Rara mengentikan langkahnya. Lalu menatapku. "Sering, Bu. Aku kasihan sih lihatnya. Setiap pagi dan sore, Bu Ida pasti berdiri di depan rumahnya menunggu kepulangan Rayan. Terkadang ditemani menantunya, terkadang ditemani Hasan, tapi seringnya seorang diri." Rara berkata dengan sendu.Dalam hati, aku pun turut prihatin pada keadaan Bu Ida. Mudah-mudahan saja dia mendapatkan pelajaran berharga dari peristiwa yang terjadi ini. Mudah-mudahan juga Mas Rayan cepat kembali dan segera berkumpul bersama wanita yang melahirkannya itu."Makasih infonya ya, Ra. Aku duluan kalau gitu. Ada perlu dulu. Happy weekend!" Aku menepuk pundak Rara pelan seraya berlalu menuju motor milikku.Aku melajukan kuda besiku menuju butik Karin. Berjibaku dengan padatnya jalanan di sore hari. Sesekali mataku melirik ke arah kiri dan kanan jalan. Siapa tau aku melihat keberadaan Mas Rayan. Meski aku tak yakin dia masih berada di kota ini.Aku langsung memarkirkan motorku saat sampai di depan butik Karin. Suasananya
Aku tersenyum menyeringai menatap Karin. Bibirnya nampak mengerucut tanda ngambek."Kamu gak asik. Bikin malu aja." Karin berbisik di telingaku."Makanya jangan mulai duluan," jawabku tak mau kalah."Iya deh iya. Maaf," timpalnya. Akhirnya, kami pun ceria lagi sepanjang perjalanan.Mobil melaju lumayan kencang. Melewati jalan tol yang lumayan padat karena libur panjang. Mas Zidan dan Mas Azam pun sudah bergantian memegang kemudi. Karena jika dipaksakan mengemudi lebih dari dua jam perjalanan, ditakutkan akan kelelahan atau malah mengantuk.Aku dan Karin yang duduk di belakang, tak hentinya bercerita sambil sesekali diselingi makan cemilan yang dibeli tadi di minimarket berlogo huruf A."Eh. Mas Rayan beneran hilang ya? Dia gak balik-balik apa gak kangen sama ibunya? Udah lumayan lama, kan?" Karin malah membahas Mas Rayan. Padahal dari tadi, sedikitpun aku tidak menyinggung soal dia."Gak tau. Tapi setahuku sih, Mas Rayan emang gak pernah pulang," jawabku. "Rin, kamu tau belum sih, aku
"Itu Mas Azam, Bu. Teman kantornya Kak Zidan. Biar gantian nyetirnya." Belum sempat Mas Zidan bersuara, Karin keburu ngejawab duluan. Sepertinya Karin takut kalau kakak laki-lakinya itu akan bicara yang macam-macam pada ibunya. "Ya, sudah. Kalian istirahat dulu, ya. Pasti cape setelah perjalanan jauh. Habis istirahat, nanti kita makan. Ibu dapat nasi berkat banyak dari Mamang," tutur Tante Risma. Karin pun mengajak aku untuk ikut ke kamarnya."Saya mau ke mesjid aja, Tante. Sebelah mana, ya?" Aku masih bisa mendengar Mas Azam berbicara pada Tante Risma."Oh, di situ. Gak jauh, kok. Jaraknya cuma sekitar dua ratusan meter." Tante Risma menjawab. Suaranya semakin lama semakin samar hingga benar-benar tak terdengar lagi karena aku dan Karin sudah sama-sama masuk ke dalam kamar."Duh, calon suami idaman banget. Lagi capek aja yang ditanyain duluan malah mesjid. Keren gak tuh?" Aku menggoda Karin. "Issshhh. Apaan sih? Mulai lagi, kan?" Karin kembali merajuk. "Apa aku perlu bilangin seka
Bukan hanya Tante Risma, tapi semua yang ada di sana menatap Mas Zidan. Mereka seolah begitu penasaran dengan wanita yang dimaksud Mas Zidan tersebut."Rahasia," jawab Mas Zidan membuat Tante Risma dan Om Doni mendesah pelan."Kakak gak asik. Main rahasia-rahasia segala. Iya, kan, Bu? Harusnya kasih tau aja mumpung kita semua lagi ngumpul. Siapa tau didoain biar cepat naik pelaminan." Karin berkata dengan nada kecewa."Ya, sudah, gak apa-apa. Mungkin kakakmu itu masih nunggu waktu yang tepat buat ngasih tau orang yang dimaksud. Mungkin juga tiba-tiba kakakmu nanti langsung nikah gak pake lama. Kalau memang jodoh gak akan ke mana kok." Tante Risma berkata bijak."Benar apa kata ibumu. Malah ayah sama ibu dulu cuma ketemu beberapa kali langsung nikah. Enakan pacaran setelah nikah daripada sebelum nikah. Semuanya sudah halal dan berpahala. Benar tidak?" Om Doni berbicara menirukan suara seorang ulama yang ditampil di TV. Hingga aku dan yang lainnya ikut tergelak.Namun, jika diresapi, ap
