"Eh, sudah bangun, ya? Jam berapa sekarang, Dek?" tanyanya sambil berusaha membuka lebar kedua matanya.
"Nggak tau. Jam berapa, Bu? tanyaku pada ibu."Sudah mau setengah enam. Ayo, bangun. Sudah kesiangan ini Subuhnya."Gegas Mas Dika beranjak dari duduknya, lantas ke kamar mandi. Aku menyusul kemudian.."Mas, makasih, ya?" ucapku, saat Mas Dika mulai melajukan mobilnya di jalan beraspal, bergabung dengan kendaraan lain."Makasih buat apa, Dek?""Buat, selimut, sama nemenin di belakang," ucapku lirih. Ada rasa takut sebenarnya, takut diinterogasi sama Mas Dika."Oh, iya, nggak apa-apa."Tumben nggak nanya kenapa, Mas?"Maaf ya, Mas ... .""Maaf buat apa?""Maaf kalau, aku, melangkahi Mas Dika lagi," ujarku, lantas menunduk."Sudah, nggak usah dipikirin. Mas nggak apa-apa, malah seneng lihat kamu, bentar lagi ada yang jagain. Iya, kan?""Iya, Mas. Makasih, ya Mas.Setelah kejadian lamaran mendadak itu, hari berlalu dengan apa adanya. Tidak semua hari berjalan dengan baik. Tapi, pasti ada hal baik di setiap harinya. Seperti halnya hari ini. Melihat Sinta yang begitu antusias mendengarkan ceritaku, itu juga satu kebahagiaan tersendiri bagiku.Ia yang belakangan sering mencemaskan kondisiku, kini terlihat tersenyum lega. Senyum yang dengan cepat menjalar padaku. Ia yang banyak mengajarkan aku cara bersyukur, sebab ia tak seberuntung aku, yang memiliki keluarga lengkap."Selamat ya, Na. Aku ikut seneng dengernya," ucap Sinta sungguh-sungguh. Ia lantas memelukku. Lama. Aku bahkan dapat melihat kaca-kaca bening menghiasi bola matanya."Makasih, ya, Sin.""Sama-sama. Terus, si Bapak ini gimana, dong?""Bapak yang mana?""Yang itu." Ia mengisyaratkan ke sebuah ruangan di mana Pak Hanan berada."Ya, nggak gimana-gimana. Emang maunya gimana?"Tadinya, aku udah seneng dan
Aku menanggapi sekedarnya. Tepatnya, lebih banyak diam dan menyimak keramaian anak-anak di depan kami."Deal, ya?" ia bertanya, sedangkan aku tak mengerti tadi ia membahas apa."Iya," jawabku singkat. Perhatianku masih tertuju dengan anak kecil yang mulai lelah naik perosotan, hingga beberapa kali terjatuh saat menaiki tangganya."Kak, ada es krim putar, beli, yuk," ujarku, saat melihat penjual es krim putar bergerak mendekat ke arah kami duduk."Boleh."Gegas ia berdiri dan melambaikan tangan, memanggil penjual es krim putar supaya mendekat.Bibirku ikut tersenyum, melihat Kak Dirga menyelipkan lembaran warna biru tanpa meminta kembalian, pada penjual es krim tersebut. Hampir selalu seperti itu jika ia membeli sesuatu pada penjual keliling, yang akhirnya aku pun meniru. Ia kembali ke bangku tempatku duduk dengan membawa dua cone penuh es krim."Terima kasih, Kak.""Sama-sama, Sayang. Kamu seneng banget sama es krim, ya?" tanyanya, sambil tangann
Apa yang terbayang, saat mendengar kata 'ibu mertua'?Ialah wanita, yang melahirkan calon suami, yang kelak akan menjadi orang tuaku juga. Ialah yang menjadi cinta pertama bagi anak lelakinya. Setidaknya, demikianlah yang ada dalam bayanganku. Tak sedikit kisah kisruh menantu dan mertua yang menjadi momok menakutkan bagi seorang calon pengantin sepertiku. Perseteruan menantu dan mertua yang tak ada habisnya, kerap kali menyapa indera pendengaranku.Tak sedikit juga, beberapa teman mengisahkan kisah pahitnya setelah berumah tangga. Beberapa ada yang merasa tertipu, sebab ia tak lagi menjadi tulang rusuk bagi suami, tapi berbalik menjadi tulang punggung. Bahkan beberapa mengaku harus bertahan dalam kepahitan demi buah hati, agar memiliki sosok orang tua yang lengkap, tak peduli ia harus mengorbankan perasaan sendiri.Beberapa yang lain, memilih berpisah, lantas kembali menjalani hidup tanpa sosok seorang suami, demi menjaga kesehatan jiwa dan mental. Sedangkan bu
