Lusi sampai tak bisa berkata-kata saking kagetnya kala dia duduk dan muncullah Damian dengan wajah tergesa-gesa. Wanita itu sampai mengerjapkan mata berkali-kali, apalagi saat sang pria duduk di sampingnya. Dia benar-benar tak bisa mengatakan apa pun karena menurutnya pria ini aneh. Lusi hanya mengenal namanya Damian dan tidak berniat untuk berkenalan lebih jauh, karena bagi Lusi hati kecilnya sudah tertutup untuk laki-laki manapun. Dulu sempat hampir saja mempunyai rasa kepada Devan, tapi ternyata pria itu malah membuatnya kecewa dan membuat Lusi tak mau lagi menjalin hubungan dengan pria manapun. Dua kali mengalami kekecewaan dari laki-laki, membuat Lusi merasa kalau dirinya memang harus fokus dulu kepada diri sendiri dan sang anak. Jadi, siapapun yang akan mendekat, Lusi akan berusaha untuk menghalangi dan menutup hati. "Hai, kita bertemu di sini." Tiba-tiba saja David mengatakan hal seperti itu, membuat Lusi menoleh dan hanya tersenyum kaku. Sungguh rasanya dia tidak mau basa-
"Lus, kenalkan. Dia calon suamiku."Alis Lusi bertaut kencang ketika mendengar Mila memperkenalkan seorang pria di hadapan sebagai calon suaminya. Daging merah di dalam dadanya berdenyut keras mendapati sosok pria yang sedang berdiri mematung di sana.Suara Lusi pun terasa tersekat di tenggorokan. Matanya berubah nanar melihat pria yang hanya diam memandangnya dengan tatapan yang tak dapat ia artikan. Sungguh, ini bagaikan mimpi buruk bagi Lusi.Pijakan Lusi di atas bumi ini seperti berputar dan suara Mila seakan makin menjauh dari pendengaran wanita itu.'Tuhan, jika ini hanya mimpi buruk, tolong biarkan aku terjaga.' Lusi membatin dengan perasaan yang penuh kegundahan."Kamu kenal dia, kan?" tanya Mila. "Dia Mas Raka, suamimu," ucapnya sembari tersenyum. Ia melontarkan kalimat itu tanpa rasa bersalah.Jelas saja Lusi kenal dengan pria itu!Dulu, Lusi akan ikut senang jika Mila tersenyum seperti itu. Karena, dia adalah sahabatnya. Ya, orang yang Lusi sayangi setelah keluarganya. Aka
Lusi kembali menjerit di depan Raka. Akan tetapi, pria itu tetap bergeming.Tatapan Lusi teralihkan pada sahabat yang sekarang sudah menjadi musuhnya. Padahal, dia menyayangi Mila seperti saudara sendiri. Namun, malah air tuba yang Mila balas untuk susu yang telah Lusi berikan.Senyum itu, kini tampak menjijikkan di mata Lusi. Mila masih saja tersenyum walaupun sudah ia hina. Mungkin urat malunya sudah putus sampai Mila dengan bangga mengakui kehamilan hasil dari perselingkuhan. Luar biasa sekali."Untuk kamu! Aku baru tahu kalau kamu ternyata cuma seorang jalang!"Wajah Mila seketika berubah. Ada kemarahan yang mulai terlihat di rautnya. Entah kenapa, itu justru membuat rasa sakit Lusi pelan-pelan tersamarkan."Aku memberimu kepercayaaan, tapi malah disalahgunakan. Aku tidak tahu kalau selama ini kamu hanyalah barang murahan!"Kali ini ekspresi dua orang itu menegang. Mungkin tidak menyangka jika seorang Lusi bisa mengeluarkan kata-kata pedas dan menohok."Kalau memang kamu mau Mas
"Aku brengsek, katakanlah begitu. Tapi, aku terpaksa melakukan ini semua."Lusi tersenyum miring mendengar perkataan pria itu. 'Terpaksa katanya? Mana ada hubungan terpaksa yang menyebabkan wanita sundal itu hamil?' rutuk Lusi dalam hati."Terpaksa yang nikmat, ya, Mas. Kamu sampai menghamili Mila karena keterpaksaanmu."Raka mengerang keras. Dia mengguyar rambutnya dengan kasar, lalu kembali menatap Lusi dengan sendu. Wah, hebat sekali suaminya itu. Dia bisa melakukan akting dengan baik."Makanya, dengarkan aku dulu, Lus. Aku akan jelaskan kenapa sampai Mila hamil. Aku hanya ingin kamu mendengarkan penjelasanku." Suara Raka sangat lirih, sesaat Lusi tersentuh. Tetapi, bayangan Mila yang memeluk mesra lengan Raka membuat iba itu hilang begitu saja."Tidak perlu kamu jelaskan apa pun, Mas. Karena semua sudah terlambat. Tidak ada yang berubah, karena nyatanya kamu harus menikahi Mila."Raka terdiam. Dia masih menatap Lusi sendu. Kali ini sesal menyelinap antara kesedihan di mata Raka. L
