Pak Guntur pun menuruti permintaan anak semata wayangnya itu. Entah kenapa, meskipun Pak Guntur menikah dengan Ibunya Kinanti karena perjodohan, dia amat sangat menyayangi sang putri tercinta. Kinanti tidak hentinya memeluk tubuh sang Papa. Karena memang Pak Guntur lah orang tua satu-satunya setelah kematian sang mama. "Papa, terimakasih selalu memberikan yang terbaik buat Kinanti. Kinanti begitu sayang sekali sama Papa.""Iya, Kinan, Papa juga menyayangi kamu. Papa akan bahagia kalau melihat kamu bahagia, Nak," ucap Pak Guntur membelai lembut kepala Kinanti. ***Kinanti dan Aldo pun mulai menyiapkan acara untuk pesta pernikahan mereka. Meskipun Aldo dan Citra belum resmi bercerai dalam pengadilan agama, namun bagi Kinanti tidak masalah. Yang terpenting kini Aldo hanya miliknya seorang. Mereka berdua mulai sibuk dengan segala sesuatunya. Bu Miranti dan juga Raya pun turut sibuk dengan mempersiapkan untuk para tamu undangan. "Do, ingat ya, nanti jatah tamu Ibu ada seribu lebih lho
Dengan tersenyum puas Kinanti keluar dari ruangan kantor papanya, Guntur. Dia sangat yakin kalau papanya sama sekali tidak bisa menolak keinginannya, dan hal itu terbukti saat ini. Senyum kemenangan terus menghiasi gadis yang memakai dress bunga-bunga tersebut. Saking senangnya sampai Kinanti tidak sadar tengah disapa oleh security gedung tersebut.Flash Back On“Ayolah Pa, masak iya anak papa satu-satunya ini menikah dengan perayaan biasa-biasa saja, memangnya Papa tidak malu dengan kolega-kolega Papa?” tanya Kinanti merajuk.“Semua ini tidak ada hubungannya dengan para kolegaku, coba kamu tidak pilih Aldo--” sentak Guntur terjeda.“Papa, kita sepakat tidak membahas hal itu lagi, semua sudah terjadi dan aku memang mencintai Aldo Pa, aku benar-benar tak ingin pernikahan biasa-biasa Pa, aku tak ingin malu,” jawab Kinanti.“Kamu sudah tanya kesanggupan Aldo menanggung biaya pernikahanmu itu?” tanya Guntur.“Ayolah Pa ... Papa tahu sendiri keadaan Aldo kan, dia tidak mungkin menanggung b
“Sudah, Kinan. Sebaiknya kita pergi saja dari sini,” bisik Aldo lagi sambil melirik kedua ibu-ibu yang sejak tadi melayangkan pandangan kesal padanya dan Kinan. Termasuk juga sang penjaga toko yang mulai tidak nyaman dengan kehadirannya. Seolah dirinya dan Kinan telah membuat kekacauan di toko ini.Kinan menghela napas pendek, memompa kesabarannya meski umpatan kekesalan itu masih terlontar untuknya.Tanpa tunggu lagi, Kinan pun segera menyusul Aldo dan keduanya tergopoh-gopoh keluar dari toko souvenir ini. Mereka harus segera ke rumah sakit sekarang juga.“Sungguh, ibu-ibu di toko tadi menyebalkan!” dengkus Kinan yang masih belum bisa meninggalkan kekesalannya padahal keduanya sudah dalam perjalanan menuju rumah sakit.“Kamu seharusnya bisa lebih sabar, Kinan,” tukas Aldo singkat. Namun, dalam hati pria itu sangat menyesalkan sikap Kinan yang tidak mau mengalah. “Sekarang pasti kita sudah di blacklist dari toko itu dan tidak dilayani lagi ketika datang,” pungkasnya lagi.“Masa bodoh.
