Citra pun tak memperdulikan Bu Miranti dan juga Raya. Ia mengangkat bahunya pertanda ia masa bodoh dengan semua itu sembari menyunggingkan senyuman sinisnya. Bu Miranti mengambil kembali belanjaan yang ia letakkan di atas meja. Lalu membawanya ke dapur dan bergegas untuk masak. Dengan cepat Bu Miranti menyelesaikan memasaknya. Ia menaruh makanan yang sudah jadi ke maja makan dan tidak lupa menutupnya dengan tudung saji. "Ibu sudah masak?" tanya Aldo mendaratkan bokongnya di kursi makan yang berada di dapur. "Sudah, nih baru mateng." Bu Miranti menaruh piring yang berisi telur dan terong balado. Aldo dan Raya mengerutkan dahinya melihat masakan sang Ibu. "Kok Ibu cuma masak telur sama terong sih?" protes Raya kepada sang Ibu. "Iya, Bu, kok Ibu cuma masak ini saja?" Aldo pun ikut memprotes sang Ibu. "Iya, kita harus ngirit, gaji kamu kan cuma sedikit." Bu Miranti mengambil nasi dan juga lauknya ke dalam piring. "Kalo sama Citra paling nggak menunya itu ayam atau nggak ya ikan.
"Emang gue pikirin, hus hus sana pergi. Ganggu orang makan saja!" Citra mengusir Raya yang sedari tadi mengamatinya yang sedang makan. DrrrtDrrtAldo merogoh sakunya saat terasa hpnya yang bergetar dari dalam celananya. "Ya, Sayang? Tumben telpon? Biasanya kan aku yang telpon.""Emm Mas, kamu lagi ngapain?" tanya Kinanti dengan nada lembut dan sedikit manja. "Aku lagi kesel nih sama Citra. Masa dia makan makan sendiri, beli ayam bakar sama sate dimakan sendiri. Aku kasian sama Ibu yang ngeliatnya.""Ya ampun, Mas, ya sudah aku transfer ya buat beli makan. Kasian Ibu dong belum makan.""Iya, nih Ibu agak lesu karena kepingin liat Citra makan Ayam bakar tadi.""Ya sudah aku matikan telponnya ya Mas. Habis ini aku transfer terus kamu beliin apa yang Ibu mau ya.""Oke, Sayang, terima kasih ya kamu sudah baik sama Ibu.""Iya Mas nggak masalah."TutKinanti mematikan teleponnya. Lima detik kemudian Kinanti mengirim pesan ke Aldo yang berisi ia telah mentransfer ke rekening Aldo. [Mas,
Kinanti mendesah, ia khawatir ayahnya tak memberi izin untuk menikah secara siri. semakin lama kandungannya pasti akan semakin membesar. Tidak mungkin ia membiarkan anaknya tumbuh tanpa ayah. Sedangkan untuk menikah resmi Citra masih kekeh untuk meminta uang yang tidak sedikit. "Gimana ini? Kalau Papa gak kasih izin makin la makin besar perutku ini." Kinan mendesah, kepalanya mendadak terasa sakit. Ia resah dan takut kalau-kalau sang ayah tidak juga memberikannhya restu perihal rencana pernikahannya dengan sang kekasih yang masih berstatus sebagai suami orang itu. “Duh, gimana ini, Papa juga kenapa sih gak restuin aku aja? memang apa susahnya sih tinggal nikahin aku sma Mas Aldo aja. Timbang tinggal ijab kabul aja pake segala nunggu resmi segala. Kalau sekarang sudah hamil begini kan dia juga yang repot dan malu kan?” gumam Kinanti membenarkan pendapatnya sendiri saja. Sementara itu, Pak Guntur tengah memikirkan terus apa yang diakui Kinanti tadi padanya. Meskipun ia tampak diam dan
