"Jangan menguji kesabaranku, Maura! Kamu tidak seharusnya mengetahui semua itu," ucap Mila. Maura tersenyum sinis. Dia melipat tangan di depan dada. "Seharusnya aku lebih tahu banyak tentang masa lalu Kakak, agar aku bisa menyimpan kartu AS Kakak dan tidak semena-mena kepadaku," ungkap wanita itu dengan santai. Dia sudah menyingkirkan rasa takutnya kepada Mila. Ternyata kalau dilawan, wanita hamil itu tidak ada apa-apanya. Cukup memegang bukti kuat tentang kejelekan Mila, maka semua akan baik-baik saja. Begitu pikir Maura. "Kamu salah sudah berurusan denganku, Maura. Kamu tidak tahu seperti apa aku.""Oh, tentu saja. Aku harus tahu dulu Kakak seperti apa, agar aku bisa melawan Kakak. Dipikir-pikir, kenapa nggak dari dulu aja aku lawan Kakak? Dengan begitu Kakak tidak akan semena-mena kepadaku." Mila mengepalkan kedua tangannya. Dia benar-benar sudah muak dengan semua perbincangan ini. Adiknya sudah kelewat batas mengatakan hal-hal yang tidak seharusnya diketahui.Tanpa mengatakan
David tersenyum senang saat mendengar kabar itu. Dia akan memberikan bonus yang sangat banyak kepada anak buah yang menemukan Lusi. "Bagus, kalau begitu kamu terus ikuti. Bila perlu kamu berpura-pura saja jadi pedagang atau apa pun yang bisa menggali informasi untuk Lusi. Yang pasti aku ingin tahu apa yang diinginkan oleh wanita itu," terang David dan langsung diikuti oleh anak buahnya. Kebetulan saat itu Lusi mampir di sebuah warteg tak jauh dari tempat sekolah Alia. Sebenarnya dia bisa saja pergi ke restoran, tapi entah kenapa wanita itu lebih nyaman di warteg karena memang dalam keadaan sepi juga dekat dengan jalan. Jadi, dia bisa leluasa tanpa perlu harus mencari kafe lagi hanya untuk makan.Melihat wanita itu pergi ke warteg, anak buah yang diutus oleh David pun ikut dan pura-pura makan di sana. Dia ingin mendengarkan apa yang mungkin saja bisa menjadi informasi berharga untuk bosnya. Setelah memesan makanan, Lusi pun maka dengan santai di sana. Si pemilik ke warteg pun bertan
Anak buah David berusaha untuk tersenyum sebaik mungkin. Dia akan memperlihatkan keramahtamahan, agar wanita itu tidak curiga kepadanya. "Kebetulan saya juga karyawan di sana, Teh. Jadi, saya menawarkan saja. Bos saya lagi cari asisten. Siapa tahu Teteh berminat. Silakan," ucap orang itu sembari menyodorkan kartu nama. Lusi awalnya ragu-ragu. Tetapi dia melirik kepada pemilik warteg dan tersenyum sembari mengangguk. "Ambil aja, Teh. Siapa tahu rezeki di situ. Mana jadi asisten Bos lagi. Kayaknya gajinya gede," ujar wanita itu sembari tersenyum. Lusi tersenyum kaku. Akhirnya dia menerima kartu nama itu. Untuk masalah apakah dia akan melamar atau tidak, mungkin nanti dipikirkan lagi. Yang terpenting jangan sampai menyindir orang yang berbaik hati seperti di depannya.Setelah itu, Lusi pamit untuk pergi. Sang pria berusaha untuk menjeda jarak di antara kepergian Lusi dan dirinya. Dia tidak mau dicurigai oleh Ibu warteg itu dan malah berbuntut panjang, sebab dia tahu sekarang di mana
