Sesuai dengan perkiraan, Mila memang datang ke butik yang itu adalah tempat kerja sang wanita hamil. Maura hanya melihat dari kejauhan. Untunglah ada minimarket di depan tempat Mila, jadi dia bisa terus meneliti wanita itu seharian di sana. Meskipun mungkin membosankan, tetapi setidaknya dia sudah menyelesaikan tugas dengan baik. Sementara itu Mila saat sampai kantor pun dia hanya termenung menatap tumpukan laporan penjualan dan juga invoice lainnya. Ingin sekali dia menyelesaikan semua ini, karena bagaimanapun dia harus tetap bekerja. Ada pelanggan yang menunggu dan pesanan yang akan dikirim. Ini membuat Mila merasa stres.Saat seperti ini, yang ada dalam perutnya itu menendang-nendang, seolah mengerti kalau sang Ibu sedang banyak pikiran. Wanita itu pun mengelus bayi yang ada di dalam kandungan dengan memberikan kata-kata yang sekiranya bisa menenangkan anak itu. "Tenang ya, Nak. Kamu jangan ikutan pusing, biar Ibu saja yang pusing. Ibu akan cari cara untuk bertemu dengan ayahmu.
"Sah!"Suara menggema itu dikeluarkan oleh beberapa orang di sana. Dua saksi, satu penghulu, satu wali hakim dan juga ada ART Winda beserta Bu Sinta. Benar-benar sedikit dan tak ada orang lain lagi selain mereka semua. Sebenarnya Winda merasa sedih sebab pernikahan ini hanya diketahui oleh beberapa orang saja, seolah kalau dirinya memang tidak diakui oleh Raka. Tetapi ini lebih baik dibandingkan dirinya terus mengejar-ngejar pria itu. Katakanlah Winda itu adalah wanita bodoh. Dia bisa saja mendapatkan pria kaya, melebihi siapa pun termasuk Raka. Tetapi entah kenapa dia merasa kalau kebahagiaannya pasti ada bersama pria itu. Walaupun harus menjadi yang kedua, Winda rela. Lagi pula yang dicari bukanlah harta, tetapi kasih sayang dari laki-laki yang dicintai. Raka menyematkan cincin di jari manis Winda, lalu mencium keningnya. Ada haru biru yang menyelimuti acara ini. Bu Sinta sampai menantikan air mata, akhirnya sang anak mendapatkan istri yang baik menurut pandangan Bu Sinta. Winda
"Lus, kenalkan. Dia calon suamiku."Alis Lusi bertaut kencang ketika mendengar Mila memperkenalkan seorang pria di hadapan sebagai calon suaminya. Daging merah di dalam dadanya berdenyut keras mendapati sosok pria yang sedang berdiri mematung di sana.Suara Lusi pun terasa tersekat di tenggorokan. Matanya berubah nanar melihat pria yang hanya diam memandangnya dengan tatapan yang tak dapat ia artikan. Sungguh, ini bagaikan mimpi buruk bagi Lusi.Pijakan Lusi di atas bumi ini seperti berputar dan suara Mila seakan makin menjauh dari pendengaran wanita itu.'Tuhan, jika ini hanya mimpi buruk, tolong biarkan aku terjaga.' Lusi membatin dengan perasaan yang penuh kegundahan."Kamu kenal dia, kan?" tanya Mila. "Dia Mas Raka, suamimu," ucapnya sembari tersenyum. Ia melontarkan kalimat itu tanpa rasa bersalah.Jelas saja Lusi kenal dengan pria itu!Dulu, Lusi akan ikut senang jika Mila tersenyum seperti itu. Karena, dia adalah sahabatnya. Ya, orang yang Lusi sayangi setelah keluarganya. Aka
