Aku keluar dari pintu Lift Paradise dengan tenang, bayang wajah panik Lia membuat mood booster untuk hariku malam ini. Aku tersenyum melihat Jeni dan Suci masih menunggu di loby depan. Saat melihatku mereka berdiri dan saling melihat, aku tau siapa yang mereka cari.
"Dimana Nyonya sombong itu bu?" Suci bertanya tanpa basa-basi."Di dalam. Dia sedang beli berlian sembilan ratus juta" Bisikku membuat mata lugu Suci membelalak."Sem...sembilan ratus juta bu?" Dia mengulang kalimatku. Ekspresinya lucu sekali. "Kok kaya sekali itu orang bu. Jual ginjal mungkin ya..." Suci memang selalu berkata sesuka hatinya. Tapi justru itu yang membuatku selalu tertawa."Hahaha..." Tawaku meledak." Iya memang, Kaya raya sekali ya nyonya mudamu itu. Aku saja kalah saing" Ucapku lalu berjalan keluar Club."Idih nyonya mudaku. Amit-amit..." Katanya ikut berjalan mengikutiku dari belakang.Dibelakangku suara ramai terdengar. Mereka yang baru saja mengikuti lelang ternyata keluar juga dari pintu yang sama. Bahkan lelaki yang bersama Lia tadi juga keluar. Wajahnya menegang dan sempat kudengar makian dan umpatan. Sekilas dia melirikku tajam, laku menjambak rambutnya sendiri karena jengkel. Tapi....Dimana wanita kaya raya itu? Apa dia yang akan membayarnya sendiri?Kutunggu beberapa saat, tak kulihat juga dia keluar. Aku berjalan saja keluar club. Dan Jeni sudah bersiap membuka pintu. " Saya sudah pesankan tempat makan malam bu." Seperti biasa, Jeni akan selalu memikirkan segalanya sebelum kuminta."Dimana?""Direstoran seafood""Boleh. Kita kesana." Aku masuk kedalam mobil. Dan sempat terkejut melihat adik maduku itu sudah berlari di trotoar jalan. Kubuka kaca jendela untuk memastikan.Dari mana dia datang? Aku memperhatikan lagi. Dari mana dia muncul. Lalu dua pengawal lain turun dari lantai atas."Kejar dia. Wanita itu melarikan diri dari kamar mandi atas!" Teriak seorang lelaki tambun.Apa dia keluar dari kamar mandi di lantai atas?Pantas saja. Gaun indah yang tadinya menjuntai itu, kini sudah tergulung menjadi rok pendek. Bahkan tasnya terkalung di leher. Lebih besar dari berlian yang di belinya malah."Bu... itu nyonya sombong bu!" Suci menunjuk kearah Lia."Iya, biar saja. Dia sedang olah raga malam" Bisikku."Ibu tak ingin menyeretnya pulang? Jika ibu meminta, sekarang pun saya seret dia kemari." Sucii bertanya padaku."Tak perlu Suci, biarkan dia bebas dulu. Nanti dia yang akan mencari kita?"Ibu yakin?""Tentu saja. Sangat yakin." Aku menutup kaca mobil. "Jalan!" Ucapku membuat mobil yang kunaiki berjalan. Melewati Lia yang tengah berlari malam, diikuti empat lelaki bertubuh besar di belakangnya. "Indah sekali pemandangan malam ini" Ucapku lalu memejamkan mata sebentar. Teringat satu kejadian yang masih sangat membekas dalam benakku.***(Flash Back) "Mas, bisa tidak acara kantor tahun ini, aku yang mendampingimu?" Wanita itu merayu mas Erlan kembali saat kami sedang bersantai di ruang tenggah.Dia subuk menyandarkan kepalanya di bahu mas Erlan dan menaikkan semua kakinya di pangkuan suamiku."Kakimu!" Aku lempar Vas bunga kearahnya. Membuat wajah manja itu berdecak kesal dan menurunkan kakinya dengan jengkel."Kenapa sih mbak, tak bisa lihat orang bahagia. Cemburu? Aku kan juga istrinya mas Erlan"Kutatap wanita yang sama sekali tak menarik dimataku itu. "Jika kamu ingin bebas, bahagia, tanpa gangguanku, minta lakimu belikan