Akhirnya Mila memilih untuk memakan pecel yang diberikan oleh Raka. Ternyata perkataan suaminya itu benar, kalau pecel ini sangat enak. Berbeda dengan pecel lele yang sering dia makan di tempat lain. Raka yang sedang duduk menonton TV pun melihat itu. Dalam hati merasa bersyukur, pada akhirnya Mila tidak mau mengajukan protes apa-apa. Setidaknya telinganya tidak terasa panas sebab omelan-omelan dari wanita hamil itu. Hanya saja, Raka masih saja kepikiran perihal perkataan Lusi mengatakan kalau dirinya tidak boleh mendekati wanita itu lagi. Entah kenapa merasa heran saja, seperti sedang mengatakan sesuatu tentang perpisahan. Tetapi dia juga tidak boleh berpikir jauh seperti ini. Ada hal yang harus dikerjakan dibandingkan mempermasalahkan Lusi. Mila sesekali melirik pada suaminya yang sedang menonton. Matanya memang menonton, tapi entah kenapa sorotnya itu berbeda. Seperti sedang memikirkan sesuatu. Kecurigaan itu kembali mencuat di benak Mila. Sebagai seorang istri dan pernah menja
"Nggak, Mas. Bukan maksudku seperti itu. Kamu tahu, kan? Tidak mudah membangun usaha ini dari awal, apalagi namaku sudah tercemar. Jadi, setidaknya kamu hargai dulu keputusanku saat ini, ya Mas. Aku benar-benar harus memikirkan secara matang tentang keputusan ini." Raka menoleh. Dia merasa tersindir, seolah kalau Mila ini mengatakan dirinya tidak memulai semua usaha dari awal atau malah mengambil alih usaha yang sudah Mila rintis. Begitu pemikiran Raka terhadap perkataan Mila. Barusan Mila terdiam, sepertinya Raka memang punya rencana sesuatu untuknya. Wanita itu sudah merasakan dengan jelas dari ekspresi dan reaksi Raka, jika membicarakan perihal usaha milik Mila."Kamu tidak berniat untuk mengambil alih usahaku, kan? Lalu, menjauhiku setelah berhasil." Tubuh Raka menegang. Dia seolah tengah diinterogasi dan semua itu tepat sasaran. Reaksi pria itu dapat dibaca. Tentu saja merasa gugup, takut jika aksinya ketahuan oleh Mila. Kalau benar seperti itu, maka mau tidak mau dia akan kem
Lusi dengan cepat keluar dari mobil setelah memarkirkannya. Arya yang melihatnya pun langsung menghampiri wanita itu. Belum juga bertanya apa-apa, sang pria sudah menjelaskan titik permasalahan. Lusi yang sebelumnya heran pun langsung mengerti. Ekspresi wajahnya begitu marah mendengar pengakuan dari Arya. "Pantas saja kalau Adiba marah. Itu semua salah. Ngapain kamu melakukan hal seperti itu? Aku pun berpikir sama. Seharusnya kamu tidak boleh merendahkan wanita dengan cara coba-coba. Apalagi itu pertama untuk Adiba." Dengan tegas membuat Arya terdiam. Wajah pria itu semakin khawatir dan takut jika Adiba memang benar-benar tidak mau lagi bertemu dengannya. "Lalu aku harus apa? Sementara Adiba tidak mau memaafkanmu. Itu risikonya. Menurutku memang kamu sudah keterlaluan, jadi pantas saja kalau dia tidak mau bertemu denganmu lagi. Sebaiknya kamu pulang saja, percuma karena Adiba itu orangnya keras kepala. Dia tidak akan membukakan pintu walaupun kamu pingsan sekalipun," tambah Lusi me