Lusi kembali menjerit di depan Raka. Akan tetapi, pria itu tetap bergeming.Tatapan Lusi teralihkan pada sahabat yang sekarang sudah menjadi musuhnya. Padahal, dia menyayangi Mila seperti saudara sendiri. Namun, malah air tuba yang Mila balas untuk susu yang telah Lusi berikan.Senyum itu, kini tampak menjijikkan di mata Lusi. Mila masih saja tersenyum walaupun sudah ia hina. Mungkin urat malunya sudah putus sampai Mila dengan bangga mengakui kehamilan hasil dari perselingkuhan. Luar biasa sekali."Untuk kamu! Aku baru tahu kalau kamu ternyata cuma seorang jalang!"Wajah Mila seketika berubah. Ada kemarahan yang mulai terlihat di rautnya. Entah kenapa, itu justru membuat rasa sakit Lusi pelan-pelan tersamarkan."Aku memberimu kepercayaaan, tapi malah disalahgunakan. Aku tidak tahu kalau selama ini kamu hanyalah barang murahan!"Kali ini ekspresi dua orang itu menegang. Mungkin tidak menyangka jika seorang Lusi bisa mengeluarkan kata-kata pedas dan menohok."Kalau memang kamu mau Mas
"Aku brengsek, katakanlah begitu. Tapi, aku terpaksa melakukan ini semua."Lusi tersenyum miring mendengar perkataan pria itu. 'Terpaksa katanya? Mana ada hubungan terpaksa yang menyebabkan wanita sundal itu hamil?' rutuk Lusi dalam hati."Terpaksa yang nikmat, ya, Mas. Kamu sampai menghamili Mila karena keterpaksaanmu."Raka mengerang keras. Dia mengguyar rambutnya dengan kasar, lalu kembali menatap Lusi dengan sendu. Wah, hebat sekali suaminya itu. Dia bisa melakukan akting dengan baik."Makanya, dengarkan aku dulu, Lus. Aku akan jelaskan kenapa sampai Mila hamil. Aku hanya ingin kamu mendengarkan penjelasanku." Suara Raka sangat lirih, sesaat Lusi tersentuh. Tetapi, bayangan Mila yang memeluk mesra lengan Raka membuat iba itu hilang begitu saja."Tidak perlu kamu jelaskan apa pun, Mas. Karena semua sudah terlambat. Tidak ada yang berubah, karena nyatanya kamu harus menikahi Mila."Raka terdiam. Dia masih menatap Lusi sendu. Kali ini sesal menyelinap antara kesedihan di mata Raka. L
"Mas!" Lusi menaikkan nada bicara karena kesal pada Raka. Untuk apa Raka memohon pada Lusi jika tidak mau jujur? Tadi saja memaksanya untuk mendengarkan penjelasan Raka. Tetapi, sekarang? Kenapa dia bungkam? Apakah dia sudah berubah pikiran? Semua pertanyaan itu berputar di benak Lusi. "Kalau kamu tidak jawab pertanyaanku, maka--" "Tiga bulan, Lus." Jawaban Raka seperti petir yang menggelegar di atas kepala Lusi. Menyentak jantung dan meluluh lantak1an persendiannya. Apa katanya? Tiga bulan? Itu artinya saat Lusi mencarikan kontrakan baru untuk Mila dan itu kontrakan milik Lusi. Gila! Bagaimana bisa mereka melakukan pengkhianatan di belakang Lusi semulus ini? Lusi kecolongan sampai akhirnya Mila hamil duluan. "Hahaha. Luar biasa, Mas." Entah apa yang mendorongnya sampai tertawa seperti ini. Tidak ada yang lucu, justru hanya ada kepiluan dan miris akan nasib diri. Lusi menertawakan diri sendiri yang bodoh karena terpedaya oleh dua orang pengkhianat itu. "Tiga bulan? Itu artinya
"Lusi ...."Pria itu akhirnya bersuara. Dia mendongak, menatap Lusi yang hanya diam dengan sorot mata datar."Lus, tolong ampuni aku. Aku hanya akan menikahi Mila sampai bayinya lahir, setelah itu aku akan menceraikannya. Tolong mengertilah posisiku, Lus."Bajingan itu lagi-lagi menggenggam tangan Lusi dengan sangat erat. Tetapi, sang wanita sudah tak memedulikannya."Aku sudah jujur padamu, Lus, dan aku akui semua kesalahanku. Aku khilaf, maaf."Lusi terkekeh hambar. Jujur setelah berselingkuh itu bukanlah kejujuran, tapi keterpaksaan."Mas, tadi kamu bilang aku terlalu sempurna? Lalu, kamu bilang jika kamu jenuh? Terus, kamu melampiaskannya dengan cara berselingkuh? Itu biadab namanya, Mas!"Raka diam. Kali ini dia tidak menunduk, tapi menatap istrinya dengan sesal. Sayangnya, Lusi memilih melempar pandangan ke depan."Kamu tahu, Mas? Aku manusia biasa, dan tidak ada yang sempurna di dunia ini. Itu penilaianmu saja yang tidak pernah merasakan bagaimana menjadi diriku. Lalu, jenuh? K