Sejenak Aldo terdiam, dia kemudian mengangguk dan menyetujui apa yang dikatakan ibunya itu. "Iya, Bu, tenang aja. Aldo bakalan urus semuanya!" ucapnya menenangkan."Yakin?"Aldo mengangguk kembali untuk mengiyakan kalimatnya."Iya, Aldo udah pesan perawatan terbaik di Rumah Sakit buat Papa.""Syukurlah, kamu urus semuanya. Ingat apa yang Ibubilang Aldo, kita harus bisa menjaga Kinanti sama Tuan Guntur, demi kepentingan kita bersama!" tegasnya lagi.Aldo mengangguk, dia meminta Miranti untuk tidak khawatir lagi soal itu. Dia tahu apa yang harus dilakukannya. Dia akan membuktikan, kalau dirinya pantas untuk bisa ada di samping Kinanti. Miranti pun meminta Aldo untuk segera pergi ke rumah sakit, sekarang juga. Aldo mengiyakan dan langsung izin pergi.Aldo berpamitan pada ibunya itu."Aku pergi dulu ya, Bu.""Hati-hati ya, ingat harus jaga ayah mertuamu!" Aldo pun kembali mengiyakan dengan anggukan.Akan tetapi, saat dia hendak pergi Kinanti justru merengek kembali. Dia meminta Aldo untuk
GREP!!Sebuah tangan kekar tiba-tiba muncul dan menangkap tangan Aldo yang siap melayang dan menghantam pria paruh baya di hadapannya.Hal itu tentu membuat Aldo terkejut, begitu pula dengan Rahmat yang sudah siap sedia meladeni Aldo."S-siapa-" Ucapannya terhenti seketika kala Aldo melihat seorang pria bertubuh tinggi dengan mengenakan pakaian khusus petugas keamanan.Ya! Siapa lagi kalau bukan Security? Dengan badan kekar serta wajah sedikit sangar, lelaki itu kini memegangi tangan Aldo yan terkepal bahkan begitu erat."Lepaskan!" Aldo menatap pria itu dengan tajam.Tetapi petugas keamanan tersebut tentu tak ingin kalah dan bahkan semakin mengeratkan cengkramannya, lalu dengan gerakkan tiba-tiba ia menghempaskan tangan yang hampir mengotori suasana Rumah Sakit yang seharusnya tentram dan aman."Bukankah anda yang harus menjaga tangan anda agar tidak menyakiti orang lain!?"Terdengar dingin dan sinis, petugas keamanan itu benar-benar bersikap tegas pada siapa saja tanpa memandang ora
Walaupun Aldo sudah menyuruhnya untuk tetap menunggu di rumah, Kinan tetap nekat pergi seorang diri ke Rumah Sakit di mana papanya dirawat. Bagaimana mungkin dia bisa tenang. Sementara Aldo tak kunjung membalas pesan apalagi menerima panggilan telepon darinya yang entah sudah ke berapa kali, tak terhitung jumlahnya. Kinan sudah sangat penasaran mengenai informasi terkait keadaan terkini dari sang papa. Karena tak bisa menunggu, Kinan nekat melanggar permintaan Aldo dengan pergi menggunakan taksi. Bahkan saat Miranti pun ikut melarang, Kinan tak peduli. Dia terlalu keras kepala. Jalanan ibu kota memang cenderung macet untuk waktu tertentu. Membuat Kinan sedikit mendengus sebal. Padahal, dia sedang terburu-buru saat ini.“Pak, nggak bisa cari jalan tikus aja, ya? Saya lagi buru-buru ini,” pinta Kinan sembari melihat ke luar jendela yang kendaraan padat merayap.“Jalan tikus? Mbak ini ada-ada aja. Ya nggak bisa, Mbak.” Sopir taksi itu justru terkekeh.“Duh, gimana dong, Pak. Saya lagi
Seketika anak tekak Aldo seolah mencekik kerongkongannya. Gambaran Kinanti yang manis manja, yang selama ini mampu ditaklukkan dalam genggaman tangannya itu, kini pudar. Biarpun si wanita manis itu masih ada di depan matanya.'Ini ... ini beneran Kinanti, kan? Ke-kenapa dia tiba-tiba bisa setegas ini? A-apa ini semua karena Pak Guntur?' batin Aldo takut-takut.Tentu saja ada sebagian dari dirinya yang merasa nyalinya itu ciut di hadapan Kinanti, karena sorot mata perempuan itu menggantikan tatapan penuh kasih sayang yang selama ini ia dapatkan.Namun, sebagian dari dirinya lagi, tetap ingin mempertahankan Kinanti. 'Aku tidak berjuang demi mendapatkan dia hanya untuk dikalahkan seperti ini. Iya benar, aku hanya perlu tampak mengalah saja, untuk selebihnya nanti, aku masih bisa menunjukkan kejantanannku lagi sambil jalan,' batin pria itu sambil meneduhkan pandangannya.Oleh karena itu lah, Aldo cuma bisa menga