“Ya, saya percaya itu.”"Jadi kapan kamu akan melamar anak saya?" imbuh Pak Guntur. "Saya bicarakan dulu ya, Pa, sama Ibu. Nanti biar saya kabarin Kinantinya.""Baiklah kalau gitu, kamu bisa lanjutin kerjaan kamu.""Baik, Pa, permisi. Saya kembali ke ruangan dulu." Aldo pamit membungkukkan badan. Aldo begitu senang mendengar permintaan Pak Guntur yang meminta secepatnya untuk melamar Kinanti. Pada akhirnya dia bisa menikahi Kinanti tanpa harus mengeluarkan uang banyak untuk Citra. Hah, bikin kesal saja! Sesampainya Aldo di meja kerjanya. Aldo pun segera menghubungi sang kekasih. Memberitahu kabar gembira ini kepada Kinanti. Aldo merogoh ponsel di saku celananya. TuutTuut"Halo, Sayang?""Iya halo, Mas? Tumben jam segini telpon? Mas nggak kerja?""Kerja dong Sayang, aku mau ngasih tau kamu kabar gembira. Coba tebak.""Apa sih Mas, kasih tau aja kenapa. Jangan bikin orang penasaran.""Mau tau aja apa mau tau banget?""Ish, Mas nih malah bercanda. Buruan ah kasih tau." Kinanti mence
DdrrtttDdrrrtt"Halo, Sayang?""Halo, Mas. Aku ada kabar gembira buat kamu.""Oh ya? Apa itu?" "Papa setuju kalau acara lamarannya dibarengin sekalian sama akad nikah kita." "Wah serius kamu, Sayang?""Dua rius, Mas.""Oke kalau begitu dua hari lagi kita laksanakan semuanya. Gimana?""Iya, Mas, lebih cepat lebih baik. Aku udah gak sabar pengen satu rumah sama kamu tau.""Aku juga udah gak sabar, Sayang. Ya Udah aku tutup dulu ya, mau kasih tau Ibu sama Raya soal kabar bahagia ini. Oh iya soal mahar dan lain-lainnya gimana?""Soal itu kamu gak perlu khawatir. Aku akan transfer uang ke kamu sepuluh juta buat beli mahar untuk aku. Dan untuk acaranya di sini nanti itu jadi urusan aku jadi kamu terima beli maharnya aja biar Papa juga tau kalau itu dari kamu dan kamu serius sama aku.""Terima kasih ya, Sayang. Kamu memang sangat pengertian sama aku.""Sama-sama, Mas. Ini aku lakukan karena aku begitu mencintaimu."***Hari yang dinanti pun tiba. Aldo dan Kinanti akan mengadakan akad nika
Citra menyeringai, terlihat mengerikan saat menatap dirinya di cermin. Tidak ada lagi air mata yang membasahi kedua pipinya. Hatinya sudah begitu mati rasa untuk sang suami semenjak ia tahu penghianatannya dengan Kinanti. Ia berjanji akan membuat perhitungan dengan Aldo. Ia akan membongkar kedok Aldo yang telah mempunyai istri. "Bersiap-siaplah Mas dengan kehancuranmu nanti. Akan kupastikan kalian akan menyesalinya. "***"Akhirnya kita sah juga ya, Mas. Setelah drama istri pertama kamu yang minta uang dua milyar itu. Kita resmi juga jadi suami istri meskipun secara siri. Lagian gila aja dia minta uang segitu banyak dikira aku bodoh apa." Kinanti tidur di lengan Aldo. Sedangkan Bu Miranti dan juga Raya ikut menginap di rumah Pak Guntur. "Iya, Sayang, akhirnya kita sudah sah jadi suami istri, aku bahagia banget. Soal Citra kamu gak usah pikirkan itu. Nyatanya kita sudah sah suami istri dan dia gak bisa apa-apa kan?" ucap Aldo mencium kening Kinanti. "Terus nanti kita tinggalnya gim
Betapa bahagianya Aldo saat itu. Sudah dikasih uang seratus juta. Ditambah pula dengan hadiah mobil dari Pak Guntur. Ia merasa beruntung dengan menikahi Kinanti. Tiba lah ia dan yang lainnya di rumah Aldo, Citra yang sudah mengetahui pernikahan siri Aldo dan Kinanti merasa biasa saja. Akan tetapi, di dalam hati Citra ia menyimpan dendam yang luar biasa. "Hemm gimana malam pertamanya hasil merebut suami orang? Nikmat apa lezat?"Kinanti tak menjawab pertanyaan Citra. "Jelas saja enak, kan pengantin baru. Iya kan? Iya dong? Masa enggak?" imbuh Citra. Ia terkesan meledek pasangan yang baru sah itu. "Tapi, kamu tau darimana? Perasaan Mas belum ada cerita sama kamu deh.""Darimana-mana hatiku senang.""Citra! Aku lagi gak bercanda ya.""Kamu pikir aku bercanda gitu? Dih gak lah yau.""Katakan darimana kamu tau? Kamu pubya mata-mata?""Gak ada, Mas. Adanya mata kaki sama mata ikan alias kutil tuh di telapak kakiku. Mau liat?" Aldo mengepalkan erat tangannya. Dia merasa emosi dengan jawa
