggung berada di tengah perselisihan antara om dan keponakannya itu mencoba untuk menjadi penengah. "Menurut Ibu, sering menceramahi itu tidak selalu salah loh, Amanda. Kalau memang ada orang yang melakukan perbuatan keliru maka sebagai sesama muslim kita wajib menegurnya."Amanda hanya mengangguk mendengar ucapan Marisa. Gadis itu lalu menoleh dan menunggu kata-kata Marisa selanjutnya. Sambil menepuk tangan Amanda, Marisa melanjutkan perkataannya, "Apalagi di sini, kan, Dokter Harun itu sebagai wali kamu. Pengganti ayahmu yang juga punya kewajiban meluruskan kalau kamu salah. Jadi, wajar saja kalau sesekali menegur. Itu tand
"Bu Marisa jangan percaya begitu saja, dong. Om saya ini nggak bakalan ngomong maksud dia sebenarnya." Tiba-tiba saja Amanda menyela. Dia menatap wajah Marisa dengan gemas. "Maksud kamu apa, Amanda?" "Ih Bu Marisa nih, polos banget. Om saya itu seperti lelaki lain, Bu. Lelaki itu nggak bakalan ngomong maksudnya secara terus terang sebelum dia mendapat kepastian tidak ditolak alias diterima. Ego mereka terlalu tinggi jadi nggak bisa terima penolakan, Bu."Baru saja Amanda selesai menjelaskan terdengar tawa terbahak-bahak. "Rasain Bro … modusmu dibongkar ponakanmu sendiri." Aswin kembali tertawa keras untuk menggoda temannya. Wajah Dokter Harun tampak semakin kesal mendengar tawa temannya. Dengan setengah menggerutu dia meminta temannya itu menghentikan tawanya. Lalu Dokter Harun menoleh ke arah keponakannya. "Tidak semua laki-laki itu punya sikap seperti yang kamu bilang tadi. Masih ada dan mungkin masih banyak lelaki baik yang tulus dalam melakukan suatu perbuatan." "Salah sa
"Sandhy?" Marisa terperanjat mendengar nama itu disebut oleh Amanda. Sontak kepalanya menoleh ke panggung kecil di depan. Di sana dia melihat sosok yang dikenalnya tengah mengutak-atik gitar. Bola mata Marisa membulat karena tidak percaya. "Bagaimana dia ada di sini? Bukankah dia kembali berlayar?" batinnya. Tiba-tiba saja Marisa merasa gelisah. Dia menjadi tidak nyaman dan takut terjadi kesalah pahaman kalau Sandhy mendadak mengenalinya. "Bu Marisa … Bu!" Panggilan Dokter Harun mengagetkan Marisa."Eh iya, Dok. Ada apa ya?" jawab Marisa sambil gelagapan. "Ibu ngelamun, ya? Dari tadi Om Harun manggil, tapi Ibu diam aja. Ngelamunin siapa, Bu?" goda Amanda sambil tersenyum lebar."Enggak ngelamunin siapa-siapa, kok. Cuma lagi mikir belum buat soal ujian saja." "Waah … soalnya nanti apa aja, Bu. Kasih bocoran, dong!" seru Amanda dengan antusias. Dokter Harun seketika menyentil telinga Amanda dari balik hijabnya. "Aduh! Om Harun ini apa-apaan, sih," pekik Amanda. "Soalnya ka
Bab 121 Marisa Emosi"Oo … jadi begini ulahmu! Apa dulu waktu aku koma, kamu juga sembunyi-sembunyi menemui lelaki lain? Pantas saja kamu segera meminta cerai setelah aku sadar!" Ketiga orang yang tengah menikmati makanan terkejut mendengar suara keras dari arah belakang Marisa. Meja yang mereka tempati itu posisinya menghadap ke panggung dan seharusnya diisi empat orang. Namun, hanya Marisa, Dokter Harun, dan Amanda yang berada di meja itu. Dokter Harun duduk di ujung kiri berhadapan dengan Marisa yang ada di ujung kanan. Sementara itu, Amanda duduk di kursi yang menghadap ke panggung. Jadi, ketika ada suara keras yang menegur Marisa dengan kasar, Dokter Harun lah yang pertama kali melihat pelakunya. "Pak Irawan?" seru Dokter Harun. Matanya terbelalak melihat sosok lelaki yang pernah menjadi pasiennya itu sedang menatap tajam dirinya. Namun, sebelum dia bertanya lebih lanjut terdengar sebuah suara keras memotong ucapannya."Mas Irawan? Apa-apaan kamu, Mas! Apa maksud ucapan