"Mas!" Lusi menaikkan nada bicara karena kesal pada Raka. Untuk apa Raka memohon pada Lusi jika tidak mau jujur? Tadi saja memaksanya untuk mendengarkan penjelasan Raka. Tetapi, sekarang? Kenapa dia bungkam? Apakah dia sudah berubah pikiran? Semua pertanyaan itu berputar di benak Lusi. "Kalau kamu tidak jawab pertanyaanku, maka--" "Tiga bulan, Lus." Jawaban Raka seperti petir yang menggelegar di atas kepala Lusi. Menyentak jantung dan meluluh lantak1an persendiannya. Apa katanya? Tiga bulan? Itu artinya saat Lusi mencarikan kontrakan baru untuk Mila dan itu kontrakan milik Lusi. Gila! Bagaimana bisa mereka melakukan pengkhianatan di belakang Lusi semulus ini? Lusi kecolongan sampai akhirnya Mila hamil duluan. "Hahaha. Luar biasa, Mas." Entah apa yang mendorongnya sampai tertawa seperti ini. Tidak ada yang lucu, justru hanya ada kepiluan dan miris akan nasib diri. Lusi menertawakan diri sendiri yang bodoh karena terpedaya oleh dua orang pengkhianat itu. "Tiga bulan? Itu artinya
"Lusi ...."Pria itu akhirnya bersuara. Dia mendongak, menatap Lusi yang hanya diam dengan sorot mata datar."Lus, tolong ampuni aku. Aku hanya akan menikahi Mila sampai bayinya lahir, setelah itu aku akan menceraikannya. Tolong mengertilah posisiku, Lus."Bajingan itu lagi-lagi menggenggam tangan Lusi dengan sangat erat. Tetapi, sang wanita sudah tak memedulikannya."Aku sudah jujur padamu, Lus, dan aku akui semua kesalahanku. Aku khilaf, maaf."Lusi terkekeh hambar. Jujur setelah berselingkuh itu bukanlah kejujuran, tapi keterpaksaan."Mas, tadi kamu bilang aku terlalu sempurna? Lalu, kamu bilang jika kamu jenuh? Terus, kamu melampiaskannya dengan cara berselingkuh? Itu biadab namanya, Mas!"Raka diam. Kali ini dia tidak menunduk, tapi menatap istrinya dengan sesal. Sayangnya, Lusi memilih melempar pandangan ke depan."Kamu tahu, Mas? Aku manusia biasa, dan tidak ada yang sempurna di dunia ini. Itu penilaianmu saja yang tidak pernah merasakan bagaimana menjadi diriku. Lalu, jenuh? K
Lusi tersenyum miring, lalu Raka langsung menggenggam erat tangan wanita itu. Tetapi, Lusi mencoba melepaskan diri darinya."Lepas dulu, Mas. Aku mau mengambil Hp."Raka kontan melepaskan genggamannya. Lusi pun dengan cepat mengambil ponsel dari saku. Setelahnya, dia menyetel rekaman."Untuk apa kamu menyetel rekaman, Lus?" tanya Raka, terlihat bingung."Oh, ini? Aku sengaja merekamnya, biar aku dan kamu sama-sama ingat, apa saja yang sudah kita sepakati bersama." Raka masih terlihat bingung, tapi Lusi tetap melanjutkan untuk merekam pembicaraan mereka. Sekarang, situasinya membuat Lusi rugi dari segala arah. Jadi, akan dia pastikan semuanya adil.Lusi mengajak Raka untuk duduk di ruang tengah. Ini mengantisipasi kalau Alia pulang. Jika anak mereka datang, Lusi akan secepatnya menghentikan pembicaraan itu."Nah, Mas. Dengarkan semua yang aku katakan, karena aku malas jika harus menjelaskannya lagi."Raka diam saja dan Lusi pun langsung mengatakan apa saja yang menjadi syarat dari wan