rumah sendiri. Sudah numpang, tak tau diri!"Dia berdecak kesal."Ini sudah aku turunkan. Aku mau bicara dengan suamiku!" Dia lalu kembali menyandarkan kepalanya di bahu mas Erlan.Apa aku cemburu? Tidak sama sekali. Rasa cintaku pada mas Erlan sudah MATI! Aku hanya sedang mempertahankan hakku sebagai istri dan pemilik usahaku yang sedang kurintis.Ya, kala itu aku sedang merintis butik dan Salon. Jika aku mengamuk dengan semua ketololan mas Erlan dan ibunya, maka aku akan tersingkir tanpa mendapatkan hakku. Dan siapa yang akan beruntung? Wanita murahan itu tentunya. Dan aku tak akan sudi berbagi harta. Cukup mas Erlan saja yang dia kuasai."Mas, dengar tidak. Aku ingin menemanimu""Kemana?""Keacara tahunan perusahaanmu."Mas Erlan yang sejak tadi sibuk menonton film, kini beralih melihat kearahku. Aku hanya terdiam, menunggi jawaban apa yang akan dia berikan.Dia menggeser duduknya. "Lia sayang, mas tak bisa. Kolega mas dari Singapura,Thailand dan beberapa negara lain sangat dekat dengan Wita. Jika mas membawamu, mungkin saja dia jadi tak suka."Aku tersenyum mendengar penolakan itu. Ya, dari situ sudah bisa terlihat. Derajatku dan dirinya tetaplah berbeda.Hingga malam acara tahunan tiba. Aku sudah berdandan dengan sangat mempesona. Gaun terbaik dari butikku dengan warna biru tua yang elegant. Aku turun dari lantai atas.Mas Erlan menatapku tanpa berkedip. Di bandingkan wanita silumannya itu, aku jelas lebih terlihat mempesona. Tapi entahlah, apa yang membuatnya memilih wanita itu."Mas... jangan melamun" Lia menghentakkan kakinya marah. Yaa dia tak suka mas Erlan melihatku juga."Kenapa? Cemburu? Aku ini kan istri pertama dan kau hanya simpanannya." Balasku akan kalimatnya bebetapa hari lalu. Membuat matanya memutar dan menatapku tak suka. Aku pergi bersama mas Erlan dan Lia tinggal dia dirumah. Ada alasan mengapa mas Erlan tak mengajaknya ke acara. Pertama karena akulah pengendali di acara ini. Semua istri kolega perusahaan mas Erlan adalah sahabat dekatku. Mereka bahkan tak tau bahwa suamiku menikah lagi. Jika mereka tau, bayangkan saja apa yang akan terjadi dengan kerajaan bisnis Mas Erlan.Kami masuk, aku berkumpul dengan para istri penguasa, menikmati pesta dan saling memuji satu sama lain. Hingga aku pamit ke kamar mandi. Kalian tau apa yang di lakukan Lia? Diam-diam dia menyusul kami keacara dan mengunciku di dalam kamar mandi.Berteriak? Percuma. Tak akan ada yang dengar, dan aku keluar dari celah kamar angin di kamar mandi. Seperti yang barusaja Lia lakukan. Saat itu aku benar-benar marah. Kembali masuk dalam pesta dan melihat Lia sudah berusaha mendekati para nyonya besar. Meski tak kulihat ada yang memperhatikannya, dan Lia terkejut saat melihatku datang...Aku berjalan menghampirinya, namun mas Erlan segera menarikku keluar. "Aku rasa Lia bisa menempatkan diri. Kau lihat, dia pintar mengambil hati wanita-wanita itu." Ucapnya menarikku kearah Lift."Apa maksudmu? Aku punya hak disini!" "Lia juga. Dia lebih berhak sekarang. Karena dialah ibu dari penerus segala usahaku. Pulanglah! Pikirkan saja bagaimana agar kau bisa segera hamil. Tunjukkan padaku kau tak mandul" Ucapnya padaku. Dan saat pintu lift terbuka, mas Erlan mendorongku masuk dan menutup pintunya.Kubiarkan dia menang saat itu. Sebab tujuanku bertahan belum tercapai. Apakah aku sedih? Tidak. Sudah kubilang, rada cintaku pada