Ibu dan Lily masih menjaga Dani di rumah sakit. Dani masih lebih sering memejamkan mata, sehingga ibunya dan Lily bebas berbincang tentang apa saja di kamar itu. "Li, beli makanan sana! Ibu lapar," kata ibu. Lily langsung bangun dari sofa dengan bersemangat. Sebenarnya Lily juga sudah merasa bosan harus berdiam diri di ruangan itu terus. "Minta uangnya, Bu!""Loh, tadi pagi kan Ibu sudah kasih seratus ribu," kata Ibu ketus. "Ah, Ibu ini pelit deh. Mana cukup seratus ribu? Kalau Lily punya uang kan juga Lily bagi ke Ibu!" gerutu Lily. "Kamu ini, bisa-bisanya bilang Ibu pelit. Sekarang ini kita harus berhemat. Lihat Mas Dani masih terbaring sakit, dan kita tidak tahu kapan dia bisa bekerja kembali. Kita tidak ada sumber penghasilan, sebaliknya pengeluaran dan kebutuhan kita terus berjalan. Ibu pusing memikirkannya," keluh ibu. "Sabar, Bu. Nanti Lily cari cara untuk mendapatkan uang," jawab Lily. "Bagaimana caranya? Kamu kuliah saja belum selesai juga, bagaimana bisa mendapat peker
"Li, kapan kamu mau mengunjungi Annisa dan meminta uang padanya?" tanya ibu sambil menyuapkan satu potongan somay ke dalam mulutnya. "Aku sedang tidak enak badan, Bu. Mungkin masuk angin karena kurang tidur. Lagipula tidak mungkin Mbak Annisa mau memberikan yang itu," jawab Lily. "Kamu ini! Uang kita sudah menipis, kita harus pikirkan cara untuk mendapatkan uang lagi," Ibu menatap Lily dengan gemas. "Aku juga berpikir, Bu. Aku juga ingin mendapatkan uang, tapi jaman sekarang memang susah mencari pekerjaan," Lily menyandarkan tubuhnya di sofa kamar rumah sakit itu. "Karena itu Ibu menyuruhmu menemui Annisa. Dia pasti mau memberi kita uang. Kamu mau kita kelaparan?" desak ibu. "Aku tidak mau datang ke sana, Bu. Begini saja, aku akan meminta Mbak Annisa datang kemari. Tapi nanti Ibu juga harus membantu mengusahakan supaya kita mendapatkan uang itu. Jangan ketus atau berkata kasar padanya!" kata Lily. "Jadi kamu tidak bisa mengatasi Annisa sendiri? Harus melibatkan Ibu?" tanya ibu.
Dani akhirnya diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Pemeriksaan dokter menyatakan bahwa kaki Dani mengalami cedera yang cukup serius. Dani harus menjalani perawatan selama beberapa waktu dan harus berjalan dengan bantuan tongkat. Dengan berat hati, pihak perusahaan memberhentikan Dani dari pekerjaannya. Kondisi Dani tidak memungkinkan untuk bekerja seperti biasanya. Dani sangat frustasi dengan kondisinya saat ini. "Bagaimana ini Li? Mas Dani malah tidak bisa bekerja saat ini. Kita harus bagaimana? Darimana kita bisa mendapatkan uang?" keluh ibunya sambil berbisik. Namun Dani bisa mendengar perkataan ibunya itu, dan semakin membuat Dani merasa terpuruk, sedih dan seperti tidak berguna. 'Kenapa hidupku menjadi seperti ini? Kehilangan istri, anak, mengalami kecelakaan, tidak bisa berjalan normal, dan kehilangan pekerjaan,' hati Dani terasa begitu perih. Ibu dan Lily mengeluh sepanjang hari, bukannya memberi semangat untuk Dani bangkit kembali dan memiliki semangat hidup. Saat dalam