"Kenapa kamu diam saja? Jangan takut, bicara kepadaku. Apa Mila mengusirmu juga?" tanya Raka, tiba-tiba saja membuat Maura semakin kelabakan. Dia takut salah bicara dan malah berbalik menjadi bumerang untuknya. Tetapi dalam situasi seperti ini, dia juga tidak mau kalah dari Mila. Harus benar-benar membuat kakaknya menderita."Iya, aku juga nggak tahu, sih, Mas. Apakah dia mengusir aku atau enggak, tapi intinya tadi itu Mbak Mila marah-marah kepadaku karena tiba-tiba saja menghilang. Padahal kan aku disuruh sama dia buat keluar dulu, belanja," ungkap Maura tiba-tiba saja mendapat ide seperti itu. Dia sudah mengarang cerita dan mungkin kelanjutannya akan semakin melebar kebohongannya. "Terus gimana?" tanya Raka, ingin tahu.Kalau misalkan Raka benar-benar mengusir, maka wanita itu sudah benar-benar parah. Membuat orang yang tidak tahu apa-apa ikut terseret dalam masalah mereka. "Ya, aku cuma disuruh keluar dulu. Tapi, nggak tahu apakah itu diusir atau cuma amarahnya saja yang keluar
"Tidak, aku tidak pernah bermaksud seperti itu.""Lalu, kata-kata tadi apa, Mas?" tanya Maura. Dia benar-benar tidak bisa berpikir jernih saat ini, karena semua perkataan Raka itu terus terngiang-ngiang di telinganya. "Begini, dengarkan aku baik-baik. Aku kasihan kepadamu kalau terus-terusan di rumah Mila. Dia pasti akan terus menjadikan kamu pelampiasan amarahnya, karena kamu tahu sendiri, kan? Mila itu tempramental, ditambah dia dalam keadaan hamil. Pasti akan semakin sering menyalahkanmu. Jadi, aku pikir bagaimana kalau misalkan kamu pindah saja?"Maura terperangah. Di sisi lain, dia merasa tersanjung karena ternyata Raka memikirkan tentang nasibnya. Tetapi, dia juga bingung kalau tidak di rumah itu, lalu dia harus di mana?Mana mungkin Maura tiba-tiba saja bilang akan tinggal di rumah Bu Sinta? Bagaimana kalau misalkan Raka berkunjung ke rumah Bu Sinta dan tahu kalau dirinya tinggal di sana, mungkin pria itu akan bertanya macam-macam kepada dirinya. "Lalu, kalau misalkan aku ke
"Kalau gitu, kenapa Mas masih bertahan? Tinggalin saja Mbak Mila," ucap Maura dengan frontal, membuat pria itu langsung menoleh.Bahkan Raka sampai menawarkan kedua alisnya. "Kenapa kamu berpikir seperti itu? Kan kamu tahu kalau Mila itu sedang mengandung anakku," elak Raka tiba-tiba saja dengan tatapan mengintimidasi, membuat Maura seketika ciut.Namun dengan niat yang penuh dengan rasa dendam, Maura berusaha untuk memberanikan diri, meracuni pikiran Raka agar bisa melepaskan Mila.Biar saja kakaknya itu sengsara. Anak yang ada dalam kandungan juga harus merasakan sengsara. Karena dia tidak terima kalau kehidupan Mila dan turunannya itu bahagia, sementara dia mendapatkan trauma yang begitu dalam di masa lalu. Tidak, Maura tidak pernah ikhlas dengan semua itu. "Iya, aku tahu, sih, Mas. Bukan maksudku buruk. Tapi, kasihan aja sama Mas. Apalagi sama Ibu Mas. Walaupun memang orang tua bersikap buruk, tapi tidak seharusnya dibalas dengan buruk juga, kan? Kalau aku jadi Mbak Mila, itu le
"Jadi, maksudmu Mila itu tidak baik untukku?" tanya Raka. Sebenarnya semua itu adalah pancingan, ingin tahu bagaimana anggapan Maura terhadap Mila. Dia butuh pandangan beberapa orang yang mengenal Mila, bisa tahu bagaimana sifat sang istri yang sebenarnya. "Ya, kalau misalkan Mas Raka tanya siapa yang pantas dengan Mas Raka, tentu saja Mbak Lusi. Tapi aku tahu sih, Mas Raka juga sulit untuk meraih Mbak Lusi," ucap Maura dengan sarkas, membuat Raka langsung tersentak. Entah kenapa dia merasa tersinggung dengan semua perkataan Maura. Tetapi dia tidak mau berpikir banyak, yang penting sekarang mencari jalan keluar yang terbaik untuk masalah yang terus menimpanya selain Lusi."Jangan bahas mantan istriku lagi. Kamu tahu kan maksudku? Jawablah pertanyaanku dengan baik. Jangan mengatakan macam-macam dengan cerita-cerita yang sudah berlalu," ungkap Raka. Kali ini wajahnya tampak serius, membuat Maura akhirnya berdehem beberapa kali. Lama-lama Raka mungkin akan marah kepadanya, kalau Maur