Raka tidak melanjutkan ucapannya. Cukup lama dia terdiam, membuat Lusi mendesah kasar. Kalau Raka tidak mau, Lusi akan menawarkan perceraian hari ini juga. "Gimana, Mas? Itu syarat pertamaku. Kalau kamu tidak mau, gak masalah. Aku akan kirim gugatan--" "Oke, oke. Aku mau." Raka langsung memotong ucapan Lusi. Dia pasti takut mendengar kata cerai. Lusi tersenyum puas. Sekarang, dia akan melanjutkan syarat yang kedua. "Oke, yang kedua. Semua usaha yang kamu kelola, aku ambil alih. Aku yang akan mengelolanya." "Apa?!" Raka berdiri dengan wajah syok. Wajah yang membuat Lusi bersorak dalam hati. Inilah yang ditunggu-tunggu oleh wanita itu. Kejatuhan Raka dan keterpurukan suaminya, akan membuat Lusi bahagia. "Apa kamu bilang tadi? Kamu mau mengelola usaha kita?" "Sttt!" Lusi menempelkan jari telunjuk di bibirnya sendiri, menyuruh Raka untuk diam. "Kita? Maaf, ya, Mas. Itu usahaku, atas namaku. Kamu hanya mengelolanya saja, hak paten itu ada padaku. Apa kamu lupa?" Otot wajah Raka t
Lusi sampai tak bisa berkata-kata saking kagetnya kala dia duduk dan muncullah Damian dengan wajah tergesa-gesa. Wanita itu sampai mengerjapkan mata berkali-kali, apalagi saat sang pria duduk di sampingnya. Dia benar-benar tak bisa mengatakan apa pun karena menurutnya pria ini aneh. Lusi hanya mengenal namanya Damian dan tidak berniat untuk berkenalan lebih jauh, karena bagi Lusi hati kecilnya sudah tertutup untuk laki-laki manapun. Dulu sempat hampir saja mempunyai rasa kepada Devan, tapi ternyata pria itu malah membuatnya kecewa dan membuat Lusi tak mau lagi menjalin hubungan dengan pria manapun. Dua kali mengalami kekecewaan dari laki-laki, membuat Lusi merasa kalau dirinya memang harus fokus dulu kepada diri sendiri dan sang anak. Jadi, siapapun yang akan mendekat, Lusi akan berusaha untuk menghalangi dan menutup hati. "Hai, kita bertemu di sini." Tiba-tiba saja David mengatakan hal seperti itu, membuat Lusi menoleh dan hanya tersenyum kaku. Sungguh rasanya dia tidak mau basa-
"Apakah harus?" tanya Raka terlihat sekali kalau wajahnya menentang semua permintaan Winda. Melihat itu Winda lagi-lagi merasa kecewa. Tetapi dia tidak mau malah bertengkar, apalagi di hari pertamanya sebagai seorang istri. Mungkin memang Raka belum mau pergi keluar bulan madu sebab memikirkan Alia. Dia berusaha untuk mengerti semuanya, walaupun tampak sekali di wajahnya rasa kekecewaan itu. "Oh ya sudah, Mas. Kalau memang tidak mau tak masalah, aku juga tidak mau kalau Mas Raka tidak bisa. Sebaiknya kita istirahat saja."Winda memilih untuk berdiri dan pergi, tetapi Raka tiba-tiba saja menariknya dan kembali membuat Winda terduduk. Raka menghela napas kasar, tampaknya dia sudah berbuat salah kepada Winda. Masih untung ada yang mau membantunya. Apalagi kata Winda, mereka akan mencari Alia. "Baiklah kita akan berangkat. Tapi nanti besok pulang, ya? Aku tidak bisa lama. Kamu tahu kan? Lusa harus kembalikan kepada Mila," ucap Raka, tiba-tiba saja membuat Winda mengerjapkan mata semba
Menjelang siang ini, tinggal Winda dan Raka berdua saja di rumah Winda. Untuk kedua kalinya dia merasakan sebagai pengantin baru setelah bertahun-tahun ditinggal oleh almarhum suaminya terdahulu. Winda memang tidak menjalin hubungan dengan siapa pun, karena dia memang ingin mengajar Raka. Sekarang setelah menikah, rasanya seperti mimpi. Kekecewaan karena dia tidak dianggap sebagai istri di depan umum, membuat Winda tak memedulikan itu. Semua karena dirinya sekarang sedang benar-benar bahagia sebab sudah memiliki Raka. "Mas, rencana kita selanjutnya seperti apa?" tanya Winda dengan penuh semangat, berharap kalau pria ini akan mengajaknya untuk bulan madu. Kalau masalah perihal biaya, Winda bisa backup semuanya. Yang dibutuhkan adalah perhatian dari pria itu. "Aku ingin mencari Alia." Seketika senyuman di bibir Winda langsung luntur. Hatinya tersayat dan benar-benar tidak dipedulikan di sini. Hanya dijadikan sebagai alat untuk mencari anak dan mantan istri Raka. "Iya, Mas. Aku tahu