"Aku tidak tahu, Mas. Aku membutuhkan waktu untuk memikirkan semua ini," kata Annisa. "Aku tahu, pasti sulit bagimu Nis. Kamu sudah melewati banyak hal yang sulit, dan aku membiarkanmu sendiri menanggung semuanya. Aku tidak bisa memaksamu, Nis. Rasanya aku tidak berhak dan tidak layak. Semuanya aku serahkan padamu, tapi ingatlah bahwa kita memiliki Shafira di antara kita," Dani menatap Annisa dengan penuh harap. "Aku mau memandikan Shafira dulu, Mas," kata Annisa sambil menggendong Shafira masuk. Shafira terlihat senang pagi ini, karena ia bertemu dengan Dani yang sudah lama ia rindukan. Annisa memandikan Shafira, lalu memakaikan pakaiannya. Shafira terlihat ceria, tertawa, bernyanyi, dan tidak banyak drama seperti biasanya. Setelah itu, Shafira segera berlari ke pangkuan Dani kembali. Annisa merasa terharu melihat kedekatan anak dan suaminya itu. Melihat keadaan Dani, timbul rasa kasihan di hati Annisa. Sekalipun dia ingin cuek dan membalas Dani, tapi hati kecilnya tetap tidak te
"Annisa, kamu masih berstatus istriku!" Dani menatap penuh harap pada Annisa. "Nis, ikuti kata hatimu. Pikirkan baik-baik, apa kamu masih mau berharap pada pria yang tidak tegas, yang tidak bisa melindungimu?" Surya juga menatap Annisa. Annisa terdiam, ia belum bisa berpikir dengan jernih bagaimana langkah ke depannya. Dia tahu, kali ini harus mempertimbangkan dengan baik sebelum mengambil keputusan terpenting dalam hidupnya. "Nis, tolong beri aku kesempatan. Kamu harus ingat, kita pernah merasakan bahagia. Kita saling mencintai, dan akan terus seperti itu," Dani berusaha meyakinkan Annisa. "Surya, pergi dari sini! Aku dan Annisa tidak akan bercerai! Kamu jangan mengharapkan Annisa lagi. Selama aku masih hidup, aku akan tetap memilikinya," kata Dani tegas. "Hahaha.. Kemana saja kamu selama ini? Baru bangun dari mimpi? Apa yang kamu lakukan saat ibu dan adikmu menyakiti hati Annisa? Bahkan kamu sendiri yang mengusirnya dari rumah. Apa kamu pura-pura tidak bersalah saat ini? Kamu b
Sementara itu di rumah Ibu Dani, Lily dan ibunya mulai menyadari jika Dani sudah menghilang dari rumah. "Bu, Ibu, cepat kemari!" teriak Lily. "Apa sih, Li?" tanya ibu tergopoh-gopoh menghampiri Lily yang ada di kamar Dani. "Mas Dani tidak ada di kamarnya, Bu," jawab Lily panik. "Kamu sudah cek ke kamar mandi? Dapur?" tanya ibu. "Iya, Bu. Mas Dani pergi dari rumah," jawab Lily. "Apa?! Kemana dia? Dia kan sedang sulit berjalan jauh. Ah, jangan-jangan dia mencoba bunuh diri di tempat lain?" Ibu mulai ikut panik. "Tenang dulu, Bu. Kita periksa barang-barang Mas Dani, siapa tahu dia hanya keluar sebentar," kata Lily sambil membuka lemari pakaian Dani. Ibu juga memeriksa tempat tidur Dani dan laci meja kecil di samping tempat tidurnya. "Semua pakaian Mas Dani masih lengkap, Bu. Mas Dani tidak membawa apa-apa. Tapi kalau mau keluar rumah, kenapa Mas Dani tidak berpamitan pada kita? Sepertinya Mas Dani sengaja pergi saat kita tidur semalam," ujar Lily. "Ibu jadi pusing, kenapa Dani
Annisa dan Shafira mengantar Dani ke rumah sakit untuk memeriksakan diri dan juga melakukan terapi. Proses pengobatan dan perawatan masih memerlukan waktu yang cukup panjang. Tentu biaya yang dibutuhkan juga tidaklah sedikit. Setelah selesai, Annisa membayar semua biaya dan membeli obat yang diresepkan oleh dokter. Dani menatap istrinya, tanpa terasa air matanya mengalir. Ia tidak menyangka hidupnya kini bergantung pada Annisa. Wanita yang dulu hanya dipandang sebelah mata dan direndahkan oleh keluarganya. Wajah Annisa semakin cantik dan terawat, tubuh Annisa juga tidak banyak berubah, masih ramping seperti saat gadis dahulu. Wajar jika saat ini banyak pria yang menyukai dia. Apalagi kini Annisa adalah seorang pengusaha yang cukup sukses dan mandiri. "Ayo, Mas!" kata Annisa sambil membawa plastik obat di tangannya. Annisa tanpa sengaja menatap Dani yang masih memandangi wajahnya sambil melamun. "Kenapa, Mas?" tanya Annisa. "Ah, ga apa-apa," Dani berusaha berdiri dengan tongkatny
