Halo Sahabat Marisa. Terima kasih sudah setia membaca kisah ini. Terus dukung Marisa sampai kisahnya tamat, ya. Mohon berikan vote dan gem. Terima kasih. I love you all.🥰🥰🥰
"Gini ini, loh, Bu, sifat Om Harun yang saya nggak suka. Dikit-dikit ceramah. Mungkin itu sebabnya om saya ini belum menikah sampai sekarang. Karena mana ada perempuan yang mau terus diceramahin." Amanda mencebik kesal. Wajah Dokter Harun mengeras mendengar omelan Amanda. Namun, dia hanya diam saja dan tidak balas memarahi keponakannya itu. Marisa yang merasa canggung berada di tengah perselisihan antara om dan keponakannya itu mencoba untuk menjadi penengah. "Menurut Ibu, sering menceramahi itu tidak selalu salah loh, Amanda. Kalau memang ada orang yang melakukan perbuatan keliru maka sebagai sesama muslim kita wajib menegurnya."Amanda hanya mengangguk mendengar ucapan Marisa. Gadis itu lalu menoleh dan menunggu kata-kata Marisa selanjutnya. Sambil menepuk tangan Amanda, Marisa melanjutkan perkataannya, "Apalagi di sini, kan, Dokter Harun itu sebagai wali kamu. Pengganti ayahmu yang juga punya kewajiban meluruskan kalau kamu salah. Jadi, wajar saja kalau sesekali menegur. Itu tand
"Bu Marisa jangan percaya begitu saja, dong. Om saya ini nggak bakalan ngomong maksud dia sebenarnya." Tiba-tiba saja Amanda menyela. Dia menatap wajah Marisa dengan gemas. "Maksud kamu apa, Amanda?" "Ih Bu Marisa nih, polos banget. Om saya itu seperti lelaki lain, Bu. Lelaki itu nggak bakalan ngomong maksudnya secara terus terang sebelum dia mendapat kepastian tidak ditolak alias diterima. Ego mereka terlalu tinggi jadi nggak bisa terima penolakan, Bu."Baru saja Amanda selesai menjelaskan terdengar tawa terbahak-bahak. "Rasain Bro … modusmu dibongkar ponakanmu sendiri." Aswin kembali tertawa keras untuk menggoda temannya. Wajah Dokter Harun tampak semakin kesal mendengar tawa temannya. Dengan setengah menggerutu dia meminta temannya itu menghentikan tawanya. Lalu Dokter Harun menoleh ke arah keponakannya. "Tidak semua laki-laki itu punya sikap seperti yang kamu bilang tadi. Masih ada dan mungkin masih banyak lelaki baik yang tulus dalam melakukan suatu perbuatan." "Salah sa
"Sandhy?" Marisa terperanjat mendengar nama itu disebut oleh Amanda. Sontak kepalanya menoleh ke panggung kecil di depan. Di sana dia melihat sosok yang dikenalnya tengah mengutak-atik gitar. Bola mata Marisa membulat karena tidak percaya. "Bagaimana dia ada di sini? Bukankah dia kembali berlayar?" batinnya. Tiba-tiba saja Marisa merasa gelisah. Dia menjadi tidak nyaman dan takut terjadi kesalah pahaman kalau Sandhy mendadak mengenalinya. "Bu Marisa … Bu!" Panggilan Dokter Harun mengagetkan Marisa."Eh iya, Dok. Ada apa ya?" jawab Marisa sambil gelagapan. "Ibu ngelamun, ya? Dari tadi Om Harun manggil, tapi Ibu diam aja. Ngelamunin siapa, Bu?" goda Amanda sambil tersenyum lebar."Enggak ngelamunin siapa-siapa, kok. Cuma lagi mikir belum buat soal ujian saja." "Waah … soalnya nanti apa aja, Bu. Kasih bocoran, dong!" seru Amanda dengan antusias. Dokter Harun seketika menyentil telinga Amanda dari balik hijabnya. "Aduh! Om Harun ini apa-apaan, sih," pekik Amanda. "Soalnya ka
Bab 121 Marisa Emosi"Oo … jadi begini ulahmu! Apa dulu waktu aku koma, kamu juga sembunyi-sembunyi menemui lelaki lain? Pantas saja kamu segera meminta cerai setelah aku sadar!" Ketiga orang yang tengah menikmati makanan terkejut mendengar suara keras dari arah belakang Marisa. Meja yang mereka tempati itu posisinya menghadap ke panggung dan seharusnya diisi empat orang. Namun, hanya Marisa, Dokter Harun, dan Amanda yang berada di meja itu. Dokter Harun duduk di ujung kiri berhadapan dengan Marisa yang ada di ujung kanan. Sementara itu, Amanda duduk di kursi yang menghadap ke panggung. Jadi, ketika ada suara keras yang menegur Marisa dengan kasar, Dokter Harun lah yang pertama kali melihat pelakunya. "Pak Irawan?" seru Dokter Harun. Matanya terbelalak melihat sosok lelaki yang pernah menjadi pasiennya itu sedang menatap tajam dirinya. Namun, sebelum dia bertanya lebih lanjut terdengar sebuah suara keras memotong ucapannya."Mas Irawan? Apa-apaan kamu, Mas! Apa maksud ucapan
