"Lus, kenalkan. Dia calon suamiku."Alis Lusi bertaut kencang ketika mendengar Mila memperkenalkan seorang pria di hadapan sebagai calon suaminya. Daging merah di dalam dadanya berdenyut keras mendapati sosok pria yang sedang berdiri mematung di sana.Suara Lusi pun terasa tersekat di tenggorokan. Matanya berubah nanar melihat pria yang hanya diam memandangnya dengan tatapan yang tak dapat ia artikan. Sungguh, ini bagaikan mimpi buruk bagi Lusi.Pijakan Lusi di atas bumi ini seperti berputar dan suara Mila seakan makin menjauh dari pendengaran wanita itu.'Tuhan, jika ini hanya mimpi buruk, tolong biarkan aku terjaga.' Lusi membatin dengan perasaan yang penuh kegundahan."Kamu kenal dia, kan?" tanya Mila. "Dia Mas Raka, suamimu," ucapnya sembari tersenyum. Ia melontarkan kalimat itu tanpa rasa bersalah.Jelas saja Lusi kenal dengan pria itu!Dulu, Lusi akan ikut senang jika Mila tersenyum seperti itu. Karena, dia adalah sahabatnya. Ya, orang yang Lusi sayangi setelah keluarganya. Aka
Lusi kembali menjerit di depan Raka. Akan tetapi, pria itu tetap bergeming.Tatapan Lusi teralihkan pada sahabat yang sekarang sudah menjadi musuhnya. Padahal, dia menyayangi Mila seperti saudara sendiri. Namun, malah air tuba yang Mila balas untuk susu yang telah Lusi berikan.Senyum itu, kini tampak menjijikkan di mata Lusi. Mila masih saja tersenyum walaupun sudah ia hina. Mungkin urat malunya sudah putus sampai Mila dengan bangga mengakui kehamilan hasil dari perselingkuhan. Luar biasa sekali."Untuk kamu! Aku baru tahu kalau kamu ternyata cuma seorang jalang!"Wajah Mila seketika berubah. Ada kemarahan yang mulai terlihat di rautnya. Entah kenapa, itu justru membuat rasa sakit Lusi pelan-pelan tersamarkan."Aku memberimu kepercayaaan, tapi malah disalahgunakan. Aku tidak tahu kalau selama ini kamu hanyalah barang murahan!"Kali ini ekspresi dua orang itu menegang. Mungkin tidak menyangka jika seorang Lusi bisa mengeluarkan kata-kata pedas dan menohok."Kalau memang kamu mau Mas
"Aku brengsek, katakanlah begitu. Tapi, aku terpaksa melakukan ini semua."Lusi tersenyum miring mendengar perkataan pria itu. 'Terpaksa katanya? Mana ada hubungan terpaksa yang menyebabkan wanita sundal itu hamil?' rutuk Lusi dalam hati."Terpaksa yang nikmat, ya, Mas. Kamu sampai menghamili Mila karena keterpaksaanmu."Raka mengerang keras. Dia mengguyar rambutnya dengan kasar, lalu kembali menatap Lusi dengan sendu. Wah, hebat sekali suaminya itu. Dia bisa melakukan akting dengan baik."Makanya, dengarkan aku dulu, Lus. Aku akan jelaskan kenapa sampai Mila hamil. Aku hanya ingin kamu mendengarkan penjelasanku." Suara Raka sangat lirih, sesaat Lusi tersentuh. Tetapi, bayangan Mila yang memeluk mesra lengan Raka membuat iba itu hilang begitu saja."Tidak perlu kamu jelaskan apa pun, Mas. Karena semua sudah terlambat. Tidak ada yang berubah, karena nyatanya kamu harus menikahi Mila."Raka terdiam. Dia masih menatap Lusi sendu. Kali ini sesal menyelinap antara kesedihan di mata Raka. L
