"Tolong maafkan kesalahan kami, Bu. Aku sudah sadar sekarang, segala hal yang kualami saat ini karena kesalahan fatalku pada ibu dan juga Arini."Kali ini aku berani mendongak, melihat wajah wanita yang telah melahirkanku. Wajahnya tampak sendu, dengan mata berkaca-kaca."Aku tahu, mungkin sangat berat bagi ibu untuk memaafkan kesalahanku dan Elvina. Tapi, aku hanya ingin meminta maaf yang tulus pada ibu. Aku tidak akan meminta apapun selain itu. Karena aku tak pantas mendapatkannya."Ibu masih mematung. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Aku beranjak, mengambil sesuatu dalam koper. Sebuah map yang berisi sertifikat sawah milik ibu. Untunglah aku tak jadi menggadaikannya. Jadi inilah yang masih tersisa dari sekian banyak harta yang kupunya."Bu, ini kukembalikan lagi surat sawah milik ibu. Aku pamit ya Bu, terima kasih sudah memberiku kesempatan untuk berbicara dengan ibu lagi."Kuraih tangannya yang sedikit gemetar. Lalu kucium punggung tangannya dengan takdzim."Jaga ke
Part 53Kami duduk berdampingan di singgasana pengantin yang sudah didekorasi sedemikian rupa, khas perkawinan adat jawa. Tak pernah terbayangkan akan menjadi seorang istri lagi. "Rin, ada sesuatu di matamu," ucap pria yang ada di sebelahku ini. Aku menoleh."Hah? Apa? Mana?" tanyaku, tanganku mencari-cari apa yang dimaksud oleh lelaki yang kini jadi suamiku itu. Dia justru menarik tanganku. "Coba pejamkan matamu," pungkasnya.Tak ada rasa curiga, aku menurutinya, kupejamkan mata ini, malu juga kalau terlihat oleh tamu undangan. Kali aja ada kotoran mata atau sesuatu di mataku yang indah ini.Entah kenapa aku justru merasakan sentuhan bibirnya di keningku. Spontanitas aku membuka mata. Dia justru tersenyum melihat mimik wajah heranku."Kok dicium sih? Katanya ada sesuatu di mataku? Ada apaan, Mas?" tanyaku seraya memegang kening bekas kecupannya."Hahaha. Itu cuma alasanku aja, aku pengen cium kamu!" sahutnya. "Ih gak sabar banget, malu tau dilihat tamu!" cebikku kesal. Dia mencuri
Dia langsung berbaring di atas ranjang. "Kok masih bengong aja disitu? Sini tidur dulu. Jangan pikirkan yang lain."Aku mengangguk dan berbaring di sampingnya. Mas Bian terus saja tersenyum sambil memandangku. "Wajahmu ternyata sangat cantik. Rambutmu panjang, aku baru lihat sekarang lho.""Ya iyalah.""Aku beruntung banget ya.""Beruntung kenapa?""Ya, sangat beruntung karena bisa menjadi suamimu. Walaupun hubungan kita terasa begitu singkat. Aku benar-benar bahagia. Terima kasih ya, Rin, sudah menjatuhkan pilihanmu kepadaku," ungkapnya kemudian membuatku bergetar.Aku tersenyum mendengarnya, dia bisa juga ya berkata manis seperti itu. "Sekarang tidurlah, sayang. Kamu pasti sangat lelah."Aku mengangguk lagi. "Aku juga sangat berterima kasih padamu, Mas. Karena kamu begitu pantang menyerah sampai benar-benar bisa membuatku luluh.""Kalau diingat-ingat, hubungan kita itu lucu ya. Pertemuan yang tidak disengaja, kamu yang selalu ketus dan menghindar dariku. Tapi akhirnya ijab kabul ya