Di sebuah kafe, Laras dan Citra tengah menikmati pertemuan antara dua sahabat itu. Citra yang meminta untuk bertemu dengan Laras. Karena ada suatu hal yang ingin Citra tanyakan. "Ras, kenapa kamu bisa dapat foto acara pernikahan itu?" Tiba-tiba Citra menanyakan hal itu. Ia penasaran dari mana sahabat nya itu bisa mempunyai foto pernikahan suaminya dan Kinanti. "Kamu nggak tau ya, Cit, Kinanti itu juga temen adik aku Cit. Dia temen adikku jaman kuliah dulu. Pas Kinanti ngundang adekku, aku diajak gitu. Yaudah aku iyain. Dia juga nggak bilang mau ke nikahannya siapa. Pas waktu acara itu ya aku kaget dong kalau ternyata itu nikahannya Aldo sama si valak itu. Gila! Nggak nyangka aja temen adekku seorang valak begitu. Aku jadi marag lah takut adekku ketularan jadi valaknya.""Jadi, adek kamu tau dong seluk beluknya si Guntur?" Citra menatap wajah Laras dengan serius. "Guntur? Maksidnya Ayahnya si valak?" tebak Laras. "Iya, kamu tepat sekali. Adek kamu pasti tau dengan baik dong seluk b
"Ah! Apa itu mas Alex??" gumamnya yang langsung bangkit dari duduknya, "Gawat! Aku harus cepat sembunyi!"Seketika saja wanita itu mengerjap, debaran jantungnya tak karuan mendengar derap langkah yang mendekati rumah tersebut. Kinanti merapatkan kedua tangannya lalu memegangi dadanya yang semakin terasa tak karuan.Bagaimana tidak? Hari-hari yang dijalani mereka awalnya sangat bahagia, Kinanti sangat bersyukur karena mendapatkan suami yang sangat pengertian dan selalu memanjakannya, fisik maupun batin.Akan tetapi, setelah menjalani kehidupan rumah tangga bersama Alex semua mulanya berjalan dengan baik dan bahkan bahagia, Kinanti selalu mendapat perlakuan manis dari Alex yang sangat menyayanginya, begitupun sebaliknya. Akan tetapi hal itu rupanya tidak berjalan lama karena ternyata Kinanti salah menilai Alex sebagai suami barunya, kehidupan rumah tangganyapun tak berjalan seperti apa yang diharapkan olehnya selama ini.Tak dapat terbayangkan pula jika nasib Kinanti akan hancur seperti
Nugroho pun mengerjapkan kedua bola matanya dengan cepat. Dia mencoba mencerna kata-kata yang diucapkan oleh lawan bicaranya di depan matanya tersebut.Tanpa disadarinya pandangannya pun menyapu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki Abey. "Menantu? Hmm ... boleh juga rupanya," batin Nugroho.Namun, sekejap kemudian Nugroho kembali tersadar bahwa apa yang dilakukannya itu terlalu gegabah. "Astaga, baru juga ketemu. Mikir apa sih aku ini?" batinnya membantah penilaiannya barusan, karena bagaimanapun juga dia ingin yang terbaik untuk Citra tapi tidak ingin memaksakan kehendaknya.Merespon sapaan dari Abey tersebut Nugroho pun jadi tertawa terbahak-bahak dan bersedekap. "Boleh juga keberanianmu, ya!" ucap pengusaha sukses tersebut sambil menepuk-nepuk bahu pemuda yang ada di hadapannya.Wajah Abey yang sudah mereda pun jadi memerah lagi. Sejenak dia juga merututi dirinya sendiri mengapa bisa sampai seberani itu.Namun, kemudian yang ia dengar adalah sahutan dari sang Ibu dan juga sahabat