"Mas!" Lusi menaikkan nada bicara karena kesal pada Raka. Untuk apa Raka memohon pada Lusi jika tidak mau jujur? Tadi saja memaksanya untuk mendengarkan penjelasan Raka. Tetapi, sekarang? Kenapa dia bungkam? Apakah dia sudah berubah pikiran? Semua pertanyaan itu berputar di benak Lusi. "Kalau kamu tidak jawab pertanyaanku, maka--" "Tiga bulan, Lus." Jawaban Raka seperti petir yang menggelegar di atas kepala Lusi. Menyentak jantung dan meluluh lantak1an persendiannya. Apa katanya? Tiga bulan? Itu artinya saat Lusi mencarikan kontrakan baru untuk Mila dan itu kontrakan milik Lusi. Gila! Bagaimana bisa mereka melakukan pengkhianatan di belakang Lusi semulus ini? Lusi kecolongan sampai akhirnya Mila hamil duluan. "Hahaha. Luar biasa, Mas." Entah apa yang mendorongnya sampai tertawa seperti ini. Tidak ada yang lucu, justru hanya ada kepiluan dan miris akan nasib diri. Lusi menertawakan diri sendiri yang bodoh karena terpedaya oleh dua orang pengkhianat itu. "Tiga bulan? Itu artinya
"Lusi ...."Pria itu akhirnya bersuara. Dia mendongak, menatap Lusi yang hanya diam dengan sorot mata datar."Lus, tolong ampuni aku. Aku hanya akan menikahi Mila sampai bayinya lahir, setelah itu aku akan menceraikannya. Tolong mengertilah posisiku, Lus."Bajingan itu lagi-lagi menggenggam tangan Lusi dengan sangat erat. Tetapi, sang wanita sudah tak memedulikannya."Aku sudah jujur padamu, Lus, dan aku akui semua kesalahanku. Aku khilaf, maaf."Lusi terkekeh hambar. Jujur setelah berselingkuh itu bukanlah kejujuran, tapi keterpaksaan."Mas, tadi kamu bilang aku terlalu sempurna? Lalu, kamu bilang jika kamu jenuh? Terus, kamu melampiaskannya dengan cara berselingkuh? Itu biadab namanya, Mas!"Raka diam. Kali ini dia tidak menunduk, tapi menatap istrinya dengan sesal. Sayangnya, Lusi memilih melempar pandangan ke depan."Kamu tahu, Mas? Aku manusia biasa, dan tidak ada yang sempurna di dunia ini. Itu penilaianmu saja yang tidak pernah merasakan bagaimana menjadi diriku. Lalu, jenuh? K
Lusi tersenyum miring, lalu Raka langsung menggenggam erat tangan wanita itu. Tetapi, Lusi mencoba melepaskan diri darinya."Lepas dulu, Mas. Aku mau mengambil Hp."Raka kontan melepaskan genggamannya. Lusi pun dengan cepat mengambil ponsel dari saku. Setelahnya, dia menyetel rekaman."Untuk apa kamu menyetel rekaman, Lus?" tanya Raka, terlihat bingung."Oh, ini? Aku sengaja merekamnya, biar aku dan kamu sama-sama ingat, apa saja yang sudah kita sepakati bersama." Raka masih terlihat bingung, tapi Lusi tetap melanjutkan untuk merekam pembicaraan mereka. Sekarang, situasinya membuat Lusi rugi dari segala arah. Jadi, akan dia pastikan semuanya adil.Lusi mengajak Raka untuk duduk di ruang tengah. Ini mengantisipasi kalau Alia pulang. Jika anak mereka datang, Lusi akan secepatnya menghentikan pembicaraan itu."Nah, Mas. Dengarkan semua yang aku katakan, karena aku malas jika harus menjelaskannya lagi."Raka diam saja dan Lusi pun langsung mengatakan apa saja yang menjadi syarat dari wan
Raka tidak melanjutkan ucapannya. Cukup lama dia terdiam, membuat Lusi mendesah kasar. Kalau Raka tidak mau, Lusi akan menawarkan perceraian hari ini juga. "Gimana, Mas? Itu syarat pertamaku. Kalau kamu tidak mau, gak masalah. Aku akan kirim gugatan--" "Oke, oke. Aku mau." Raka langsung memotong ucapan Lusi. Dia pasti takut mendengar kata cerai. Lusi tersenyum puas. Sekarang, dia akan melanjutkan syarat yang kedua. "Oke, yang kedua. Semua usaha yang kamu kelola, aku ambil alih. Aku yang akan mengelolanya." "Apa?!" Raka berdiri dengan wajah syok. Wajah yang membuat Lusi bersorak dalam hati. Inilah yang ditunggu-tunggu oleh wanita itu. Kejatuhan Raka dan keterpurukan suaminya, akan membuat Lusi bahagia. "Apa kamu bilang tadi? Kamu mau mengelola usaha kita?" "Sttt!" Lusi menempelkan jari telunjuk di bibirnya sendiri, menyuruh Raka untuk diam. "Kita? Maaf, ya, Mas. Itu usahaku, atas namaku. Kamu hanya mengelolanya saja, hak paten itu ada padaku. Apa kamu lupa?" Otot wajah Raka t
