Citra menyeringai, terlihat mengerikan saat menatap dirinya di cermin. Tidak ada lagi air mata yang membasahi kedua pipinya. Hatinya sudah begitu mati rasa untuk sang suami semenjak ia tahu penghianatannya dengan Kinanti. Ia berjanji akan membuat perhitungan dengan Aldo. Ia akan membongkar kedok Aldo yang telah mempunyai istri. "Bersiap-siaplah Mas dengan kehancuranmu nanti. Akan kupastikan kalian akan menyesalinya. "***"Akhirnya kita sah juga ya, Mas. Setelah drama istri pertama kamu yang minta uang dua milyar itu. Kita resmi juga jadi suami istri meskipun secara siri. Lagian gila aja dia minta uang segitu banyak dikira aku bodoh apa." Kinanti tidur di lengan Aldo. Sedangkan Bu Miranti dan juga Raya ikut menginap di rumah Pak Guntur. "Iya, Sayang, akhirnya kita sudah sah jadi suami istri, aku bahagia banget. Soal Citra kamu gak usah pikirkan itu. Nyatanya kita sudah sah suami istri dan dia gak bisa apa-apa kan?" ucap Aldo mencium kening Kinanti. "Terus nanti kita tinggalnya gim
Betapa bahagianya Aldo saat itu. Sudah dikasih uang seratus juta. Ditambah pula dengan hadiah mobil dari Pak Guntur. Ia merasa beruntung dengan menikahi Kinanti. Tiba lah ia dan yang lainnya di rumah Aldo, Citra yang sudah mengetahui pernikahan siri Aldo dan Kinanti merasa biasa saja. Akan tetapi, di dalam hati Citra ia menyimpan dendam yang luar biasa. "Hemm gimana malam pertamanya hasil merebut suami orang? Nikmat apa lezat?"Kinanti tak menjawab pertanyaan Citra. "Jelas saja enak, kan pengantin baru. Iya kan? Iya dong? Masa enggak?" imbuh Citra. Ia terkesan meledek pasangan yang baru sah itu. "Tapi, kamu tau darimana? Perasaan Mas belum ada cerita sama kamu deh.""Darimana-mana hatiku senang.""Citra! Aku lagi gak bercanda ya.""Kamu pikir aku bercanda gitu? Dih gak lah yau.""Katakan darimana kamu tau? Kamu pubya mata-mata?""Gak ada, Mas. Adanya mata kaki sama mata ikan alias kutil tuh di telapak kakiku. Mau liat?" Aldo mengepalkan erat tangannya. Dia merasa emosi dengan jawa
Di sebuah kafe, Laras dan Citra tengah menikmati pertemuan antara dua sahabat itu. Citra yang meminta untuk bertemu dengan Laras. Karena ada suatu hal yang ingin Citra tanyakan. "Ras, kenapa kamu bisa dapat foto acara pernikahan itu?" Tiba-tiba Citra menanyakan hal itu. Ia penasaran dari mana sahabat nya itu bisa mempunyai foto pernikahan suaminya dan Kinanti. "Kamu nggak tau ya, Cit, Kinanti itu juga temen adik aku Cit. Dia temen adikku jaman kuliah dulu. Pas Kinanti ngundang adekku, aku diajak gitu. Yaudah aku iyain. Dia juga nggak bilang mau ke nikahannya siapa. Pas waktu acara itu ya aku kaget dong kalau ternyata itu nikahannya Aldo sama si valak itu. Gila! Nggak nyangka aja temen adekku seorang valak begitu. Aku jadi marag lah takut adekku ketularan jadi valaknya.""Jadi, adek kamu tau dong seluk beluknya si Guntur?" Citra menatap wajah Laras dengan serius. "Guntur? Maksidnya Ayahnya si valak?" tebak Laras. "Iya, kamu tepat sekali. Adek kamu pasti tau dengan baik dong seluk b