Lusi masuk ke rumahnya. Sementara Arya masih menunggu di luar. Dia berharap ada kabar baik dari Lusi, dengan begitu hatinya bisa tenang. Arya berjanji tidak akan melakukan hal yang sama lagi kepada Adiba khususnya. Ini benar-benar membuatnya syok karena sebelumnya banyak wanita yang mengejar Arya. Jadi, dia bisa melakukan sesuka hati tanpa harus menjalin hubungan. Entah itu menyuruh wanita itu atau memperlakukannya seperti orang biasa yang bisa dipermainkan. Tetapi berbeda dengan Adiba. Selain membuatnya penasaran ada juga sangat cuek dan tidak terlalu mementingkan harta. Ditambah lagi gadis itu belum tersentuh sama sekali. Benar-benar membuat Arya merasa kagum dan juga bersalah secara bersamaan. Mungkin ini adalah titik balik untuknya kembali, menjadi pria yang baik dan berusaha untuk menghargai wanita sebagaimana semestinya.Lusi menutup pintu dan tak melihat keberadaan Adiba. Alia pun bertanya kenapa rumah sepi, tetapi dengan cepat Lusi menyuruh gadis itu untuk masuk kamar, sebab
Adiba juga terdiam. Dia meneguk saliva dengan susah payah. Sesaat dia baru sadar kalau tadi sudah mengeluarkan kata-kata yang terlarang. Padahal dia sudah berjanji tidak akan mengungkap apa pun masalah yang ada di tempat ini, sebelum mereka benar-benar pergi. Tidak mau sampai meninggalkan kesan yang buruk atau trauma bagi Lusi. Bagaimanapun Lusi pasti akan kembali ke tempat ini, karena ada perusahaan yang harus dia kelola di tempat ini. Lusi masih terdiam. Dia memandang Adiba dengan bingung, telinganya terus saja berdengung kalimat yang baru saja dilontarkan oleh sang teman. "Kamu tadi bilang apa?" tanya Lusi dengan pelan dan hati-hati. Adiba memejamkan mata sembari mengenal napas dengan panjang. Tidak ada pilihan lain, bagaimanapun dia sudah mengeluarkan kata-kata itu. Mungkin memang ini waktu yang tepat membicarakan perihal ini. Lusi harus tahu kalau Arya tidak sebaik yang dia kira. Dengan begitu Lusi juga tidak akan terus-terusan mendorongnya mendekat dengan Arya. "Dengar, aku
"Kamu tidak sedang bercanda, kan?" tanya Lusi dengan suara bergetar, memastikan kalau semua ini nyata dan bukan karangan Adiba saja sebab berusaha menjauh dari Arya. Adiba berdecak keras. "Kamu pikir untuk apa aku berbohong atau bercanda? Ini tidak lucu sama sekali, Lus! Aku mengatakan ini dengan serius. Aku tidak mau kalau sampai aku juga jadi korban selanjutnya dan kamu terseret dalam masalah ini." Adiba mengatakan ini agar Lusi paham kalau Arya itu tidak sebaik yang dikira. "Aku mohon jangan pernah menjodohkan aku lagi dengan pria itu. Biarkan saja dia sendiri di luar, sampai pingsan pun aku tidak peduli," ujar Adiba menjelaskan. Dia benar-benar sudah tidak respect lagi kepada pria itu. Lusi mau melakukan apa saja, silakan. Yang penting dia sudah mengatakannya sebenarnya kepada temannya, agar tidak ada lagi yang mendorongnya mendekat pada Arya. Lusi masih berdiri. Tetapi entah kenapa lututnya terasa bergetar sebab mendengar pernyataan dari Adiba. Satu pertanyaan pun
"Entahlah, aku akan pikirkan itu nanti. Sekarang sebaiknya aku berbicara dengan Arya terlebih dahulu. Dia tidak mungkin berada di sana seharian, kan? Atau akan menjadi gunjingan tetangga." Adiba mendengkus kesal. Setiap mendengar nama Arya, hatinya membara. Bahkan ingin sekali menangis. "Aku bahkan berharap dia pingsan di sana dan membiarkan laki-laki itu sendirian di luar sepanjang malam. Aku tidak pernah menyuruhnya untuk menunggu, kan? Aku menyuruhnya untuk pergi. Jadi, untuk apa kamu berbicara dengannya?" papar Adiba, tidak setuju dengan saran Lusi yang hendak menghampiri Arya. Lusi menghela napas panjang sembari mengusap pundak temannya. "Tidak seperti itu konsepnya, Diba. Walaupun memang dia salah, kita tidak perlu membalasnya dengan seperti itu, kan? Kamu cukup mendiamkan dia. Aku yakin itu akan lebih menyakitkan untuk Arya. Aku juga malu kalau misalkan mengganggu ketenangan Bu Murni. Bagaimanapun dia kan sering membantu kita," timpal Lusi membuat Adiba akhirnya menyerah.Di
