Janu mendongak. Sepasang matanya terpaku pada kantung mata Gemintang yang menghitam.Pria itu lantas mengembalikan pandangan pada komputer jinjing di hadapannya seolah meredam sesuatu yang bergejolak di dalam dirinya."Aku tidur di sini malam ini," katanya tanpa ekspresi, mengingatkan Gemintang akan perjanjian mereka beberapa waktu lalu.Wanita yang berdiri di depan pintu itu tidak selera menanggapi.“Terserah kamu,” jawabnya tak kalah datar, kemudian beralih dari posisi semula, menurunkan barang bawaannya.Dengan nada dingin, Janu bersuara, "Siapkan air mandiku."Gemintang terkesiap. Kedua tangan di samping badan terlihat mengerat.Setelah apa yang terjadi semalam—setelah kata-kata menyakitkan yang keluar dari mulutnya, Janu bahkan masih bisa memerintah?Bukankah ada banyak pelayan di rumah ini? Bahkan ada Rosaline, istrinya yang lain.“Kamu punya banyak pelayan, suruh saja mereka!" timpal Gemintang dengan nada malas. Namun, setelah itu dia menyesal. Jika memulai pertengkaran deng
Drrt!Gemintang membuka matanya yang terasa berat kala mendengar ponselnya bergetar. Wanita itu lalu meraih ponsel dan mengusap layarnya agar dering itu berhenti. Saat itu pula, Gemintang sadar jika terbaring seorang diri. Janu mungkin sudah bangun lebih dulu dan pergi bekerja.Gemintang menghela napas.Dibawanya diri untuk bersiap. Dia harus menepati janji kepada Maura untuk mengantarnya sekolah pagi ini.“Ibu!” Maura berlari ke arah Gemintang ketika ia tiba di kamar gadis itu. Gadis kecil itu mendongak ke arahnya. “Ibu jadi antar Maura ke sekolah?”“Jadi, dong! Maura sudah siap berangkat?” balas Gemintang usai membungkukkan tubuhnya, sedangkan Maura menjawabnya dengan anggukan mantap.“Ayo cepat, Bu! Nanti Maura terlambat!”Senyum kecil mengembang di bibir Gemintang. Wanita itu lalu membimbing putrinya keluar rumah.Namun, siapa yang menyangka jika ia akan bertemu dengan Rosaline dan Janu? Mereka berdua tampak sedang mengobrolkan sesuatu terkait perusahaan mereka.Batas antara diri
Seminggu berlalu sejak Maura marah padanya, Gemintang sadar telah mengabaikan putrinya demi mengejar mimpi. Setiap malam, rasa bersalah menghantui pikirannya. Akhirnya, ia memutuskan untuk berbicara kepada Baskara dan Bu Ningrum, meminta izin untuk menjemput Maura setiap pulang sekolah.Untungnya, semua berjalan dengan baik. Meski hubungannya dengan Janu masih tetap dingin, setidaknya ia bisa memperbaiki hubungan dengan Maura. Sebab, dibenci oleh anak sendiri lebih menyakitkan daripada diduakan suami.Terkait dengan ujian kualifikasi, Gemintang hampir menguasai sepenuhnya dengan bimbingan kepala koki milik Baskara kemarin. Hari ini adalah penentuan, di mana seluruh kompetensinya diujikan.Gemintang dan Baskara duduk di taman kecil depan ruang ujian. Buku-buku terbuka di pangkuannya, dan Gemintang mengulang materi ujian yang telah dipelajarinya berhari-hari.“Sepertinya ujian akan dimulai sebentar lagi, aku harus bergabung bersama mereka,” ujar Gemintang ketika melihat gerombolan orang
"Non Maura .... Tadi siang....""Ada apa, Bi? Maura di mana?" Gemintang semakin tak sabar karena jawaban pembantunya yang menggantung itu.Intuisi buruk bahkan mulai merayapi hati Gemintang.Sementara wanita bertubuh kurus yang ada di hadapannya, kini menundukkan kepala, terlihat meneguk ludahnya dengan kasar."Ta—tadi siang, Non Maura tiba-tiba banyak ruam di kulitnya sampai ... sampai sesak napas. Lalu, Tuan dan Nyonya langsung membawanya ke rumah sakit. Sampai malam ini mereka belum kembali lagi.”Gemintang mengerutkan kening. "Kenapa Maura bisa begitu? Apa yang sudah dia makan?""Saya tidak tahu persis, Bu. Yang saya tahu, Non Maura tiba-tiba merasa tidak enak badan setelah pulang dari sekolah." Pembantu itu ragu-ragu.Gemintang mengacak rambutnya frustasi. "Bagaimana bisa hal sepenting ini, Janu dan Rosaline tidak memberitahuku?" “Tadi, Tu—tuan sudah menghubungi Ibu tetapi nomor Ibu tidak aktif.” Sang pembantu menjawab lagi. Deg! Gemintang mencoba menarik napas dalam-dalam.