KUJUAL SUAMIKU SEHARGA 1 MILYAR"Gila kamu, Cit! Benar-benar perempuan gila! Kamu pikir uang dua milyar itu sedikit?""Justru karena aku tau kalau dua milyar itu banyak, Mas, makanya aku minta sama kamu dan juga Kinanti. Ayolah, Mas, aku tau Kinanti itu bukan orang susah. Pasti dia dan papa nya sanggup lah buat ngasih dua milyar itu secara cuma-cuma."Aldo menggeleng, ia tak menyangka dengan Citra bisa berubah matre seperti itu. Yang Aldo kenal, Citra itu perempuan lembut, dan tidak matre. Entah apa yang membuat Citra tiba-tiba berubah jadi seperti itu. "Ayo Mas, aku tak mempunyai banyak waktu. Berikan aku uang dua milyar itu atau .…""Atau apa?""Atau kamu dan keluargamu itu akan merasakan dinginnya tembok penjara."Aldo mengepalkan tangannya. Ia tak menyangka kalau Citra berani berbuat hal sejauh itu. "Ada apa ini, Do?" tanya Bu Miranti saat ia baru saja masuk ke dalam rumah. "Iya, ada apa sih, Mas? Sampe kedengeran dari luar." Kinanti dan Bu Miranti baru saja pulang dari shoping
"Mari, Pak, Bapak dan Bu Kinanti bisa ikut dengan kami.""Nggak bisa Pak! Saya nggak salah kok main tangkap saja.""Mas, gimana dong ini. Aku nggak mau dipenjara, Mas. Bu, tolong kita, Bu." Kinanti merengek meminta untuk tidak di penjara. Citra yang melihat dari belakang pun tertawa dengan riang gembira. Pasalnya, inilah yang ditunggu-tunggu oleh Citra. Penangkapan suami dengan gundiknya. "Tunggu dulu, Pak. Saya mau telpon Papa saya buat bantuin kasus ini.""Maaf, Bu, nanti Ibu bisa mengabari keluarga Ibu saat Ibu dan Pak Aldo sudah berada di kantor polisi." Kedua polisi itu sudah siap dengan borgol yang akan ia pasa di tangan Aldo dan Kinanti. Meskipun kedua orang itu memberontak, akhirnya dua polisi yang ditugaskan untuk menangkap Aldo dan Kinanti pun berhasil membawanya ke kantor polisi. "Citra! Apa-apaan kamu melaporkan suami sendiri ke polisi? Sudah gila kamu, Citra!" Bu Miranti memaki habis-habisan Citra. Citra yang di maki sang mertua pun hanya melihatnya saja tanpa membala
KUJUAL SUAMIKU SEHARGA 1 MILYARBAB 19"Jadi benar Pa, kalau dulu Papa sama Pak Guntur berteman?""Iya Cit, apa yang kamu bilang semuanya benar. Papa dan Pak Guntur itu dulu teman, bahkan bisa dibilang sahabat sebelum kita bertemu dengan Mamamu."Pak Nugroho menghela napas, ingatannya kembali ke beberapa tahun silam. "Tega lo, Nu, lo kan tau kalau gue suka sama Arumi!" Guntur mencengkram kerah baju Nugroho hendak memukulnya. "Sorry, Tur, gue juga suka sama Arumi. Dan Arumi pun sepertinya menyukai gue." Nugroho pasrah, saat Guntur akan memukul dirinya. "Iya! Tapi kenapa lo nggak bilang dari awal, Nu? Kalau lo bilang dari awal, setidaknya gue bisa mendam perasaan ini ke Arumi.""Gue minta maaf, Tur, gue nggak bisa nyegah perasaan ini ke Arumi. Toh Arumi bilang sama gue kalau dia juga nggak suka sama lo. Jadi ya gue berani buat deketin Arumi. Dan ternyata Nida pun juga suka sama gue. Jadi nggak ada alasan buat gue nolak Arumi, Tur! Lagian kalian juga gak ada hubungan apa pun.""Aaargh
KUJUAL SUAMIKU SEHARGA 1 MILYARCitra pun memasuki ruangan yang memang biasanya untuk dirinya. Kebetulan, Laras belum datang. Ia duduk di kursi kebanggaannya, kursi yang selama ini menemaninya jika dirinya bekerja. Citra menatap ke sekeliling, ia amat sangat rindu dengan ruangan itu. Saat Citra larut dalam lamunannya, pintu ruangan miliknya tiba-tiba ada yang mengetuk. Sehingga membuat Citra yang sedang melamun itu terkejut. Betapa bahagianya Citra saat melihat siapa orang yang telah mengetuk pintu tersebut. "Papa?!" pekik Citra melihat sang Papa datang menemui dirinya. Ia pun menghampiri Pak Nugroho dan berhambur ke pelukannya. "Papa, Citra kangen banget sama Papa," ucap Citra yang larut dalam pelukan pak Nugroho. Pak Nugroho pun membalas pelukan putri nya itu. Pak Nugroho membiarkan Citra melepaskan rindu yang teramat dalam. Begitupun dengan pak Nugroho, ia pun melepas rindu kepada putri satu-satunya itu. "Papa juga kangen sama kamu, Sayang," ucap pak Nugroho sembari mencium puc
