"Alhamdulillah," ucap Shanum dengan perasaan lega tatkala baru saja keluar dari kantor pengadilan agama. Dia sempat gugup bahkan berkeringat dingin saat mengisi formulir pengajuan gugatan cerai. Beruntungnya, Shanum dapat mengendalikan emosinya setelah beberapa menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Hal itu rupanya cukup membantu Shanum dalam menghadapi kegugupannya saat berada di dalam tadi. Kini, wanita cantik nan anggun itu membawa langkahnya menuju ke parkiran mobil di tempat dia memarkirkannya tadi. "Sudah selesai, Sha?" tanya seseorang dari arah belakang. Shanum seketika menolehkan wajahnya, dan lagi-lagi melihat mantan kekasihnya itu berjalan tak jauh di belakangnya."Su–sudah." Shanum menjawab tercengang sekaligus gugup, bahkan lebih tepatnya tak berani membalas tatapan Zayn."Apakah kamu sungguh akan bercerai, Sha?" tanya Zayn yang kian mendekatkan langkahnya."Ya, begitulah." Shanum menjawab sekenanya. Dalam hatinya ingin sekali segera berlalu dari tempat
Beberapa jam yang lalu ….Pagi itu, Bu Desi terbangun dengan tubuh yang terasa pegal. Tidur di sofa rumah sakit membuatnya tidak nyaman, terutama di bagian pinggangnya.'Ck! Gara-gara si Anara, aku harus mengalami ini semua, huffh!' keluh Bu Desi, tatkala dirinya baru membuka matanya. Wanita paruh baya itu melempar tatapan ke arah ranjang di mana tampak Arya sedang menyuapi Anara dengan telaten. Arya yang menyadari sang Ibu baru saja terbangun dari tidurnya pun menoleh ke arah sofa, lalu pria itu menyapa Bu Desi."Ibu sudah bangun?" sapa Arya lemah lembut."Yah, seperti yang kamu lihat," sahutnya singkat. Bu Desi tampak berdiri, dan berniat untuk pergi ke kamar mandi untuk sekadar mencuci wajahnya agar terlihat segar. "Aku udah beliin makanan buat Ibu, di situ," ucap Arya sambil menunjuk ke suatu arah dengan menggerakkan ekor matanya."Makasih," sahut Bu Desi, lagi-lagi hanya singkat saja. Entah mengapa, dirinya sudah merasa tidak betah berada di tempat ini."Hufh … aku rindu kasurk
Lama menunggu, tak ada tanda-tanda seseorang akan membukakan pintu untuk mereka. Kedua ibu dan anak itu yakin jika Bi Nena tengah berpura-pura tuli di dalam rumah. Keduanya berspekulasi jika wanita tua itu pasti hanya menuruti perintah Shanum yang memang sejak semalam sudah menyatakan perang dengan mereka dan berniat mengusir mereka dari rumah. "Ck! Bi Nena ini kurang ajar. Bisa-bisanya dia nggak mau membuka pintu untuk kita!" geram Bu Desi, sambil memanyunkan bibirnya saat entah sudah berapa kali dia memencet bel tapi tak ada respon sama sekali."Tuh kan, aku nggak bohong! Aku yakin ini pasti ulah si Nenek lampir itu! Kita harus melakukan sesuatu, Bu! Jangan sampai Mbah Shanum benar-benar mengusir kita dari rumah!" Lila terus mengompori sang ibu agar segera mengambil tindakan. Lila pikir setidaknya sampai dia memiliki seseorang yang bisa diandalkan untuk menunjang hidupnya. Hingga saat itu tiba, Lila masih membutuhkan tempat tinggal di rumah kakak iparnya ini. "Benar! Tapi, tunggu!