Lusi tersenyum miring, lalu Raka langsung menggenggam erat tangan wanita itu. Tetapi, Lusi mencoba melepaskan diri darinya."Lepas dulu, Mas. Aku mau mengambil Hp."Raka kontan melepaskan genggamannya. Lusi pun dengan cepat mengambil ponsel dari saku. Setelahnya, dia menyetel rekaman."Untuk apa kamu menyetel rekaman, Lus?" tanya Raka, terlihat bingung."Oh, ini? Aku sengaja merekamnya, biar aku dan kamu sama-sama ingat, apa saja yang sudah kita sepakati bersama." Raka masih terlihat bingung, tapi Lusi tetap melanjutkan untuk merekam pembicaraan mereka. Sekarang, situasinya membuat Lusi rugi dari segala arah. Jadi, akan dia pastikan semuanya adil.Lusi mengajak Raka untuk duduk di ruang tengah. Ini mengantisipasi kalau Alia pulang. Jika anak mereka datang, Lusi akan secepatnya menghentikan pembicaraan itu."Nah, Mas. Dengarkan semua yang aku katakan, karena aku malas jika harus menjelaskannya lagi."Raka diam saja dan Lusi pun langsung mengatakan apa saja yang menjadi syarat dari wan
"Sah!"Suara menggema itu dikeluarkan oleh beberapa orang di sana. Dua saksi, satu penghulu, satu wali hakim dan juga ada ART Winda beserta Bu Sinta. Benar-benar sedikit dan tak ada orang lain lagi selain mereka semua. Sebenarnya Winda merasa sedih sebab pernikahan ini hanya diketahui oleh beberapa orang saja, seolah kalau dirinya memang tidak diakui oleh Raka. Tetapi ini lebih baik dibandingkan dirinya terus mengejar-ngejar pria itu. Katakanlah Winda itu adalah wanita bodoh. Dia bisa saja mendapatkan pria kaya, melebihi siapa pun termasuk Raka. Tetapi entah kenapa dia merasa kalau kebahagiaannya pasti ada bersama pria itu. Walaupun harus menjadi yang kedua, Winda rela. Lagi pula yang dicari bukanlah harta, tetapi kasih sayang dari laki-laki yang dicintai. Raka menyematkan cincin di jari manis Winda, lalu mencium keningnya. Ada haru biru yang menyelimuti acara ini. Bu Sinta sampai menantikan air mata, akhirnya sang anak mendapatkan istri yang baik menurut pandangan Bu Sinta. Winda
Sesuai dengan perkiraan, Mila memang datang ke butik yang itu adalah tempat kerja sang wanita hamil. Maura hanya melihat dari kejauhan. Untunglah ada minimarket di depan tempat Mila, jadi dia bisa terus meneliti wanita itu seharian di sana. Meskipun mungkin membosankan, tetapi setidaknya dia sudah menyelesaikan tugas dengan baik. Sementara itu Mila saat sampai kantor pun dia hanya termenung menatap tumpukan laporan penjualan dan juga invoice lainnya. Ingin sekali dia menyelesaikan semua ini, karena bagaimanapun dia harus tetap bekerja. Ada pelanggan yang menunggu dan pesanan yang akan dikirim. Ini membuat Mila merasa stres.Saat seperti ini, yang ada dalam perutnya itu menendang-nendang, seolah mengerti kalau sang Ibu sedang banyak pikiran. Wanita itu pun mengelus bayi yang ada di dalam kandungan dengan memberikan kata-kata yang sekiranya bisa menenangkan anak itu. "Tenang ya, Nak. Kamu jangan ikutan pusing, biar Ibu saja yang pusing. Ibu akan cari cara untuk bertemu dengan ayahmu.