"Karena saya adalah suami wanita yang ditemukan semobil dengan Anda saat kecelakaan itu terjadi. Jadi jelas kalau kecelakaan yang Anda alami mempengaruhi saya dan keluarga saya." Tatapan Sandhy menghujam mata Irawan. Dia ingin melihat reaksi dari lelaki yang berdiri di depannya ini. Mata Irawan terbelalak mendengar kata-kata Sandhy. Dia tidak menyangka kalau hari ini akan bertemu suami wanita itu. Dia tahu wanita itu punya suami, tetapi sikap wanita itu yang selalu menggodanya membuat Irawan lupa dengan status mereka berdua yang sudah punya pasangan masing-masing. Sekarang ketika kesadarannya datang dan penyesalan menyergapnya, Irawan enggan menyebut nama wanita itu. Karena gara-gara wanita itu dia kehilangan Marisa, istrinya sekaligus perempuan yang dicintainya. Nasi memang sudah jadi bubur. Tidak bisa kembali lagi seperti semula. Waktu pun tidak bisa diputar balik. Jadi, sekarang Irawan hanya bisa menelan kesedihannya melihat Marisa mantan istrinya mulai melupakan masa lalunya b
Marisa membuka pintu mobil di sebelahnya dan akan turun menyusul Amanda ketika terdengar suara Dokter Harun. "Bagaimana rasanya dipuja seorang lelaki seperti Sandhy?" Tangan Marisa menggantung di pintu yang masih setengah terbuka mendengar pertanyaan Dokter Harun itu. Suara dokter itu sedikit lirih ketika bertanya dan nyaris seperti bergumam saja. Jadi Marisa ingin memastikan kebenaran pendengarannya dengan bertanya balik, "Apa, Dok?" Dokter Harun terdiam. Dia tidak menjawab pertanyaan Marisa dan hanya mendesah pelan. Tangannya lalu membuka pintu mobil di sebelahnya. "Maafkan saya, Bu Marisa. Tolong lupakan saja pertanyaan saya." Tanpa menunggu respon Marisa, lelaki berdarah campuran Timur Tengah itu segera keluar dari mobil dan menutup pintunya rapat. Marisa yang duduk di deretan kursi kedua di mobil Pajero sport milik Dokter Harun hanya bisa melongo. Dia menatap lelaki itu berjalan menjauhi mobil. Lelaki yang biasanya sangat sopan dan selalu memastikan semua penumpangnya keluar
"Mas Rian … jangan pergi! Jangan tinggalkan aku! Bangun, Mas! Aku membutuhkanmu!" ratap Marisa. Namun, lelaki yang dipeluk dan ditangisinya masih tetap mengatupkan matanya. Rapat. "Sudah, Mbak jangan nangis terus. Lebih baik kita doakan Mas Rian agar diberikan kesehatan." Marisa mengangguk mendengar saran Dokter Harun. Memang tangis tidak akan membuat Rian sembuh. "Alhamdulillah Allah masih melindunginya. Tusukan pisau itu tidak mengenai organ vital. Geser satu centi aja akan sangat berbahaya. Namun, mengingat dia ditusuk tiga kali dan mengeluarkan banyak darah, kondisinya belum terbilang stabil. Perlu banyak kantong darah untuk transfusi. Sementara stok golongan darah O di PMI menipis."Marisa mengusap wajah lega. "Ambil darah saya saja, Dok. Golongan darah saya O." "Jangan. Kamu butuh istirahat, Mbak. Darah saya saja, Dok. Saya juga bergolongan darah O," ucap Dokter Harun."Baiklah … nanti kita periksa dulu untuk melihat kecocokannya."Marisa menelepon ibunya untuk mengabarkan di
"Ada apa dengan Marisa?" sambar Rian.Dokter Harun menatap Bu Rahmi dengan prihatin. "Sabar, ya, Bu. Mbak Marisa mengalami penculikan di dekat sekolah. Kasusnya sedang dalam penyelidikan polisi." "Apa diculik?" teriak Rian."Tidak! Jangan polisi. Nanti Marisa tidak selamat!" seru Bu Rahmi yang kemudian menangis. "Kenapa tidak selamat? Ibu tahu kalau Mbak Marisa diculik?" desak Dokter Harun. "Iya." Bu Rahmi mengusap wajahnya dan terduduk lemas di sofa. "Itu sebabnya tadi Bulek telepon kamu." Tatapan Bu Rahmi terarah ke Rian."Sebenarnya Bulek berharap itu cuma bercanda, tapi kabar yang dibawa Dokter Harun membuat Bulek tahu kalau orang itu sungguh-sungguh menculik Marisa." Air mata Bu Rahmi pun menderas di kedua pipinya. "Orang itu? Siapa?" "Siapa orang itu, Bu?"Dokter Harun dan Rian bertanya bersamaan. "Tadi ada telepon. Ngaku temannya Marisa ke Bik Siti. Setelah ibu angkat dia bilang sudah menculik Marisa dan melarang untuk melapor ke polisi kalau mau anak ibu selamat. Tapi ta
