Halo sahabat Marisa ... terima kasih banyak untuk semua supportnya selama ini. Tetap dukung Marisa sampai tamat ya. Mohon berikan dukungan dan gem kalian. Terima kasih. I love you all 🥰🥰🥰
"Loh … dia? Apakah dia adalah Om-nya Amanda?" Mata marisa terbeliak ketika melihat orang yang turun dari mobil itu. Dia mengamati gerak gerik lelaki yang tampak gagah dengan kemeja biru muda yang lengannya digulung di siku. Tak berbeda dengan Marisa, sosok yang baru turun dari mobil itu juga tampak terkejut ketika melihat perempuan yang berdiri tak jauh dari keponakannya. Dia segera mempercepat langkahnya untuk menghampiri perempuan itu. "Loh, Bu Marisa kok ada di sini?" "Assalamualaikum, Dokter Harun. Apa kabar?" Marisa memberikan salam tanpa menjawab pertanyaan sang dokter. Wajah Dokter Harun memerah. Dia tampak salah tingkah karena terlalu terburu-buru sehingga dia lupa memberikan salam. Padahal selama ini dia tidak pernah melupakan adab itu ketika bertemu dengan seorang muslim atau muslimah. "Waalaikumsalam … alhamdulilah baik. Semoga Bu Marisa juga baik-baik saja." "Aamiin." Marisa menyahut pelan karena tiba-tiba saja dia menjadi grogi berdiri di dekat Dokter Harun. Padahal d
"Ma-maksud Dokter … tadi Dokter Harun bertemu dengan Mas Irawan? Apakah Dokter juga mengajak Mas Irawan berbicara?" Wajah Marisa memucat. Dengan suara bergetar dia bertanya kepada Dokter Harun."Hanya menyapa sekadarnya saja. Memangnya kenapa Bu Marisa?" selidik Dokter Harun. Mata hitam sang dokter menatap Marisa dengan tatapan heran. "Tidak … tidak ada apa-apa, Dok." Marisa menjawab cepat agar Dokter Harun tidak curiga. Dia lalu membuang pandang agar tidak perlu bersitatap dengan sang dokter. Sebenarnya di hati kecilnya Marisa bertanya-tanya alasan dia khawatir Dokter Harun berbicara dengan suaminya. Apakah karena dia takut Dokter Harun mengetahui statusnya sebagai seorang janda? Memangnya apa yang harus dia cemaskan kalau benar Dokter Harun tahu status yang disandangnya sekarang?"O saya kira ada apa. Kalau melihat dari raut wajahnya, sih, Pak Irawan tampak makin cerah, ya, Bu. Semoga dengan rajin terapi, suami Bu Marisa bisa pulih seperti sedia kala." "Aamiin Yaa Robbal'aalaami
"Loh bukankah Anda dokter yang pernah merawat mantan suami anak saya?" Marisa terkesiap dan wajahnya memucat mendengar kata-kata ibunya. Dia sama sekali tidak menyangka Bu Rahmi akan berkata seperti itu. Sementara itu Dokter Harun tidak kalah terkejutnya. Mulutnya ternganga mendapat pertanyaan tidak terduga dari ibunya Marisa. Namun, bukannya menjawab, Dokter Harun justru balik bertanya, "Mantan? Bu Marisa sudah berpisah dengan Pak Irawan?" "Iya, Pak Dokter," jawab Bu Rahmi. Dia menatap curiga kepada lelaki yang berdiri di depannya ini. Kenapa lelaki ini harus se terkejut itu? Kenapa pula dia yang mengantar Marisa ketika mobilnya mogok? Apa mereka berdua mempunyai hubungan? Berbagai pertanyaan berkelindan di benak Bu Rahmi. Membuat perempuan separuh baya itu menatap bergantian wajah anaknya dan Dokter Harun. "O begitu," jawab Dokter Harun singkat.Dokter Spesialis Jantung itu lalu berdeham untuk menghilangkan suara seraknya. Dia kemudian menatap Marisa dan berkata, "Saya ikut p
"Apakah kira-kira orang yang akan kamu pilih itu Dokter Harun?" tanya Bu Rahmi sambil tetap mengelus punggung Marisa. Suara isak tangis putrinya sudah mulai berkurang seiring elusan tangannya. Mendengar pertanyaan Bu Rahmi, Marisa seketika melonggarkan pelukannya. Dia kemudian duduk tegak sejajar dengan ibunya. Matanya menatap lekat wajah Bu Rahmi mencoba menyelami maksud pertanyaan ibunya. Namun, tak secuil informasi pun yang bisa dia dapatkan karena ibunya hanya diam dan balik menatap. Jadi, Marisa akhirnya tidak tahan, "Kenapa Ibu bertanya seperti itu?" "Loh memangnya salah kalau ibu menanyakan hal itu?" "Nggak salah, sih, Bu. Risa cuma merasa heran aja Ibu bisa kepikiran nama Dokter Harun." Bu Rahmi tertawa kecil sambil memandang wajah putri sulungnya. "Kamu boleh percaya boleh nggak, Nduk. Seorang Ibu itu peka. Punya firasat yang jarang sekali salah." "Waktu Risa dijodohkan dengan Mas Irawan apa ibu nggak mempunyai firasat?""Entahlah. Ibu sedikit lupa karena sudah lama