"Lagi nangkring aja, Mas. Bete di dalam rumah. Di sini enak. Cuacanya adem. Anginnya juga sepoi-sepoi. Ditambah musik dari rumah sebelah. Komplit deh." Aku tersenyum lebar. "Mas Zidan sudah pulang? Karin mana?" Aku mengedarkan pandangan ke belakang Mas Zidan."Karin belum pulang. Masih bercengkrama sama calon manten. Aku pulang duluan. Mau siap-siap buat ke mesjid. Sebentar lagi magrib. Benar kan, Zam?" Mas Zidan melirik Mas Azam."Iya. Betul sekali. Saya juga mau siap-siap. Mau ambil wudhu dulu." Mas Azam bangkit dari kursinya kemudian berjalan masuk ke dalam rumah."Aku juga siap-siap dulu, ya, Lun," tutur Mas Zidan. Aku hanya mengangguk seraya tersenyum. Mas Zidan pun masuk ke dalam rumah menyusul Mas Azam.Kini tinggal aku seorang diri. Duduk dengan kedua kaki terayun memperhatikan orang yang berlalu-lalang. Tak berselang lama Mas Zidan dan Mas Azam keluar rumah bersamaan. Keduanya mengenakan baju koko dipadukan dengan bawahan kain sarung."Aku ke mesjid dulu, ya, Lun!" pamit Mas
Semakin dekat, jantungku semakin berpacu dengan cepat. Laki-laki berpakaian layaknya ustad itu hendak naik ke dalam mobil. Namun, saat jarak kami tak kurang dari dua puluh meter, laki-laki itu keburu naik mobil dan sedetik kemudian melesat dengan mobilnya. Ingin aku berlari, tapi pakaian dan sepatu selop yang kugunakan membuat langkah kakiku terbatas. Akhirnya, aku hanya bisa berjongkok dengan napas tersengal. Melihat kepergian mobil yang membawa orang tersebut dengan mata yang berkabut. "Kamu ngapain di sini?" Karin yang ternyata menyusulku sudah ada di belakang. Aku berdiri. Melonggarkan sejenak napas yang memburu dan mengendalikan dadaku yang masih berkecamuk. Setelah sedikit lega kemudian menjawab pertanyaan Karin. "Aku tadi ngelihat orang yang mirip Mas Rayan. Gak lihat wajahnya sih. Tapi entah kenapa aku yakin aja itu Mas Rayan." Karin celingukan. Memperhatikan sekeliling. "Mana?" "Sudah pergi naik mobil. Tapi kayaknya rombongan gitu. Banyakan." "Kamu salah lihat kali. Se
Aku dah Karin menyusuri jalanan perkampungan berdua. Menikmati udara sore di kala langit sudah mulai senja. Beberapa orang yang berpapasan dengan kami tersenyum seraya membungkukkan badan. Ada juga yang sekedar menyapa."Kita mau ke mana sih, Rin?" tanyaku saat langkah kaki tak kunjung berhenti meskipun sudah berjalan cukup lama bahkan terasa sudah jauh dari rumah."Sebentar lagi sampai," jawab Karin seraya memilah-milah jalan untuk dipijak karena kami mulai memasuki jalanan kecil yang hanya tanah. Suara gemercik air yang mengalir mulai terdengar. Karin semakin mempercepat langkah. Aku pun menambah laju kakiku menyusul langkahnya. Hingga tubuh kami sama-sama berhenti saat melihat sungai kecil yang jernih dan bening."Masya Alloh. Indah banget, Rin." Aku berkata tanpa mengedipkan mata. Suasana di sini benar-benar sejuk dan indah. "Ini tempat aku sama Kak Zidan main waktu kecil. Dulu tidak seindah ini. Sekarang sepertinya lebih terawat," jawab Karin. Gadis cantik berkulit mulus itu d