"Mas, kamu mempersiapkan ini semua?"Dia hanya tersenyum. Tiba-tiba segerombolan anak-anak datang menghampiri kami. "Om, tugas kami sudah selesai, Om!" celetuk salah satu diantara mereka."Ah iya, ini buat kalian. Terima kasih ya atas bantuannya." Mas Bian memberikan lembaran uang seratus ribuan pada lima bocah kecil itu."Mas, kamu nyuruh anak-anak turun ke bawah sana? Terus menerbangkan balon-balon?" tanyaku heran. "Ya, dari pada mereka main di jalanan gak jelas kan?""Tapi kan bisa berbahaya!" pungkasku."Enggak kok, emang ada jalan buat turun ke bawah. Mereka sudah biasa hidup di jalanan, kamu gak usah khawatir. Aku juga tiap bulan udah sering berinteraksi dengan mereka," sahut Mas Bian."Oh." Aku mengangguk pelan, lalu kembali mendongak, melihat balon-balon itu sudah terbang dengan tinggi seolah menyongsong langit biru.Senyumku mengembang dengan sempurna. Manis juga suamiku ini. "Masih mau di sini atau jalan-jalan lagi?" tanyanya menghenyakkanku. Aku sedikit terkesiap saat ta
Aku mengangguk. Kembali memasukkan dompetku ke dalam tas. Selesai belanja baju di butik, mas Bian kembali membawaku pergi."Kita makan siang dulu ya, aku sudah laper.""Iya, Mas.""Kamu mau makan di mana?""Emmh Mas, gimana kalau makan nasi padang?""Kamu tinggalnya di Solo tapi pengennya makan nasi Padang?""Haha, iya Mas. Gak apa-apa kan?""Iya, iya, ayo ikut lagi. Kita cari warung nasi Padang."Aku mengangguk dan kembali naik ke boncengan motornya. Mas Bian berhenti di depan warung nasi Padang yang cukup besar. Aneka makanan matang terpajang di etalase."Kamu mau apa, Yang?" tanya Mas Bian."Sama rendang, Mas.""Oke. Mbak, nasi plus rendangnya dua ya. Makan di sini."Kami duduk di tempat yang tersedia. Makan bersama saat pesanan kami datang, menikmati hidangan makan siang, nasi plus rendang daging. Selesai makan, kami kembali menyusuri jalanan dengan kuda besinya yang seolah tanpa lelah dan letih membawa kami keliling kota. Dan kali ini, Mas Bian justru membawaku ke salon. "Mbak
"Rin, mulai minggu depan, aku ada agenda rutin lagi setelah satu bulan libur," ujar Mas Bian usai pulang dari pekerjaannya."Agenda apa, Mas?""Memberikan paket makan siang gratis, tiap hari minggu. Biasanya kalau bukan untuk anak-anak panti, anak-anak jalanan, kami ke jalan-jalan bagi-bagi gratis buat para pengendara motor atau tukang becak. Cuma agenda minggu ini kita mau bagi-bagi buat tukang dan kuli proyek yang kerja di proyek jembatan. Kamu mau gak bantuin nanti?""Jadi sebelum ini kamu suka bagi-bagi makan siang gratis?" tanyaku. Aku tak pernah tahu sisi Mas Bian yanh seperti ini. Sungguh rasanya aku hatiku begitu kecil tanpa tahu dia yang sebenarnya. "Iya, seminggu sekali biasanya, cuma sebulan kemarin libur.""Kamu gak pernah bilang-bilang kalau suka berbagi seperti ini, Mas?""Buat apa bilang? Lakukan saja lalu lupakan gak perlu diingat atau diungkit-ungkit."Aku mengangguk. Pantas saja hartanya gak habis-habis, ternyata mereka orang-orang yang dermawan. Selain bagi-bagi ma
"Oalah, Mas Tiar? Kamu kerja disini?" ujarku heran. Kenapa dia belum kembali ke Jakarta? Dan apa yang dia lakukan di kota ini?Mas Tiar mengangguk. "Iya, aku ikut kerja di proyek. Jadi ini kamu yang membagikannya?" tanyanya. Ia tersenyum kikuk. Wajahnya sungguh sangat berbeda. Tak seperti dulu lagi. Lebih kurus dan tak terurus."Iya. Alhamdulillah, aku bantuin suami, Mas."Kamu hebat, sekarang tambah cantik, mempesona sampai pangling lihatnya.""Seorang istri akan bertambah cantik bila mendapatkan lelaki yang tepat dan menghargainya, Mas."Kamu bahagia dengan suamimu?""Tentu saja, kau bisa melihatnya dari raut wajahku."Dia mengangguk dan tersenyum masam. "Usahamu juga kayak makin maju ya ... Usahaku gagal, aku bangkrut. Dan sekarang aku berakhir di tempat seperti ini. Elvina juga menghilang entah kemana.""Mbak El menghilang?" Keningku berkerut. Kok bisa dia menghilang.Lelaki itu mengangguk. "Woi, buruan gantian, kami juga mau makan!" teriak antrian di belakang. "Iya, tunggu sebe