Melihat bunga yang tumbuh subur, membuat hatiku ikut mekar juga saat berada di tempat ini. Mau berlama-lama juga aku bakalan betah kala kondisinya begini."Iya, Kak. Pasti tangan yang terampil dan telaten yang telah merawat mereka, hingga tumbuh subur dan berbunga sangat cantik.""Calon mertua kamu itu, ngeliatin," bisiknya, sambil memberi kode ke arah pintu masuk.Kedua mataku membesar, sebab tak menyadari keberadaan beliau. Detik berikutnya, aku segera beranjak untuk memangkas jarak dengan orang tua Kak Dirga. Beliau terlihat tersenyum senang, serta kedua matanya berbinar."Assalamu'alaikum Bu, maaf, tadi saya khilaf," ujarku. Duh, bicara apa aku ini?"Wa'alaikumsalam, alhamdulillah, syukurlah kalau kamu suka berada di sini. Tidak apa-apa, ibu malah senang kalau kamu menikmati apa yang ada di rumah ini. Mau masuk, apa di sini dulu, Nak?" ucapnya penuh dengan keramahan.Sekilas aku melirik Kak Dirga
Setelah melewati proses panjang dan melelahkan, akhirnya hari itu tiba juga. Tenda pernikahan telah terpasang sejak kemarin sore. Demikian halnya dengan panggung pelaminan. Semua orang telah sibuk sejak beberapa hari yang lalu, menyiapkan segala tetek bengek yang dibutuhkan untuk hajatan pernikahan ini.Kerabat jauh berdatangan, untuk menyaksikan acara yang akan digelar. Tetangga kiri kanan tak ketinggalan ikut ambil bagian.Badanku telah diberi bermacam lulur sejak kemarin, berharap kulitku terlihat bersinar di hari besar ini. Hari yang menjadikan aku sebagai ratu sehari. Hari yang menggantikan statusku dari julukan perawan tua, menjadi seorang istri dari lelaki bernama Dirgantara.Ia, lelaki yang mencurahkan cinta padaku, juga keluargaku, selama beberapa waktu belakangan ini. Ia, yang memiliki banyak kesamaan dan kebetulan denganku dalam menjalani roda kehidupan. Ia, yang menjanjikan manisnya madu pernikahan. Ia, yang menjadi calon menantu kesa
"Kamu tau apa yang paling ingin kulihat sekarang, Na?" ucapannya kali ini, mau tak mau membuat aku mendongak untuk melihat dan mendengar apa yang akan ia sampaikan lagi."Apa itu, Kak?" tanyaku tak mengerti. Sungguh aku tak mengerti dengan pertanyaan yang ia lontarkan."Aku ingin melihat cinta di matamu, seperti dulu. Kemana ia sekarang, kenapa aku tak menemukannya? Lihat aku, Na. Katakan, apa kamu mencintai aku?" ujarnya dengan memegang kedua bahuku.Aku bergeming, untuk sesaat kedua mata kami bertemu, lantas aku membuang wajah, tak berani menatap ke dalam mata itu. Di mana hatiku, yang tega menyakiti orang-orang yang selama ini peduli padaku? Salahkah aku, jika hati ini tak ada di sini saat ini? "Pertanyaan apa ini? Bukankah, kita akan menikah beberapa saat lagi? Bukankah, kedua keluarga kita sudah seperti keluarga sendiri? Kenapa masih bertanya tentang cinta?"Aku meracau sendiri, tak mengerti apa yang terjadi. Benar memang, aku