"Bagaimana?"Mas Zidan bertanya lagi setelah cukup lama aku hanya terdiam. Bagiku ini terlalu mendadak. Dan tentu saja terlalu mengejutkan. "Boleh aku minta waktu, Mas?" Aku menoleh. Menatap sorot matanya yang penuh pengharapan.Mas Zidan tersenyum kecil. "Tentu saja. Bahkan aku sudah menunggu lebih dari setahun lamanya. Jadi, berapa lama lagi kiranya aku harus menunggu?" "Aku tidak bisa memastikan berapa lamanya. Hanya saja, aku akan berusaha memberikan jawaban setelah hatiku benar-benar yakin akan pilihanku." Aku menjawab tanpa kepastian."Sebulan lagi, perusahaan akan mengadakan syukuran dan kebetulan bertepatan dengan hari ulang tahunku. Boleh aku meminta jawabanmu di hari itu?" pinta Mas Zidan. Ada binar-binar harapan dari sorot netra indahnya.Aku tak langsung menjawab. Tapi berpikir sejenak. Apa mungkin aku bisa menemukan jawabannya hanya dalam waktu satu bulan? Apa hati bisa semudah itu untuk berpaling atau melupakan? Namun, kata-kata Karin juga terus terngiang di telingaku.
POV RayanMalam ini, aku terlentang dengan sisa napas yang masih terengah-engah. Sementara, di atas dada bidangku, Aluna sudah tertidur dengan irama napas yang teratur. Sebelah tangannya melingkar longgar di pinggangku. Dengkuran halus pun terdengar keluar dari mulutnya. Menandakan bahwa ia memang sudah terlelap dan masuk ke alam mimpi. Aroma wangi shampo yang menguar dari rambut hitamnya, memanjakan indera penciumanku. Aku menunduk sedikit, lalu mencium puncak kepalanya pelan. Khawatir aksiku justru membangunkannya dari lelap tidur.Dengan mata menerawang menatap langit-langit kamar di bawah temaram cahaya lampu tidur, mataku justru tak kunjung mau terpejam. Satu tanganku kugunakan untuk mengelus rambut Aluna. Sementara tangan yang lain dijadikan bantalan kepalaku sendiri.Di saat seperti ini, aku selalu merasa bersyukur kembali dipersatukan dengan Aluna setelah banyaknya badai kehidupan yang kami lewati. Aku selalu berpikir, jika saja semua ujian hidup itu tidak menimpaku dan Aluna
POV Aluna4 Tahun Kemudian"Assalamualaikum."Saat sedang berkutat di dapur, sayup aku mendengar suara salam diiringi ketukan di pintu depan. Aku pun segera mencuci tanganku dan berjalan cepat menuju pintu. Namun, aku kalah cepat dengan dua pasang kaki yang berlarian berlomba untuk membuka pintu terlebih dahulu. Dari mulut keduanya terdengar pekikan yang cukup kencang. "Ayah .... Ayah ...."Si sulung yang usianya sudah lebih dari empat tahun itu, tentu saja berhasil sampai di pintu lebih dulu. Anak laki-laki bernama Hafiz itu langsung membukakan pintu untuk ayahnya seraya menjawab salam."Wa'alaikum salam Ayah," jawab Hafiz yang langsung mengulurkan tangannya untuk mencium punggung tangan sang ayah. Pun dengan Hafizah yang menyusul di belakangnya. Dan aku menjadi yang terakhir mencium punggung tangan suamiku itu. Suamiku pun langsung mencium keningku. Setelahnya, ia mengambil Hafizah yang baru berusia dua tahun dalam pangkuannya. Lalu membawanya masuk ke dalam rumah sambil menggandeng
Aluna berbalik lalu menatap Rumi dengan tatapan tak semarah sebelumnya. Kedua sudut bibirnya tersungging tipis. "Aku akan berusaha, tapi aku gak janji," tutur Aluna. "Gak apa-apa. Sudah ada niat untuk memaafkan aja kamu sudah hebat. Maafkan aku ya!" Rumi mendekat lalu memeluk sahabatnya itu. Setelahnya, Aluna pun mengambil pesanan Rumi yang sebenarnya adalah pesanan Zidan. Rumi pun langsung pamit untuk kembali ke kantor karena jam kerja memang belum selesai.Sementara Aluna kembali masuk ke dalam toko dan menghampiri ibunya."Sudah diperiksa lagi belum, Lun, kandungannya?" tanya ibunya Aluna."Belum ada sebulan kok, Bu. Nanti aja," jawab Aluna. "Oh, ya, sudah. Oh, iya. Kalau gak salah, sebulanan lagi menginjak empat bulan ya, Lun? Ngadain syukurannya mau di sini atau di rumah suamimu?" Ibunya Aluna menatap putrinya itu. Menghentikan sementara aktivitasnya yang sedang mengaduk adonan. "Sepertinya di rumah Mas Azam aja, Bu. Ibu sama bapak aja yang ke sana, ya. Gak apa-apa, kan?" Alu