"Kau jahat, Mas! Jangan tinggalin aku! Aku gak gila!! Aku gak gila, Mas!!"Elvina terus meronta, tapi petugas RSJ memasukkannya ke dalam kamar yang sepi. Ia merenung sendiri. Apa salahnya selama ini? Dia memang sangat shock, merasa seolah ia ditipu. Bukan karena dia gila, sang suami justru seenaknya sendiri memasukkannya dalam RSJ. Wanita itu selalu antusias ingin menjadi kaya, karena ia sudah bosan hidup dalam kemiskinan, hingga ia mulai stress dan meracau sendiri. Saat ada kesempatan, Elvina kabur dari RSJ itu tengah malam buta. Ia berjalan tak tentu arah hingga terdampar di perkampungan kumuh, tempat para pemulung berada. Masih saja ia berceloteh dan berteriak lantang kalau dirinya kaya. Aku orang kaya! Lalu tawanya membahana. Sebenarnya dalam hati ia merasa kosong dan perih. Tak diam saja di situ, ia pergi lagi ke jalanan, hingga penampilannya tak karuan. Bahkan dia berjingkrak-jingkrak seolah tidak sedang hamil. Banyak orang yang bilang kalau dia tak waras. Tapi sekali waktu,
"Love You. Satu kata saja sepertinya tak cukup mengungkapkan bahwa betapa besarnya cintaku padamu.”Aku tersenyum mendengarnya. Tanpa kata-kata manisnya itupun, sikapnya sungguh romantis, membuat aku merasa istimewa. Ya, bukankah aku adalah wanita yang beruntung karena telah menjadi ratu dalam hidupnya?Kami menghabiskan waktu menikmati jagung bakar di tengah pemandangan indah juga semilir angin yang berhembus, serta deru ombak yang menyemarakkan suasana. Saat waktu maghrib tiba, kami sgera pulang kembali ke hotel. Ada kewajiban yang harus ditunaikan sebagai umat manusia, yaitu beribadah pada Allah, sang maha pencipta.“Terima kasih untuk hari ini ya, Mas. Aku senang sekali.’’“Sama-sama, Sayang. Love you," sahut Mas Bian lagi seraya mengecup keningku penuh rasa sayang.*** Aku menggeliat malas sembari meregangkan tubuh sejenak, mengerjap pelan sampai pandanganku benar-benar jelas. Melihat jam weker di atas meja menunjukkan pukul setengah lima pagi. Kulirik ke samping, Mas Bian suda
“Biar kubakar saja tiket ini, sungguh menyebalkan! Aku jadi mengingat kalau dia masih menyukaimu. Huh!” sungut Mas Bian kesal.“Jangan dong, Mas. Ini kan hadiah buat bulan madu kita. Sayang kalau dibakar, jadinya mubadzir.”“Kau tahu kan, Rin, aku masih punya uang untuk memesan tiket liburan, penginapan dan akomodasi yang lainnya.”“Aku tahu hal itu, Mas. Tapi itu namanya buang-buang uang. Apa kau tidak memikirkan nasib orang lain yang tidak seberuntung kita? Mereka butuh uang sementara kita menghambur-hamburkan uang. Ingatlah setiap harta kita ada bagian milik orang lain. Tidak baik kalau kita boros dan menghambur-hamburkan uang. Lebih baik kita manfaatkan ini saja untuk bersenang-senang. Dan uang kamu bisa untuk berbagi dengan yang membutuhkan. Gimana?"Mas Bian menghela nafas kesal lalu menatapku dalam. “Jadi kau ingin tetap pergi dengan tiket ini?"Aku mengangguk. “Iya, Mas, kita butuh me time bersama kan, setelah apa yang kita lalui ini.”“Apa kamu sudah siap punya Fabian junior