"Apa-apaan ini? Siapa mereka?" tanya Marisa ketika melihat tiga orang lelaki turun dari mobil yang menghadangnya.Salah satu lelaki yang turun dari mobil penghadang itu kemudian menggedor jendela di samping Marisa. "Buka pintunya! Cepat!" Marisa terlonjak kaget dan mundur dari jendela. Untuk beberapa saat dia hanya diam dan memandang ketiga lelaki berwajah menyeramkan itu. Marisa tidak mau membuka pintunya. Berada di dalam mobil dengan pintu yang terkunci membuatnya sedikit merasa aman. Sayangnya rasa aman itu hanya bertahan sebentar, karena tak lama kemudian kaca jendela mobilnya pecah berhamburan. Salah satu lelaki menyeramkan itu memegang semacam palu yang besar dan berhasil memecah kaca. Belum hilang rasa kaget Marisa, lelaki yang sama berhasil membuka pintu mobilnya dari dalam dan menarik Marisa keluar. Kemudian dia diseret memasuki mobil milik ketiga lelaki itu. Meski Marisa meronta dan berteriak, tetapi itu tidak ada artinya. Karena tenaga Marisa jelas kalah dibanding ketig
"Iya betul, Bu. Dan kedatangan saya sekarang ini untuk meminta restu dari Ibu. Saya ingin melamar putri Ibu yang bernama Marisa." Bu Rahmi terpana melihat keterusterangan Dokter Harun. Dia tidak menyangka lelaki di hadapannya ini akan mengatakan hal tersebut di pertemuan pertama. "Alhamdulillah. Saya, sih, terserah kepada Marisa, saja, Nak Dokter. Tapi … kenapa terburu-buru? Apakah Nak Dokter nggak mau kenalan dulu dengan Marisa? Atau jangan-jangan kalian sudah kenal lama?" "Tidak, Bu. Saya baru bertemu dengan Mbak Marisa ketika saya merawat mantan suaminya. Saat itu tidak ada perasaan apa pun kecuali simpati seorang dokter kepada keluarga pasiennya." Bu Rahmi mendengarkan penjelasan Dokter Harun. "Lantas kapan mulai berubah?" Marisa mendelik mendengar pertanyaan ibunya. Dia menyenggol tubuh ibunya dengan siku untuk memintanya diam. Namun, Bu Rahmi tidak mempedulikannya. Sebenarnya Marisa juga penasaran seperti ibunya, tetapi dia terlalu malu untuk bertanya. Jadi, ketika Bu Rahm
Marisa berjalan mendekat. Mungkin karena mendengar suara langkah Marisa, lelaki itu mengangkat wajahnya dan Marisa pun berseru, "Kamu?"Lelaki itu kemudian bangkit dari kursinya dan berdiri dengan sikap sopan ala abdi kerajaan yang menunggu sang putri datang. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum. Mata hitam yang dinaungi sepasang alis yang melengkung sempurna itu menatap Marisa lekat. Namun, ketika tatapan dua insan berlawanan jenis itu bertemu, keduanya sama-sama segera mengalihkan tatapannya. "Maaf kalau saya datang tanpa kabar lebih dulu, Bu Marisa," ucap lelaki itu. "Iya. Tidak apa-apa. Silakan duduk, Dok." Marisa pun duduk di seberang sofa yang ditempati Dokter Harun. "Ada yang bisa saya bantu, Dok? Ada apa dengan Amanda?" "Kedatangan saya kemari nggak ada hubungannya dengan Amanda, Bu."Marisa mengangkat wajahnya dan menatap mata Dokter Harun. Ada tatapan bertanya di mata Marisa.Melihat pandangan bertanya di mata hazel Marisa, tiba-tiba saja Dokter Harun menjadi gugup. "B