lelaki itu sudah mati, jadi untuk apa aku bersedih. Yang ada hanyalah amarahku yang semakin menumpuk pada dua manusia tak berotak itu.Yaa... hari itu aku memang memilih diam, tapi sekarang, akan aku perhitungkan lebih kejam kesakitan yang aku rasakan. Satu incipun, aku pastikan kalian membayarnyaAku turun dari tangga darurat. Melihat mbak Wita duduk dengan santainya didalam mobil. Menyebalkan sekali. Mata kami sempat bertemu, tapi dia justru membuang wajahnya. Sial!"Hey....!"Panggilan itu membuatku berlari lebih cepat. Hah, kenapa sih mereka tak juga capek mengejar. Bahkan rasanya aku sudah tak kuat lagi berlari. Aku berbelok di gang kecil"Berhenti wanita penipu...! "Teriak mereka lagi.Penipu apanya? Aku yang sedang ditipu bodoh!Ingin sekali kalimat itu kuteriakkan pada mereka. Namun bagaimana bisa, aku sedang sibuk berlari. Mengatur nafas saja serasa kesulitan sekarang.Gang-gang kecil terus aku lewati. Lalu masuk ke pemukiman. Mungkin disini aku bisa mencari tempat untuk berlindung. aku masuk di antara gang sempit tapi mereka masih saja mengejar."Berhenti kau!" Teriak mereka lagi.Aku masuk kedalam gang yang lebih sempit, lalu menemukan jalan kecil. Aku bersembunyi di belakang rumah warga. Bau kemenyan menyeruak. Membuat jantungku berdebar hebat.Jangan sampai aku l
Aku berganti daster lagi, gagal sudah rencanaku untuk pergi arisan. Kuhubungi saja sahabatku untuk membayarkan arisanku dulu, Biarlah nanti aku transfer uangnya. Kini aku duduk diruang tengah bersama Erlan.Aku pandang Erlan yang duduk di atas kursi roda. Dia masih tampan, rapi, sedikit berisi, tapi air liurnya terus menetes. Seperti dia waktu bayi saat tumbuh gigi. Ya Tuhan, Anak lelakiku yang gagah dan tampan, kenapa jadi begini. Harusnya dia yang merawatku, bukan aku yang harus merawatnya lagi. Dua menantuku itu juga tak berguna, bukannya mengurus suaminya yang sakit. Mereka justeru pergi entah kemana. Wita terutama, jadi menantuku bertahun-tahun, tapi malah meninggalkan Erlan di rumah ini."Lan... Erlan mau apa, Wita sudah kasih makan Erlan belum?" Kutanya, dia diam tak ada jawaban. "Lan... Erlan marah sama ibu?" Dia masih terdiam.Kenapa juga aku harus bertanya pada orang yang tak bisa menjawab. Ya sudah, kudorong Erlan ke kamarnya. Baru beberapa langkah aku berjalan, serasa m
Setelah makan malam, aku kembali ke VillaSarika, sengajaku sewa satu Villa dengan beberapa kamar dan kolam renang pribadi.Sampai di kamar, aku berendam dalam bathup, menikmati sensasi relaks yang tercipta dari aroma terapi di ruangan ini, membuatku merasa lebih tenang dan damai.Setelahnya aku mengeringkan rambut dan teringat mas Erlanku di rumah ibunya. Apa kabar suamiku itu? Sejak kemarin puluhan panggilan dari ibu memang kuabaikan, sebagai menantu yang baik, aku kan juga ingin memberikan waktu bagi ibu mertua bersama anak lelakinya.Namun saat sekarang aku ingin menghubungi, Kulihat waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, bukankah tak sopan rasanya menelpon hampir tengah malam begini. Mungkin saja suamiku sudah di ninabobokkan ibunyakan?Akhirnya kuputuskan tidur saja, aku juga butuh istirahat setelah lelah menertawakan adik maduku itu.Andai kau melihatnya mas, istri mu