Dengan senyuman getir Winda pun menganggukkan kepala. "Iya, Bu. Aku sudah tahu semuanya." Mendengar itu Bu Sinta terperangah sembari membulatkan mata. Wanita ini benar-benar tulus. Bahkan pria yang dinikahinya sedang berjuang untuk mendapatkan hak asuh anak dari istri pertama malah didukung dan dibiarkan begitu saja. Bu Sinta sampai tidak bisa berkata-kata sesaat. "Kamu serius sudah tahu semuanya?" Winda kembali menganggukkan kepala dengan pelan. "Iya, Bu. Aku tidak apa-apa, kok. Aku yakin, seiring berjalannya waktu Mas Raka pasti bisa menaruh hati kepadaku. Semua harus ada perjuangan dan aku yakin tidak akan mengkhianati hasil," ungkap Winda, membuat Bu Sinta benar-benar merasa terharu. Kalau saja dia bisa mengotak-atik hati Raka, mungkin sudah dihapus nama Mila dan membiarkan pria itu tidak peduli terhadap anak yang dikandung oleh Mila."Yang sabar ya, Winda. Pokoknya Ibu akan selalu mendukungmu. Lagi pula Ibu tidak suka sama Mila. Dia itu bukan perempuan baik, jadi istri pun n
"Sah!"Suara menggema itu dikeluarkan oleh beberapa orang di sana. Dua saksi, satu penghulu, satu wali hakim dan juga ada ART Winda beserta Bu Sinta. Benar-benar sedikit dan tak ada orang lain lagi selain mereka semua. Sebenarnya Winda merasa sedih sebab pernikahan ini hanya diketahui oleh beberapa orang saja, seolah kalau dirinya memang tidak diakui oleh Raka. Tetapi ini lebih baik dibandingkan dirinya terus mengejar-ngejar pria itu. Katakanlah Winda itu adalah wanita bodoh. Dia bisa saja mendapatkan pria kaya, melebihi siapa pun termasuk Raka. Tetapi entah kenapa dia merasa kalau kebahagiaannya pasti ada bersama pria itu. Walaupun harus menjadi yang kedua, Winda rela. Lagi pula yang dicari bukanlah harta, tetapi kasih sayang dari laki-laki yang dicintai. Raka menyematkan cincin di jari manis Winda, lalu mencium keningnya. Ada haru biru yang menyelimuti acara ini. Bu Sinta sampai menantikan air mata, akhirnya sang anak mendapatkan istri yang baik menurut pandangan Bu Sinta. Winda
Sesuai dengan perkiraan, Mila memang datang ke butik yang itu adalah tempat kerja sang wanita hamil. Maura hanya melihat dari kejauhan. Untunglah ada minimarket di depan tempat Mila, jadi dia bisa terus meneliti wanita itu seharian di sana. Meskipun mungkin membosankan, tetapi setidaknya dia sudah menyelesaikan tugas dengan baik. Sementara itu Mila saat sampai kantor pun dia hanya termenung menatap tumpukan laporan penjualan dan juga invoice lainnya. Ingin sekali dia menyelesaikan semua ini, karena bagaimanapun dia harus tetap bekerja. Ada pelanggan yang menunggu dan pesanan yang akan dikirim. Ini membuat Mila merasa stres.Saat seperti ini, yang ada dalam perutnya itu menendang-nendang, seolah mengerti kalau sang Ibu sedang banyak pikiran. Wanita itu pun mengelus bayi yang ada di dalam kandungan dengan memberikan kata-kata yang sekiranya bisa menenangkan anak itu. "Tenang ya, Nak. Kamu jangan ikutan pusing, biar Ibu saja yang pusing. Ibu akan cari cara untuk bertemu dengan ayahmu.