"Oo jadi Dokter Harun itu sebenarnya mau menikah tapi batal, ya? Amanda tahu alasannya apa?" Marisa memiringkan tubuhnya ke kanan dan menatap lekat Amanda. Dia benar-benar penasaran dengan kelanjutan cerita muridnya itu. "Saya nggak tahu, Bu. Kejadiannya udah lama dan waktu itu saya masih kecil. Kata mama Itu urusan orang dewasa." Amanda menjawab dengan santai tanpa tahu perasaan orang yang sudah bertanya. Marisa mengerjapkan bulu matanya. Desah lirih pertanda kecewa meluncur dari bibirnya. Rasa penasarannya menemui jalan buntu dan tidak menemukan jawaban. Amanda menoleh ke kiri. Dia mendengar desah lirih yang keluar dari bibir gurunya dan menjadi penasaran. "Kenapa, Bu?" "Oo enggak apa-apa, kok," jawab Marisa dengan cepat. Dia menjadi salah tingkah karena tatapan lekat Amanda seolah-olah menyelidikinya. "Bu Marisa ternyata aneh juga. Sama seperti Om Harun." "Dokter Harun juga aneh? Kenapa?" tanya Marisa yang dibalas anggukan Amanda. "Mirip Bu Marisa tadi. Om Harun juga sering n
"Gini ini, loh, Bu, sifat Om Harun yang saya nggak suka. Dikit-dikit ceramah. Mungkin itu sebabnya om saya ini belum menikah sampai sekarang. Karena mana ada perempuan yang mau terus diceramahin." Amanda mencebik kesal. Wajah Dokter Harun mengeras mendengar omelan Amanda. Namun, dia hanya diam saja dan tidak balas memarahi keponakannya itu. Marisa yang merasa canggung berada di tengah perselisihan antara om dan keponakannya itu mencoba untuk menjadi penengah. "Menurut Ibu, sering menceramahi itu tidak selalu salah loh, Amanda. Kalau memang ada orang yang melakukan perbuatan keliru maka sebagai sesama muslim kita wajib menegurnya."Amanda hanya mengangguk mendengar ucapan Marisa. Gadis itu lalu menoleh dan menunggu kata-kata Marisa selanjutnya. Sambil menepuk tangan Amanda, Marisa melanjutkan perkataannya, "Apalagi di sini, kan, Dokter Harun itu sebagai wali kamu. Pengganti ayahmu yang juga punya kewajiban meluruskan kalau kamu salah. Jadi, wajar saja kalau sesekali menegur. Itu tand
"Bu Marisa jangan percaya begitu saja, dong. Om saya ini nggak bakalan ngomong maksud dia sebenarnya." Tiba-tiba saja Amanda menyela. Dia menatap wajah Marisa dengan gemas. "Maksud kamu apa, Amanda?" "Ih Bu Marisa nih, polos banget. Om saya itu seperti lelaki lain, Bu. Lelaki itu nggak bakalan ngomong maksudnya secara terus terang sebelum dia mendapat kepastian tidak ditolak alias diterima. Ego mereka terlalu tinggi jadi nggak bisa terima penolakan, Bu."Baru saja Amanda selesai menjelaskan terdengar tawa terbahak-bahak. "Rasain Bro … modusmu dibongkar ponakanmu sendiri." Aswin kembali tertawa keras untuk menggoda temannya. Wajah Dokter Harun tampak semakin kesal mendengar tawa temannya. Dengan setengah menggerutu dia meminta temannya itu menghentikan tawanya. Lalu Dokter Harun menoleh ke arah keponakannya. "Tidak semua laki-laki itu punya sikap seperti yang kamu bilang tadi. Masih ada dan mungkin masih banyak lelaki baik yang tulus dalam melakukan suatu perbuatan." "Salah sa
"Sandhy?" Marisa terperanjat mendengar nama itu disebut oleh Amanda. Sontak kepalanya menoleh ke panggung kecil di depan. Di sana dia melihat sosok yang dikenalnya tengah mengutak-atik gitar. Bola mata Marisa membulat karena tidak percaya. "Bagaimana dia ada di sini? Bukankah dia kembali berlayar?" batinnya. Tiba-tiba saja Marisa merasa gelisah. Dia menjadi tidak nyaman dan takut terjadi kesalah pahaman kalau Sandhy mendadak mengenalinya. "Bu Marisa … Bu!" Panggilan Dokter Harun mengagetkan Marisa."Eh iya, Dok. Ada apa ya?" jawab Marisa sambil gelagapan. "Ibu ngelamun, ya? Dari tadi Om Harun manggil, tapi Ibu diam aja. Ngelamunin siapa, Bu?" goda Amanda sambil tersenyum lebar."Enggak ngelamunin siapa-siapa, kok. Cuma lagi mikir belum buat soal ujian saja." "Waah … soalnya nanti apa aja, Bu. Kasih bocoran, dong!" seru Amanda dengan antusias. Dokter Harun seketika menyentil telinga Amanda dari balik hijabnya. "Aduh! Om Harun ini apa-apaan, sih," pekik Amanda. "Soalnya ka