"Kamu pikir aku percaya begitu saja dengan sikap baikmu yang tiba-tiba? Tentu tidak! Kamu salah jika berurusan denganku atau mau menipuku. Aku tidak akan semudah itu dipermainkan," timpal Mila, setelah itu dia pun kembali menutup pintu membuat Maura terdiam. Tampaknya dia benar-benar salah sedang pura-pura baik kepada wanita ini. Maura hanya bisa berdiri di depan pintu dan memilih untuk pergi saja. Dia tidak akan berkata apa-apa lagi dan hanya akan memantau ke mana wanita itu pergi. Lagi pula dia sudah berusaha untuk berpura-pura baik agar rencananya mudah, tetapi sayangnya memang Mila tidak semudah itu dibohongi. Mila hanya terdiam diri di depan pintu sembari menatap lurus ke depan. Dia seperti orang stress yang kehilangan sesuatu, tetapi memang kenyataannya wanita itu merasa kalau saat ini dirinya lemah tanpa adanya Raka. Anaknya juga sering menendang di perut kalau sang suami tidak ada di sampingnya. Mila kembali meneteskan air mata, merasa hidupnya benar-benar tak berguna karen
Pagi-pagi sekali Maura sudah membereskan semua pekerjaan di rumah Mila. Hatinya merutuk, tetap saja kalau begini wanita itu seperti pembantu. Tetapi mengingat uang yang akan diberikan Raka, Maura merasa senang. Dia yakin pasti tidak sedikit, sebab ini akan sulit karena harus mengikuti Mila ke manapun dan mencegah wanita itu untuk pergi ke tempat Raka. Mila bangun dengan perasaan malas dan juga tak karuan. Ruang hatinya merasa aneh karena tidak ada Raka di sini. Kerinduan begitu menyeruak dalam dada, hingga wanita itu pun menangis. Dia mengelus perutnya yang sudah mulai membuncit, berbicara kepada anak yang ada di dalam kandungan kalau mereka berdua harus kuat menjalani semua ini. "Nggak apa-apa, ya, Nak. Kita pasti kuat menjalaninya. Kamu harus tenang, Ibu akan melakukan apa pun agar Ayah tetap di samping kita. Tenang saja. Ibu sudah terbiasa merasakan sakit hati dan kebal dengan semua keadaan. Ibu berjanji akan menyingkirkan semua orang yang berusaha untuk memisahkan kita bertiga.
"Iya, Mas. Katakan saja. Aku akan melakukan apa pun, sekiranya bisa membantumu," ucap Maura dengan semangat, membuat Raka merasa heran. Tetapi tak urung pria itu tetap memilih untuk mengatakan sesuatu secara rahasia. Pernikahan dia dan Winda tidak boleh diketahui oleh siapa pun, termasuk Maura. Tidak ada yang tahu kalau wanita itu bisa saja mengkhianatinya demi uang. Sekarang saja Maura pasti mau melakukan segalanya demi uang. Sebab dia juga ingin keluar dari rumah Mila dan mendapatkan tempat tinggal. Apalagi kalau bukan uang yang akan membeli rumah itu? "Maura, besok ada acara penting. Aku akan pergi dengan Ibu. Aku takut kalau Mila tiba-tiba saja mencariku ke rumah Ibu dan malah ngamuk-ngamuk tidak jelas. Jadi, bisakah kamu pastikan kalau Mila tidak pergi ke rumah ibuku?" pinta Raka, tiba-tiba saja membuat semangat Maura yang sebelumnya tinggi langsung meredup. Dia sangat kecewa sebab yang diberitakan oleh Raka itu berbeda jauh dengan harapannya, berarti pernikahan mereka bukan
Raka menatap ibunya sejenak. Setelah dipikir-pikir mungkin sebaiknya dia tidak menceritakan apa pun kepada Bu Sinta. Ini demi kebaikan bersama, karena selama beberapa kali mendapat masalah karena ibunya. Raka harus berpikir ulang, takut kalau Bu Sinta melakukan hal yang di luar batas dan akan mengacaukan segalanya. "Tidak, Bu. Aku hanya mengatakan itu saja, Ibu yang bilang sendiri kalau aku mau lepas dari Mila harus mengambil anak itu. Jadi, aku hanya akan berencana mengambil anaknya setelah Mila melahirkan," ungkap pria itu akhirnya memilih untuk berbohong. Memang sebaiknya diam saja dan tidak perlu mengatakan apa pun kepada Bu Sinta. Lebih sedikit yang diketahui wanita paruh baya itu lebih baik dibandingkan terjadi sesuatu nanti yang akan menghancurkan segalanya. Bu Sinta hanya menganggukkan kepala dan mereka berdua pun kembali melanjutkan makan. Tak ada yang bersuara sampai semuanya selesai. Raka istirahat di kamarnya yang dulu. Dia tiduran sembari menatap langit-langit kamar.