Hiruk pikuk hajatan, masih terdengar dari luar kamar. Demikian halnya dengan diri ini. Hiruk pikuk praduga dan prasangka, muncul begitu saja tanpa bisa dicegah."Ini jadi nikah nggak, sih? Udah lewat jam sembilan, kok nggak mulai-mulai?" "Ya gimana mau mulai, pengantinnya saja pergi, kok?""Bener, deh ini, bener, nggak jadi nikah si Husna, ketutup dia sama bayang-bayang hitam.""Bayang hitam apa, to, Yu?""Owalah, sampeyan nggak tau apa, kalau si Husna ini pernah kena guna-guna, terus kalau malam teriak-teriak ganggu tetangga yang lagi tidur nyenyak. Lha sekarang, terbukti, udah hari H, ditinggal pergi sama calon suami. Apa itu namanya?"Suara-suara dari mereka yang membantu terlaksananya acara hajatan ini, ramai terdengar dari dalam kamar. Sedikit banyak mengganggu pikiran. Sedikit banyak membuat aku bertanya -tanya. Benarkah apa yang mereka katakan tadi, bahwa ini pengaruh guna-guna? Ah, tidak, ini tidak benar, ini murni diseb
"Dek Husna!"Panggilan khas Mas Dika, menyadarkan aku, bahwa aku masih ada di sini, masih ada Mas Dika. Aku tak sendiri. Aku harus bangkit lagi. Bangun Husna, tak ada gunanya meratapi nasib seperti ini.Mas Dika telah berada di depanku, lantas ikut meluruhkan badannya di lantai."Mas, Husna ... .""Ssttt ... . Sudah, jangan nangis lagi. Ayo, ikut Mas Dika," ajaknya, memegang kedua bahuku, meminta aku supaya berdiri, kemudian mendudukkan aku di tepi dipan. Aku menurut.Ia mengambil selembar tisu di atas meja, ia gunakan untuk menyusut bulir-bulir bening yang menganak sungai di kedua pipiku."Sudah, Dek. Berhenti nangisnya, ya. Sekarang, tarik napas ... buang."Kuikuti titahnya, hingga ia meminta aku mengulang beberapa kali."Oke, gimana, sudah lebih tenang?"Aku mengangguk."Terima kasih, Mas, sekarang jauh lebih baik," ujarku. "Bagus. Sekarang, ikut Mas ke depan, Pak penghulu sudah me
Aku dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar, serta memiliki peralatan yang lengkap. Di sana aku mendapat perawatan yang lebih baik."Aku akan cacat, Dam!" raungku, lalu suaraku menggema di ruang pemeriksaan."Kamu pergilah, aku sudah tak pantas lagi untukmu. Sudahlah nggak kunjung hamil, sekarang harapan mata kiriku … ."Ia telah melintangkan telunjuknya di bibirku."Sudah, jangan diteruskan. Aku tak akan ke mana-mana, Mei. Kamu istriku, apa pun kondisimu, aku akan tetap di sisimu. Tetap semangat, ya, nanti aku usahakan cari pengobatan yang terbaik. Kalau perlu kita cari donor mata buat kamu."Tergugu aku dalam dekapannya. Aku hampir putus asa, sebab harapan untuk pulih hanya sedikit. Hal ini tentu berpengaruh besar pada penampilanku nanti.Aku terus bertanya-tanya, kenapa harus menerima ini? Aku menolak takdir, bahwa mata kiriku tak bisa pulih seperti sedia kala.Sementara itu, Husna dan Hanan justru memberikan dukungan
Masih jam sepuluh pagi, saat kuselesaikan laporan penjualan bulan ini.Seorang office boy memasuki ruanganku dengan membawa kotak nasi. "Dari siapa," tanyaku saat kotak tersebut diletakkan di meja sesuai titahku."Dari Pak Hanan, Bu," jawabnya, lalu pamit ke luar.Dahiku mengernyit, lalu menghirup aroma ayam bakar yang menguar.Kedua mataku membola saat membaca nama yang tertera pada selembar kertas yang menyertai nasi kotak tersebut.Yang berbahagia, Rashida Husna dan Hanan Wijaya.Tanganku meremas kertas tersebut hingga tak berbentuk. Terbayang senyuman Husna atas kelahiran buah hati yang mereka nantikan. Sekali lagi aku kalah olehnya. .Hanan semakin mempesona di mataku, terlebih ia telah memiliki seorang bayi yang lucu. Meski cemburu pada Husna, aku tetap menyapa anak itu setiap kali bertemu.Bagaimana aku bisa melewatkannya, anak itu sungguh menggemaskan. Lehernya hampir tak te