Dani dan Annisa kembali bersama dan berusaha untuk melupakan semua hal buruk yang terjadi sebelumnya. Annisa berharap keluarga kecil mereka bisa kembali utuh dan harmonis. Butuh proses dan waktu yang panjang bagi Annisa untuk bisa memaafkan Dani atas kesalahannya di masa lalu. Annisa juga harus menerima kenyataan bahwa Dani saat ini belum bisa pulih dan bekerja seperti dulu. Annisa mau mencoba membuka hatinya kembali dan mempercayai Dani. Semua Annisa lakukan demi kebahagiaan Shafira. Terbukti Shafira memang sangat bahagia ketika melihat papa dan mamanya berada di dekatnya setiap saat. Shafira bahkan sering meminta tidur bertiga, di antara papa dan mamanya. Di siang hari, Shafira bermain sepuasnya dengan sang papa. Suatu hal yang dulu sangat jarang bisa dilakukan karena Dani sibuk bekerja dan pulang larut malam. Saat ini Dani membantu Annisa menjalankan usaha laundry miliknya yang mulai berkembang pesat. Annisa sangat bersyukur, untuk semua hal yang mereka alami saat ini. Karina
Lily sempat mengunjungi Annisa dan ingin mengambil Bagas kembali. Namun tentu saja Bagas yang tidak pernah mengenal Lily langsung menolak. Bagas menangis dan berteriak, lalu bersembunyi di balik pintu.Lily menatap Bagas yang kini sudah bertumbuh menjadi anak yang sehat dan pintar. "Mbak Nisa, aku kangen sama Bagas. Aku ingin menebus kesalahanku dan merawatnya," kata Lily. "Kalau kamu menyayangi Bagas, biarkan dia tinggal bersamaku, Li. Aku gak akan mengijinkan kamu membawanya, karena itu hanya akan membuatnya terluka. Dia bahkan gak mengenal kamu, Li," ujar Annisa. Lily memejamkan matanya dan diam beberapa saat. "Dulu kamu pergi begitu saja, tanpa memikirkan bagaimana Bagas bisa hidup. Kamu asyik dengan duniamu sendiri dan gak pernah menanyakan kabarnya. Sekarang kamu kembali dan mengatakan ingin membawanya? Aku akan berjuang untuk mempertahankan Bagas tetap bersamaku. Saat ini dia sudah menjadi anakku, adiknya Shafira," kata Annisa dengan tegas. "Bagas, ini mama kandungmu, Saya
Pagi itu Dani kembali melangkahkan kakinya ke minimarket tempat ia menjadi tukang parkir. Ia berusaha tetap bersemangat, sekalipun kondisi ini bertentangan dengan harapannya. Sebentar lagi Winda akan melahirkan dan membutuhkan biaya. Dani biasa bekerja dari pagi sampai sore. Sekalipun ia memakai topi dan masker agar wajahnya tidak mudah dikenali, tetapi akhirnya beberapa tetangga melihat dirinya saat sedang bekerja. Namun kini Dani pasrah, ia tidak peduli lagi dengan ucapan orang-orang. Bahkan ada yang mengedarkan berita bahwa Dani, papa Shafira bekerja sebagai tukang parkir. Selama Shafira ada di rumah Ibu Dani, rumah itu lebih ramai dari biasanya. Beberapa tetangga datang untuk berfoto bersama Shafira. Hari-hari Shafira menjadi sangat melelahkan. Menjelang siang, Ibu Dani mendengar suara ketukan di pintu depan. Ia segera membukakan pintu dan melihat punggung seorang gadis yang membelakanginya. "Cari siapa?" tanya Ibu Dani. Wanita berambut panjang dan pirang itu berbalik badan.