"Gini saja, kalau memang mau mempertahankan anak Mas, gimana kalau misalkan Mas tinggal menggugat hak asuh anak? Bilang saja kalau misalkan Mbak Mila itu bukan wanita yang baik untuk dijadikan Ibu.""Maksud kamu apa?" tanya Raka, tidak mengerti."Ya, seperti yang mas bilang. Mbak Mila itu tempramental. Memangnya bisa seorang anak hidup dengan seorang Ibu yang temperamental? Bukannya merasa nyaman, aku yakin anaknya pasti akan tertekan jika hidup dengan seorang Ibu yang pemarah seperti Mbak Mila. Menurutku itu adalah cara yang paling baik atau jika perlu Mas ajak aja Mbak Mila tes psikologi dan lihat, dia itu mengidap apa sampai kelakuannya itu barbar sekali?" ungkap Maura, tidak mau memfilter ucapannya. Biarkan saja memang kenyataannya seperti itu. "Apa kamu perlu mengatakan hal seperti itu kepada orang yang sudah menolongmu?" tanya Raka sedikit kesal, karena Maura juga tidak bisa menyaring ucapannya."Maaf ya, Mas. Yang menolong aku itu kamu, bukan Mbak Mila," terang Maura, tidak ma
Suara dering ponsel membuat Mila terkesiap dan kontan menghentikan tangisannya. Ternyata dari karyawannya. Tampaknya wanita itu harus segera kembali ke butik, sebab pasti kerjaannya semakin banyak.Dia tidak mungkin terus-terusan larut dalam kesedihan karena menangisi Raka, sementara ada usaha yang harus terus dijalankan. Kalau tidak, dirinya akan jatuh miskin dan benar-benar kehilangan Raka. Pria itu tidak mungkin mau hidup susah dengannya, jadi cara satu-satunya mempertahankan Raka yaitu dengan banyak uang. Miris, bukan? Harusnya di sini seorang pria yang melakukan ini semua, tetapi Mila mau tidak mau harus menghasilkan banyak uang demi mempertahankan Raka.Ya, demi agar anaknya bisa merasakan kasih sayang seorang Ayah. Demi dirinya yang tidak lagi dijandakan oleh pria itu. Mila hanya bisa tersenyum miris, tetapi tak urung tetap kembali menjalankan mobilnya. Berusaha untuk tegar. Wanita hamil itu mengelus-elus perutnya yang mulai membesar. "Sabar ya, Nak. Ibu akan berusaha sebaik
"Kamu sudah gila, ya? Apa yang baru saja kamu katakan?!" tanya Bu Sinta, kali ini wanita paruh baya itu marah karena anaknya malah merahasiakan pernikahan dengan Winda. Harusnya biarkan saja diberi tahu semua orang, termasuk Mila. Agar ketahuan bagaimana reaksi wanita hamil itu, berharap kalau Mila mau tahu diri dan memilih untuk pergi dari kehidupan Raka. Tetapi tampaknya Raka sama sekali enggan untuk mempublikasikan hubungannya dengan Winda. "Aku tidak gila, Bu. Karena aku waras, makanya merahasiakan semua ini.""Lalu, bagaimana dengan perasaan Winda?" "Aku yakin, Winda juga pasti akan mengerti dengan situasi ini. Kami sudah saling sepakat. Jadi, aku harap Ibu tidak merecoki rencana kami.""Apa yang sedang kamu rencanakan sebenarnya, Raka? Ibu kasihan kalau Winda statusnya disembunyikan dari siapa pun." "Bu, aku melakukan ini demi kebaikan bersama. Bahkan Winda juga berkata, dia tidak akan ikut campur urusan aku dan juga Mila. Sebaliknya, Mila juga tidak boleh ikut campur urusan