Hanan kian sering memuji desainnya, serta hasil jadi berupa perhiasan siap pakai yang memang laku keras di pasaran.Kulihat matanya selalu berbinar setiap menyebut nama itu. Karir Husna pun kian bersinar. Hatiku dibakar cemburu. Hanan tak pernah seperti ini sebelumnya. Namun, jauh di lubuk hati, aku tak mengingkari peran Husna di sini. Siapa sangka, perempuan biasa itu memiliki kecerdasan luar biasa, hingga dapat membaca selera pasar dalam waktu singkat. Tak jarang kudapati ia mengenakan beberapa hasil desainnya meski hanya sebentar. Memang dasar mis kin. Kalau pengen kan tinggal beli, ngapain dipakai lalu dilepas lagi.Kesejahteraan karyawan kian ditambah. Setelah kenaikan gaji, kini ganti uang makan yang dinaikkan, bahkan nasi bungkus serta nasi kotak pun sering datang lebih awal, hingga para karyawan tak perlu jauh ke luar saat istirahat.Itu semua imbas dari omset penjualan yang melejit berkat desain Husna, sebab peranku d
POV MeisyaAku telah sangat percaya diri, bahwa mudah bagiku menaklukan seorang Hanan. Desakan sebab usia menjadi salah satu sebabnya.Akulah perempuan di ambang usia tiga puluh. Usia yang menjadi momok bagi perempuan untuk segera mengakhiri masa lajang.Demikian halnya dengan aku. Orang tuaku telah semakin gelisah memikirkan jodoh untukku. Sementara aku tak ambil pusing, kecuali saat satu kata dilontarkan, yakni perjodohan.Aku mulai mencari seseorang yang tepat, setidaknya, sebelum usiaku genap tiga puluh, aku telah memiliki calon ke jenjang pernikahan. Karirku bagus, penjualan tak pernah turun sejak kupegang. Wajahku pun terhitung menarik, tubuhku juga ramping. Tak ada yang kurang di hidupku, kecuali satu, pasangan hidup. Bukan karena aku tak laku, hanya saja aku pemilih. Beberapa kali aku menjalin hubungan, sebanyak itu pula harus kuakhiri sebab aku merasa lebih tinggi.Berbeda dengan Hanan. Ia tak seperti lelaki k
Ia menepati ucapannya untuk membawa kami jalan-jalan, tepat setelah bukan kembar pulang sekolah.Ia membayar waktunya dengan membawa aku ke salon untuk perawatan seluruh badan. Sementara itu, anak-anak ia bawa ke arena bermain, tak jauh dari salon ini berada. Aku segera menyusul begitu selesai dan kembali merasa rileks."Masya Allah, cantiknya istriku," sambutnya, begitu aku telah sampai. Aku tersipu, lantas mengucapkan terima kasih. Si bungsu segera kuambil alih, untuk kuberi ASI. Kedua kakaknya melanjutkan bermain.Setelah menghabiskan waktu seharian, kami dibawa ke rumah orang tuaku. Rumah ibu kian riuh dengan suara anak-anakku, juga anak-anak Mas Dika.Wahyu dan Fajar terlihat antusias saat Mas Dika mengajari gerakan membela diri. Ya, meski mereka telah dimasukkan ke kegiatan yang sama di dekat tempat kami tinggal, tetap saja mereka terkesan dengan gerakan baru dari Mas Dika."Na, mumpung kamu di sini, ibu mau kasih kabar," ujar Ibu, saat aku s
Tangan kecil itu membingkai wajahku, lalu menghujani wajah dengan kecupan tanpa henti."Aku sayang Ibu. I love you, Ibu," cetusnya lagi.Mata kukerjapkan beberapa kali, saat kurasai telapak tangan yang menempel di pundak."Mbak Husna, bangun, Mbak."Suara Bu Ratna mengiringi gerakan tangannya yang terhenti.Terlihat di depanku, Fajar yang sedang terlelap. Sebuah buku yang terbuka di atas selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, menandakan aktifitas sebelum ia benar-benar memejamkan mata.Jika ia sedang terlelap sedamai ini, lalu ulah siapa beberapa saat tadi?"Mbak, pindah ke kamar, ya. Tidur sambil duduk begini, Mbak Husna bisa capek, nanti," ujar Bu Ratna lagi.Kuamati diri sendiri. Duduk bertumpu di lantai, dengan tangan bersandar pada sisi ranjang di samping Fajar. Kurasai kalau lututku mulai terasa sulit digerakkan.Di seberang tempatku duduk, Wahyu pun terlihat tak jauh berbeda dengan sang kakak.