Tiba-tiba Marisa berhenti melangkah. Raut wajahnya tampak seperti seseorang yang baru menyadari sesuatu. Dia kemudian berbisik, "Kenapa aku merasa senang mengetahui fakta terbaru tentang Suster Ratri? Apakah ini artinya aku mulai membuka hati untuk Dokter Harun?"Untuk beberapa saat Marisa berdiri termangu, lalu dia menghela napas dan kembali berbisik, "Aku nggak boleh linglung di sini. Lebih baik sekarang aku segera pulang. Tentang bagaimana perasaanku sebenarnya bisa aku pikirkan nanti saja kalau sudah di rumah."Lantas, Marisa pun memutar tubuh dan kembali ke halaman sekolah. Dia segera memasuki mobil kesayangannya dan memacunya menuju rumah. "Loh … katanya mau ke toko buku. Kok sudah pulang? Nggak jadi?" tegur Bu Rahmi ketika melihat Marisa turun dari mobil. "Enggak, Bu," jawab Marisa sambil melangkah menuju teras. Lalu dia duduk di salah satu kursi yang ada di teras. Marisa menyelonjorkan kaki dan memandang ibunya yang tengah merapikan rumpun mawar.Tidak adanya penjelasan atas
Mata Marisa terbelalak mendengar ucapan Dokter Harun. "Sudah sedekat itukah hubungan mereka hingga Suster Ratri membawakan bekal untuk makan siang Dokter Harun?" batinnya."Suster Ratri itu seperti seorang ibu sekaligus kakak buat saya. Cerewetnya sama," lanjut Dokter Harun sambil menatap Marisa."Seperti ibu? Cerewet?" Marisa mengulangi kata-kata Dokter Harun dengan nada kebingungan. "Iya. Kalau Suster Ratri lagi ngomelin saya bisa dua puluh ribu kata per jam dia lontarkan." Dokter Harun terkekeh sambil matanya menerawang. Dia mengenang saat-saat Suster Ratri mengomelinya. "Suster Ratri berani ngomelin Dokter?" Marisa bertanya dengan heran. Dia semakin kebingungan mendengar fakta terbaru tentang sosok suster luar biasa yang menjadi kesayangan keluarga Dokter Harun itu."Loh kenapa nggak berani? Kan dia juga sudah saya anggap seperti kakak tertua," jawab Dokter Harun. Marisa melongo mendengar jawaban Dokter Harun yang semakin membuatnya bingung. Benaknya sibuk merangkai semua fa
"Bu Marisa … apa kabar? Lama kita tidak ketemu. Kapan kita bisa mengobrol lagi seperti beberapa bulan lalu, ya, Bu? Saya kangen kepada Ibu."Marisa mengangkat kepalanya. Dia melihat seorang siswi mendekatinya yang tengah asyik membaca di perpustakaan sekolah. "Amanda? Alhamdulillah kabar ibu baik dan sehat. Semoga Amanda juga sehat. Iya, kita lama nggak ketemu, ya. Soalnya tahun ajaran baru ini ibu nggak mengajar di kelasmu lagi. Ayo sini duduk di sebelah Ibu, mumpung lagi jam istirahat." Amanda menurut dan menarik kursi kosong di sebelah Marisa. Setelah duduk, dia lalu berkata,"Alhamdulillah … syukurlah kalau ibu baik-baik saja. Manda juga Alhamdulillah baik, Bu. Cuma kangen aja karena jarang ngelihat Ibu." "Iya, loh. Ibu juga baru sadar kalau sudah lama nggak lihat kamu nunggu jemputan di bangku halaman sekolah." "Iya, Bu. Sekarang ini Manda nggak perlu nunggu jemputan lagi."Marisa terkesiap. Dalam hatinya dia bertanya-tanya, apakah ini ada hubungannya dengan kemarahan Dokter
"Iya, Mas. Aku baru saja memberi tahu dia kalau aku menolak lamarannya." "O pantas saja mukanya ditekuk seperti itu. Terus apa rencana kamu selanjutnya?""Rencana? Rencana apa maksudmu, Mas?" tanya Marisa dengan wajah kebingungan."Ya rencana masa depan kamu. Misalnya … apa kamu akan kembali menutup diri atau mau membuka hati lagi? Apa kamu mau terima perjodohan yang kemarin diatur ibuku? Atau bagaimana? Kamu pasti sudah memikirkannya, kan?" selidik Rian."Sepertinya aku ngalir aja, Mas. Aku ikut takdir Allah. Maksudku … aku nggak siapin waktu secara khusus untuk cari pasangan hidup, tapi kalau Allah takdirkan aku ketemu seseorang, ya, aku terima." "Meskipun itu aku?""Maksudnya gimana, Mas?""Kalau Allah takdirkan aku adalah jodohmu gimana?" Rian tidak menjawab pertanyaan Marisa, tetapi justru bertanya balik. Tatapan mata Rian menghujam tepat ke bola mata Marisa. Dia menatap penuh harap kepada perempuan yang sudah dikenalnya sejak kecil itu."Kalau memang Allah takdirkan, ya,