"Syukurlah papa sudah lebih baik sekarang. Setelah ini Kinan mohon sama papa untuk bisa pelan-pelan belajar mengontrol emosi. Selain itu, papa juga jangan bekerja terlalu keras. Sayangi diri papa sendiri. Jaga kesehatan papa." Sesampainya di rumah, Kinan terus memberikan beberapa nasihat untuk Guntur."Pokoknya kurang-kurangin sikap papa yang mudah ngambek itu," ucap Kinan melanjutkan. Sementara Guntur memilih untuk tetap diam sembari mengunyah makanan yang telah Kinan suapkan untuknya.Guntur tidak mengiyakan namun juga tidak memiliki minat untuk menyanggah perintah dari Kinan. Dia hanya ingin sejenak merasakan tenang sekarang. Menikmati waktu berdua bersama Kinan dengan seluruh perhatian dari putri semata wayangnya itu.Berbeda dari Guntur yang masih berusaha menunjukkan sikap tenang karena tidak ingin menciptakan pertikaian, Kinan malah merasa kesal karena ocehannya sejak tadi sama sekali tidak Guntur tanggapi. Hal itu membuat Kinan tanpa
"Ah! Apa itu mas Alex??" gumamnya yang langsung bangkit dari duduknya, "Gawat! Aku harus cepat sembunyi!"Seketika saja wanita itu mengerjap, debaran jantungnya tak karuan mendengar derap langkah yang mendekati rumah tersebut. Kinanti merapatkan kedua tangannya lalu memegangi dadanya yang semakin terasa tak karuan.Bagaimana tidak? Hari-hari yang dijalani mereka awalnya sangat bahagia, Kinanti sangat bersyukur karena mendapatkan suami yang sangat pengertian dan selalu memanjakannya, fisik maupun batin.Akan tetapi, setelah menjalani kehidupan rumah tangga bersama Alex semua mulanya berjalan dengan baik dan bahkan bahagia, Kinanti selalu mendapat perlakuan manis dari Alex yang sangat menyayanginya, begitupun sebaliknya. Akan tetapi hal itu rupanya tidak berjalan lama karena ternyata Kinanti salah menilai Alex sebagai suami barunya, kehidupan rumah tangganyapun tak berjalan seperti apa yang diharapkan olehnya selama ini.Tak dapat terbayangkan pula jika nasib Kinanti akan hancur seperti
Nugroho pun mengerjapkan kedua bola matanya dengan cepat. Dia mencoba mencerna kata-kata yang diucapkan oleh lawan bicaranya di depan matanya tersebut.Tanpa disadarinya pandangannya pun menyapu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki Abey. "Menantu? Hmm ... boleh juga rupanya," batin Nugroho.Namun, sekejap kemudian Nugroho kembali tersadar bahwa apa yang dilakukannya itu terlalu gegabah. "Astaga, baru juga ketemu. Mikir apa sih aku ini?" batinnya membantah penilaiannya barusan, karena bagaimanapun juga dia ingin yang terbaik untuk Citra tapi tidak ingin memaksakan kehendaknya.Merespon sapaan dari Abey tersebut Nugroho pun jadi tertawa terbahak-bahak dan bersedekap. "Boleh juga keberanianmu, ya!" ucap pengusaha sukses tersebut sambil menepuk-nepuk bahu pemuda yang ada di hadapannya.Wajah Abey yang sudah mereda pun jadi memerah lagi. Sejenak dia juga merututi dirinya sendiri mengapa bisa sampai seberani itu.Namun, kemudian yang ia dengar adalah sahutan dari sang Ibu dan juga sahabat