Mendengar berita tentang Lily, Surya segera pulang dan menjemput Annisa. Mereka langsung menuju ke rumah sakit dengan perasaan yang tak menentu. Geram, kesal, cemas, dan amarah memenuhi hati Annisa dalam perjalanan ke rumah sakit itu. "Mengapa mereka gak memberi tahu keadaan Shafira pada kita, Mas?" tanya Annisa dalam kegeraman. "Tenang, Sayang, beruntungnya jaman sekarang berita cepat menyebar melalui media sosial, sehingga kita bisa mengetahui keadaan Shafira dan dimana dia sekarang," jawab Surya sambil tetap fokus mengemudi."Aku gak akan pernah mengijinkan Mas Dani dan ibunya untuk menyentuh Shafira lagi!" ucap Annisa. Surya sangat memaklumi rasa sakit dan kemarahan yang sedang melanda Annisa. Annisa adalah wanita yang mengandung dan membesarkan Shafira dengan penuh cinta, sehingga wajar ia merasa marah ketika melihat anaknya sakit dan menderita seperti itu. Annisa dan Surya akhirnya tiba di rumah sakit Permata. Annisa sudah tidak sabar, ia ingin segera berlari menuju kamar p
Dani sangat terkejut ketika melihat Shafira ada di rumah ibunya. Ia langsung memeluk Shafira dan menumpahkan rasa rindu yang sudah lama terpendam dalam hatinya. "Fira, Papa kangen sekali," ucap Dani. "Pa, Fira mau pulang ke rumah Mama," jawab Shafira sambil menangis. "Bu, kenapa Fira bisa ada di sini?" tanya Dani."Memangnya kenapa? Itu yang kamu mau, kan? Ibu menjemputnya tadi, karena kamu gak punya usaha dan inisiatif untuk mengambil anakmu kembali," jawab ibu. Shafira terus menangis tanpa henti sejak tiba di rumah itu. Berbagai cara sudah Dani lakukan untuk menenangkan Shafira, tetapi ia tetap rewel dan memanggil-manggil nama Annisa. Dani memberi isyarat pada Winda untuk mengajak Shafira ke kamar, karena ia ingin lebih banyak berbincang dengan ibunya. Winda menggandeng tangan Shafira dan membujuknya masuk ke dalam kamar. Dani mulai beralih menatap ibunya dan berbicara dengan volume suara yang tidak terlalu keras. "Bu, apa Ibu mengambil Shafira dengan paksa? Kasihan Annisa dan
"Apa?! Kamu jadi tukang parkir? Memalukan! Apa gak ada pekerjaan lain?" seru Ibu Dani. "Kalau ada pekerjaan lain yang lebih baik, aku pasti mau, Bu. Masalahnya aku sudah mencoba melamar pekerjaan ke banyak tempat lain, tapi sampai sekarang gak ada jawaban. Aku rasa sementara gak masalah kalau aku menjadi tukang parkir, yang terpenting itu halal dan kita bisa makan," jawab Dani. "Ibu gak mau! Apa kata orang lain? Keluarga kita ini terhormat, kamu juga sudah Ibu sekolahkan tinggi, masa hanya menjadi tukang parkir?" oceh Ibu Dani. Winda berusaha memberanikan diri untuk bicara, menengahi keributan itu. "Bu, ini hanya untuk sementara. Kita doakan saja Mas Dani cepat mendapat pekerjaan yang lebih baik. Aku setuju pendapat Mas Dani, yang penting sekarang kita bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari,""Siapa yang minta pendapatmu? Pokoknya Ibu mau kamu mengerjakan pekerjaan lain, bekerja di kantor dan punya gaji tetap!" Winda tersentak dan langsung kembali bungkam. Sementara itu Dani hanya