Di sisi lain, Gemintang dan Baskara tiba di depan sebuah ruangan—tempat Maura dirawat.Mengatur nafas yang terengah-engah akibat lari, Gemintang pun mengetuk pintu beberapa kali. Akan tetapi, tidak ada jawaban dari dalam.Gemintang bingung. Wanita itu lantas memberanikan diri untuk meraih handle pintu.Namun, belum sempat tangan Gemintang menyentuhnya, pintu berwarna cokelat itu terbuka dengan sendirinya.Janu berdiri di ambang pintu. Sorot matanya berubah gelap ketika menangkap pria lain berdiri di sisi Gemintang.“Mas, apa yang terjadi? Bagaimana keadaan Maura?” tanya Gemintang mencoba masuk ke dalam ruangan. Ia ingin segera bertemu dengan Maura, tetapi Janu merentangkan tangan kanannya, menghalangi.“Setelah semua kelalaianmu, kau masih bisa bertanya apa yang terjadi dan bagaimana keadaannya?” Pertanyaan Janu sontak membuat Gemintang mengernyit dalam.Begitu pula dengan Baskara, tetapi ia belum berniat untuk ikut campur. Hanya diam dan mengamati sepasang suami istri itu.“Kelalaia
Rosaline tertawa puas membayangkan betapa luar biasanya rencana yang ia buat.Terlebih, kala mendengar berita dari 'orang suruhannya' kalau sampai petang pun, Janu masih belum mengizinkan Gemintang masuk ke dalam ruang perawatan sang putri.Wanita itu tetap setia menunggu di luar, sementara Janu sibuk dengan pekerjaannya.***“Hampir jam delapan malam. Kenapa kamu belum membiarkan Gemintang masuk?” Helaan napas terdengar dari Manggala, kepalanya menggeleng heran melihat sikap Janu yang keras kepala ini.Namun, Janu hanya melirik sekilas sepupunya itu, lalu meraih cangkir teh di hadapannya. “Dia harus menunggu,” jawabnya sambil menyeruput tehnya.“Ini sudah terlalu lama. Biarkan dia melihat Maura, dia pasti sangat khawatir sekarang,” sahut Manggala, bersandar di kursi dengan kedua tangan terlipat di depan dada, memandang tajam ke arah Janu.“Jangan terburu-buru menyalahkan Gemintang sebelum hasil laboratorium dan uji sampel makanan dari rumah sakit keluar,” tambahnya dengan nada tegas
“Kau ini, bisa tidak sih, jangan memperkeruh suasana? Jika kau hanya menyalahkan Gemintang terus, urusan ini tak akan selesai!” Manggala membuang napas kesal usai berhasil memisahkan sepasang suami istri yang berdebat tadi. Kini, dua pria itu sedang berada di sebuah coffee shop rumah sakit.“Aku hanya mengutarakan isi hatiku,” timpal Janu datar, lalu menarik gelas kopi di hadapannya.“Mengutarakan isi hati?” ulang Manggala seraya tertawa sumbang. “Sadarkah yang kau katakan tadi mengajaknya bertengkar? Kau sudah kelewatan!”“Aku tidak bermaksud mengajaknya bertengkar! Aku ... aku hanya tak suka dia bersama anak ibu asuhnya itu,” jawab Janu dengan nada pelan, dia kembali mengalihkan pandangan ke arah lain.“Lalu kau berusaha menyudutkannya dengan menuduh macam-macam seperti tadi?” Manggala menimpalinya, ia juga ingin meluapkan rasa gemasnya kepada sang sepupu itu, tetapi hanya berujung membuang napas kembali. “Sudahlah! Tak ada gunanya menceramahimu.”Janu sendiri tidak memasukkan kata-
“Janu-janu ... seacuh apa pun sikapmu padanya, tetap tidak bisa menutupi bahwa cinta juga bersemi dalam hatimu,” gumam Manggala memperhatikan kebodohan sepupunya itu.Bagaimana bisa Janu hebat dalam pekerjaan, tapi masalah hati sebebal ini? Dinasehati pun, tak mau mendengar. Rasanya, Manggala butuh teman curhat!Manggala menghela napas. Pikirannya jadi ke mana-mana.Lebih baik, Manggala pergi dan menyelesaikan tugas dari sepupunya itu sajalah! Apa yang sebenarnya membuat Maura, keponakan kecilnya, sampai alergi parah begini!Sementara itu.... Ketika Janu memasuki ruang rawat, dia membeku sejenak di ambang pintu. Tatapannya tertuju pada Gemintang yang duduk di kursi, matanya terpejam rapat. Tangan Gemintang menggenggam tangan Maura yang terbaring di brankar dengan penuh keteguhan, seolah tidak akan melepaskannya.Rambut Gemintang tergerai acak, beberapa helai menutupi wajahnya yang tampak pucat dan lelah. Wajahnya terlihat lebih letih dari biasanya. Janu merasakan sesak di dadanya,