"Itulah masalahnya, Bu. Mila tidak sebodoh yang kita kira. Dia bisa saja mengantisipasi untuk mendapatkan hak asuh anak dengan cara menahanku. Dia pasti sudah melakukan berbagai cara agar aku bisa berada di sisinya, termasuk anak itu." "Lalu, bagaimana? Kalau memang kamu tidak mau terikat dengan Mila, lepaskan anak itu. Kalau misalkan kamu ingin anak itu, cari cara menyingkirkan Mila. Mudah, kan?" "Tidak semudah itu, Bu. Aku tahu Ibu benci Mila, tapi tolong jangan benci anakku. Dia tidak tahu apa-apa. Bukankah bayi yang ada di dalam kandungan setiap Ibu hamil itu tidak berdosa? Kalau pun memang harus disalahkan, Mila sendiri dan aku. Jadi, kumohon kali ini saja Ibu mau menuruti permintaanku." Bu Sinta menghela napas kasar. Dalam hatinya tidak mau mengurusi cucunya itu. Lagi pula menurutnya cucu yang baik itu hanya Alia. Walaupun dia tidak tahu bagaimana nanti anak Mila, tapi wanita paruh baya sudah menafsirkan kalau sifat Mila pasti akan turun kepada anaknya sendiri. "Ya, terserah
"Bagus, bagus! Ibu setuju dengan keputusanmu. Kan sudah Ibu bilang, Winda itu adalah istri yang baik untuk kamu. Dibandingkan dengan Mila, Ibu lebih setuju dengan Winda. Dia itu baik hati, tidak perhitungan dan juga mengerti keadaan kamu dan Ibu. Jadi, menurut Ibu kamu itu memang harus memilih Winda. Bagus-bagus," papar Bu Sinta dengan semangat. Dia bahkan terus-terusan tersenyum sembari membereskan piring bekas makan Raka. Pria itu belum berani untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi, kalau diam saja pun tidak akan mengubah situasi yang ada. Keadaan semakin kacau karena pasti Bu Sinta akan menyerang Mila atau malah melakukan sesuatu yang sangat membahayakan untuk rencana ke depannya."Iya, Bu. Tapi aku akan menjadikannya istri kedua."Bu Sinta hampir saja melepaskan piring yang ada di tangan saat Raka mengatakan hal tersebut. Wanita paruh baya itu langsung menyimpan piring kotor dan kembali ke hadapan anaknya dengan wajah kaget. "Apa kamu bilang tadi? Istri kedua? Maks
Wanita hamil itu hanya bisa pergi dengan perasaan kesal. Mungkin Mila bisa saja menerobos masuk, tetapi dia khawatir kalau Raka akan benar-benar murka kepadanya dan semua perkataan pria itu menjadi kenyataan. Membayangkannya saja membuat Mila ketakutan, apalagi kalau benar Raka akan meninggalkannya dan anak yang ada di dalam kandungan. Akhirnya Mila tidak punya pilihan lain, kecuali mengalah terlebih dahulu. Dia akan mencoba kembali untuk membujuk Raka setelah 3 hari, berharap kalau pria itu benar-benar akan kembali kepadanya. Setelah kepergian Mila, Raka dan Bu Sinta pun sedang duduk berhadapan di meja makan, tepat di depannya tampak sekali makanan yang sudah terhidang dan aromanya begitu menggugah selera Raka. Kebetulan pria itu hanya makan ala kadarnya. Saat melihat semua ini, tentu rasa lapar pria itu menyeruak. Tetapi sebelumnya Raka harus memberitahukan kedatangan dirinya kepada Bu Sinta. "Ibu masak untukku?" "Tentu saja. Kamu pikir Ibu akan masak untuk siapa? Istrimu? Ibu
"Mas, aku mohon. Pulanglah bersamaku, jangan seperti ini." Mila sekarang menghiba sembari menangis. "Tolong, jangan buat aku merasa menderita dan tertekan seperti ini. Aku janji, aku tidak akan mengekangmu lagi. Kamu boleh keluar, asalkan kamu bicara dulu kepadaku." "Tidak, ini sudah ketiga kalinya kamu mengatakan hal yang sama, tetapi kenyataannya seperti apa? Kamu tetap saja mengganggu dan menuduhku macam-macam.""Lalu, aku dengan siapa, Mas? Aku tidak mungkin sendiri.""Ada Maura."Seketika Mila malah terdiam. Dia sedang berusaha untuk akting sebaik mungkin agar Raka mau pulang dengannya. Tetapi malah nama Maura yang disebutkan. Dia benar-benar kesal karena adiknya itu malah masuk dalam permasalahan rumah tangganya. "Dia kan bukan siapa-siapa kita. Lagi pula di sini yang harus tanggung jawab atas keselamatan aku dan anak ini kan kamu, Mas." Mila sama sekali tidak bisa diajak berbicara baik-baik. Sekeras apa pun Raka menjelaskan, Mila juga sama kerasnya. Tidak mau mengalah. Rak