Bahkan Abey tidak seolah terbungkam dan tak mampu berkata-kata lagi saat menanggapi tekanan dari perempuan yang diharapkannya menjadi calon mertua tersebut. Ingin rasanya dia berteriak menyuarakan batinnya, "Tante, kita bukan udah kenal lagi, tapi saling suka! Iya benar, Citra juga bilang suka aku!"Namun, alih-alih bisa bersuara, Abey pun mengatupkan rahangnya kuat-kuat, tatkala melihat sosok yang dari tadi bersemayam di kepalanya itu muncul tertangkap ekor matanya.Sedetik kemudian, terdengar juga suara Citra yang berseru, "Mama!""Eh? Sebentar ya, Sar," ucap Arumi pada temannya untuk menanggapi panggilan sang anak terlebih dahulu, "Apa, Sayang?"Kali ini giliran Citra yang syok sampai rahangnya menganga terbuka. Kedua bola matanya saling tatap dengan seorang pria tampan yang berdiri terpaku di tengah taman rumahnya.Citra mengibaskan kepalanya, berusaha menghalau gambaran di depan mata kepalanya yang dikiranya sebagai halusinasi itu."Lho, kok malah bengong? Kenapa lagi sih, Sayang
Abey masih tak bergeming sama sekali. Pikirannya sungguh sangat tak menentu saat ini. Tidak, tetapi rasanya otaknya sudah eror!Bagaimana bisa alamat yang dikirimkan oleh mamanya itu adalah alamat yang sama dengan rumah Citra, wanita yang sangat ia cintai?!Bahkan titik di mana mamanya berada benar-benar tepat di titik di mana rumah Citra itu.Saat ini Abey masih berada di depan rumah Citra. Sedari tadi, saat wanitanya itu turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah, Abey masih tak bergerak atau menjalankan mobilnya sama sekali.Selagi menunggu balasan dari mamanya agar mengirim lokasi di mana rumah teman mamanya berada, Abey tak beranjak dari tempatnya sedikitpun.Tetapi apa daya jika yang ia dapatkan sangat mengejutkan seperti ini?!"Ini ... tak mungkin 'kan teman mama itu ...," ucap Abey yang menggantung, kembali menoleh dan megamati rumah mewah milik keluarga Citra dengan seksama."Atau jangan-jangan teman Mama itu adalah ibunya Citra?" gumamnya lirih menyambung ucapannya yang mengg
Seketika Citra membeku di tempat hanya karena mendengar pertanyaan dari Abey perihal isi hatinya. Perasaan kikuk kembali menghantui. Sejenak wanita itu menimbang, mau tetap menyembunyikan perasaan dan membuat Abey menunggu atau terus terang saat ini juga.Namun, bersamaan dengan itu Citra sadari rupanya dia sudah berada di dekat area rumah, tanda jika dirinya harus kembali menerangkan arah jalan."Itu, setelah patung di depan itu kamu belok kanan," ucap Citra menerangkan. Dia tak mau membuat dirinya dan Abey berakhir kebablasan sehingga harus mencari rute untuk berputar. Jalanan masih cukup ramai, akan sedikit sulit mengambil jalan putar. Apalagi perlu beberapa meter lagi baru mereka akan menemukan tempat untuk berbelok."Ah, jadi daerah sini? Kalau daerah sini aku pernah datang. Aku ingat dulu pernah diajak temanku ke sini. Kebetulan rumah temanku ada di perumahan itu, yang itu." Dengan cepat Abey menunjuk sebuah komplek perumahan tak jauh dari lokasi mereka. Komplek itu cukup besar
Sepanjang perjalanan Citra hanya bisa menyalahkan dirinya dan pikirannya yang tumpul. Terlalu penakut hanya karena kegagalan cinta di masa lalu.Sadar akan dirinya yang masih ditunggui oleh Abey, Citra pun berusaha keras mengusir segala rutukan yang hanya memenuhi isi kepala itu."Sudahlah," desis Citra pelan sembari mulai menata meja kerjanya. Beberapa saat kemudian wanita itu kembali berjalan keluar dari ruangan untuk kemudian menghampiri Abey yang sejak tadi masih berada di parkiran.Sementara itu, di tempatnya Abey menunggu dengan resah. Hawa panas dan dingin seolah menyerang jiwanya secara bersamaan."Sial. Kenapa aku harus bertindak gegabah, sih? Kenapa aku harus terburu-buru seperti ini? Citra pasti kecewa sekali. Mana mungkin dia mau menerimaku kalau begini caranya! Mengungkapkan perasaan di lahan parkir? Sungguh? Oh my God! Good job, Abey. Kamu telah menghancurkan semua," sinis Abey pada dirinya sendiri. Pria itu seperti kehilangan harapan sekarang."Ah, tidak apa-apa lah. To