"Nggak mungkin ini mobil punya kamu, Mbak! Uang darimana coba kamu bisa dapat mobil. Kalau aku sih jelas anaknya orang kaya. Lah kamu? Anak orang kaya bukan, pengusaha juga bukan. Atau jangan-jangan kamu simpanan om-om ya, Mbak?" Kinanti memicingkan mata menuduh Citra. "Hellow, apa kamu bilang? Aku? Simpanan om-om? Hahaha, nggak salah kamu berkata gitu sama aku? Heh! Aku itu bukan kamu yang sukanya sama laki orang. Menghalalkan segala cara untuk bisa menikah dengan pria yang beristri. Cih!" "Ya kita mana tau itu mobil kamu beneran apa memang kamu jadi simpanan om-om tajir. Kalau orang lain tau juga pastinya akan mikir hal sama kayak aku.""Kalau orang lain mikirnya sama kayak pikiranmu, berarti orang itu bodoh! Tak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah.""Ya namanya juga cinta, Mbak. Jadi ya aku nggak bisa maksain lah mau cinta sama siapa. Salah nya cinta itu sendiri kenapa datangnya terlambat." Kinan menyilangkan tangannya di dada. "Ck! Lagian manusia dewasa seperti
"Ah! Apa itu mas Alex??" gumamnya yang langsung bangkit dari duduknya, "Gawat! Aku harus cepat sembunyi!"Seketika saja wanita itu mengerjap, debaran jantungnya tak karuan mendengar derap langkah yang mendekati rumah tersebut. Kinanti merapatkan kedua tangannya lalu memegangi dadanya yang semakin terasa tak karuan.Bagaimana tidak? Hari-hari yang dijalani mereka awalnya sangat bahagia, Kinanti sangat bersyukur karena mendapatkan suami yang sangat pengertian dan selalu memanjakannya, fisik maupun batin.Akan tetapi, setelah menjalani kehidupan rumah tangga bersama Alex semua mulanya berjalan dengan baik dan bahkan bahagia, Kinanti selalu mendapat perlakuan manis dari Alex yang sangat menyayanginya, begitupun sebaliknya. Akan tetapi hal itu rupanya tidak berjalan lama karena ternyata Kinanti salah menilai Alex sebagai suami barunya, kehidupan rumah tangganyapun tak berjalan seperti apa yang diharapkan olehnya selama ini.Tak dapat terbayangkan pula jika nasib Kinanti akan hancur seperti
Nugroho pun mengerjapkan kedua bola matanya dengan cepat. Dia mencoba mencerna kata-kata yang diucapkan oleh lawan bicaranya di depan matanya tersebut.Tanpa disadarinya pandangannya pun menyapu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki Abey. "Menantu? Hmm ... boleh juga rupanya," batin Nugroho.Namun, sekejap kemudian Nugroho kembali tersadar bahwa apa yang dilakukannya itu terlalu gegabah. "Astaga, baru juga ketemu. Mikir apa sih aku ini?" batinnya membantah penilaiannya barusan, karena bagaimanapun juga dia ingin yang terbaik untuk Citra tapi tidak ingin memaksakan kehendaknya.Merespon sapaan dari Abey tersebut Nugroho pun jadi tertawa terbahak-bahak dan bersedekap. "Boleh juga keberanianmu, ya!" ucap pengusaha sukses tersebut sambil menepuk-nepuk bahu pemuda yang ada di hadapannya.Wajah Abey yang sudah mereda pun jadi memerah lagi. Sejenak dia juga merututi dirinya sendiri mengapa bisa sampai seberani itu.Namun, kemudian yang ia dengar adalah sahutan dari sang Ibu dan juga sahabat