“Tunggu sebentar, Bian, Arini!” cegah dokter Ardhy.“Ada apa, Bro?” Kami menghentikan langkah saat melihat pria itu berjalan mendekat. Ia tersenyum sumringah pada kami.“Ini ada sedikit hadiah buat kalian.”“Hadiah?” “Haha, iya, maaf terlambat. Aku sengaja mempersiapkan ini saat Om Harish bilang kamu dan Arini akan hadir ke acara syukuran. Semoga saja kalian suka dan bermanfaat ya. Aku juga minta maaf ya saat pernikahan kalian aku gak bisa hadir,” ujarnya seraya menyerahkan sebuah amplop putih.“It’s oke, gue tau lu sibuk tugas. Btw isinya apaan nih?” tanya Mas Bian.“Bukanya nanti saja kalau sudah sampai di rumah. Pokoknya selamat buat kalian berdua semoga pernikahannya langgeng, sakinah, mawadah, warrohmah.”“Aamiin.”“Oke, aku kesana dulu ya. Kalian pulangnya hati-hati lho,” ucap pria yang berprofesi dokter itu lagi.Kami mengangguk dan berlalu ke mobil. Mas Bian memberi amplop itu p
“Hahaha, akhirnya aku mendengar kata-kata manis dari seorang Arini Faradina. Terima kasih, Sayang. Terima kasih istriku. Ya, aku percaya padamu kok. Tadi aku hanya ingin melihat ekspres wajahmu saja. Kira-kira serius atau—“Segera kucubit perutnya hingga ia berjingkut. “Tuh kan ngeselin deh, sukanya jahil! Eh kan ini, tempenya malah jadi gosong, gara-gara kamu sih, Mas!” cebikku kesal.Aku segera mengangkat tempe itu dari wajan penggorengan, padahal aku sudah mengecilkan apinya. Tawa Mas Bian makin lebar.“Jadi sekarang impas ya! Tadi kamu ngetawain aku karena masakanku asin, sekarang masakanmu gosong. Haha.”Aku memanyunkan bibir yang disambut tawa renyah lelaki itu. Ah dasar, Mas Bian ini memang ngeselin.“Ya udahlah ini makan sama sayur soup dan sambel aja gak pake tempe goreng.”“Gak apa-apa, Sayang. Apapun itu asalkan bersamamu pasti akan terasa lezat dan sempurna. Sini aku yang bawa,” kata Mas Bian. Dasar menyebalkan! Tapi kenapa selalu bikin kangen. Eh!Akhirnya setelah salat
“Apa yang terjadi?” Pria itu menyerobot masuk dengan wajah panik. Apalagi saat melihat alat medis dilepas dari tubuh Elvina. “Mohon maaf, Pak. Pasien tidak bisa diselamatkan lagi. Ny. Elvina meninggal sepuluh menit yang lalu,” ujar perawat itu cukup membuat pria bernama Chandra shock berat. Ia menggeleng pelan, tubuhnya melemah. Berbeda dengan Mas Tiar yang masih berdiri mematung dengan mata yang penuh kaca-kaca. Tergambar jelas kalau mereka begitu kehilangannya. Kau beruntung sekali El, ada orang-orang yang begitu menyayangimu meski tahu sikapmu begitu. Semoga saja ini jalan yang terbaik untukmu, tenanglah di sisiNYA. Aku membatin masih sambil menatap jenazah El.“Sudah berbulan-bulan aku dekat dengan El, dan rencananya aku akan menikahinya setelah semua masalahnya beres, tapi ternyata takdir berkata lain, ia justru pergi,” gumam Chandra pelan.“Mungkin inilah takdir terbaik untuk Elvina, lebih baik kalian ikhlaskan saja kepergiannya agar dia tenang di sisi Allah,” pungkas Mas Bian
“Hah? El kecelakaan?” tanyanya terkejut. Terlihat jelas dari sorot matanya seolah tak percaya mendengar kabar buruk ini.“Iya, sekarang kondisinya koma. Apa kau mau ikut dengan kami menjenguknya di rumah sakit? Barang kali kau mau tahu gimana keadaannya sekarang, ayo kita pergi sama-sama!” ajak suamiku lagi.“Baiklah, aku akan ikut, maaf merepotkan,” jawabnya. Akhirnya kami menaiki mobil bersama-sama, sepanjang perjalanan tanpa ada sepatah kata apapun dari Mas Tiar. Dia diam seribu bahasa mungkin segan.Sesekali Mas Bian menggenggam tanganku dan mengecupnya pelan. Aku mendelikkan mata tapi dia hanya tertawa. Aduhai memang susah juga punya suami yang humoris dan konyol. Ada saja hal yang dilakukannya membuat gemas, kesal dan ingin tertawa seketika. Aku sampai lupa, ada orang lain di mobil kami.Perjalanan cukup lama menuju ke Rumah Sakit tempat mereka dirawat. Akhirnya setelah menempuh jarak 1,5 jam sampai juga di rumah sakit itu. Mas Bian segera memarkirkan mobilnya di pelataran park