Aluna yang awalnya tersenyum ramah mendadak kikuk dengan pertanyaan karyawan itu. "Bukan, Mbak. Saya mau ketemu Mas Azam, suami saya," jawab Aluna membuat mata karyawan itu nampak membulat."Oh. Maaf, Bu Aluna. Pak Azam ada di ruangannya kok," timpal karyawan itu terlihat salah tingkah."Oh, iya. Terima kasih banyak, ya. Saya ke ruangan suami saya dulu," balas Aluna mengangguk sopan.Setelah bertanya pada salah satu karyawan letak ruangan Azam, Aluna pun melanjutkan langkahnya menuju ruangan suaminya itu. Hingga ia sampai di depan pintu bertulisan nama suaminya. Aluna pun mengetuknya pelan."Silakan masuk," titah Azam yang sedangkan fokus menatap layar komputer di hadapannya. Saking fokusnya, Azam sampai tidak sadar bahwa yang datang itu adalah Aluna."Silakan du ...!" Azam tak melanjutkan ucapannya karena baru tersadar bahwa yang ada di hadapannya adalah istrinya. Azam pun bangkit dari duduknya dengan mata berbinar. "Kok gak bilang-bilang, sih, Sayang, mau ke sini?" tanyanya seraya
Meski jantung Aluna masih berdebar kencang tiap kali melihat mantan suaminya itu, tapi Aluna berusaha sekuat mungkin untuk bersikap normal layaknya dua pasang manusia yang tidak ada lagi ikatan apa-apa. Aluna tersenyum tipis seraya menganggukkan kepalanya sedikit. Lalu buru-buru menundukkan pandangannya menyembunyikan wajahnya yang terasa memanas. Pun dengan Rayan yang berusaha mengendalikan detakan jantungnya yang kian lama kian berdebar kencang. Apalagi saat melihat seulas senyum yang dihadirkan di bibir ranum wanita di hadapannya. Tak bisa dipungkiri, di hati kedua insan itu masih ada nama masing-masing yang tersimpan rapi. Mempunyai tempat khusus hingga mungkin akan sulit untuk benar-benar dihapus begitu saja. Cinta yang dulunya tertancap kuat, belum benar-benar tercabut kuat dari akarnya meski kini mereka telah hidup bersama pasangannya masing-masing. Tak berselang lama, Bu Ida dan Humaira pun ikut turun. Mata Bu Ida membesar melihat mantan menantu yang dulu begitu dibencinya.
POV AuthorRayan masih bergeming. Matanya memindai tangan mungil Hasan yang menggenggam erat tangan Rumaisha. Melihat bocah berusia tujuh tahun tersebut, hatinya mencelos dan nelangsa. Namun, di sisi lain, ia pun terlalu berat untuk menjalani pernikahan poligami yang sesuai dengan aturan agama. Karena di hatinya, nama Rumaisha benar-benar tidak pernah bertahta walau untuk sekejap. Apalagi mengingat kejahatan Rumaisha yang menghalalkan segala cara untuk bisa mendapatkannya. Dari arah dapur, muncul Bu Ida berserta Humaira. Mereka berdiri di dekat kaki Rumaisha menapak. "Rumaisha sudah pamit sama ibu. Sama Humaira juga. Ibu menyerahkan semua keputusannya padamu, Nak," tutur Bu Ida menatap Rayan. "Apa kamu sudah bulat untuk pergi dari sini dan bercerai dariku? Lalu, Hasan bagaimana?" tanya Rayan pada Rumaisha.Rumaisha mengangguk yakin. "Aku sudah bulat. Dan tentang Hasan, aku akan memasukannya ke pesantren agar dia tumbuh menjadi anak yang baik dan mengerti agama. Tidak seperti aku ..