Bahkan Abey tidak seolah terbungkam dan tak mampu berkata-kata lagi saat menanggapi tekanan dari perempuan yang diharapkannya menjadi calon mertua tersebut. Ingin rasanya dia berteriak menyuarakan batinnya, "Tante, kita bukan udah kenal lagi, tapi saling suka! Iya benar, Citra juga bilang suka aku!"Namun, alih-alih bisa bersuara, Abey pun mengatupkan rahangnya kuat-kuat, tatkala melihat sosok yang dari tadi bersemayam di kepalanya itu muncul tertangkap ekor matanya.Sedetik kemudian, terdengar juga suara Citra yang berseru, "Mama!""Eh? Sebentar ya, Sar," ucap Arumi pada temannya untuk menanggapi panggilan sang anak terlebih dahulu, "Apa, Sayang?"Kali ini giliran Citra yang syok sampai rahangnya menganga terbuka. Kedua bola matanya saling tatap dengan seorang pria tampan yang berdiri terpaku di tengah taman rumahnya.Citra mengibaskan kepalanya, berusaha menghalau gambaran di depan mata kepalanya yang dikiranya sebagai halusinasi itu."Lho, kok malah bengong? Kenapa lagi sih, Sayang
Abey masih tak bergeming sama sekali. Pikirannya sungguh sangat tak menentu saat ini. Tidak, tetapi rasanya otaknya sudah eror!Bagaimana bisa alamat yang dikirimkan oleh mamanya itu adalah alamat yang sama dengan rumah Citra, wanita yang sangat ia cintai?!Bahkan titik di mana mamanya berada benar-benar tepat di titik di mana rumah Citra itu.Saat ini Abey masih berada di depan rumah Citra. Sedari tadi, saat wanitanya itu turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah, Abey masih tak bergerak atau menjalankan mobilnya sama sekali.Selagi menunggu balasan dari mamanya agar mengirim lokasi di mana rumah teman mamanya berada, Abey tak beranjak dari tempatnya sedikitpun.Tetapi apa daya jika yang ia dapatkan sangat mengejutkan seperti ini?!"Ini ... tak mungkin 'kan teman mama itu ...," ucap Abey yang menggantung, kembali menoleh dan megamati rumah mewah milik keluarga Citra dengan seksama."Atau jangan-jangan teman Mama itu adalah ibunya Citra?" gumamnya lirih menyambung ucapannya yang mengg
Seketika Citra membeku di tempat hanya karena mendengar pertanyaan dari Abey perihal isi hatinya. Perasaan kikuk kembali menghantui. Sejenak wanita itu menimbang, mau tetap menyembunyikan perasaan dan membuat Abey menunggu atau terus terang saat ini juga.Namun, bersamaan dengan itu Citra sadari rupanya dia sudah berada di dekat area rumah, tanda jika dirinya harus kembali menerangkan arah jalan."Itu, setelah patung di depan itu kamu belok kanan," ucap Citra menerangkan. Dia tak mau membuat dirinya dan Abey berakhir kebablasan sehingga harus mencari rute untuk berputar. Jalanan masih cukup ramai, akan sedikit sulit mengambil jalan putar. Apalagi perlu beberapa meter lagi baru mereka akan menemukan tempat untuk berbelok."Ah, jadi daerah sini? Kalau daerah sini aku pernah datang. Aku ingat dulu pernah diajak temanku ke sini. Kebetulan rumah temanku ada di perumahan itu, yang itu." Dengan cepat Abey menunjuk sebuah komplek perumahan tak jauh dari lokasi mereka. Komplek itu cukup besar
Sepanjang perjalanan Citra hanya bisa menyalahkan dirinya dan pikirannya yang tumpul. Terlalu penakut hanya karena kegagalan cinta di masa lalu.Sadar akan dirinya yang masih ditunggui oleh Abey, Citra pun berusaha keras mengusir segala rutukan yang hanya memenuhi isi kepala itu."Sudahlah," desis Citra pelan sembari mulai menata meja kerjanya. Beberapa saat kemudian wanita itu kembali berjalan keluar dari ruangan untuk kemudian menghampiri Abey yang sejak tadi masih berada di parkiran.Sementara itu, di tempatnya Abey menunggu dengan resah. Hawa panas dan dingin seolah menyerang jiwanya secara bersamaan."Sial. Kenapa aku harus bertindak gegabah, sih? Kenapa aku harus terburu-buru seperti ini? Citra pasti kecewa sekali. Mana mungkin dia mau menerimaku kalau begini caranya! Mengungkapkan perasaan di lahan parkir? Sungguh? Oh my God! Good job, Abey. Kamu telah menghancurkan semua," sinis Abey pada dirinya sendiri. Pria itu seperti kehilangan harapan sekarang."Ah, tidak apa-apa lah. To