Byuurrrr....Aku berenang di kolam, dinginnya air tak sebanding dengan dinginnya hatiku sekarang. Aku menyelam hingga kedasar. Duduk disana dan menghitung waktu.Satu... dua... tiga.......... dua pulih lima.Hahh.... aku kembali kepermukaan. Setiap kali menyelam, aku merasakan lagi rasa sakit yang sama. Sakit hati atas kejamnya perbuatan yang kalian semua lakukan.Yaa, aku adalah orang baik yang tersakiti. Aku tak berubah menjadi jahat, hanya menyesuaikan dengan cara kalian memperlakukanku...***(Flash Back )Hari itu, hari yang tak akan pernah aku lupa seumur hidupku. Hari dimana rasa benci yang kurasakan, tak hanya sekedar benci karena sebuah kata poligami. Namun juga karena kejahatan yang mereka lakukan. Bukan hanya pada diriku, tapi juga pada harapan dan mimpiku.Sudah berhari-hari aku kesakitan. Perutku kurasa sakit bercampur perih yang teramat."Bisa antar aku kedokter mas?"Kala itu aku meminta tolong. Bukan tanpa alasan. Aku yang sekalipun tak pernah mau tau lagi kehidupan me
Hari ini aku putuskan mengunjungi butikku di Kuta. Sambil menyelam minum air, aku bekerja dan juga menunggu laporan lain dari mereka yang bekerja untukku.Aku duduk memeriksa semua desain kiriman dari beberapa desainer rekananku. Memilih kain-kain yang akan kami pakai di musim depan dan memikirkan sentuhan apa yang menarik pasar baru."Ini laporan pemesanan kain broklat dari beberapa negara bu" Jeni memberiku buku tebal berisi laporan pengiriman dan contoh kainnya.Aku periksa semua dengan teliti dan mengakhirinya setelah kurasa tak ada masalah didalamnya. Aku putuskan menikmati pantai yang damai pagi ini. Duduk di belakang butik, menikmati pantai yang indah."Ibu ingin minum apa?" Jeni bertanya padaku."Kopi saja""Kopi bu? Kopi panas di cuaca Panas begini?" Suci kembali berkomentar."Kamu mau apa?" Jani bertanya."Gak usah mbak. Nanti saja, Suci beli sendiri"
Pov Lia 3Begitu banyak baju kubawa ke Bali. Sengaja, untuk bergaya, bergaya dan bergaya. Tapi kini justru aku bak gelandangan dengan baju tidur ini. Kenapa dengan bodohnya aku membawa babydoll ini untuk kabur. Kupandang babydoll yang melekat ditubuh ini. Ingin rasanya kumaki diriku sendiri. Tolol! Sekarang hanya selehelai baju ini ku punya. Aku berjalan tanpa tujuan. Aku duduk di tepian jalan yang masih ramai. Duduk di belakang sebuah pohon. Takut jika saja orang-orang dari club Paredise itu lewat disini.Kemana aku harus mencari bantuan?Tiba-tiba aku teringat semua teman sosialitaku. Mereka semua pasti mau membantuku. Jika masing-masing dari mereka meminjamkan aku lima juta saja. Bisa terkumpul banyak pastinya.Heheemmmm membayangkannya saja membuatku bahagia. Hah, otakku memang pintar...Saat kuambil Hp di tas, hidungku mencium bau gurihnya bawang putih ditumis. Perutku sudah melilit. Sejak siang aku tak kemasukan apapun. Kulihat tukang nasi goreng berhenti di depan sebuah Hotel
Aku pandang mbak Wita yang berjalan menjauh. Rasanya aku ingin memuntahkan apa yang sudah di belikannya untukku. Dia juga meninggalkan uang ini.Hanya lima ratus ribu dia berikan? Hah... tak sudi sebenarnya aku memakainya. Tapi karena memang nyonya muda Erlan tak boleh jelek saja aku menerimanya..Aku bisa pakai uang ini membeli baju. Menemui si Paul sial** itu dan mengambil kembali uangku. Aku berjalan ke toko baju terdekat. Semua mata menatapku tak ramah. Kenapa memangnya denganku? Aku kan punya uang.Aku mulai melihat-lihat baju dan mencari harga yang cocok. "Apa ini? Masak baju begini saja tiga ratus ribu!" Kukembalikan baju itu kedalam gantungan.Kembali ku buka-buka baju yang lain. Semua baju harganya di atas dua ratus ribu.Kenapa mahal sekali. Habis nanti uangku beli baju disini. Aku kembalikan baju itu dan berjalan keluar toko. Mereka masih melihatku aneh. "Apa lihat-lihat! Ni, aku mau beli. Aku ada uang." Ucapku mengibas-ngibaskan uang di depan mereka. "Mana ada kalian ua