Bahkan Abey tidak seolah terbungkam dan tak mampu berkata-kata lagi saat menanggapi tekanan dari perempuan yang diharapkannya menjadi calon mertua tersebut. Ingin rasanya dia berteriak menyuarakan batinnya, "Tante, kita bukan udah kenal lagi, tapi saling suka! Iya benar, Citra juga bilang suka aku!"Namun, alih-alih bisa bersuara, Abey pun mengatupkan rahangnya kuat-kuat, tatkala melihat sosok yang dari tadi bersemayam di kepalanya itu muncul tertangkap ekor matanya.Sedetik kemudian, terdengar juga suara Citra yang berseru, "Mama!""Eh? Sebentar ya, Sar," ucap Arumi pada temannya untuk menanggapi panggilan sang anak terlebih dahulu, "Apa, Sayang?"Kali ini giliran Citra yang syok sampai rahangnya menganga terbuka. Kedua bola matanya saling tatap dengan seorang pria tampan yang berdiri terpaku di tengah taman rumahnya.Citra mengibaskan kepalanya, berusaha menghalau gambaran di depan mata kepalanya yang dikiranya sebagai halusinasi itu."Lho, kok malah bengong? Kenapa lagi sih, Sayang
Abey masih tak bergeming sama sekali. Pikirannya sungguh sangat tak menentu saat ini. Tidak, tetapi rasanya otaknya sudah eror!Bagaimana bisa alamat yang dikirimkan oleh mamanya itu adalah alamat yang sama dengan rumah Citra, wanita yang sangat ia cintai?!Bahkan titik di mana mamanya berada benar-benar tepat di titik di mana rumah Citra itu.Saat ini Abey masih berada di depan rumah Citra. Sedari tadi, saat wanitanya itu turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah, Abey masih tak bergerak atau menjalankan mobilnya sama sekali.Selagi menunggu balasan dari mamanya agar mengirim lokasi di mana rumah teman mamanya berada, Abey tak beranjak dari tempatnya sedikitpun.Tetapi apa daya jika yang ia dapatkan sangat mengejutkan seperti ini?!"Ini ... tak mungkin 'kan teman mama itu ...," ucap Abey yang menggantung, kembali menoleh dan megamati rumah mewah milik keluarga Citra dengan seksama."Atau jangan-jangan teman Mama itu adalah ibunya Citra?" gumamnya lirih menyambung ucapannya yang mengg
Seketika Citra membeku di tempat hanya karena mendengar pertanyaan dari Abey perihal isi hatinya. Perasaan kikuk kembali menghantui. Sejenak wanita itu menimbang, mau tetap menyembunyikan perasaan dan membuat Abey menunggu atau terus terang saat ini juga.Namun, bersamaan dengan itu Citra sadari rupanya dia sudah berada di dekat area rumah, tanda jika dirinya harus kembali menerangkan arah jalan."Itu, setelah patung di depan itu kamu belok kanan," ucap Citra menerangkan. Dia tak mau membuat dirinya dan Abey berakhir kebablasan sehingga harus mencari rute untuk berputar. Jalanan masih cukup ramai, akan sedikit sulit mengambil jalan putar. Apalagi perlu beberapa meter lagi baru mereka akan menemukan tempat untuk berbelok."Ah, jadi daerah sini? Kalau daerah sini aku pernah datang. Aku ingat dulu pernah diajak temanku ke sini. Kebetulan rumah temanku ada di perumahan itu, yang itu." Dengan cepat Abey menunjuk sebuah komplek perumahan tak jauh dari lokasi mereka. Komplek itu cukup besar
Sepanjang perjalanan Citra hanya bisa menyalahkan dirinya dan pikirannya yang tumpul. Terlalu penakut hanya karena kegagalan cinta di masa lalu.Sadar akan dirinya yang masih ditunggui oleh Abey, Citra pun berusaha keras mengusir segala rutukan yang hanya memenuhi isi kepala itu."Sudahlah," desis Citra pelan sembari mulai menata meja kerjanya. Beberapa saat kemudian wanita itu kembali berjalan keluar dari ruangan untuk kemudian menghampiri Abey yang sejak tadi masih berada di parkiran.Sementara itu, di tempatnya Abey menunggu dengan resah. Hawa panas dan dingin seolah menyerang jiwanya secara bersamaan."Sial. Kenapa aku harus bertindak gegabah, sih? Kenapa aku harus terburu-buru seperti ini? Citra pasti kecewa sekali. Mana mungkin dia mau menerimaku kalau begini caranya! Mengungkapkan perasaan di lahan parkir? Sungguh? Oh my God! Good job, Abey. Kamu telah menghancurkan semua," sinis Abey pada dirinya sendiri. Pria itu seperti kehilangan harapan sekarang."Ah, tidak apa-apa lah. To