Dering ponsel mengagetkan kami. Aku memandang ke arah Mas Bian yang sibuk menyantap makanan di hadapannya. “Mas, ponselmu bunyi terus tuh,” tukasku.Mas Bian melirikku sekilas. “Biar saja, kita lagi makan.”“Diangkat dulu. Siapa tahu emang penting. Mungkin panggilan dari ayah atau bunda.”Lelaki itu terdiam sejenak meneruskan mengunyah makanan yang ada di mulut, lalu meneguk air di gelas dan segera bangkit, mengambil ponsel yang ia letakkan di atas kulkas.“Dari nomor tidak dikenal, Yang,” ujarnya. “Dia kirim pesan juga.”“Siapa, Mas?”“Dari Chandra ternyata.”“Chandra yang waktu itu datang sama Elvina?”Lelaki itu mengangguk. “Tumben, ada apa ya?” tanyaku. “Jangan-jangan dia mau berbuat jahat lagi, Mas?”“Tidak, dia minta kita menemuinya di rumah sakit.”“Rumah sakit? Ngapain?”“Ada hal yang ingin dia bicarakan, penting katanya.”“Jangan mau, Mas. Bukannya dia jahat?”“Hmmm ya, kau benar. Biar sajalah. Aku gak punya urusan lagi dengannya.” Mas Bian kembali meletakkan handphonenya
"Gimana, El, apa kau sudah puas? " tanya lelaki itu sembari menyetir mobil. Elvina alias Elly, tersenyum puas. Ia memandang ke arah pria itu seraya membayangkan wajah Bachtiar yang shock. "Terima kasih atas bantuanmu, Mas. Aku senang sekali akhirnya Mas Tiar bisa hancur juga, meski--""Apa aku perlu suruh orang untuk melenyapkannya?""Tidak perlu, Mas, aku hanya ingin melihat dia hancur perlahan-lahan hingga tak tahu gimana lagi rasanya bahagia," sahut Elvina yang menyimpan dendam begitu dalam. Wanita itu menarik nafas dalam-dalam, matanya tampak berkaca-kaca, rasa sesak masih berjaga di dadanya."Dulu dia meninggalkanku tanpa hati dan perasaan. Menganggapku gila, meninggalkanku sendiri di tempat tetkutuk itu. Sekarang aku ingin dia terjatuh dan makin hancur. Biar dia merasakan gimana sakitnya dan pedihnya saat keadaan terpuruk, tak ada teman, tak ada keluarga, bahkan tak ada siapapun yang mendekatinya."Mereka tertawa bersama. "Kau benar-benar memendam dendam padanya ya.""Iya Mas,
Elvina menggeleng pelan, ia melepaskan cekalan tanganku dan berlalu pergi. Arrggh, sialan kau, El!“El, tunggu! Jangan pergi dulu, El! Aku belum selesai bicara!” teriakku lagi. Tapi sepertinya dia tak memedulikanku. Kukepalkan tangan seraya meninju udara. Kesal, tentu saja. “Aku dah berkorban untukmu, El, tapi kamu masih saja acuhkan aku,” gumamku sendiri. Aku segera pergi dari tempat ini, bergegas ke tempat tinggalku. Entah kenapa hati terasa begitu kosong. Ada gelisah yang makin menyeruak di hati. Ah tidak, aku harus berjuang lagi. Aku sudah bertindak sejauh ini. Aku tak ingin langkahku kali ini kembali gagal.Kulihat cek itu kembali, tertera 20 Milliar rupiah di sana. Rumah dan tanah itu tak boleh sia-sia. Apa aku kembalikan saja cek ini dan meminta sertifikatnya dikembalikan? Entah kenapa untuk sesaat, terbayang wajah ibu dengan mata berkaca-kaca. Ibu pasti sangat kecewa.Aku menuju counter HP terdekat dan membeli sebuah ponsel Android yang sederhana saja, dengan harga 2 jutaan.