"Kalau aku tidak mau bagaimana?" Lusi menatap Arya dengan serius. Wajah Lusi juga tak kalah serius. Sepertinya Arya punya sifat yang tidak bisa diubah. Pemaksa dan mungkin saja akan menghalalkan segala cara jika keinginannya tidak terlaksana. Lusi jadi penasaran apa motif Arya sampai berani memisahkan hubungannya dengan Devan. Pada akhirnya rasa penasaran itu mencuat juga, meskipun Lusi sudah berusaha menekan agar tidak membahas perihal itu. Tetapi melihat Arya yang seperti ini, Lusi benar-benar ingin tahu seperti apa sosok pria yang begitu menggilai Adiba. "Apa seperti ini juga cara kamu memisahkan aku dengan Devan?" Pertanyaan itu tiba-tiba membuat Arya terdiam. Wajah yang semula gusar langsung menegang. Ada kekagetan yang amat kentara di mata Arya. Dia seperti dipanah dengan jarum yang sangat banyak, hingga rasanya menusuk seluruh tubuhnya. Tubuhnya bergetar hebat. Ada rasa ketakutan yang menyergap melihat wajah Lusi yang begitu garang dan serius. Padahal sebelumnya Lusi tidak
Kali ini Raka cukup lama sekali diam dibandingkan dengan pertanyaan sebelumnya. Winda sudah mulai takut kalau apa yang ditanyakan itu membuat Raka murka. Dia tidak mau ada pertengkaran di hari bulan madunya, berharap kalau Raka bisa mengabulkan semua permintaannya. Termasuk pertanyaan yang diucapkan oleh Winda barusan. Sebab selama berhari-hari bulan madu dengan Raka, pria itu lebih banyak diam dan melamun. Ini membuat sang wanita merasa kalau bulan madunya ini hanya berjalan apa adanya. Tidak ada yang lebih baik kecuali mereka menghabiskan waktu bersama. Itupun Raka berkali-kali terus saja memikirkan Alia. Tetapi Winda hanya bisa mengerti dan bersabar, berharap kalau Raka punya inisiatif sendiri untuk memberikan kejutan di hari bulan madu.Namun, sampai detik ini pun tak ada yang lebih spesial kecuali pertanyaan ini dan berharap pria itu mau menjawab semuanya."Kamu diam artinya kamu tidak mau punya anak dariku," ucap Winda dengan nada kecewa. Raka tahu pasti, Winda menginginkan ha
Raka kembali menatap Winda dalam diam. Apakah wanita itu benar-benar ingin tahu apa yang sedang dipikirkan oleh dirinya? Lalu, untuk apa? Begitu pikir Raka. Tetapi kalau tidak dijawab juga Winda pasti akan terus bertanya dan itu akan diulang-ulang sampai wanita ini mendapatkan jawabannya entah kapan. Tetapi rasanya Raka akan kelas kalau terus ditanya hal yang serupa. "Apakah kamu sangat penasaran dengan jawabanku?" tanya Raka, tiba-tiba saja membuat Winda terkesiap. "Bukan begitu, Mas. Maksudku, kita kan sudah jadi suami istri. Memang aku sudah berjanji untuk tidak saling ikut campur antara aku dan urusan Mila. Tetapi apakah aku salah hanya bertanya? Aku tidak akan menyalahi semua keputusanmu. Aku hanya ingin bertanya. Anggaplah ini rasa penasaranku, karena kalau tidak dilakukan mungkin aku akan terus-terusan kepikiran dan hanya ingin tahu jawaban apa yang akan kamu berikan jika pertanyaan serupa kembali diucapkan," ungkap Winda, sesuai dengan pemikiran Raka sebelumnya. Pria itu me