Sejak pagi ibu tak berhenti menelphone. Baru aku telphone lagi setelah tiba di villa. Apa lagi yang akan dia katakan kali ini."Wita... halo wit" ibu terlihat duduk bersandar disofa. Satu tangannya memijat kelapa terus menerus."Assalamualaikum bu. Nyebut salam. Jangan asal halo saja. ada apa?"" ibu bisa gila Wita. Setiap hari ada saja tingah Erlan" ibu tetap tak menyebut salam dariku."Memang kenapa dengan mas Erlan bu? Mas Erlan itu sudah tak bisa apa-apa. Gak bisa kemana-mana. Memangnya apa yang bisa di lakukan mas Erlan?""Iy emang udah gak bisa kemana-mana. Tapi masih bisa buang air besar, masih bisa marah, jengkel ibu"Ingin aku tertawa mendengar keluhan ibu."Wita, minta si Imah itu kesini lah. Bantu ibu urus Erlan. Gak sanggup ibu"Enak saja minta bi Imah. Bi Imah tak akan kerja di manapun, selain dirumahku sendiri!"Bi Imah gak akan kerja selain dir
Kami masih berdiri di keramaian. Lelaki itu berusaha tersenyum. Namun ekor matanya tak berhenti mencuri pandang kerah Ibu."Ibu, bisa jelaskan sesuatu?" Wita meminta. Sejujurnya ia merasa canggung. Berdiri lebih lama dengan lelaki yang begitu mirip mendiang suaminya.Winda hanya diam. Tak berhenti memandang wajah lelaki itu. "Kamu Lando nak?" Winda mencoba menyentuh wajah lelaki itu. Namun ditepisnya dengan raut tak ramah." je suis désolé ( Saya Permisi )" Lelaki itu tiba-tiba memilih pergi. Meinggalkan kami yang masih terpaku."Lando! Kamu Erlando kan?" Ibu berteriak, hampir saja mengejarnya, namun lelaki itu dengan cepat keluar gedung dan masuk kedalam sebuah taksi."Ibu mengenalnya?" Wita masih mencari tau. "Bu, katakan sesuatu. Ibu mengenalnya?" Wita menatap ibu Winda, namun wanita itu masih dengan lekat memandang taksi itu pergi."Bu, kenapa diam? Ibu kenal dia? Ibu! Dia begitu mirip dengan mas Erlan." Wita mengguncang tubuh ibunya. Air matanya turun tanpa dia tau mengapa. Nama
"Bagaimana rasanya menjadi berbeda Lia? Seperti terbang diatas duniamu sendiri. Apakah menyenangkan?" Wita memandangi Amelia dari sisi ruangan berbeda. Wanita itu tak henti berteriak dan menjambak dirinya sendiri. Bahkan terkadang dia menjerit lalu meringkuk ketakutan. Apa yang di lakukan Wita dan Jeni semalam, membuat wanita itu depresi sekarang."Ayo kita pergi Jeni. Biarkan dia menikmati hidupnya sekarang, aku sudah melakukan apa yang seharusnya dia terima."Saswita berjalan memasuki mobil. Memakai kacamata hitamnya dengan anggun. Lalu mobil itu berjalan meninggalkan tempat Lia di tahan. "Ke Bandara Internasional pak!" Jeni memberi perintah." Kau sudah urus semuanya Jen?""Sudah bu. Nyonya Winda sudah menunggu disana. Ibu yakin dengan keputusan itu?""Aku yakin Jen. Tak ada lagi alasan aku tetap disini. Lagi pula aku punya mimpi yang harus aku wujudkan. Dan aku harus melindungi milik berhargaku yang lain." Ucapnya mengusap perutnya yang masih rata.Pagi tadi dia mengetahui jika