Citra yang merasa penasaran dengan ajakan Abey pun tanpa pikir panjang mengikuti langkah pria itu. Entah mengapa hari ini Citra mendadak berubah menjadi wanita penurut karena hati yang selalu terasa enggan menolak setiap ajakan yang Abey layangkan. Namun, jujur saja hal itu sama sekali tak membuat Citra resah. Justru berada di samping Abey selalu membuat Citra nyaman dan betah.Sekilas Citra mencuri tatap ke arah Abey yang masih setia berjalan di sisinya. Melihat pria itu dari dekat benar-benar mampu mendebarkan dada Citra. Juga pipi wanita itu yang perlahan menampakkan ronanya.Abey menghentikan langkah saat tubuhnya sudah benar-benar tiba pada lokasi tujuan. Begitu pula dengan Citra yang sejak tadi mengikuti laju kaki Abey.Sejenak Abey berdehem pelan, berusaha keras menetralisir rasa gugup yang melingkupi jiwa. Setelahnya Abey memberanikan diri memutar tubuh menghadap Citra yang sebenarnya sejak tadi sudah menunggu kalimat apa yang hendak pria di sampingnya itu katakan."Emm, Citra
"Apa maksud, Mama?!" pekik Raya.Saat ini Raya sudah mengerutkan dahinya dengan kasar. Tentu saja ia berharap apa yang dikatakan mamanya tadi adalah mimpi dan dia hanya salah dengar saja.Berjualan makanan? Raya tidak gila untuk melakukan semua itu! God, demi apapun, Raya tak mau!"Apa kamu masih tidak paham dengan apa yang mama maksud, huh?" desis tajam Miranti yang menatap Raya dengan bengis. "Tentu saja kita harus hidup, Raya! Kita harus makan dan punya uang. Memangnya kamu pikir kita memiliki uang untuk makan jika kita tidak mencarinya?!"Dengan marah dan masih mencoba untuk mengeluarkan semua bahan-bahan makanan yang tersisa, Miranti kembali mengomeli putrinya itu."Dan kamu!" Miranti menunjuk Raya dengan tajam, ia marah saat ini. "Bagaimana bisa kamu kehilangan uang itu, tabunganmu!"Plaaakk ...!!!"Aaakhh ...! Mama! Kenapa mama memukul Raya?!" Lengan Raya dipukul cukup keras dengan Miranti yang kini sudah memelototinya."Tentu saja ini juga salahmu!"Raya mengerutkan dahinya. "
"Ugh ...."Miranti mulai merasakan pening di kepalanya. Bahkan rasanya saat ini bagian kepalanya sudah sangat besar, hampir pecah.Melenguh kesakitan dan sedikit mengerutkan dahi, Miranti mulai sadar. Membuka matanya dan cahaya remang-remang mulai masuk ke dalam pandangannya.'Sepertinya aku baru saja pingsan,' gumam Miranti sembari merintih, memegangi rambut kepalanya dengan erat. Sial, peningnya masih saja menjadi!"Mama ... Mama sudah bangun?"Seketika Miranti langsung menoleh ke arah sumber suara yang masuk ke dalam pendengarannya itu. Itu adalah Raya, putri semata wayangnya. Putrinya itu sedang mengipasi dirinya dengan raut wajah yang cukup khawatir."Ughh ...," lenguh Miranti kembali sembari mencoba untuk bangun.Dibantu dengan Raya, ia mulai mendudukkan diri di ranjang tempat kamar tidur pribadinya. "Hati-hati, Ma, sepertinya kepala Mama masih berat," ucap Raya seraya membantu ibunya itu.Itu benar. Kepalanya masih sangat pusing."Kamu sudah kembali?" tanya Miranti sedikit deng