Raka kaget mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Winda. Bahkan pria itu sampai tidak berkedip, seolah apa yang dikatakan oleh Winda barusan itu sebuah bom yang hampir meledak. "Maksudnya hamil?""Ya, Mas. Aku mau tanya, kalau misalkan aku hamil kamu akan gimana?""Gimana apanya, Winda? Aku tidak paham dengan maksudmu." "Aku tahu kamu menikahi Mila karena dia sedang mengandung anakmu, kan? Tetapi kalau misalkan aku juga mengandung anakmu, bagaimana, Mas? Atau Seandainya Mila tidak mengandung anakmu, apakah kamu juga akan tetap bersamanya?" tanya Winda. Sebenarnya dia butuh validasi dari Raka. Apakah benar yang dikatakan Bu Sinta dan Maura tentang hubungan Mila dan Raka yang diikat hanya karena ada anak di antara mereka. Raka menatap Winda dalam, tapi wanita itu tidak bisa mengartikan semuanya. Lalu sang pria menoleh lurus ke depan. Ada sesuatu yang mengganjal di hati dan pikiran. Apakah dia harus mengatakan yang sebenarnya kepada Winda atau memilih untuk diam? Rasanya sudah se
Tempat pukul 12.00 siang akhirnya Maura istirahat. Ternyata di sana tidak disediakan makan siang dan membeli sendiri. Kalau tahu begini, harusnya wanita itu membawa saja makanan di rumah Mila. Tetapi sayangnya semua sudah terlambat. Dia pun akhirnya memilih untuk makan apa saja yang tersedia di sekitar supermarket, yang penting bisa mengenyangkan.Namun, lagi-lagi ada suasana yang tidak mengenakan sang wanita. Di mana para pegawai yang begitu antipati dan menjauh kepada Maura. Awalnya dia merasa kesal, tetapi lama-lama tidak mempermasalahkan. Lagipula dia sudah kenal dengan Winda. Kalau memang ada yang macam-macam, tinggal lapor saja kepada wanita itu.Maura memilih untuk membeli siomay saja, lebih murah tapi mengenyangkan. Dia pun duduk agak jauh dari teman-temannya, karena memang di sini yang baru hanya Maura saja, jadi dia tidak punya teman yang satu angkatan dan memilih untuk diam. Tidak ada inisiatif sama sekali untuk berbaur atau memperkenalkan diri.Lagi pula di sini niatnya u
Mila menyantap makanan yang dibeli lewat online. Imel pun sama, tetapi gadis itu tampak sekali berbeda dari biasanya. Seperti ada yang dipikirkan dan semua gerak-gerik dari Imel membuat Mila merasa tidak nyaman. Wanita hamil itu pun menghentikan makannya dan berusaha berbicara baik-baik kepada Imel. "Kamu kenapa sih, Mel? Kok diam saja?" tanya Mila tiba-tiba, membuat Imel terkesiap. Dia sedikit bingung, tapi ada juga rasa takut. Namun demikian sang gadis tetap menjawab pertanyaan dari majikannya, takut malah salah paham. "Enggak kok, Bu. Saya cuma berpikir aja, bisa nggak ya melaksanakan tugas dari Ibu? Mengatur semuanya," ungkap gadis itu sebab sebelumnya setelah Imel selesai membereskan isi kamar dia dan Mila sama-sama menyusun jobdesk apa saja yang akan Imel laksanakan di rumah ini, termasuk menyiapkan makanan untuk Mila. Itulah yang paling berat dilakukan oleh sang gadis. Bagaimana kalau Ibu hamil ini rewel dan dia harus mencari makanan susah? Bukankah itu adalah tugasnya seo
Di tempat lain, saat ini Raka dan Winda sedang bersiap-siap untuk pulang. Tetapi hanya packing saja, karena kepulangannya nanti malam Raka akan langsung pulang ke rumah Mila. Sementara Winda ke rumahnya sendiri. "Mas, hari ini kita mau ke mana dulu?" tanya Winda, memastikan karena dia ingin menghabiskan waktu yang sebentar ini. Sebab setelah 7 hari baru dia bisa bertemu dengan Raka lagi."Apa kamu sudah menemukan jejak Alia?" tanya Raka tiba-tiba saja membuat harapan Winda langsung putus. Dia lagi-lagi harus bisa sadar kalau dirinya hanya dimanfaatkan untuk mencari Alia. Tetapi wanita itu akan tetap bersabar dan menjalani semua ini dengan ikhlas. Sesuatu yang dijalani dengan tulus pasti akan berbuah manis. "Belum, Mas. Aku sudah coba tanya sama temen-temen di berbagai kota yang memang ada penyetok barang-barang di supermarket aku, katanya sih belum pernah lihat. Tapi kita coba aja lihat ya, Mas. Moga-moga saja minggu depan atau mungkin besok lusa ada kabar baik," ungkap Winda. Dia