Amelia tak mati, sebuah tembakan melukai sisi perutnya, tembakan dari aparat yang sejak awal sudah mengikuti Amelia. Mereka tau aku di ancam masuk kedalam mobil dari taman dan mengikuti kami hingga kecelakaan itu terjadi.Beruntungnya nyawa wanita itu selamat. Dia masih ada dirumah sakit menjalani perawatan. Luar biasa bukan, seperti kucing dia bahkan punya nyawa berlapis.Hah...Aku mendesah kesal. Penjara saja tak akan cukup membuatnya jera. Bagaimana aku bisa memberinya pelajaran?"Ibu kenapa?" Jeni bertanya. Mungkin dia membaca kegundahan hatiku sejak tadi."Jika aku membalas wanita siluman itu, menurutmu apakah itu sebuah kesalagan Jen?"Dia terdiam, nampak berfikir sebentar."Aku merasa sangat marah atas apa yang dia lakukan padaku. Dan membawanya ke penjara, itu hukuman yang terlalu ringan bukan?" Kembali aku bicara, kali ini Jeni mendekat dan duduk di depanku."Bagaimana jika sedikit membuatnya syok bu?"Aku tertarik, kudekatkan wajahku pada Jeni. "Caranya?"Jeni hanya terseny
Pulanglah dalam damai mas, kebaikan yang kau tanam, akan harum sebagai saksi untukmu kelak di hari penghakiman. Tersenyumlah dalam keabadian, akan kulanjutkan apa yang sudah kau usahakan. Akan kujaga ibu juga sebagai baktiku padamu. Terimakasih sudah menjadi indahku, disaat-saat terakhir kita bersama.Pemakaman baru saja selesai. Sudah aku janjikan aku kuat. Sebisa mungkin kutahan bulir yang ingin terlepas dari netra. Meski terkadang lolos juga.Kami pulang kerumah, rumahku sendiri, ibu juga kubawa kemari. Beliau sedang istirahat dikamarnya sekarang. Sejak dulu memang kami sediakan kamar untuk ibu bermalam, meski hampir tak pernah ditempati, namun mas Erlan tetap memberikan kamar itu hanya untuk ibu.Kolega dan rekan bisnis kami datang silih berganti. Rumahku kini sibuk menerima tamu tang tak pernah habis sejak kabar duka itu tersebar. Ucapan demi ucapan aku terima. Hingga hampir senja, mobil Polisi masuk kedalam pelataran. Tiga Polisi laki-laki dan satu Polisi perempuan kini duduk di
Aku bersimpuh di mushola rumah sakit. Menengadah, meminta Allah tak mengambil lagi miliknya yang pernah hilang dari hati. "Ya Allah, ampunilah diri yang terlalu kufur. Hingga lupa nikmat yang kau berikan diantara ujian. Maafkanlah kebodohan ini, beraninya membenci takdir yang ada karena kehendakmu.Ya Allah, pemberi ampun dengan segala karuniamu, yang maha kaya dengan segala kemurahanmu. Izinkanlah aku mengucap taubat.Dalam hati kecilku yang tamak, aku ingin mas Erlan tetap disisiku, menemaniku lagi seperti dulu, mengulang lagi masa indah yang pernah Engkau beri. Namun segalanya kini aku letakkan dalam kehendakmu. Engkau yang lebih berhak memutuskan, karena dia memang milikmu. Engkau pula yang lebih berhak menyembuhkannya, karena dia memang milikmu. Seperti aku yang bersamanya karena takdirmu, maka aku juga menerima takdirmu bila harus melepasnya pulang. Aku ikhlaskan segelanya dalam ridhomu, aku terima apa yang menjadi kehe
Beberapa malam telah aku lalui di lembah nan hijau ini. Tak ada kebisingan selain suara air terjun yang jatuh, kicau burung yang bersahutan berbeda dan hembusan angin yang menyentuh pucuk pepohonan. Aku benar-benar jatuh cinta dengan suasana disini.Namun sebuah kabar dari kota membuat kami semua terdiam dalam tanya. Pagi ini, setelah berjalan-jalan dengan Mega, Jeni pulang membawa kabar mengejutkan. Andi, mantan asisten mas Erlan terbunuh dirumahnya sendiri. Polisi masih mendalami motif pembuhunan dan mencari informasi lebih lanjut.Ternyata setiap pagi, Jeni selalu ke atas bukit. Mencari tau berita terbaru, mencatatnya, memberikan kabar padaku juga mas Erlan tentang apa yang kami tinggalkan di kota. Butikku yang kini aku minta Suci mengontrolnya dan perusahaan mas Erlan, yang dia percayakan pada pak Lilik, kawannya dulu di proyek."Mungkinkah Lia pelakunya?" Mas Erlan bertanya padaku saat kami duduk bersama diteras rumah." M