"Kamu pikir aku percaya begitu saja dengan sikap baikmu yang tiba-tiba? Tentu tidak! Kamu salah jika berurusan denganku atau mau menipuku. Aku tidak akan semudah itu dipermainkan," timpal Mila, setelah itu dia pun kembali menutup pintu membuat Maura terdiam. Tampaknya dia benar-benar salah sedang pura-pura baik kepada wanita ini. Maura hanya bisa berdiri di depan pintu dan memilih untuk pergi saja. Dia tidak akan berkata apa-apa lagi dan hanya akan memantau ke mana wanita itu pergi. Lagi pula dia sudah berusaha untuk berpura-pura baik agar rencananya mudah, tetapi sayangnya memang Mila tidak semudah itu dibohongi. Mila hanya terdiam diri di depan pintu sembari menatap lurus ke depan. Dia seperti orang stress yang kehilangan sesuatu, tetapi memang kenyataannya wanita itu merasa kalau saat ini dirinya lemah tanpa adanya Raka. Anaknya juga sering menendang di perut kalau sang suami tidak ada di sampingnya. Mila kembali meneteskan air mata, merasa hidupnya benar-benar tak berguna karen
Pagi-pagi sekali Maura sudah membereskan semua pekerjaan di rumah Mila. Hatinya merutuk, tetap saja kalau begini wanita itu seperti pembantu. Tetapi mengingat uang yang akan diberikan Raka, Maura merasa senang. Dia yakin pasti tidak sedikit, sebab ini akan sulit karena harus mengikuti Mila ke manapun dan mencegah wanita itu untuk pergi ke tempat Raka. Mila bangun dengan perasaan malas dan juga tak karuan. Ruang hatinya merasa aneh karena tidak ada Raka di sini. Kerinduan begitu menyeruak dalam dada, hingga wanita itu pun menangis. Dia mengelus perutnya yang sudah mulai membuncit, berbicara kepada anak yang ada di dalam kandungan kalau mereka berdua harus kuat menjalani semua ini. "Nggak apa-apa, ya, Nak. Kita pasti kuat menjalaninya. Kamu harus tenang, Ibu akan melakukan apa pun agar Ayah tetap di samping kita. Tenang saja. Ibu sudah terbiasa merasakan sakit hati dan kebal dengan semua keadaan. Ibu berjanji akan menyingkirkan semua orang yang berusaha untuk memisahkan kita bertiga.
"Iya, Mas. Katakan saja. Aku akan melakukan apa pun, sekiranya bisa membantumu," ucap Maura dengan semangat, membuat Raka merasa heran. Tetapi tak urung pria itu tetap memilih untuk mengatakan sesuatu secara rahasia. Pernikahan dia dan Winda tidak boleh diketahui oleh siapa pun, termasuk Maura. Tidak ada yang tahu kalau wanita itu bisa saja mengkhianatinya demi uang. Sekarang saja Maura pasti mau melakukan segalanya demi uang. Sebab dia juga ingin keluar dari rumah Mila dan mendapatkan tempat tinggal. Apalagi kalau bukan uang yang akan membeli rumah itu? "Maura, besok ada acara penting. Aku akan pergi dengan Ibu. Aku takut kalau Mila tiba-tiba saja mencariku ke rumah Ibu dan malah ngamuk-ngamuk tidak jelas. Jadi, bisakah kamu pastikan kalau Mila tidak pergi ke rumah ibuku?" pinta Raka, tiba-tiba saja membuat semangat Maura yang sebelumnya tinggi langsung meredup. Dia sangat kecewa sebab yang diberitakan oleh Raka itu berbeda jauh dengan harapannya, berarti pernikahan mereka bukan