Citra yang merasa penasaran dengan ajakan Abey pun tanpa pikir panjang mengikuti langkah pria itu. Entah mengapa hari ini Citra mendadak berubah menjadi wanita penurut karena hati yang selalu terasa enggan menolak setiap ajakan yang Abey layangkan. Namun, jujur saja hal itu sama sekali tak membuat Citra resah. Justru berada di samping Abey selalu membuat Citra nyaman dan betah.Sekilas Citra mencuri tatap ke arah Abey yang masih setia berjalan di sisinya. Melihat pria itu dari dekat benar-benar mampu mendebarkan dada Citra. Juga pipi wanita itu yang perlahan menampakkan ronanya.Abey menghentikan langkah saat tubuhnya sudah benar-benar tiba pada lokasi tujuan. Begitu pula dengan Citra yang sejak tadi mengikuti laju kaki Abey.Sejenak Abey berdehem pelan, berusaha keras menetralisir rasa gugup yang melingkupi jiwa. Setelahnya Abey memberanikan diri memutar tubuh menghadap Citra yang sebenarnya sejak tadi sudah menunggu kalimat apa yang hendak pria di sampingnya itu katakan."Emm, Citra
"Apa maksud, Mama?!" pekik Raya.Saat ini Raya sudah mengerutkan dahinya dengan kasar. Tentu saja ia berharap apa yang dikatakan mamanya tadi adalah mimpi dan dia hanya salah dengar saja.Berjualan makanan? Raya tidak gila untuk melakukan semua itu! God, demi apapun, Raya tak mau!"Apa kamu masih tidak paham dengan apa yang mama maksud, huh?" desis tajam Miranti yang menatap Raya dengan bengis. "Tentu saja kita harus hidup, Raya! Kita harus makan dan punya uang. Memangnya kamu pikir kita memiliki uang untuk makan jika kita tidak mencarinya?!"Dengan marah dan masih mencoba untuk mengeluarkan semua bahan-bahan makanan yang tersisa, Miranti kembali mengomeli putrinya itu."Dan kamu!" Miranti menunjuk Raya dengan tajam, ia marah saat ini. "Bagaimana bisa kamu kehilangan uang itu, tabunganmu!"Plaaakk ...!!!"Aaakhh ...! Mama! Kenapa mama memukul Raya?!" Lengan Raya dipukul cukup keras dengan Miranti yang kini sudah memelototinya."Tentu saja ini juga salahmu!"Raya mengerutkan dahinya. "
"Ugh ...."Miranti mulai merasakan pening di kepalanya. Bahkan rasanya saat ini bagian kepalanya sudah sangat besar, hampir pecah.Melenguh kesakitan dan sedikit mengerutkan dahi, Miranti mulai sadar. Membuka matanya dan cahaya remang-remang mulai masuk ke dalam pandangannya.'Sepertinya aku baru saja pingsan,' gumam Miranti sembari merintih, memegangi rambut kepalanya dengan erat. Sial, peningnya masih saja menjadi!"Mama ... Mama sudah bangun?"Seketika Miranti langsung menoleh ke arah sumber suara yang masuk ke dalam pendengarannya itu. Itu adalah Raya, putri semata wayangnya. Putrinya itu sedang mengipasi dirinya dengan raut wajah yang cukup khawatir."Ughh ...," lenguh Miranti kembali sembari mencoba untuk bangun.Dibantu dengan Raya, ia mulai mendudukkan diri di ranjang tempat kamar tidur pribadinya. "Hati-hati, Ma, sepertinya kepala Mama masih berat," ucap Raya seraya membantu ibunya itu.Itu benar. Kepalanya masih sangat pusing."Kamu sudah kembali?" tanya Miranti sedikit deng