"Tidak sekarang, Mila. Aku akan pulang setelah semua urusanku selesai." Mila menautkan kedua alis dengan perasaan bingung. "Apa maksud kamu, Mas? Urusan apa yang kamu lakukan di sini?" Raka menghela napas panjang sembari memijat pelipisnya yang berdenyut. Tidak mungkin dia mengatakan kalau besok dirinya akan menikah dengan Winda. Yang pasti pria itu harus mengelabui Mila. Jangan sampai wanita itu benar-benar menghancurkan semua rencananya. Karena kalau Mila tahu kalau dirinya ingin mencari Lusi dan juga Alia, maka saat itu juga dia mendapat tekanan lagi dari wanita ini. "Aku hanya ingin bertemu dengan ibuku, menghabiskan waktu dengan ibuku." "Lalu, kamu meninggalkan istrimu?" tanya Mila. Matanya berkaca-kaca. Dia tidak menyangka Raka akan melakukan hal seperti ini. Padahal yang harus ditemani adalah Mila. Dia sedang hamil. Kenapa Raka tidak mau melakukan itu? "Dia anakku. Hak dia dong untuk menemani ibunya!"Mila kesal karena Bu Sinta malah ikut campur. Harusnya wanita paruh bay
Bu Sinta maupun Mila kaget mendengar suara Raka yang menggelegar, tampak sekali wajahnya memerah seperti menahan emosi karena sudah dari tadi kedua wanita berbeda usia ini terus saja bertengkar. "Apa kalian tidak bisa diam?! Jangan terus-terusan mengoceh dengan berbagai macam alasan! Aku punya keputusan sendiri," ucap Raka, membuat Bu Sinta dan Mila kaget bersamaan. Mereka takut jika Raka mengambil keputusan yang salah dan merugikan kedua belah pihak. Mila berharap kalau Raka tidak meninggalkannya, berbeda dengan Bu Sinta yang ingin anaknya kembali kepada Bu Sinta dan menceraikan Mila. Pria itu menoleh kepada Mila dengan tatapan sinis. Dia sudah jengah dengan semua perlakuan istrinya ini. Mila berbeda jauh dengan wanita yang dulu pernah menjalin hubungan dengannya. Apa mungkin memang sifat asli Mila seperti ini? Begitu pikir Raka atau hanya karena perubahan hormon Ibu hamil akhirnya Mila lebih protektif dan temperamental? Semua itu masih bergerilya di pikiran Raka, belum bisa menga
"Jangan percaya sama Ibu, Mas! Kamu tahu sendiri, kan? Gara-gara Ibu, kamu hampir kehilangan anak ini. Dia yang memalsukan tes DNA anak ini!" seru Mila tiba-tiba saja mengalihkan pembicaraan, membuat Bu Sinta terdiam dan wanita paruh baya itu benar-benar kaget kala Mila membahas lagi masalah yang sudah berlalu. Padahal sekarang permasalahan utamanya adalah Mila yang tidak pernah bisa membebaskan Raka, selalu saja mengekang dan harus berada di samping wanita itu. "Kenapa kamu malah ngomongin itu sekarang? Bukan waktunya kamu berbicara hal yang sudah berlalu.""Oh, kenapa tidak, Bu? Tentu saja aku harus bicara dengan Mas Raka, kalau Ibu itu tidak mau melihat anak ini lahir, kan?" Keadaan semakin genting saat ini. Kalau Mila mengatakan hal seperti itu, tentu saja Bu Sinta tidak mau kalah. Baginya pertarungan ini harus dimenangkan olehnya, karena ini adalah satu-satunya cara dan kesempatan yang langka untuk mendapatkan anaknya kembali. "Jaga bicaramu! Itu sudah berlalu, aku melakukan