"Ibu, gendong."Semakin dekat dengan hari persalinan, semakin bertambah juga kemanjaan kedua anakku.Bergantian mereka berdua mengulurkan kedua tangan meminta aku menggendongnya.Aku pun tak bisa menolak, selain menuruti keinginan mereka. Kapan lagi bisa kugendong, sedangkan mereka sudah tumbuh semakin besar."Gendong sama ayah, ya, Nak, kasihan dong, adik kegencet, kamu kan sudah besar sekarang," tawar sang ayah, jika kebetulan melihat dan mendengar permintaan sang anak."Nggak mau, mau sama ibu aja," jawabnya selalu. "Nggak papa, Yah," jawabku, mencoba menenangkan. Mereka baru mau lepas setelah lama dibujuk.Pagi selepas Subuh, persis seperti saat kelahiran Fajar, bayi itu lahir dengan persalinan normal.Ia bergegas mengadzankan anak itu, dengan suara parau. Lantas kecupan penuh cinta ia labuhkan di kening bayi suci tersebut, sebelum akhirnya diletakkan di dadaku, untuk menikmati ASI pertama."Alhamd
Berkunjung ke rumah Mama, artinya membuka kenangan lama. Tiba-tiba saja aku rindu, melihat kelebat kenangan yang hadir tanpa permisi.Foto pernikahanku terdahulu, bahkan masih terpajang di ruang keluarga rumah ini."Tante kecil," ujar Wahyu. Tangannya telah mulai beraksi, hendak menyentuh pipi dan hidung bayi mungil itu.Melihat bayi Mama yang tengah terlelap, justru menghadirkan kenangan saat Fajar baru hadir di kehidupan kami.Ia telah melakukan banyak sekali hal baik selama hidup bersamaku, tapi, kenapa kenangan buruk itu yang justru muncul di sini?Kutepis pikiran yang hadir, dengan ikut membaur pada kedua anakku yang sibuk dengan Tante barunya. "Iya, Sayang. Hati-hati pegangnya, ya. Coba tanya Oma, siapa nama Tante yang cantik ini?" "Oma, siapa nama Tante kecil ini?" tanyanya patuh."Tante Hapsari, Sayang," jawab Mama, lalu dielus-elusnya kepala Wahyu.Nama yang cantik, untuk bayi dengan wajah bu
"Heh? Serius ngidam pizzanya Bu Lisa?" tanyaku tak percaya.Bukannya apa, selama ini ia paling anti makanan dari olahan tepung. Banyak sekali alasannya, yang susah dicerna lah, yang bikin perut begah lah, dan masih banyak lagi.Sampai kucoret daftar rerotian dari daftar belanja kalau kami sedang ke luar. Semua itu menjadi pengecualian kalau si kembar minta, baru ada menu roti, itu pun tak boleh banyak."Iya, dua rius, Kak. Ada cabangnya yang deket sini apa nggak, ya?"Melihat raut serius di wajahnya, membuat aku mengambil ponsel, lantas menghubungi nomer Bu Lisa."Waduh, maaf belum sampai sana Mas Dirga," jawab Mbak Lisa dari seberang telepon. Kulihat wajah ratuku, ia terlihat tak sabar menunggu jawaban."Ya udah, makasih ya, Mbak. Nggak papa, ada yang ngidam ini."Dan akhirnya sambungan telepon itu pun terputus, sebab ada suara yang memanggil Mbak Lisa."Gimana, Kak?"Tuh, kan, nggak sabar dia. Ba