"Karena saya adalah suami wanita yang ditemukan semobil dengan Anda saat kecelakaan itu terjadi. Jadi jelas kalau kecelakaan yang Anda alami mempengaruhi saya dan keluarga saya." Tatapan Sandhy menghujam mata Irawan. Dia ingin melihat reaksi dari lelaki yang berdiri di depannya ini. Mata Irawan terbelalak mendengar kata-kata Sandhy. Dia tidak menyangka kalau hari ini akan bertemu suami wanita itu. Dia tahu wanita itu punya suami, tetapi sikap wanita itu yang selalu menggodanya membuat Irawan lupa dengan status mereka berdua yang sudah punya pasangan masing-masing. Sekarang ketika kesadarannya datang dan penyesalan menyergapnya, Irawan enggan menyebut nama wanita itu. Karena gara-gara wanita itu dia kehilangan Marisa, istrinya sekaligus perempuan yang dicintainya. Nasi memang sudah jadi bubur. Tidak bisa kembali lagi seperti semula. Waktu pun tidak bisa diputar balik. Jadi, sekarang Irawan hanya bisa menelan kesedihannya melihat Marisa mantan istrinya mulai melupakan masa lalunya b
Marisa membuka pintu mobil di sebelahnya dan akan turun menyusul Amanda ketika terdengar suara Dokter Harun. "Bagaimana rasanya dipuja seorang lelaki seperti Sandhy?" Tangan Marisa menggantung di pintu yang masih setengah terbuka mendengar pertanyaan Dokter Harun itu. Suara dokter itu sedikit lirih ketika bertanya dan nyaris seperti bergumam saja. Jadi Marisa ingin memastikan kebenaran pendengarannya dengan bertanya balik, "Apa, Dok?" Dokter Harun terdiam. Dia tidak menjawab pertanyaan Marisa dan hanya mendesah pelan. Tangannya lalu membuka pintu mobil di sebelahnya. "Maafkan saya, Bu Marisa. Tolong lupakan saja pertanyaan saya." Tanpa menunggu respon Marisa, lelaki berdarah campuran Timur Tengah itu segera keluar dari mobil dan menutup pintunya rapat. Marisa yang duduk di deretan kursi kedua di mobil Pajero sport milik Dokter Harun hanya bisa melongo. Dia menatap lelaki itu berjalan menjauhi mobil. Lelaki yang biasanya sangat sopan dan selalu memastikan semua penumpangnya keluar
"Wah dasar! Ini namanya tukang selingkuh teriak orang lain yang selingkuh!" Wajah Bu Rahmi merah padam menahan amarah."Sabar, Bu. Risa sudah omelin Mas Irawan, kok. Dokter Harun kan juga tidak terima kalau dia dituduh bertemu istri pasien di saat pasiennya koma." "Syukurlah kalau begitu. Memang orang seperti Irawan itu kudu dilawan biar dia nggak seenaknya sendiri kalau ngomong. Biar dia juga tahu kesalahannya." "Iya, Bu itu yang Risa pikirkan kemarin. Risa nggak mau difitnah dan dituduh selingkuh. Apalagi kalau mereka yang ngerekam kejadian kemarin itu nyebarin videonya. Jadi, Risa luruskan aja biar nggak ada tuduhan macam-macam. Mas Sandhy juga membantu klarifikasi dan meminta siapa pun yang sudah merekam video tidak menyebarkannya." "Loh siapa yang merekam? Aduh gimana kalau itu jadi viral, Nduk? Ibu jadi takut kejadian yang dulu terjadi ke suamimu akan menimpa kami juga." Bu Rahmi meremas-remas tangannya pertanda dia sedang gelisah."Tenang aja, Bu. Insya Allah nggak terjadi.
"Maaf, Mas Sandhy. Aku meminta waktu untuk berpikir," jawab Marisa. "Masih kurangkah waktu yang sudah kuberikan?" "Iya. Ini adalah keputusan seumur hidup. Itu sebabnya aku harus berhati-hati dalam memutuskan. Aku pernah gagal dalam mengarungi rumah tangga, jadi aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama." Marisa dengan tegas menyampaikan keinginannya. Dia menatap Sandhy untuk melihat reaksi lelaki itu. Namun, Sandhy hanya terdiam dan memandang Marisa menanti kata-katanya selanjutnya. Marisa menghela napas panjang dan menghembuskannya perlahan. "Kalau waktu pertama kali Mas Sandhy menyatakan perasaannya, aku tidak meminta agar Mas Sandhy menunggu. Karena aku tahu rasa trauma yang kumiliki entah kapan hilangnya. Namun, justru Mas Sandhy yang bersikeras untuk menunggu. Jadi, kemarin itu tidak bisa dihitung sebagai memberikan waktu menunggu, Mas. Beda dengan sekarang. Aku memang meminta waktu, tapi kalau Mas Sandhy tidak mau memberikannya juga tidak apa-apa." "Maafkan aku Marisa.