Raka terdiam saja. Dia mungkin bingung untuk memberikan keputusan. Karena, Mila pun harus tahu tentang persyaratan dari Lusi.Sebelum memutuskan untuk memilih yang mana, Lusi akan melanjutkan persyaratan yang sudah dibuat. Tentu saja dia akan memberikan banyak persyaratan, untuk membuat hidup suaminya menderita."Persyaratan yang ketiga.""Hah?!" Suaminya kontan terperanjat mendengar Lusi mengeluarkan kata-kata itu. Terlihat ekspresinya malah membuat wanita itu merasa puas."Kok, hah? Aku bilang persyaratan yang ketiga. Kenapa kamu kaget kaya gitu, sih?"Raka mulai kebingungan, tapi Lusi melanjutkan persyaratan ketiga yang diajukan pada pria itu."Yang ketiga, jangan sampai Alia tahu kalau kalian berselingkuh. Alia tahunya Mila itu teman baikku. Kalau sampai dia tahu kelakuanmu, aku tak bisa mencegah hal buruk yang mungkin saja terjadi di antara kamu dan Alia. Biarkan dia tahu kalau kamu sedang bekerja di tempat lain, sampai harus pergi dari rumah ini."Raka terperangah. Dia juga men
"Gini saja, kalau memang mau mempertahankan anak Mas, gimana kalau misalkan Mas tinggal menggugat hak asuh anak? Bilang saja kalau misalkan Mbak Mila itu bukan wanita yang baik untuk dijadikan Ibu.""Maksud kamu apa?" tanya Raka, tidak mengerti."Ya, seperti yang mas bilang. Mbak Mila itu tempramental. Memangnya bisa seorang anak hidup dengan seorang Ibu yang temperamental? Bukannya merasa nyaman, aku yakin anaknya pasti akan tertekan jika hidup dengan seorang Ibu yang pemarah seperti Mbak Mila. Menurutku itu adalah cara yang paling baik atau jika perlu Mas ajak aja Mbak Mila tes psikologi dan lihat, dia itu mengidap apa sampai kelakuannya itu barbar sekali?" ungkap Maura, tidak mau memfilter ucapannya. Biarkan saja memang kenyataannya seperti itu. "Apa kamu perlu mengatakan hal seperti itu kepada orang yang sudah menolongmu?" tanya Raka sedikit kesal, karena Maura juga tidak bisa menyaring ucapannya."Maaf ya, Mas. Yang menolong aku itu kamu, bukan Mbak Mila," terang Maura, tidak ma
"Jadi, maksudmu Mila itu tidak baik untukku?" tanya Raka. Sebenarnya semua itu adalah pancingan, ingin tahu bagaimana anggapan Maura terhadap Mila. Dia butuh pandangan beberapa orang yang mengenal Mila, bisa tahu bagaimana sifat sang istri yang sebenarnya. "Ya, kalau misalkan Mas Raka tanya siapa yang pantas dengan Mas Raka, tentu saja Mbak Lusi. Tapi aku tahu sih, Mas Raka juga sulit untuk meraih Mbak Lusi," ucap Maura dengan sarkas, membuat Raka langsung tersentak. Entah kenapa dia merasa tersinggung dengan semua perkataan Maura. Tetapi dia tidak mau berpikir banyak, yang penting sekarang mencari jalan keluar yang terbaik untuk masalah yang terus menimpanya selain Lusi."Jangan bahas mantan istriku lagi. Kamu tahu kan maksudku? Jawablah pertanyaanku dengan baik. Jangan mengatakan macam-macam dengan cerita-cerita yang sudah berlalu," ungkap Raka. Kali ini wajahnya tampak serius, membuat Maura akhirnya berdehem beberapa kali. Lama-lama Raka mungkin akan marah kepadanya, kalau Maur