POV RayanAku sungguh tersentak dengan cerita ibu. Apalagi saat ibu menceritakan bahwa ibu sengaja dihasut Rumaisha agar membenci Aluna. Ibu menceritakan semua yang terjadi dulu. Tak terbayang bagaimana sakitnya Aluna mendengar kenyataan pahit itu langsung dengan telinganya sendiri. Setelah dikhianati olehku, suaminya sendiri, Aluna kembali dikhianati oleh Zidan. Laki-laki yang selama ini menunjukkan perhatiannya yang besar pada Aluna. Apalagi mereka sempat memutuskan untuk menikah. Ah, Aluna. Sungguh berat ujian hidup yang harus kamu hadapi. Sebagai seseorang yang pernah mencintaimu begitu dalam, aku hanya bisa mendoakan, semoga segala rasa sakit itu digantikan dengan kebahagiaan yang tiada tara oleh yang Maha Kuasa. Sore ini, ibu berbicara banyak padaku. Perihal kejadian-kejadian yang terjadi selama aku tidak ada bersamanya. Tentang kesepiannya, tentang rasa rindunya, dan tentang rasa bersalahnya yang luar biasa. Namun, aku sedikit lega, karena ternyata Rumaisha menjaga dan merawat
POV RayanAku masih menundukkan kepalaku di hadapan Abi yang sepertinya masih mempertimbangkan semuanya setelah aku menceritakan semuanya. Hingga aku mendengar abi berdehem pelan."Nak Rayan. Nak Rayan di sini sudah genap dua tahun. Apa Nak Rayan sudah benar-benar mantap untuk kembali ke Jakarta?" tanya Abi.Aku mengangguk yakin. "Insyaallah, Abi. Saya rindu sekali pada ibu. Saya juga ingin kembali memimpin perusahaan yang dua tahun terakhir ini saya abaikan," jawabku. Terdengar helaan napas pelan dari mulut laki-laki yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu. "Baiklah. Kalau begitu, Nak Rayan bisa temui dulu wanita pilihan Abi itu. Ta'aruf saja dulu sambil ceritakan semua masa lalu Nak Rayan. Jika memang kalian berjodoh, insyaallah Alloh akan memudahkan jalannya," tutur Abi bijak. Aku pun mengangguk mengerti. Besoknya, aku benar-benar meninggalkan pesantren yang telah kutempati selama dua tahun itu dengan perasaan haru. Sudah cukup banyak kenangan selama aku tinggal di sana.
POV RayanAku memang sempat terpuruk. Aku memang sempat begitu terjatuh. Di saat aku menerima kenyataan bahwa pernikahanku dengan wanita yang begitu kucinta kandas hanya dalam waktu hitungan bulan saja. Bahkan kami belum sempat mereguk manisnya madu pernikahan. Beruntung, saat aku terpuruk seperti itu, di saat hatiku diliputi kekosongan dan kehampaan, tak sekalipun aku mendatangi tempat-tempat hiburan yang justru akan membawa hidupku jatuh semakin dalam. Suara lantunan adzan yang menggema setiap hari sebanyak lima kali, selalu memberikan rasa tenang yang merasuk ke dalam jiwaku. Aku pun mulai rutin mendatangi rumah Alloh tersebut untuk melaksanakan solat berjamaah lima waktu. Mesjid yang berada tak jauh dari rumahku yang kutempati saat itu. Rumah yang sengaja kubeli untuk Aluna sebagai hadiah pernikahan. Di sanalah aku biasanya menghabiskan waktu. Hingga aku memutuskan untuk memperdalam ilmu agamaku. Agar aku bisa belajar apa itu ilmu ikhlas. Agar aku bisa belajar apa itu qodo dan q