Sambil mengemudi mobil, Surya melirik Annisa yang banyak diam sejak pertemuan dengan Dani dan istrinya tadi. Annisa terlihat melamun dan berpikir, sesekali ia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya kembali. "Sayang, ada apa? Apa kamu masih merasa sakit hati melihat Dani bersama wanita lain?" tanya Dani. "Ah, bukan begitu, Mas. Aku hanya sedikit terkejut tadi. Tapi aku bersyukur, karena aku dan Mas Dani sudah menemukan pasangan baru dan kebahagiaan masing-masing," jawab Annisa. "Kalau kamu masih merasa aneh, aku memakluminya. Kamu dan Dani cukup lama menikah, jadi wajar jika tetap ada kenangan di antara kalian berdua," ujar Surya. Annisa mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Surya. Ia berkata lembut, "Mas Dani adalah bagian dari masa laluku. Sekarang aku punya kamu, Mas. Kebahagiaanku sempurna karena ada kamu dan anak-anak kita,""Terimakasih, Sayang. Kamu juga harus tahu, bahwa aku sangat bahagia memiliki kalian," ujar Surya. "Oh ya, bagaimana kalau kita percepat saja
Dani mengakhiri panggilan telepon itu dan terdiam beberapa saat. Setelah kembali menguasai dirinya, ia berkata pada Winda, "Win, kita ke rumah sakit sekarang. Aku sudah mendapatkan pinjaman uang,""Uang dari mana, Mas? Apa kamu meminjamnya?" tanya Winda. "Iya, terpaksa aku meminjam pada mantan istriku. Sudahlah, yang terpenting kamu bisa dirawat di rumah sakit," jawab Dani. Dani mengantarkan Winda ke rumah sakit, mengurus semua proses administrasi dan menemaninya sampai masuk ke kamar perawatan. Setelah itu Dani berpamitan untuk mengambil pakaian Winda di rumah dan mengembalikan mobil yang ia pinjam pada Pak Imron. Ibu Dani melihat Dani memasukkan beberapa pakaian Winda ke dalam tas ranselnya. Ia bertanya, "Dan, apa Winda jadi dirawat di rumah sakit?""Iya, Bu," jawab Dani. "Dari mana kamu mendapatkan uang?" tanya Ibu Dani lagi. "Aku terpaksa meminjam pada Annisa, Bu. Aku gak tahu bisa mendapatkan uang dari mana lagi," jawab Dani. Ibu Dani duduk di tempat tidur di dalam kamar it
"Bu Winda harus dirawat di rumah sakit, Pak. Ini demi keselamatan ibu dan bayinya," kata dokter setelah memeriksa Winda. "Apa?! Memangnya istri saya kenapa, Dok? Apa tidak bisa dirawat di rumah saja?" tanya Dani. "Bu Winda sepertinya mengalami kontraksi dan harus beristirahat total di tempat tidur. Dia saat ini tidak boleh terlalu lelah dan memaksakan diri. Jika tidak, bisa berbahaya untuk bayi yang sedang dikandungnya. Janin Ibu bisa gugur nantinya. Kita juga harus memeriksa Bu Winda lebih mendetail, dan peralatan di rumah sakit pastinya lebih memadai. Secara fisik, sepertinya Bu Winda kurang mendapatkan asupan atau gizi yang diperlukan, apalagi dalam kondisi hamil seperti ini," beber dokter muda itu. "Dasar merepotkan! Ibu sudah sering mengingatkan kamu, jangan malas makan! Kalau sudah begini bagaimana? Dari mana kita mendapat uang untuk biaya rumah sakit?" seru Ibu Dani sambil menoyor kepala Winda. Dokter yang memeriksa sempat terkejut melihat Ibu Dani tak segan mengoceh dan me
"Nis, bukankah itu Dani?" tanya Surya. "Iya, Mas," jawab Annisa sambil melihat ke arah mantan suaminya yang berlari menjauh. Surya bertanya lagi, "Apa yang terjadi padanya? Apa sekarang dia menjadi tukang parkir?" "Aku juga gak tahu, Mas. Sejak kami berpisah, aku sudah gak mendengar kabarnya lagi," Annisa juga hampir tidak mempercayai apa yang dilihatnya, ia tidak habis pikir, apa yang sudah terjadi pada Dani dan keluarganya. Namun Annisa tidak terlalu peduli lagi, baginya Dani adalah bagian dari masa lalunya. Annisa sudah menutup lembaran kelam masa lalunya itu. Kini Annisa sudah membuka lembaran baru, memiliki jalan hidupnya sendiri bersama Surya dan anak-anaknya. ---Dani terengah-engah dan berhenti di bawah sebuah pohon rindang. Ia tidak menyangka akan bertemu kembali dengan mantan istrinya dalam kondisi seperti ini. Dani merasa malu karena hidupnya berubah total sejak Annisa meninggalkan dirinya. 'Nis, apa kamu sudah menikah dengan Surya? Sekarang aku sudah menikah dengan W