"Kalau gitu, kenapa Mas masih bertahan? Tinggalin saja Mbak Mila," ucap Maura dengan frontal, membuat pria itu langsung menoleh.Bahkan Raka sampai menawarkan kedua alisnya. "Kenapa kamu berpikir seperti itu? Kan kamu tahu kalau Mila itu sedang mengandung anakku," elak Raka tiba-tiba saja dengan tatapan mengintimidasi, membuat Maura seketika ciut.Namun dengan niat yang penuh dengan rasa dendam, Maura berusaha untuk memberanikan diri, meracuni pikiran Raka agar bisa melepaskan Mila.Biar saja kakaknya itu sengsara. Anak yang ada dalam kandungan juga harus merasakan sengsara. Karena dia tidak terima kalau kehidupan Mila dan turunannya itu bahagia, sementara dia mendapatkan trauma yang begitu dalam di masa lalu. Tidak, Maura tidak pernah ikhlas dengan semua itu. "Iya, aku tahu, sih, Mas. Bukan maksudku buruk. Tapi, kasihan aja sama Mas. Apalagi sama Ibu Mas. Walaupun memang orang tua bersikap buruk, tapi tidak seharusnya dibalas dengan buruk juga, kan? Kalau aku jadi Mbak Mila, itu le
"Tidak, aku tidak pernah bermaksud seperti itu.""Lalu, kata-kata tadi apa, Mas?" tanya Maura. Dia benar-benar tidak bisa berpikir jernih saat ini, karena semua perkataan Raka itu terus terngiang-ngiang di telinganya. "Begini, dengarkan aku baik-baik. Aku kasihan kepadamu kalau terus-terusan di rumah Mila. Dia pasti akan terus menjadikan kamu pelampiasan amarahnya, karena kamu tahu sendiri, kan? Mila itu tempramental, ditambah dia dalam keadaan hamil. Pasti akan semakin sering menyalahkanmu. Jadi, aku pikir bagaimana kalau misalkan kamu pindah saja?"Maura terperangah. Di sisi lain, dia merasa tersanjung karena ternyata Raka memikirkan tentang nasibnya. Tetapi, dia juga bingung kalau tidak di rumah itu, lalu dia harus di mana?Mana mungkin Maura tiba-tiba saja bilang akan tinggal di rumah Bu Sinta? Bagaimana kalau misalkan Raka berkunjung ke rumah Bu Sinta dan tahu kalau dirinya tinggal di sana, mungkin pria itu akan bertanya macam-macam kepada dirinya. "Lalu, kalau misalkan aku ke
"Kenapa kamu diam saja? Jangan takut, bicara kepadaku. Apa Mila mengusirmu juga?" tanya Raka, tiba-tiba saja membuat Maura semakin kelabakan. Dia takut salah bicara dan malah berbalik menjadi bumerang untuknya. Tetapi dalam situasi seperti ini, dia juga tidak mau kalah dari Mila. Harus benar-benar membuat kakaknya menderita."Iya, aku juga nggak tahu, sih, Mas. Apakah dia mengusir aku atau enggak, tapi intinya tadi itu Mbak Mila marah-marah kepadaku karena tiba-tiba saja menghilang. Padahal kan aku disuruh sama dia buat keluar dulu, belanja," ungkap Maura tiba-tiba saja mendapat ide seperti itu. Dia sudah mengarang cerita dan mungkin kelanjutannya akan semakin melebar kebohongannya. "Terus gimana?" tanya Raka, ingin tahu.Kalau misalkan Raka benar-benar mengusir, maka wanita itu sudah benar-benar parah. Membuat orang yang tidak tahu apa-apa ikut terseret dalam masalah mereka. "Ya, aku cuma disuruh keluar dulu. Tapi, nggak tahu apakah itu diusir atau cuma amarahnya saja yang keluar
Anak buah David berusaha untuk tersenyum sebaik mungkin. Dia akan memperlihatkan keramahtamahan, agar wanita itu tidak curiga kepadanya. "Kebetulan saya juga karyawan di sana, Teh. Jadi, saya menawarkan saja. Bos saya lagi cari asisten. Siapa tahu Teteh berminat. Silakan," ucap orang itu sembari menyodorkan kartu nama. Lusi awalnya ragu-ragu. Tetapi dia melirik kepada pemilik warteg dan tersenyum sembari mengangguk. "Ambil aja, Teh. Siapa tahu rezeki di situ. Mana jadi asisten Bos lagi. Kayaknya gajinya gede," ujar wanita itu sembari tersenyum. Lusi tersenyum kaku. Akhirnya dia menerima kartu nama itu. Untuk masalah apakah dia akan melamar atau tidak, mungkin nanti dipikirkan lagi. Yang terpenting jangan sampai menyindir orang yang berbaik hati seperti di depannya.Setelah itu, Lusi pamit untuk pergi. Sang pria berusaha untuk menjeda jarak di antara kepergian Lusi dan dirinya. Dia tidak mau dicurigai oleh Ibu warteg itu dan malah berbuntut panjang, sebab dia tahu sekarang di mana