Assalamualaikum. Jangan lupa berikan bintang dan subbscribe ya teman-teman. Maaf off beberapa hari, semoga kedepannya bisa up cerita setiap hari. Selamat membaca.*** Aku keluar rumah. Setelah membantu gadis itu membersihkan piring bekas makanan kami. Terlalu tak tau diri jika sudah di kenyangkan, namun tak bisa meringankan sedikir saja kerjanya.Melangkah dari dalam rumah, terbentang punggung bukit yang kehijauan. Bila saja terjadi longsor, rumah ini pastilah terhantam lebih dulu.Astaqfirullah. Apa yang aku fikirkan!Aku turuni anak tangga dari bebatuan. Berjalan kepelataran. Ternyata hanya rumah ini yang berada dibawah. Selebihnya ada beberapa rumah dipunggung bukit." kita jadi kepuskesmas mbak?" Mega, gadis yang kutaksir berusia sekitar empat belas tahun itu bertanya."Jadi. Ayo, kemana arah puskesmasnya?""Kesana mbak"Mataku membulat, di menunjuk bukit didepan kami. Mendadak kakiku terasa berat. Bagaimana kami akan kesana? Panjat tebing?"Ada jalan setapak kecil mbk, ayo iku
"Mungkin jika aku mati, tak ada lagi sebutan istri bagiku mas, namun kau masih punya istri yang lain""Tak ada!"Mas Erlan begitu cepat menyanggah kalimatku. Aku menatapnya dalam diam. Mungkinkah kini hanya aku satu-satunya istri dalam hidupnya?"Jangan bercanda mas, pernikahan bukanlah sebuah permainan! Kamu tak bisa sebentar menikahi wanita dan sebentar menceraikannya!""Aku tak bercanda. Aku sudah menceraikan Amelia. Hanya kau satu-satunya istriku sekarang."Kalimat itu membuat semakin banyak tanya berklebat dalam benakku. Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?Mas Erlan menjalankan kursinya kedepan, dia menatap kearah air terjun di depan kami. "Amelia adalah sebuah kesalahan Saswita. Aku minta maaf padamu atas kebodohan dan ketamakanku. Sebagai manusia aku merasa gagal mensyukuti nikmat Allah dalam hidupku..." Ucapnya lirih, membuat bulu kudukku meremang.Kalimat yang begitu kurindukan dulu, kini terdengar hanya bagai kalimat yang diucapkan karena tak ada pilihan."Untuk apa meminta
"Kita temui mereka Jeni. Aku ingin melihat apa yang akan di kalukan ibu dan anak itu"Aku dan Jeni masuk, melihat Mega sudah menata makanan di atas tikar. Kami saling pandang sebentar."Mbak Jeni sudah datang? Alhamdulillah, ayo makan bersama mbak, ada nasi jagung kesukaan mbak Jeni.""Em, nambah beberapa orang masih cukup tidak makanannya?"Mega terdiam sebentar. "Nambah siapa mbak?""Suami dan ibu mertuaku datang.""Dan dua pengawal" Tambah Jeni"Dua pengawal?" Aku dan Mega berucap hampir bersamaan. Ternyata mas Erlan tak datang sendiri, baguslah, pengawal itu bisa di minta mengangkat mas Erlan turu. Kemari."Cukup kok mbak makannya, nanti kalau habis Mega masak lagi. Sebelum Bapak pergi, Bapak pesan agar menjamu tamu dengan baik.""Memang Bapak Mega kemana?" Jeni bertanya penasaran."Kerja mbak, di tambang pasir. Soalnya ladangnya sudah selesai tanam, jadi Bapak balik ke tambang pasir. Tempatnya lumayan jauh, Bapak bisa pulang satu atau dua minggu sekali.""Yasudah, kami naik dulu