"Jangan sok atur saya, ya!" seru Bu Desi lagi ketika Shanum masih membisu di hadapannya dan hanya menatapnya dengan tatapan yang entah.Terdengar suara bisik-bisik karyawan Shanum mengomentari pertunjukan yang sedang ada di depan mata mereka itu. Sementara, beberapa pasang mata yang ada di sana kini tampak lebih intens menatap ke arah mereka. Ada yang terang-terangan melihat, namun ada juga yang mengintip secara diam-diam pertunjukan seru itu.Shanum membuang napasnya kasar, setelah cukup lama terdiam sambil memikirkan cara untuk menghadapi Bu Desi. Wanita itu mendekatkan tubuhnya ke arah sang mertua. Tepat di telinganya, Shanum membisikkan sesuatu."Ikut saja ke dalam, atau aku nggak segan untuk mempermalukan Ibu di hadapan semua orang. Bukankah seharusnya Ibu nggak bersikap begini, kalau masih mau tinggal di rumahku? Semua pilihan ada di tangan Ibu sekarang. Sikap Ibu lah yang akan memutuskan bagaimana aku bersikap nantinya," ucapnya pelan, namun penuh penekanan.Seketika membuat Bu
"Ini penting, Non. Saya nggak bisa menunggu sampai besok untuk ketemu Non Shanum!" ucap Suster Mayang terdengar serius.Shanum tak mengerti alasan wanita itu begitu ngotot ingin bertemu dengannya. Padahal dia sudah berjanji untuk bertemu besok siang."Tolong, Mbak. Ini demi keselamatan Non Shanum," pinta Suster Mayang lagi yang kian membuat Shanum tertegun.'Keselamatan? Apa maksudnya?' Shanum membatin gamang. Dalam diamnya, ia tengah berpikir dan mempertimbangkan kemauan Suster Mayang untuk segera bertemu.Hampir dua menit membisu, Shanum akhirnya membuka suara tentang keputusannya. "Baiklah, kita bertemu setelah saya menyelesaikan pekerjaan di kantor," putusnya."Baik, Non. Saya akan mengirimkan alamat tempat kita bertemu ya, Non." Suster Mayang lantas buru-buru memutus panggilan.Tak lama setelahnya, sebuah pesan masuk ke ponsel Shanum. Wanita itu langsung membukanya, dan melihat alamat yang dikirimkan Suster Mayang. Sepersekian detik kemudian, Shanum kembali menghampiri Bu Desi y
Shanum melirik ke arlojinya. Tiga puluh menit lagi jam selesai kantor tiba. Akan tetapi, dia sudah bisa menyelesaikan pekerjaannya saat ini. Sehingga, Shanum tampak sibuk membereskan mejanya dan bersiap untuk pergi. Wanita itu berdiri, dan hendak melangkahkan kakinya ketika dikejutkan oleh sesosok pria yang mengetuk pintu, kemudian masuk ke ruangannya."Feri?" sapa Shanum pelan, ketika melihat sahabatnya itu memasuki ruangan."Kamu mau pulang sekarang, Sha?" tanya Feri ketika melihat Shanum yang sudah menenteng tas kerjanya dan bersiap pergi."Iya nih. Aku ada janji sama seseorang," ucap Shanum tidak gamblang mengatakan pada Feri tentang siapa yang akan ditemuinya."Eh iya kah? Ya sudah kalau gitu kamu pergi gih, takutnya sudah ditungguin sama orangnya," ucap Feri merasa tak enak hati telah datang ke ruangan Shanum. Ia sempat berniat untuk mengajak Shanum makan malam bersama. Setidaknya sebagai sahabat, Feri ingin sekali berada di sisi Shanum ketika dia tengah mengalami kesulitan."E
"Hai, Sha." Pria itu menyapa Shanum yang tengah tidak berkedip ketika melihat kehadirannya yang begitu mendadak. "Fe–Feri?" Suara Shanum lolos begitu saja seperti cicitan tikus. Saat ini dia tengah mencerna apa yang terjadi di hadapannya. Dan, entah bagaimana Suster Mayang bisa mengenal Feri."Kalian? Bagaimana kalian saling mengenal?" tanya Shanum yang tidak tahan jika hanya diam saja. "Aku akan menjelaskannya, Sha," sahut Feri sembari mengambil posisi duduk dan bergabung dengan Shanum dan Suster Mayang. "Sebenarnya …." Feri lantas menceritakan kalau dia mengetahui sedikit tentang kematian Tuan Dhanu Mahendra yang menurutnya tidak wajar. "Saat itu, dokter sempat menyatakan kalau kondisi Tuan Dhanu sudah hampir stabil, sehingga beberapa hari ke depan pasti sudah boleh pulang. Tapi, yang terjadi malah …." Feri tak tega melanjutkan ucapannya, dan memilih berhenti sampai di sana karena ia yakin Shanum mengerti arah pembicaraannya itu. "Papa sudah membaik? Tapi, kenapa aku nggak da
Feri tak lagi bersuara. Ia justru membiarkan Shanum larut dalam tangisannya yang terdengar memilukan. Sebagai anak tunggal, dan kedua orang tuanya sudah tiada. Ia tentu saja merasa sendirian. Merasa tidak ada lagi yang berada di pihaknya dan menjadi sandaran baginya saat tengah rapuh. Sementara, pria itu terus memeluk tubuh sahabatnya demi menyalurkan kekuatan pada Shanum yang tengah rapuh."Menangislah, kalau itu bisa membuat perasaanmu menjadi lega," ucap Feri di sela usahanya menenangkan tangisan Shanum. "Jangan menahannya kalau itu hanya akan membuatmu sakit, Sha," lanjutnya seolah memberi lampu hijau bagi Shanum. Shanum memilih bergeming. Ia tak menyahut ucapan Feri, dan hanya terus larut dalam tangisannya. Rasanya, malam ini adalah titik balik bagi kehidupannya yang sempat dia kira sudah sempurna tanpa cela.Nyatanya dia salah. Sebab, di dunia ini mustahil ada kehidupan yang sempurna maupun nyaris tanpa cela. Itu hanya fatamorgana."Kenapa, kenapa Mas Arya tega sama Papa?" guma