David tersenyum senang saat mendengar kabar itu. Dia akan memberikan bonus yang sangat banyak kepada anak buah yang menemukan Lusi. "Bagus, kalau begitu kamu terus ikuti. Bila perlu kamu berpura-pura saja jadi pedagang atau apa pun yang bisa menggali informasi untuk Lusi. Yang pasti aku ingin tahu apa yang diinginkan oleh wanita itu," terang David dan langsung diikuti oleh anak buahnya. Kebetulan saat itu Lusi mampir di sebuah warteg tak jauh dari tempat sekolah Alia. Sebenarnya dia bisa saja pergi ke restoran, tapi entah kenapa wanita itu lebih nyaman di warteg karena memang dalam keadaan sepi juga dekat dengan jalan. Jadi, dia bisa leluasa tanpa perlu harus mencari kafe lagi hanya untuk makan.Melihat wanita itu pergi ke warteg, anak buah yang diutus oleh David pun ikut dan pura-pura makan di sana. Dia ingin mendengarkan apa yang mungkin saja bisa menjadi informasi berharga untuk bosnya. Setelah memesan makanan, Lusi pun maka dengan santai di sana. Si pemilik ke warteg pun bertan
"Jangan menguji kesabaranku, Maura! Kamu tidak seharusnya mengetahui semua itu," ucap Mila. Maura tersenyum sinis. Dia melipat tangan di depan dada. "Seharusnya aku lebih tahu banyak tentang masa lalu Kakak, agar aku bisa menyimpan kartu AS Kakak dan tidak semena-mena kepadaku," ungkap wanita itu dengan santai. Dia sudah menyingkirkan rasa takutnya kepada Mila. Ternyata kalau dilawan, wanita hamil itu tidak ada apa-apanya. Cukup memegang bukti kuat tentang kejelekan Mila, maka semua akan baik-baik saja. Begitu pikir Maura. "Kamu salah sudah berurusan denganku, Maura. Kamu tidak tahu seperti apa aku.""Oh, tentu saja. Aku harus tahu dulu Kakak seperti apa, agar aku bisa melawan Kakak. Dipikir-pikir, kenapa nggak dari dulu aja aku lawan Kakak? Dengan begitu Kakak tidak akan semena-mena kepadaku." Mila mengepalkan kedua tangannya. Dia benar-benar sudah muak dengan semua perbincangan ini. Adiknya sudah kelewat batas mengatakan hal-hal yang tidak seharusnya diketahui.Tanpa mengatakan
"Aku tidak bisa memberikan uang sebanyak itu. Terlalu banyak.""Tidak mungkin. Kakak punya usaha yang lancar, aku yakin dalam tabungan Kakak itu pasti lebih dari nominal yang kuinginkan."Ya, memang benar apa yang dikatakan Maura. Tetapi kalau dia mengeluarkan uang sebanyak itu, maka akan ada bahan-bahan untuk usahanya yang harus diminimalisir. Sementara uang sebanyak itu bisa dijadikan modal usaha lagi yang besar. Membayangkannya saja Mila merasa kesal, apalagi kalau benar-benar terjadi. Maka dia akan rugi besar. 'Bukan masalah itunya, Maura. Tapi uang banyak itu terlalu banyak. Kamu tahu? Untuk memulai usaha itu tidak mudah. Bahkan itu dua kali lipat dari modal yang aku keluarkan untuk usaha ini."Maura mengedikkan bahu. "Ya itu terserah, sih. Kalau misalkan Kakak mau Mas Raka tahu kalau tadi aku mengikutinya, ya terserah." Mila memijit pelipisnya yang berdenyut. Rasa lapar dan juga tekanan dari berbagai arah membuat wanita itu benar-benar merasa kewalahan. Dia tidak bisa berpikir