Citra yang merasa penasaran dengan ajakan Abey pun tanpa pikir panjang mengikuti langkah pria itu. Entah mengapa hari ini Citra mendadak berubah menjadi wanita penurut karena hati yang selalu terasa enggan menolak setiap ajakan yang Abey layangkan. Namun, jujur saja hal itu sama sekali tak membuat Citra resah. Justru berada di samping Abey selalu membuat Citra nyaman dan betah.Sekilas Citra mencuri tatap ke arah Abey yang masih setia berjalan di sisinya. Melihat pria itu dari dekat benar-benar mampu mendebarkan dada Citra. Juga pipi wanita itu yang perlahan menampakkan ronanya.Abey menghentikan langkah saat tubuhnya sudah benar-benar tiba pada lokasi tujuan. Begitu pula dengan Citra yang sejak tadi mengikuti laju kaki Abey.Sejenak Abey berdehem pelan, berusaha keras menetralisir rasa gugup yang melingkupi jiwa. Setelahnya Abey memberanikan diri memutar tubuh menghadap Citra yang sebenarnya sejak tadi sudah menunggu kalimat apa yang hendak pria di sampingnya itu katakan."Emm, Citra
"Apa maksud, Mama?!" pekik Raya.Saat ini Raya sudah mengerutkan dahinya dengan kasar. Tentu saja ia berharap apa yang dikatakan mamanya tadi adalah mimpi dan dia hanya salah dengar saja.Berjualan makanan? Raya tidak gila untuk melakukan semua itu! God, demi apapun, Raya tak mau!"Apa kamu masih tidak paham dengan apa yang mama maksud, huh?" desis tajam Miranti yang menatap Raya dengan bengis. "Tentu saja kita harus hidup, Raya! Kita harus makan dan punya uang. Memangnya kamu pikir kita memiliki uang untuk makan jika kita tidak mencarinya?!"Dengan marah dan masih mencoba untuk mengeluarkan semua bahan-bahan makanan yang tersisa, Miranti kembali mengomeli putrinya itu."Dan kamu!" Miranti menunjuk Raya dengan tajam, ia marah saat ini. "Bagaimana bisa kamu kehilangan uang itu, tabunganmu!"Plaaakk ...!!!"Aaakhh ...! Mama! Kenapa mama memukul Raya?!" Lengan Raya dipukul cukup keras dengan Miranti yang kini sudah memelototinya."Tentu saja ini juga salahmu!"Raya mengerutkan dahinya. "
"Ugh ...."Miranti mulai merasakan pening di kepalanya. Bahkan rasanya saat ini bagian kepalanya sudah sangat besar, hampir pecah.Melenguh kesakitan dan sedikit mengerutkan dahi, Miranti mulai sadar. Membuka matanya dan cahaya remang-remang mulai masuk ke dalam pandangannya.'Sepertinya aku baru saja pingsan,' gumam Miranti sembari merintih, memegangi rambut kepalanya dengan erat. Sial, peningnya masih saja menjadi!"Mama ... Mama sudah bangun?"Seketika Miranti langsung menoleh ke arah sumber suara yang masuk ke dalam pendengarannya itu. Itu adalah Raya, putri semata wayangnya. Putrinya itu sedang mengipasi dirinya dengan raut wajah yang cukup khawatir."Ughh ...," lenguh Miranti kembali sembari mencoba untuk bangun.Dibantu dengan Raya, ia mulai mendudukkan diri di ranjang tempat kamar tidur pribadinya. "Hati-hati, Ma, sepertinya kepala Mama masih berat," ucap Raya seraya membantu ibunya itu.Itu benar. Kepalanya masih sangat pusing."Kamu sudah kembali?" tanya Miranti sedikit deng