Sesudah zuhur berkumandang, Lusi pun segera bersiap. David memang dari tadi sedang menunggu wanita itu, mencoba untuk mengikutinya. Dia akan mengajak Lusi untuk sama-sama berangkat kerja. Sementara itu Adiba saat ini bekerja di rumah. Dia bisa mengerjakan projectnya dan tidak perlu ke kantor. Jadi, gadis itu bisa menjaga Alia. Lusi sudah semangat untuk pergi bekerja. Ini hari pertama dan harus menjadi momen yang paling berharga. David yang melihat wanita itu keluar pun berusaha untuk mengejarnya. "Hai, mau berangkat kerja, ya?" tanya David, tiba-tiba saja membuat Lusi terkesiap. Dia langsung menoleh kepada pria itu."Oh, hai. Kamu juga mau berangkat kerja?""Iya." "Shif siang?" tanya Lusi, memastikan."Iya," jawab David sembari tersenyum. Lusi hanya tersenyum kikuk, merasa perkataan Adiba tempo hari ada benarnya. Mungkin saja pria ini punya maksud buruk, karena semuanya itu serba mendadak. Tetapi melihat bagaimana pria ini tidak melakukan hal yang di luar batas membuat Lusi mas
Di kamar yang sudah disediakan oleh Mila, Imel hanya termenung menatap lurus. Dia sama sekali tidak merasa antusias untuk melihat kamar yang akan ditempatinya. Meskipun ukurannya sama seperti kontrakan yang sebelumnya dia tinggali, tetapi kali ini pikirannya benar-benar kacau. Apa yang harus dia lakukan mendengar berita-berita itu? Apakah Imel harus menelepon orang yang memasang iklan memberitahukan alamat Mila yang sebenarnya? Gadis itu akan mendapatkan uang yang banyak, bisa membuka usaha atau membeli kios untuknya. Terlepas dari status sebagai buruh. Tetapi, bagaimana kalau Mila tahu dan malah balas dendam kepadanya? Gadis itu tidak tahu bagaimana sifat Mila yang sebenarnya, jadi harus hati-hati dengan segala perlakuan Mila. Ini benar-benar membingungkan juga syok. Dia tidak tahu harus melakukan apa sekarang.Tiba-tiba saja suara Mila terdengar menyerukan nama Imel. Gadis itu langsung terkesiap dan memilih untuk menghampiri bosnya."Iya, Bu. Bagaimana?""Kamu sudah beres-beresnya
Setelah membereskan barang-barang di kontrakan yang dahulu, Imel berpamitan dan langsung pergi menggunakan angkot. Sebelumnya dia memang ingin menggunakan taksi, tetapi tarifnya pasti mahal. Tidak masalah kalau menggunakan angkot. Lagi pula barang bawaannya hanya sedikit.Saat di dalam angkutan umum, dia mendengar pembicaraan kalau ada iklan yang memberikan hadiah besar bagi yang bisa menemukan dan memberi informasi tentang Mila. "Oh, aku tahu! Ini yang dulu sempat viral kan gara-gara dia selingkuh dan digrebek sama istrinya? Benar-benar enggak tahu diri, ya!" "Kayaknya ini orang juga membuat masalah sampai dicari sama yang pasang iklan," timpal seseorang membuat Imel langsung menoleh. Dia kaget sebab yang disebutkan oleh penumpang angkot lainnya itu Mila. Imel terperanjat sebab dikatakan kalau Mila ini adalah orang yang dulu sempat digerebek karena perselingkuhan, ini sama persis yang seperti yang dikatakan oleh Maura tempo hari, saat mereka masih ada di rumah sakit.Kalau benar b