Amanda menatap amplop itu dengan diam. Sebenarnya dia ingin sekali mengambil gaji yang diberikan oleh Devan, tetapi ada hal yang membuatnya tertahan. "Aku tidak akan mengambil gajinya. Mas, simpan saja. Lagi pula kamu tidak percaya padaku, kan? Anggap saja itu kompensasi yang aku berikan kepadamu, karena kamu merasa tidak aman sebab kehadiranku," ujar wanita itu dan akhirnya pergi dari hadapan Devan. Pria itu diam saja. Dia menetap kepergian Amanda dengan perasaan gelisah. Sebenarnya sang pria ingin mempertahankan Amanda, setidaknya ada bantuan karena pegawai yang ada di sini hanya 2 koki dan dirinya saja. Beberapa mantan karyawan, enggan bergabung dengan restoran Devan lagi. Sebab yakin kalau restorannya tidak akan seramai dulu, tapi melihat Amanda yang sudah mendatangi seorang dukun membuat Devan juga ketakutan bila dirinya dicelakai oleh wanita itu. Tidak ada yang menjamin. Dia juga belum mengenal Amanda sepenuhnya, yang bisa dilakukan hanyalah membuat dirinya aman sampai benar-
"Tidak, aku tidak mau mengambil risiko apa pun. Amanda, sebenarnya sudah sejak tahu kamu pergi ke dukun, ingin sekali memecatmu. Tapi aku sudah menunggu waktu yang tepat, di saat kamu jujur barulah aku akan memecatmu," papar Devan membuat Amanda menghela napas pelan.Matanya berkaca-kaca. Padahal dia berniat untuk menyembuhkan Devan, tetapi pria itu malah mengira kalau dirinya yang sudah mengguna-guna."Mas, sampai segitunya ya kamu nggak percaya sama aku? Aku jujur, Mas. Aku bilang, ayo kita pergi ke orang pintar itu dan bertanya langsung! Aku janji tidak akan menelpon atau bekerja sama lagi dengannya. Apalagi sampai membohongi kamu, itu tidak akan pernah terjadi," ungkap Amanda berusaha untuk meyakinkan pria itu, tetapi sayangnya Devan tidak mau lagi mendengarkan. Dia sudah sakit hati, ditambah lagi pengkhianatan dari Arya, pria itu tidak mau lagi mendapatkan hal yang serupa, sebab dulu Amanda juga datang bersama Arya. Meskipun tidak terbukti, tapi pria itu merasa kalau Amanda puny
"Benarkah seperti itu? Tapi, kenapa aku meragukannya, ya? Ingat, kalau kamu itu yang mati-matian untuk mendekatiku. Bahkan menghalalkan segala cara atau jangan-jangan kamu juga punya sangkut pautnya dengan Arya? Iya, kan?!" Seketika tubuh Amanda menegang di tempat. Kalau sampai pria itu tahu apa yang sebenarnya terjadi, maka semua kesempatan untuk mendapatkan Devan akan sirna tanpa sisa. "Kenapa Mas berpikiran seperti itu?" tanya Amanda berusaha untuk tenang. Dia tidak boleh memperlihatkan ketakutannya atau Devan akan mencurigai dan malah semakin menjauhinya. "Ya, karena kamu yang dipekerjakan oleh Arya. Kamu yang dikenalkan oleh Arya dan aku berpikir, semua kebangkrutanku ini juga atas campur tangan kamu, kan?!" Amanda langsung menggelengkan kepala, berusaha untuk menepis semua tuduhan itu meskipun benar. "Tidak, Mas. Kamu jangan nuduh sembarangan, dong. Aku tidak tahu menahu perihal perilaku Mas Arya sama kamu. Lagi pula aku memang murni mendapatkan pekerjaan dari dia setelah